02 - Tantangan

[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.

Selamat Membaca!

✬✬✬

"Baiklah, akan saya buktikan," jawab Amaryllis yang langsung mengambil busur panahnya.

"Apa yang harus saya panah?" tanyanya kemudian kepada laki-laki itu.

"Panah semua hewan yang ada di sana," tunjuk Samuel kepada 3 ekor burung besar dengan bulu merah mencolok yang berada di dalam sebuah kurungan sebesar gubuk.

"Itu mudah," jawab Amaryllis dengan sedikit menyeringai.

"Tapi sebelumnya ...," ujar Samuel dengan melemparkan sekantong penuh hettar kepada penjual hewan-hewan itu. "bisakah kau melepaskan mereka terlebih dahulu, Pak?" sambungnya.

"Ba-baik, Tuan," jawab pedagang itu seraya mengambil kantong uang yang dilemparkan kepadanya.

"Apa yang Anda lakukan?!" sergah Amaryllis saat mengetahui bahwa laki-laki itu berniat untuk melepaskan mereka dari kandangnya. "Jika burung-burung itu terbang terlalu jauh, bagaimana saya bisa memanah semuanya?" protesnya keras.

"Bukankah aku memintamu untuk membuktikannya padaku? Kalau begitu, tangkap semuanya sebelum terbang jauh dan bawa kemari," tegas Samuel.

Amaryllis sedikit menggertakkan rahangnya. Apakah laki-laki ini tengah mempermainkannya? Seharusnya dia bisa menyuruhnya untuk masuk ke dalam kandang besar itu dan langsung memanah mereka di sana.

Kurungan itu bahkan tampak besar untuk dimasuki seseorang yang bertubuh kecil seperti dirinya. Kenapa laki-laki itu justru menyuruh pedagang itu untuk melepaskan mereka semua?

Amaryllis menghela napasnya kasar seraya menyiapkan busurnya. Bagaimanapun juga, ini adalah kesempatan yang langka untuk mendapat banyak uang dalam waktu singkat. Dia tidak boleh gagal mendapatkannya.

Saat pintu kurungan itu dibuka, burung pertama yang hendak terbang keluar langsung jatuh ke tanah karena terkena terpanah. Sontak saja hal itu membuat dua burung di belakangnya langsung terbang dengan kalang kabut karena terkejut.

"Sial," desis Amaryllis yang langsung berlari mengejar burung-burung itu tanpa menghiraukan hal lain.

"Apa yang kau lakukan Sam? Kau gila?" sergah Travis melihat apa yang telah diperbuat oleh sahabatnya.

"Aku hanya bersenang-senang," jawab Samuel dengan sebuah kikihan seraya mendekati burung berbulu merah yang sudah tergeletak.

"Kau bilang sedang mencari kandidat? Tapi kau malah mempermainkan seorang gadis?" decak Travis yang frustrasi.

Laki-laki itu tahu bahwa Samuel pasti akan melakukan sesuatu yang gila. Namun, dia tidak menduga kalau Samuel akan taruhan semacam ini dengan seorang gadis. Bukankah ini sudah cukup keterlaluan?

"Aku sudah menemukannya," jawab Samuel dengan sebuah senyuman tipis.

Sementara itu, Amaryllis masih berlari kecil untuk mengejar dua burung yang berhasil kabur sambil sesekali menggerutu.

"Kalau bukan karena uang itu aku tidak akan melakukan ini!"

Kakinya melambat saat dia melihat salah satu burung berbulu merah itu tengah hinggap di sebuah dahan yang rendah. Burung-burung besar itu tidak mungkin terbang terlalu jauh. Apalagi mereka sudah lama berada di dalam kurungan dan kemungkinan sudah kehilangan insting alaminya.

Amaryllis membenarkan posisi tubuhnya. Dia mulai meregangkan tangannya untuk memanah burung itu. Sedetik kemudian, sebuah anak panah yang melesat mengenai tepat di pangkal kepala salah satu burung merah yang bertengger di pohon.

Melihatnya jatuh, Amaryllis berjingkrak pelan sebelum mengambil tubuh burung yang telah mati.

"Kurang satu lagi, di mana dia?" gumamnya sembari mencari seekor burung berbulu merah yang tersisa.

Setelah memindai pepohonan yang ada di sana selama beberapa menit. Akhirnya dari jarak yang agak jauh, dia melihat burung itu tengah hinggap di salah satu dahan jati yang cukup tinggi. Burung itu tampak tenang, seolah tengah tertidur di siang yang terik.

Tanpa menunggu lagi, Amaryllis langsung memanjat pohon yang bersebrangan dengan pohon jati itu. Dia berusaha untuk tidak menciptakan suara yang berisik agar burung itu tidak terbang lebih jauh lagi.

Setelah sampai di atas pohon, Amaryllis lalu duduk di salah satu dahannya. Tangannya lantas mengambil sebuah anak panah dari dalam quiver, lalu mengarahkan panahnya kepada target.

Mata hazelnya yang jernih itu berfokus pada satu titik. Dia tidak boleh meleset dalam menembakkan panahnya. Jari-jari lembutnya kemudian menarik senar busurnya dengan perlahan. Lalu saat dirasa sudah pas dengan targetnya, dia langsung melepaskannya.

Senyum cerah itu merekah ketika melihat buruannya sudah jatuh ke tanah. Dia bergegas untuk menuruni pohon itu. Namun, saat kaki kanannya berpijak pada salah satu dahan yang cukup kecil, suara kertakan yang keras justru membuatnya terperanjat.

"Tidak!" pekiknya dengan keras.

✬✬✬

Laki-laki berambut merah itu duduk di kursi depan toko sembari menyilangkan salah satu kakinya. Dia masih menunggu kembalinya Amaryllis dari tantangan yang ia berikan. Sedangkan Travis tengah bersandar dengan malas di salah satu pilar kayu di sebelahnya.

"Apa kau yakin dia akan kembali?" tanya Travis kepada Samuel.

"Tentu saja, bukankah dia membutuhkan uang?" jawab Samuel.

Travis kemudian menegakkan tubuhnya dengan malas. "Dengar, Sam. Aku masih tidak tahu dengan jalan pikiranmu saat ini. Tapi kau itu keterlaluan!" cerca Travis.

Samuel hanya memutar bola matanya. Sejak setengah jam yang lalu, dia hanya mendengarkan ocehan Travis yang memprotes dirinya. Samuel tidak bermaksud kejam. Arogansinya membenarkan tindakan yang sudah ia lakukan hari ini. Dia hanya ingin memastikan sesuatu sebelum membuat keputusan.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya seulas senyum tipis terbit di antara wajah kakunya. "Kau lihat, dia kembali!" seru Samuel yang membuat Travis menolehkan kepalanya.

Amaryllis berjalan dengan menenteng dua ekor burung berbulu merah yang berhasil ia tangkap dengan susah payah. Tangannya kemudian melemparkan hasil tangkapannya itu ke hadapan si penantangnya.

"Sekarang bayar aku sesuai dengan janjimu," ujarnya.

Samuel yang masih tersenyum kecil itu kemudian merogoh sesuatu dari balik jubah yang ia kenakan. Ia meraih sebuah kantung berwarna biru muda dari dalam sana. Kantung yang lumayan tebal untuk ukuran yang biasa.

"Tentu saja aku akan menepati janjiku, Nona," jawabnya dengan tersenyum puas sambil mengulurkan kantung berisi hettar.

Wajah Amaryllis menjadi semakin cerah saat menerimanya. "Terima kasih," ucapnya sembari mengecek isi kantungnya.

"Aku juga sudah menambahkan bonusnya, jadi totalnya adalah 600 hettar," jelasnya.

Amaryllis tidak peduli dengan berapa pun bonus yang ia dapatkan. Yang penting dia sudah dibayar sesuai dengan kesepakatan. Karena dengan uang sebanyak itu, dia tidak perlu berburu lagi selama beberapa hari ke depan.

Setelah memastikan bahwa isi kantung sesuai dengan jumlahnya. Amaryllis kemudian tersenyum lebar. "Baiklah kalau begitu. Senang berbisnis dengan Anda," pungkasnya seraya memasukkan kantung itu ke dalam jubahnya lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

"Apa kau sudah puas, Sam? Mau kau apakan buruan sebanyak ini?" tanya Travis dengan menunjuk hasil buruan Amaryllis.

Samuel mengamati hewan-hewan itu. "Berikan saja kepada orang-orang itu. Mereka lebih membutuhkannya daripada aku," jawab Samuel dengan menunjuk sekumpulan orang berbaju lusuh dengan perut busung yang tengah mengadahkan tangan dan wadah kayu untuk mengemis belas kasih.

Travis menghela napasnya panjang lalu mengambil beberapa hewan itu. "Kadang aku masih heran denganmu. Jika ingin beramal, paling tidak jangan menyusahkan orang lain."

Samuel hanya tersenyum kecil sebelum Travis membagikan hewan itu kepada mereka. Sekali lagi dia terpana dengan perbedaan yang terlampau jauh di depannya tersebut. Dia hanya tidak mengira bahwa barang yang kelihatannya sederhana, ternyata memiliki nilai yang cukup berharga di sana.

Termasuk uang 600 hettar yang ia berikan kepada gadis tadi. Sepertinya jumlah itu termasuk besar di sini. Padahal saat di Centrus, mereka hanya menggunakan uang sebesar itu untuk uang tip belaka.

Amaryllis belum berjalan terlalu jauh dari tempat itu. Gadis itu sedikit meringis. Sekarang dia mulai merasakan nyeri di tumit serta pergelangan kaki kanannya yang terkilir akibat terjatuh dari atas pohon tadi.

"Sepertinya aku akan membeli es batu saja," ringisnya disela-sela rasa nyeri.

Amaryllis terlihat berjalan dengan sedikit menyeret kaki kanannya. Gadis itu mencoba menahan rasa nyeri yang mulai menjalari tubuhnya. Namun, paling tidak rasa sakit itu sedikit terobati dengan uang yang berhasil ia dapatkan.

Walaupun pada awalnya dia sedikit meragukan laki-laki yang tampak masih muda dan cukup sembrono tadi. Namun, akhirnya ketidakyakinan itu langsung terhapuskan setelah laki-laki itu membayarkan uang sesuai janjinya.

"Kerja bagus, Amy," pujinya karena merasa bangga kepada dirinya sendiri yang berhasil mendapatkan kesempatan emas ini.

Amaryllis kemudian duduk sebentar di depan sebuah toko di mana dia membeli sekantong es batu. Tangannya kemudian terulur untuk mengompres pergelangan kakinya yang tampak kebiruan dan sedikit membengkak.

Dia mendesis ketika dinginnya es batu mulai menyentuh kulitnya. Gadis itu merutuk dirinya yang ceroboh. Seharusnya dia lebih memperhatikan tempatnya berpijak. Jika saja dia lebih awas maka hal seperti ini tidak perlu terjadi. Namun, sebuah tangan tiba-tiba saja mengambil paksa kantong es yang tengah ia pegang.

"Apa yang Anda lakukan!" sergahnya saat melihat laki-laki berambut merah itu berlutut dan mulai mengompres kakinya.

"Seharusnya kau mengatakannya kepadaku kalau kakimu terkilir," jawab Samuel sembari mengompres pergelangan kaki Amaryllis tanpa izin.

"Maaf, tapi itu bukan urusan Anda. Tolong berikan lagi esnya!"

"Tidak bisa. Ini terjadi karenaku, jadi ini juga urusanku," jawab laki-laki itu.

Amaryllis sedikit memicingkan matanya. Dia merasa aneh dengan orang ini. Bagaimanapun juga, mereka hanya bertemu karena sebuah bisnis singkat. Mendapatkan perhatian dari orang asing seperti ini justru membuatnya curiga. Apakah dia benar-benar orang baik? Atau hanya berpura-pura baik?

"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Samuel.

"Ya?"

"Aku tanya, di mana tempat tinggalmu?" tanya Samuel yang kembali mengulangi kalimatnya.

Amaryllis masih memandang aneh Samuel. "Saya tinggal di Desa Thon."

"Desa Thon, Distrik Thon?" tanya Samuel.

"Yang terletak di pinggir kota," jelas Amaryllis.

Samuel sedikit menepuk kedua telapak tangannya untuk membersihkan debu yang menempel di sana. Lalu tanpa Amaryllis duga, laki-laki itu langsung membalikkan badannya dan menunjuk ke arah punggungnya. "Naiklah, aku akan mengantarmu pulang. Kau tidak mungkin berjalan dengan kaki yang seperti itu," ujar Samuel.

"Tapi-!"

Selanjutnya gadis itu merasakan Samuel yang sedikit menarik tangannya agar dia segera naik ke atas punggungnya.

✬✬✬

✬Note:

1 Hettar = Rp. 1000

Holla! Jangan lupa tinggalkan jejak yaa, bagi semua pembaca yang mampir ke sini~
Sampai jumpa lagi ^^

2021 © Anna Utara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top