BAB 4: Keranu Narendra

|Word: 2587|
|Sekali lagi kuingatkan, jangan lupa vomment-nya teman-teman. Segala macam jenis peledak sudah disingkirkan kok, jadi tidak akan membuat jari kalian meledak|

Aku terbangun pagi sekali. Akibat jam weker yang diatur jam empat subuh dan mimpi tak jelas itu, aku berakhir mandi air es. Dingin sekali hingga menembus tulang dan persendian. Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan dinginnya air di subuh hari, hanya saja tubuh Naraya ini sungguh rapuh.

Tubuh gadis ini pendek, otot yang kecil, namun entah mengapa area dadanya sangat mendukung untuk bekerja sebagai model majalah dewasa. Rasanya sang penulis benar-benar ingin membuat karakter Naraya terlihat lemah namun tetap menggoda. Satu-satunya hal yang bagiku keren tentang Naraya hanyalah namanya.

Naraya Clandestine, aku tidak tahu apa arti dari kata Naraya, namun Clandestine rasanya benar-benar familiar. Clandestine digunakan dalam dunia intelijen sebagai pergerakan operasi rahasia. Di Indonesia, operasi clandestine atau klandestin cenderung berasal dari tiga instansi keamanan, Polri, TNI, dan BIN. Adapula yang merekrut rakyat sipil namun tidak bisa seenaknya direkrut begitu saja.

Rakyat sipil yang dipilih mengikuti operasi klandestin biasanya memang telah memiliki basis di dunia intelijen. Entah dia lulusan CPNS BIN atau lulusan STIN, bisa juga orang yang memiliki kelebihan di bidang akademik. Mereka bergerak secara diam-diam dibawah pengawasan BIN. Dari cerita yang kudengar, rakyat sipil yang direkrut untuk operasi klandestin umumnya diundang melalui perantara orang maupun surat resmi. Tentu saja hal itu hanya diketahui oleh target dan keluarga target. Adapula desas-desus yang mengatakan bahwa rakyat sipil direkrut melalui "penculikan"-yang tidak kupercayai karena pemimpin negara ini bukanlah lagi Soeharto ataupun Megawati, oopss ....

Helaan napas panjang lolos dari bibirku. Rasanya berat mengingat pekerjaan yang sudah kuimpi-impikan sejak lama malah membunuhku. Andai aku lebih memilih mendaftar catam atau CPNS pasti aku tidak akan terjebak ditubuh karakter fiksi tolol macam Naraya. Kenapa tidak masuk kedalam tubuh Hermione Granger atau Ginny Weasley saja? Aku lebih senang bisa mengurung Rita Skeeter kedalam toples atau mengutuk orang-orang menggunakan sihir dari pada terjebak didalam tubuh remaja bau kencur dan haus perhatian macam Naraya.

Aku memandang malas refleksi tubuh Naraya didepan cermin. Tubuh kecil gadis ini telah dilapisi oleh seragam OSIS berwarna putih abu-abu, tak lupa dasi abu-abu menggantung dileher. Tinggi dibawah 160 sentimeter, tangan kecil bagai tulang dilapisi kulit, dan raut wajah yang terlalu ramah ini pasti membuatnya sering diperalat. Cantik memang, tapi bisa apa?

Tidak ada sekolah kedinasan yang mau menerima fisik lemah Naraya ini. Ada sih beberapa, seperti PKN STAN yang sistemnya semimiliter mirip dengan universitas biasa. Tetapi menghitung dan mendata uang seumur hidup bukanlah passion-ku. Aku lebih suka mencari informasi dan memanipulasi data yang ada, sesekali menonjok wajah orang lain.

Ya kali menjadi budak korporat dengan waktu lembur panjang tanpa gaji tambahan, sesekali ditawari staycation oleh atasan dengan embel-embel naik jabatan padahal jadi pelacur untuk semalam. Tidak, terima kasih. Aku lebih baik menjadi kasir minimarket dari pada diganggu atasan hanya karena punya wajah cantik.

Naraya bukanlah diriku dan aku bukanlah Naraya. Walau pun aku terjebak didalam tubuhnya, aku tetap enggan mengakui diriku sebagai Naraya. Jujur, aku masih berharap segala hal yang telah terjadi hanyalah mimpi. Tidak masalah ketika terbangun nanti aku dinyatakan pengidap skizofrenia, aku ikhlas. Asal tidak dinyatakan mati, aku akan selalu ikhlas dan tidak akan pernah menyenggol masalah politik lagi.

Helaan napas kembali lepas yang kali ini terdengar lelah, tanganku bergerak merapikan kepala dasi yang tidak berbentuk segitiga sempurna. Sulit dipercaya jika peristiwa perpindahan jiwa yang kualami ini nyata. Tapi sudah sehari aku berada di dunia, namun tidak terlihat hilal diriku akan terbangun.

Haruskah ku ikhlaskan kehidupan lamaku?

"Ray, bangun!" Suara langkah kaki berdebum mendekati kamar yang kutempati. Pintu dibuka sedikit, tampak kepala Diana melongo dari sela-sela pintu. Ekspresi gadis itu tampak terkejut kala melihat diriku berdiri didepan kaca lemari sambil merapikan dasi. "Eh? Lu bangun awal lagi?"

"Emangnya salah?" jawabku berbasa-basi.

Diana menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya ... nggak, nggak salah. Cuman ... gimana ya? Udah seminggu terakhir ini lu bangun awal terus, padahal dulu nggak kayak gini," jelas gadis itu bingung.

Aku tak segera menjawab penjelasan gadis itu. Setelah merasa dasi telah terbentuk rapi, aku langsung meraih tas dan almamater biru kelasi kebanggaan SMA Paramitha, lalu menghampiri Diana. Diana masih berdiri didepan pintu sambil memandang diriku dengan mata menyipit-mirip dengan wajah Mona ketika ia sedang menginterogasi anak-anak yang mengaku sebagai taruna sekolah kami, padahal bukan.

"Gue ngerasa ...," tatapan gadis itu semakin tajam, menilaiku dari atas hingga bawah, "... lu bukan Naraya." Oh, dia tidak senaif yang kukira rupanya.

Kutunjukkan senyuman terbaikku padanya. "Anggap saja begitu," jawabku dengan kosakata formal yang membuat dahi Diana kian mengerut. Tanganku meraih helai rambut Diana yang keluar dari ikatannya, lalu menyelipkan rambut itu dibalik telinga. "Karena saya bukanlah Naraya Clandestine yang lemah dan baik hati lagi."

Benar, aku bukan Naraya Clandestine. Aku tidak akan pernah menjadi Naraya, sampai kapan pun itu.

Wajah Diana yang sebelumnya terlihat khawatir berubah menjadi lebih cerah. Gadis itu menunjukkan senyuman bangga. Barangkali mengira Naraya tengah mendeklarasikan dirinya sebagai pribadi yang baru, padahal bukan.

Gadis itu meraih tanganku. "Bagus! Setelah ini gue bakal bantu lo balas dendam ke Felicia," ucap Diana dengan menggebu-gebu.

Haahh ... aku heran. Mengapa hampir semua karakter novel fiksi remaja selalu berpikir untuk melakukan balas dendam? Balas dendamnya pun bersifat anarkis dan destruktif, bahkan ada yang merujuk ke tindakan kriminal. Balas dendam terbaik itu menjadikan dirimu lebih baik daripada pengganggumu. Kalau kamu membalas pengganggumu dengan cara merusak, apa bedanya kamu dengan dia?

"Sudahlah, Di. Lebih baik kita sarapan," kataku memotong ke-antusias-annya.

Sudah hampir seminggu aku berada di dunia Naraya. Selama seminggu itu pula aku melakukan banyak riset. Pada dasarnya, dunia ini adalah dunia yang sama dengan tempat tinggalku di masa lalu. Tanah yang kupijaki ini adalah Indonesia dan berada di planet Bumi.

Sejarah yang dimiliki negara ini sama dengan negara sebelumnya, yang berbeda hanyalah presiden ke-7 yang kita kenal tidak ada. Presiden yang memimpin saat ini bernama Ammar Danapati yang kerap kali dipanggil Pak Amad oleh netizen. Beliau presiden ke-7 dengan segudang talenta, mulai dari bidang bela diri, seni musik, akustik, dan jago stand up komedi. Tubuhnya agak gempal, namun tidak segemuk pejabat pada umumnya. Jika dilihat-lihat, beliau mirip dengan Menteri PUPR.

Perbedaan lain yang kutemukan adalah letak beberapa sekolah kedinasan dan kampus. Akademi Militer yang seharusnya berada di Magelang berpindah tempat di Yogyakarta, Universitas Gajah Mada juga berdomisili di Trowulan bukannya Yogyakarta. Begitupula dengan beberapa sekolah kedinasan dan kampus lain. Letak kampus atau sekolah kedinasan yang tidak berubah hanyalah Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Akademi Angkatan Udara, Akademi Kepolisian, dan lain-lain.

Mungkin karena penulisnya mengambil latar peristiwa di Indonesia, maka tempat kejadiannya juga sama. Huft, aku bersyukur tidak perlu mempelajari dunia ini dari awal karena diriku yang dulu juga tinggal di negara yang sama. Negara yang masih sulit menegakkan keadilan padahal telah mengalami perkembangan signifikan dari segala sisi. Lagi-lagi karena masalah uang dan popularitas. Jika dulu sering terdengar frasa, "kau kaya, kau aman", maka sekarang lebih sering terdengar, "kau viral, kau aman".

Rumah dimaling? Post saja di media sosial maka netizen akan membantumu mencari pelakunya, bahkan lebih akurat dari pada pihak kepolisian.

Menjadi korban pelecehan seksual atau KDRT para suami bejat? Langsung konfirmasi melalui Tw*tter, bos! Baru sehari viral, maka secara otomatis namamu menjadi klien prioritas didalam daftar kasus Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak.

Atau mengalami ketidakadilan dari salah satu anak pejabat yang manjanya na'udzubillah? Lagi-lagi laporkan saja di media sosial. Dijamin netizen dengan senang hati menghujat seluruh anggota keluarga pejabat itu hanya demi menyenangkan dirimu.

Anyway, sudah seminggu lewat yang berarti tinggal seminggu lagi ujian akhir semester dilaksanakan. Hari ini hari terakhirku bersekolah, karena selama seminggu kedepan seluruh ruang kelas akan digunakan oleh kelas 12 untuk Tes Sumatif Akhir. Seperti biasa, tidak ada hal menarik kecuali kemunculan Michaelangelo yang selalu mengganggu ketenanganku.

Dia selalu muncul di mana pun aku berada. Kelas, kantin, rooftop, bahkan toilet khusus siswi. Padahal sudah telah kulaporkan berulang kali ke kepala sekolah dan guru BK, entah mengapa dia masih bebal. Mentang-mentang orang tuanya punya relasi dengan ketua yayasan, dia seenak jidat memperlakukan orang-orang di sekolah ini bagaikan pembantu.

Dia baru jarang mengganggu saat aku melaporkannya ke ayah Diana yang merupakan bupati. Barulah dia jarang-jarang menggangguku. Jarang namun masih mengganggu.

"Woi, l*nte!"

Ah ... baru saja dibicarakan, dia sudah muncul saja.

Bola mataku spontan bergulir melirik bocah itu dari ujung mata. Hanya ada Michaelangelo seorang tengah berjalan kearahku dengan tampilan urak-urakan. Kemeja batik khas SMA Paramitha dikeluarkan dari celana, tak lupa rambut panjang mencuat sana-sini yang mengundang untuk dicukur habis. Jika di sekolahku dulu, mungkin orang ini sudah jadi bocin, botak licin.

Tercipta kerutan-kerutan kebingungan dijidat ku karena kedatangannya tidak disertai dengan rombongan bocah-bocah berbau tengik matahari. Aku buru-buru menutup buku yang kubaca dan melemparkan buku itu keatas meja, lalu berlari keluar dari perpustakaan. Sial! Aku baru saja membaca selama beberapa menit, malah diganggu dengan bocah kematian.

Suara hentakan sepatu bergema di sepanjang lorong. Aku terus berlari dengan kecepatan yang berada di antara pace 3 atau 2. Orang-orang yang berjalan santai di koridor langsung memepetkan diri ke dinding, sementara yang telah tertabrak tengah mengabsen penghuni kebun binatang.

Entah Michaelangelo mengejarku atau tidak tetapi yang pasti, aku tidak mau berdekatan dengannya. Bocah itu makhluk ber-kromosom XY dengan red flag terbesar yang pernah kuketahui. Sombong, mulut tidak bisa diatur, suka tawuran, sange-an, dan suka main tangan serta kriminal kelas kakap. Siapa pun yang menjadi jodohnya, aku sungguh berduka cita atas penderitaanmu ketika kalian berumah tangga nanti.

Kakiku terus mengayun, tak lupa memelankan langkah kaki dan berbelok ketika mendapati sebuah tikungan. Aku bahkan telah mencapai lantai lima karena terlalu lama berlari. Rasanya aku ingin pergi ke rooftop saja sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Walau pun kematianku karena jatuh dari ketinggian, tidak sedikitpun kurasakan ketakutan ketika berada di ketinggian. Daripada rasa takut, aku lebih sering merasakan sesak.

Sesak karena harus meninggalkan keluargaku. Sesak karena dikhianati teman seperjuanganku sendiri. Dan sesak karena dijebak oleh pria yang kucintai.

Langkahku berhenti tepat di depan tangga darurat menuju rooftop. Satu persatu anak tangga itu kupijaki hingga membawa diri ini ke puncak gedung. Sebuah pintu dari baja ringan menghalangi jalanku, persis dengan yang kulihat di masa lalu. Jika dulu aku ditemani oleh Mas Harfan, maka sekarang aku hanya seorang diri.

Tangan ini bergerak meraih pegangan pintu lalu membukanya perlahan. Penglihatanku rasanya bertabrakan dengan masa lalu. Setiap celah pintu mulai terbuka lebar, visi dibalik pintu ini selalu berganti antara suasana hangat di sore hari dan mendung di pagi hari. Seolah-olah peristiwa masa lalu berbentrokan dengan dunia tempatku berada. Ketika pintu terbuka lebar barulah penglihatan itu berhenti, sepenuhnya menunjukkan langit mendung yang tampak akan memuntahkan air.

Angin kencang menerjang wajahku. Menerbangkan rambut ke berbagai arah lalu belakang tatkala aku berjalan maju. Tungkaiku berhenti ketika sampai didekat pagar pembatas terbuat dari besi. Aku memejamkan mata, meresapi angin yang terus menampar wajah. Aku bersumpah jika diriku berada disini lebih lama, kemungkinan besar aku akan pulang dengan keadaan perut kembung.

Ada kalanya dimana aku menangis sendirian sambil meratapi nasib. Rasanya tak rela meninggalkan semua pencapaianku di masa lalu, tetapi sayangnya hidup harus terus berjalan. Mungkin saat ini adalah titik awal yang baik untuk memulai hidupku dari awal. Walau masih ada rasa tak ikhlas, aku harus tetap menjalankan hidup ini, bukan?

Segala macam rencana berseliweran di kepalaku. Masih ada satu tahun setengah sebelum lulus SMA, aku bisa mempersiapkan diri masuk sekolah kedinasan. Mungkin mulai memberi susu kalsium untuk menambahkan tinggi badan atau membina fisik tubuh Naraya yang lemah ini. Masih ada waktu dan aku tidak boleh menyia-nyiakannya.

Cukup lama aku memangku kepala diatas pagar. Langit bergemuruh, seolah-olah mendukungku untuk melanjutkan hidup. Tak lupa suara tapak sepatu terdengar dari arah tangga ikut memeriahkan suasana.

Tunggu!

Suara tapak sepatu?

Mataku sontak terbuka lebar-lebar. Langkah sepatu itu mendaki anak tangga semakin dekat dengan keberadaanku. Pemilik langkah itu tampaknya seorang laki-laki karena suaranya terdengar maskulin. Dari suara tapak sepatu yang seorang diri, ia tampaknya berbicara dengan seseorang ditelepon.

Buru-buru aku menyembunyikan diri dibalik tangki oranye besar yang berada disamping pintu rooftop. Bocah laki-laki itu tampaknya telah sampai di rooftop. Aku memelengkan kepala guna melihat siapa yang berada ditepi pagar tempatku berdiri tadi.

Hanya seorang bocah lelaki yang kukenali sebagai NPC di kelas. Seingatku namanya Keranu Narendra. Seorang bocah pendiam yang hanya berbicara seperlunya. Salah satu murid pintar namun tidak terlalu mencolok dan hanya menurut apa kata guru.

Untuk penampilan, sebenarnya dia terbilang bagus-bagus saja. Wajahnya tak setampan Michaelangelo, namun masih tergolong rupawan. Hanya saja ketidakmampuannya menata penampilan membuat ia terlihat biasa-biasa saja dimata para siswi. Padahal Keranu termasuk golongan siswa tinggi di kelas yang kutebak berada di kisaran 170 atau 172.

Dengan potongan rambut cepak nyaris, mana mungkin ada siswi yang akan terpancing. Paling-paling mereka hanya menyayangkan ketampanan Keranu yang tidak dikelola dengan baik dan memilih pria yang lebih menarik. Belum lagi kebiasaannya menggunakan jaket hoodie membuat Keranu terlihat seperti wibu bau bawang.

Kalau dipikir-pikir perawakan Keranu ini mirip dengan casis yang akan mengikuti tes seleksi tentara. Aku bisa memahaminya karena dari yang kudengar, ayah Keranu adalah tentara golongan bintara atas, mungkin pangkatnya pelda atau peltu. Atas didikan sang ayah, mungkin Keranu jadi terbiasa memiliki perawakan seperti tentara. Aku tidak akan heran jika di masa depan dia akan jadi tentara. Belum lagi posisi ayahnya yang cukup tinggi pasti akan memudahkan bocah itu untuk lolos seleksi.

"Iya, Din iya. Gue udah tahu, kok. Nggak perlu lo ingetin lagi," ujar Keranu entah pada siapa.

Anak laki-laki itu memangku wajah pada pagar dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menyangga telepon di sisi telinga. Adrenalinku seketika memuncak saat tak sengaja membayangkan ponsel laki-laki itu memiliki kemungkinan untuk jatuh dari ketinggian.

"Data Bu Desi udah gue kumpulin, kok. Tinggal dikirim ke Disdikbud aja, lo aja ya yang kirim, sore ini gue mau jogging sama bokap." Dahiku mengerut dalam.

Disdikbud? Data Bu Desi?

Well, aku kenal Bu Desi. Dia adalah guru yang memergokiku tidur di kelas pada hari pertama aku berada disini. Seperti ibu-ibu pada umumnya, Bu Desi terbilang cukup cerewet. Belum lagi posisinya sebagai waka kurikulum, cukup membuat ruang meluangkan kecerewetannya terhadap murid. Beberapa hari terakhir ini memang simpang siur berita Bu Desi menjualbelikan kunci jawaban Tes Sumatif Akhir kepada siswa kelas 12.

Keranu mendecak sebal. "Lo gak asik, Din. Gue beneran mau jogging sore ini, udah janjian sama bokap mau sekalian binsik." Keranu yang awalnya berpangku dagu langsung berubah berkacak pinggang. Pemuda itu seolah-olah tengah bernegosiasi dengan seseorang secara aktif.

"Velox et exactus!" Pemuda itu nyaris memekik kala menjawab orang di seberang sana. "Bukan mau nerima gaji buta, Din. Lo tahu 'kan bokap gue kayak gimana kalau gue gak nepatin janji? Yang ada digebukin gue."

Keranu membalikkan badan ketika merasakan bulir-bulir jatuh dari langit. Pemuda itu berjalan cepat menuju tangga masih dengan ponsel ditangan. Tampaknya, ia berhasil meluluhkan hati sang penelepon dan menjanjikan akan menemani sang penelepon melapor ke Kadisdikbud malam nanti.

Setelah merasa tidak terdengar suara sepatu lagi dari tangga, aku keluar dari persembunyianku dan terdiam di depan pintu tangga yang tertutup. Tidak ada sedikitpun niatan untuk membuka pintu itu, padahal seluruh tubuhku telah basah kuyup.

Kepalaku mendongak keatas guna memandang langit kelabu yang tengah memuntahkan air. Tepat diatas kepalaku, tercipta ukiran garis bercabang berwarna ungu seolah-olah tengah membelah langit. Hanya dalam hitungan detik ukiran itu menghilang dan meninggalkan amukan keras yang menggelegar.

Alih-alih takut tersambar petir, senyuman lebar malah terukir diwajahku. Sangat lebar seolah-olah aku berhasil mendapatkan maxwin dari bandar slot yang tengah gabut.

Ah, kawan-kawan. Sepertinya aku telah menemukan target hidupku selanjutnya. Dan akan kupastikan, kali ini diriku tidak akan mengacau lagi.

Allo guys, kita ketemu lagi. Cuman mau nyapa aja, sih sebenernya. Eh btw, kalau ada beberapa istilah yang kalian buat kalian bingung, bisa langsung ditanya di kolom komentarnya. Saya gak sempet bikin daftar pustaka soalnya.

*

Keranu Narendra

*

Kamis, 27 Juli 2023

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top