Prolog
|Word: 2352 kata|
|Sebelum baca mohon di vote dulu ya, jangan lupa komen. Tekan tombol bintang sambil ketik komentar gak bakal bikin jari kalian meledak kok '3'|
"Oh gitu, ya?"
"Iya! Masa dia masuk ke ruangan Pak Soni pakai baju ketat kayak gitu. Ketahuan lonte-nya gak, sih?" ujar wanita tambun dihadapan ku ini.
Aku hanya memaksakan senyuman manis sebagai tanggapan. Ku sandarkan tubuhku pada konter meja sambil menyesap secangkir kopi. Sementara wanita tadi sibuk mengepel lantai dengan bibir bergerak miring, membicarakan sosok sekretaris manajer perusahaan tempatku magang.
"Ya, mungkin Mbak Dini mau mengantarkan berkas untuk Pak Soni. Emang biasanya begitu 'kan?"
Wanita itu mencebik sebal. Bibirnya maju beberapa senti, mirip ikan lohan peliharaan pamanku. "Mana ada!" serunya mantap.
Wanita itu kembali bersuara. Mengeluarkan segala pikiran negatif terhadap Mbak Dini, sekretaris baru perusahaan ini. Bahkan wanita itu mulai menuduh Mbak Dini sebagai pelakor, karena sering menemui Pak Soni dengan pakaian kurang bahan.
Aku memutar mata malas dengan cangkir masih menempel pada bibir. Aku juga tidak memungkiri hal itu terjadi. Semua perusahaan besar, pasti pernah memaksa karyawan atau karyawati mereka untuk staycation.
Karyawan di mata para bos besar itu terlihat tidak lebih dari sekedar barang sekali pakai. Silahkan tanya satu-persatu karyawan atau karyawati goodlooking yang ada disini. Pasti mereka semua pernah ditawari satu ranjang dengan atasan masing-masing atas diiming-imingi naik jabatan.
Baru seminggu magang, rasanya aku ingin kabur dari tempat ini. Mengorek informasi dari orang-orang sangatlah tidak mudah. Belum lagi pembatasan penggunaan internet dari pihak kampus membuat tugas ini terasa seperti neraka.
Apa yang harus kulakukan? Mengorek informasi dari para jurnalis di perusahaan siaran ini.
Apakah aku seorang jurnalis? Bukan. Aku seorang taruni dari kampus intelijen satu-satunya di Asia Tenggara.
Sebenarnya tugas ini tidak begitu sulit bagi mereka yang senang buang-buang suara. Tapi bagi introvert sepertiku, big no. Aku bukanlah orang yang suka basa-basi. Jika mau, aku bisa saja langsung menodong wanita ini menggunakan pistol dan menyuruhnya mengatakan segalanya tentang perusahaan ini.
Informasi apapun itu, entah ia menyebutkan ukuran sepatu Pak Soni, warna celana dalam Mbak Dini, atau harga ayam yang sedang naik di pasar. Apapun itu, akan aku tampung.
Malah lebih bagus lagi jika dia keceplosan menyebutkan hal-hal janggal yang ada di perusahaan ini. Seperti adanya transaksi jual-beli barang-barang illegal, adanya organisasi radikal tak kasat mata, atau perilaku radikalisme. Ya, walaupun yang tadi juga janggal, tapi tidak heran hal itu terjadi, bahkan telah jadi rahasia umum semua perusahaan di Indo- Konoha.
Namun sayangnya, aku tak bisa melakukan hal itu karena melanggar kode etik dan HAM. Jika nekat, aku malah akan ditendang dari kampus dan membayar uang sesuai dengan biaya yang telah mereka keluarkan untukku. Pastinya nominal yang mereka keluarkan untukku sangatlah besar, karena aku benar-benar ketergantungan dengan fasilitas yang diberikan kampus.
Terlebih aku suka berlama-lama di ruang robotik untuk membuat drone atau robot jika sedang gabut. Bayangkan berapa banyak suku cadang yang telah ku buang, hanya demi membuat robot kucing bertubuh rangkaian besi polos dengan suara mengeong mirip bapak-bapak.
Big no! Aku tidak mau membebani kedua orang tuaku dengan tagihan uang seharga rumah kami. Lebih baik aku bersusah payah seperti ini daripada menyusahkan kedua orang tuaku.
Kini wanita tambun itu beralih membuat secangkir kopi yang dipesan oleh salah satu manajer disana. Aku hanya memperhatikannya sesekali memandangi dapur kantor jurnalis yang bernuansa putih. Cat berwarna putih menempel pada dinding, dihiasi dengan berbagai macam bingkai berisi foto maupun kata-kata motivasi. Begitupula konter dapur berwarna cokelat bercampur hitam yang terkesan minimalis. Standar lah untuk dapur perusahaan swasta yang cukup ternama.
Dari depan pintu, sesosok pria lewat sambil memberikan isyarat padaku lewat kedipan mata. Aku meliriknya sesaat lalu mengangguk paham.
"Mbak Rini, Dian lanjut dulu ya. Mau nge-date sama Mas Ranu."
Suara tapak sepatu bergema di sepanjang lorong. Sementara itu, pria yang memanggilku tadi berjalan tak jauh di depanku. Sebisa mungkin kupercepat langkah kaki ini, lalu berjalan bersisian dengannya.
"Ijin, ada masalah apa, senior?" tanyaku setelah berhasil berjalan bersisian.
Pria dengan rambut cepak itu melirikku sesaat lalu tersenyum lembut. Kulit tan-nya tampak memutih dibawah cahaya lampu, kontras dengan kemeja hitam yang melekat di tubuh atletis itu. Mata tajam bak elangnya menyipit tatkala kedua ujung bibir tertarik keatas. Senyuman manis khas pria jawa itu membuat ribuan kupu-kupu berkumpul di dalam perutku.
Ia menggeleng lembut lalu berkata, "Ikut aja." Aku hanya menganggukkan kepala paham sambil mengikuti langkahnya.
Harfandi Gautama, namanya. Entah nama asli atau bukan, tapi itu nama yang tertera di data kampus. Ranu juga bukanlah namanya, itu hanya nama yang digunakan untuk mengecoh identitas kami. Sebagai mahasiswa dari satu-satunya kampus intelijen di Asia Tenggara, tentu saja semua data asli kami dianulir agar tidak bocor ke khalayak ramai. Bahkan dengan sesama mahasiswa, kami tidak saling tahu nama satu sama lain.
Hal itu juga berlaku untukku. Dian bukanlah nama asliku, itu hanya identitas sementara untuk magang di perusahaan ini. Namaku sebagai seorang taruni adalah Kalandra Ratna Sari. Untuk nama asli, kalian tidak perlu tahu. Yang pasti, nama asliku tidak sebagus nama samaranku.
Jujur saja, terkadang aku sampai lupa dengan jati diri karena terlalu banyak nama yang kugunakan. Bahkan belum lulus KTP-ku sudah ada tiga-KTP asli, KTP yang kugunakan di kampus, dan KTP penyamaran yang kugunakan sekarang.
Kemungkinan besar KTP-KTP itu akan bertambah di masa yang akan datang, seiring dengan bertambahnya identitas yang kugunakan. Mas Harfan salah satu contohnya, dia pernah cerita padaku jika dia memiliki 10 KTP dengan identitas yang berbeda-beda. Padahal dia belum lulus, tetapi sudah memiliki identitas sebanyak itu. Doakan saja kami tidak lupa dengan jati diri kami ya, kawan-kawan.
Alisku terpaut tatkala melihat Mas Harfan membawaku menuju tangga darurat. Perasaanku buruk. Apa ini masih ada sangkut pautnya dengan pencarianku yang kemarin?
Langkahku terhenti di anak tangga ketiga membuat Mas Harfan yang berada di depanku menghentikan langkahnya juga. Ia membalikkan tubuhnya, memandangku dengan manik legam bagaikan arang. Senyuman kembali terukir pada wajah pria itu, ia meraih tanganku lembut namun langsung kusentak.
Raut wajah Mas Harfan berubah terkejut. Aku layangkan tatapan tajam pada pria itu sambil memundurkan langkahku satu anak tangga. "Ijin senior, tapi perilaku Anda melanggar adat kesopanan!"
Jika sedang berada di situasi yang biasa saja, pasti aku sudah melayang ke langit ke tujuh dengan perilakunya. Tetapi situasi sekarang sangat amat tidak mendukung. Aku belum tahu pasti, tetapi kurasa mereka ingin melenyapkanku.
Pihak sekolah pasti sudah tahu jika aku menemukan siapa dalang dari kematian Indira Gayatri. Indira Gayatri adalah poliglot termuda di negara ini. Yang mana ia menguasai 20 bahasa asing, termasuk beberapa bahasa daerah. Dikabarkan merupakan agen intelijen termuda kita, namun nahas ia harus meregang nyawa di usia 17 tahun.
Indira dikabarkan meninggal dunia akibat serangan jantung, ketika sedang jogging di lapangan kodam daerahnya menetap. Sebagai seseorang yang penuh akan rasa kepo, tentu saja aku merasa ada yang janggal dengan kematiannya.
Tidak masuk akal bagi seorang wanita muda seperti Indira terkena penyakit jantung. Belum lagi, Indira merupakan anggota BIN. Sejenius apapun seseorang, instansi pasti akan berpikir dua kali jika ingin merekrut orang yang memiliki penyakit bawaan.
Orang tua Indira juga tidak memiliki penyakit jantung bawaan. Jikalau pun Indira terkena penyakit jantung karena gaya hidup, itu sangatlah mustahil. Indira Gayatri seorang yang sangat menjaga pola hidupnya, rajin berolahraga dan memakan makanan bergizi. Hal itu aku dapatkan setelah dua minggu mencari informasi gadis itu ketika berkunjung ke desa kelahiran Indira.
Dan beberapa hari yang lalu, akhirnya aku berhasil menemukan siapa dalang dibalik kematian Indira. Pelakunya adalah menteri Kominfo yang menjabat saat ini.
Kematian Indira Gayatri memang sudah lama terlupakan. Tetapi aku tidak bisa melupakan keberadaannya begitu saja. Ia sudah menyumbang banyak hal untuk negeri ini, setidaknya dengan mencari tahu kenyataan dibalik kematiannya. Bisa menenangkan Indira di atas sana.
"Kok kamu begitu sama mas?" ujar Mas Harfan lembut.
Aku gelagapan. Sial, mengapa pria ini sangat atraktif? "Muka mas kayak pedofil," jawabku asal.
Suara tawa lembut mengalun pelan dari bibir Mas Harfan. Sesaat aku terpana melihat senyuman pria itu dibawah remang-remang cahaya lampu. Hanya perlu hitungan detik, segala macam skenario buruk hilang dari kepalaku.
Mungkin aku hanya overthinking.
Pertama kali aku bertemu Mas Harfan ketika pelaksanaan SKB di ibukota. Aku yang berasal dari kota di pulau yang berbeda, datang seorang diri tanpa seorang pun kenalan disini. Well, ada beberapa anak yang kukenal, hanya saja kami masih sama-sama catar kala itu. Sama-sama asing dengan keadaan kota yang kami datangi. Persis seperti anak burung yang baru bisa mengepakkan sayap, namun nekat menerjang dunia luar.
Kala itu, Mas Harfan tengah membantu temannya mendata para catar yang tengah melakukan registrasi. Aku yang masih dongo, hanya planga-plongo di dalam barisan sambil menunggu anak di depanku registrasi. Sialnya, ketika anak itu hampir selesai, aku malah kebelet pipis.
Kalian tahu hal paling memalukan? Aku pipis didalam celana.
Hari paling buruk dalam hidupku. Semua orang langsung heboh, begitupula Mas Harfan yang tadinya hanya melihat-lihat juga mengalihkan atensinya padaku. Catar yang berbaris dibelakangku langsung pergi menjauh, sementara tentara yang ada disekitar ku berteriak menyuruhku keluar barisan.
Namun aku hanya bisa teronggok disana sambil menangis menahan malu, sampai akhirnya Mas Harfan membawaku keluar barisan. Dia menggiringku ke toilet rindam sambil menutupi celana hitamku menggunakan jaket miliknya.
"Lain kali kalau mau pipis bilang aja, jangan ditahan-tahan," ucapnya kala itu yang hanya ku tanggapi dengan anggukan.
Peristiwa itu menjadi bulan-bulananku selama tes kesamaptaan dan pantukhir, hingga tahun pertama setelah dinyatakan resmi menjadi taruni. Sampai sekarang pun masih ada yang membicarakannya, namun jarang karena menjaga image para senior dimata adik tingkat.
"Mas cuma mau ngajak kamu ngomong. Kamu gak mau jadi pacar mas? Vibe diatas lagi bagus lho, kelihatan sunset," ujar Mas Harfan sambil menarik tanganku lagi.
Oke, aku kalah. Siapa yang bisa berprasangka buruk dengan pria manis satu ini? Overthinking ini hampir saja memutuskan hubunganku dengan mas ayang.
Kami melanjutkan perjalanan, kali ini dengan bergandengan tangan. Sesekali pria itu mengajakku bercanda hingga membuat kami tertawa lepas. Bayangan-bayangan manis mulai muncul di kepalaku. Mungkinkah diatas sana dia telah menyiapkan kejutan? Bunga? Confetti warna-warni? Atau mungkin ... kembang api?
Oh, ayolah, jiwa remajaku ini mulai berkoar-koar kesana kemari. Masa-masa SMA-ku dikatakan tidak terlalu bagus. Aku tidak mengalami perundungan, kejahilan, atau hal buruk yang biasa dialami remaja ketika sekolah. Hanya saja, kehidupan SMA-ku terlalu monoton.
Pergi sekolah di pagi hari, pulang sore hari belum lagi dihantam kegiatan paskibra dan OSIS, malam mengerjakan PR, lalu lanjut tidur. Begitu terus selama tiga tahun terakhir. Berbeda dengan teman-temanku yang memiliki circle pertemanan hingga kelulusan, punya pacar, ataupun meraih prestasi dimana-mana.
Keberadaanku tak lebih dari seorang NPC yang menumpang hidup dalam kisah orang lain. Namun, nasib baiknya kehidupanku lebih lancar daripada teman-teman SMA-ku. Setelah lulus aku langsung mendaftar sekolah intelijen dan lolos di percobaan pertama. Sedangkan mereka yang punya kehidupan nyaman semasa sekolah, malah kesulitan mendapatkan pekerjaan ataupun meraih pendidikan.
Lalu sekarang aku malah dipertemukan dengan pria tampan nan manis, satu suku denganku pula. Jadi tidak perlu pusing memikirkan harus menggunakan adat apa saat menikah nanti.
Mas Harfan membuka pintu yang membatasi kami dengan rooftop. Semburat jingga keunguan perlahan mengintip dari balik pintu. Pemandangan matahari terbenam menyapa indera penglihatanku tatkala pintu terbuka lebar. Mas Harfan menarik tanganku lalu berjalan mendekati pagar pembatas.
"Tunggu disini, nanti mas balik lagi," ujarnya yang kubalas dengan anggukan.
Bayangan Mas Harfan hilang dibalik pintu rooftop, aku langsung menghadap kearah matahari terbenam. Awan-awan kelabu dengan semburat jingga keunguan, tampak berbaris menuju matahari. Sementara sang raja siang mulai turun dari singgasananya, digantikan oleh sang dewi malam. Pemandangan yang sangat indah, semakin sempurna dengan adanya angin sepoi-sepoi menampar wajah. Kunikmati euforia ini dengan mata terpejam.
Situasi yang terlalu indah untuk menyambut kematian. Entah diriku yang terlalu bodoh atau memang mereka yang terlalu pintar menggunakan Mas Harfan untuk menjebakku.
Suara magasin yang ditarik membuatku menolehkan kepala. Aku tersenyum saat melihat pria berpakaian hitam dengan topi menutupi kepala plontos itu. Tak lupa dengan masker hitam bergambar tengkorak putih menyamarkan sebagian wajahnya. Namun, aku tetap bisa mengenali siapa orang dibaliknya.
"Perasaan baru kemarin kita diving bersama, dan sekarang kamu malah mau menembak saya," ujarku ambigu.
Pria itu masih diam, dengan tangan gemetar tetap mengarahkan pistol ke kepalaku. "Tega kamu sama orang tua saya, Vin?"
Kevin, entah nama asli atau bukan. Dia teman satu tingkatku, kami juga bertemu di kelas yang sama. Pria berdarah campuran dayak-tionghoa, kami bahkan berasal dari provinsi yang sama. Mereka benar-benar memberiku serangan mental dengan menyuruh orang-orang terdekat untuk membunuhku.
"Mona ikutan juga, ya?" tanyaku yang hanya ditanggapi oleh kesunyian.
Tawa pelan mengalun begitu saja dari bibirku. Walaupun tak begitu tampak, aku dapat melihat Mona di gedung lain tak jauh dari sini. Jarak yang cukup jauh tidak mengaburkan pandanganku bahwa Mona tengah mengetik laptop khusus disana, dengan kepala ditodong pistol oleh oknum tentara. Samar-samar aku juga melihat laser terarah ke kepala Kevin dari samping.
Kasihan, jika aku tidak iseng mungkin mereka tidak akan mengalami hal ini. "Gila ya, padahal saya hanya tahu kebenarannya saja, tidak berniat melakukan apapun," ujarku entah pada siapa.
Setelah sekian lama diam, Kevin akhirnya menganggukkan kepala entah pada siapa. "Maaf," ujar pria itu pelan. Dengan tangan tremor parah, ia paksakan untuk menarik pelatuk.
Dorr!!
Telingaku berdenging mendengar suara tembakan. Aku memejamkan mata tatkala biji timah panas menembus tengkorak kepala. Tubuhku terpelanting hingga menabrak pagar besi dan jatuh dari ketinggian 20 meter. Erangan keras terlantun saat tubuhku berhasil menabrak tanah. Mereka pasti akan memfitnahku melakukan percobaan bunuh diri.
Samar-samar, terlihat banyak orang mengelilingiku. Salah satu orang kembali menembak kepalaku saat menyadari tubuh ini masih bernyawa.
Dorr!!
Kesadaranku benar-benar hilang saat itu juga.
Aku mati 'kan ya?
Sungguhan mati?
Apa alam baka sedang ramai dengan arwah? Rasanya banyak sekali orang di sekelilingku. Mulai dari suara cekikikan, tawa, hingga teriakan. Bahkan suara tapakan sepatu terdengar berlari kesana kemari.
Tunggu dulu ..., apa aku menjadi arwah penasaran?!
Oh, tidak ... aku tidak mau berubah jadi Mbak Kun! Hell, no! Never! GAK AKAN PERNAH MAU!!!
Benda keras terasa menabrak sisi kepalaku, hingga membuatku membuka mata lebar-lebar. Pemandangan kelas bernuansa putih menyambut netraku. Semua mata melihat kearahku yang duduk paling belakang, tak lupa dengan suara tawa mereka yang menggema.
"Bisa-bisanya ya, kamu tidur di jam saya!"
Spontan kepalaku menoleh. Mendapati seorang ibu-ibu bertubuh gempal dengan seragam abu-abu, tengah berkacak pinggang sambil memegang buku tulis hello kitty yang telah digulung.
"Err ... mohon maaf, ibu siapa ya?"
AKU ADA DIMANA, WOII??!!!
Hari-hari nambah naskah🥴
Sabtu, 24 Juni 2023
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top