12. Bertemu kembali.

Dua minggu yang tidak ingin Meera lewati pun tiba. Zira menemuinya Bersama Zyan di kantor lalu mereka bersama-sama ke rumah sakit tempat biasa Meera memeriksakan kandungannya. Usia kandungan Meera yang sudah masuk minggu ke dua belas membuat Zira terlihat sangat bahagia. Meera tidak banyak berbicara, dia hanya menjawab apa yang Zira tanyakan.

Rasanya dia benar-benar ingin segera sampai di apartment- nya. Lalu Meera menatap wajah Zyan yang terlihat sangat serius melihat layar monitor dimana posisi letak bayi yang dia kandung dijelaskan oleh dokter. Pertama kali Meera melihat Zyan tersenyum karena penuturan dokter kandungan yang mengundang tawa. Meera kedapatan oleh Zyan sedang menatapnya lalu Meera segera mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Lagi-lagi Meera merasa tidak nyaman saat Zira memintanya untuk ikut ke rumah Dion dan tinggal beberapa hari disana bersama mereka. Meera merasa Zira sedang mencoba mendekatkannya dengan Zyan, dan Meera pikir itu percuma. Bukankah Pangeran itu sudah memiliki calon istri pilihan sendiri.

"Ibunda lega mendengar dari dokter kalau cucu ibunda ini baik-baik saja." Meera mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih ya Meera, kamu memberikan kebahagiaan buat saya dan Alvian." Meera merasa tidak enak, lalu pelukan hangat diberikan Zira untuknya. "Mulai sekarang jangan lagi sungkan ya, karena aku dan Alvian adalah orang tua mu." Zyan di sebelah Ibundanya hanya memperhatikan wajah Meera. Dia sebenarnya ingin melihat setiap ekspresi irit yang di tunjukkan oleh Meera.

"Kalau kamu butuh mengambil beberapa perlengkapan, kamu bisa pergi dengan Zyan mengambilnya." Meera menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa, aku juga ingin ke suatu tempat sebentar. Ayo aku antar," ujar Zyan dan Meera hanya mengangguk saja. Zira yang melihat pasangan itu, terlihat sangat bahagia.

"Zyan...jaga Meera baik-baik oke ? jangan sampai lecet," ujar Zira mengundang tawa Via dan Dion yang ada diruang tamu itu.

****

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, Meera tidak ingin bersuara sementara Zyan tidak tahu harus berbicara apa.

Hingga tiba di unit milik Meera wanita itu melihat satu buket dan mengambilnya untuk dibawa masuk, wanita itu membuka akses pintu dan mereka masuk bersama kedalam apartement tersebut. Ruangan yang rapi dan wangi menyambut Zyan. Saat Meera meninggalkannya di ruang tamu, dia melihat kartu nama dari si pengirim buket mawar merah yang Meera bawa masuk tadi lalu nama Bumi membuat Zyan menaikkan satu alisnya. Meera keluar dari dalam kamar melihat Zyan memasukkan satu tangannya kedalam kantong celana.

"Siapa Bumi ? apa pacar mu ?"

"Bukan urusamu !" jawab Meera datar.

Zyan menggelengkan kepala lalu tersenyum mendengar jawaban ketus Meera.

Mereka kembali menaiki mobil Zyan untuk pergi ke tempat yang Zyan katakan, dan ternyata itu adalah sebuah Mall di sekitar daerah tempat tinggal Meera.

"Aku mau ke perpustakaan, apa kau ingin kita makan dulu?"

"Terserah saja," jawab Meera lagi-lagi dengan nada datar yang membuat Zyan hanya menaikan bahu menanggapinya.

Zyan membawa tangan Meera untuk mengikutinya dan mereka duduk di sebuah restoran Jepang. Zyan memesankan beberapa menu dan Meera hanya diam menatap ponselnya.

"Meera maafkan perkataan ku waktu itu, aku hanya tidak bisa berpikir jernih."

"Tidak masalah."

"Pantas kau melakukan kencan buta, sifatmu membuat orang disekitarmu pasti merasa kesal. Bagaimana para pria tertarik denganmu, meski kau memilki wajah cantik." Meera menurunkan ponselnya dan menatap mata Zyan dalam.

"Sudah komentarnya ?!"

Zyan mengangguk dan tersenyum miring. "Terima kasih," ujar Meera singkat.

Makanan mereka pun datang, Zyan sudah bersiap menyantap namun Meera terlihat menutup mulutnya. "Aku ke toilet sebentar," kata Meera lalu buru-buru berdiri.

Zyan mengikuti Meera dari belakang dan melihat Meera memuntahkan isi perutnya ke washtafell. Zyan memegangi untaian rambut Meera lalu bergegas mengambilkan air mineral yang tadi dia pesan.

"Kita kembali ke apartement mu saja," kata Zyan dan Meera mengangguk karena memang merasa sangat mual.

Zyan membawa Meera kembali ke apartementnya lalu Meera kembali muntah-muntah di dalam kamar mandi. Zyan membantu Meera, dan karena kasihan dengan Meera yang jalan terhuyung Zyan menggendong Meera ketempat tidur wanita itu.

"Aku bisa berjalan sendiri," kata Meera ingin turun dari gendongan Zyan.

"Jangan keras kepala, jika kau jatuh dan terjadi sesuatu aku akan menyesalinya seumur hidup. Begitu juga dengan keluarga ku. Kau tidak tahu mereka sangat mengharapkan anak ini."

Meera lalu bungkam, Zyan keluar dari kamarnya dan duduk di sofa bed. Sepertinya Zyan menelpon Zira untuk memberitahu keadaan Meera.

Meera memutuskan menutup mata, namun samar-samar dia masih bisa mendengar kalau Zyan menelpon Melisa.

Tbc...

Komentarnya aku tunggu ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top