Book I: Vapor - Chapter 2
2. Menjadi Orang Asing.
Senyum merekah tak dapat terelakkan dari wajah yang lebih dominan dengan warna merah muda miliknya itu.
Gadis itu, Cantika, berjalan dengan degup jantung yang berpacu dan berbahagia menuju sahabatnya yang kini menatapnya dengan tatapan tak percaya. Zanufa biasanya akan mendapatkan keluhan kala Cantika kembali atau sekedar ekspresi sedihnya, tetapi sepertinya tidak untuk hari ini.
"Kenapa, Tik?" tanya Zanufa kala dia sudah mendekat, menatap dengan seksama sahabatnya kini.
Alih-alih menjawab atau menjelaskan, Cantika malah langsung menarik tangan Zanufa untuk segera menuju ke kantin.
"Gue traktir!" paparnya membuat Zanufa membelalakkan matanya dengan senang.
"Ada yang lagi happy nih," cibir Zanufa. Jelas sedang meledek.
Sepanjang perjalanan menuju kantin hingga sampai di kantin, tak luput satu detikpun ekspresi bahagia yang dipancarkan oleh Cantika. Tak memerdulikan walau banyak sekali tatapan yang menghujatnya dengan aneh.
Zanufa sempat meredupkan matanya tanda gondok karena ternyata Vano hanya mengatakan satu kalimat sambung yang berbunyi makasih ya, tetapi sudah mampu membuat Cantika senangnya kelimpungan seperti ini. Ia jadi tak dapat membayangkan bagaimana ekspresi Cantika kalau misalkan Vano tersenyum kepadanya atau balik memberikan kotak makanannya. Pipi Cantika bisa-bisa naik hingga atas dan menutupi matanya dengan sempurna karena melulu tersenyum.
"Pesen apa, Zan?"
Zanufa terlihat menimang-nimang sebentar.
"Bakso deh, biasa."
Cantika kemudian berlalu, dan seperti biasa memesan bakso ala-ala mereka, Zanufa pun duduk menempati tempat untuk mereka makan nanti sementara Cantika memesan.
Namun ada yang berhasil menarik perhatian Zanufa kala Cantika memesan. Segerombolan cowok-cowok ganteng sedang berjalan menuju meja langganan mereka yang berada tepat di pojok kantin. Mata Zanufa mengamatinya baik-baik. Seorang cowok yang di hapalnya dengan persis karena setiap hari selalu saja diceritakan oleh sahabatnya.
Itu kak Vano kan ya? Eh kotak makan Cantika itu. Batin Zanufa yang mengamati.
Seulas senyum lantas mengembang di wajahnya. Apalagi saat cowok itu terang-terangan merebut kembali kotak makan berisi rainbow cheese cake pemberian Cantika dari tangan teman-temannya yang jahil.
"Gak ah kali ini gaada yang boleh mintaaa!"
Vano memekik, berhasil terdengar di seluruh penghuni kantin yang sedang makan. Namun sepertinya tidak sampai ke para penjual karena Cantika tidak lari ke tempat Zanufa dan ber-fangirl-ria karena Vano tengah melarang habis-habisan temannya untuk tidak memakan kue pemberian Cantika.
Zanufa sekiranya shock kala mendengar cowok itu berteriak, namun ia hanya menahan gelak tawanya sendiri.
"Cantika gaboleh tau, bisa-bisa itu pipi pindah ke mata gara-gara senyum melulu," gumam Zanufa kepada dirinya sendiri.
Tak lama, Cantika pun menghampiri Zanufa dengan dua mangkuk bakso di atas nampan yang di bawanya beserta dua gelas es teh manis. Masih dengan senyum yang mengembang.
Kebayang gak kalo gue ngasih tau yang tadi..
Cantika duduk di hadapan Zanufa, membelakangi Vano dan teman-temannya sehingga setidaknya itu dapat membuat Zanufa sedikit bersyukur.
Ponsel Zanufa bergetar di dalam sakunya. Membuat Cantika menatapnya kala ia sedang mengangkat panggilan pada ponselnya itu.
"Halo, Pah?"
"Ini Zanufa lagi makan, Pah. Sama Cantika."
"Hah!? I-iya Pah. Oke-oke."
Melihat perubahan yang begitu signifikan pada wajah Zanufa, Cantika menatapnya dalam-dalam.
"Kenapa, Zan?" tanya Cantika, takut sesuatu yang buruk terjadi.
Zanufa menggigit bibirnya sebentar kemudian menyeruput es nya.
"Oma gue masuk rumah sakit, Tik." Zanufa menjawab masih dengan ekspresi cemas miliknya. Sementara Cantika membelalakkan matanya.
"Kok bisa?"
Zanufa menggeleng tanda bahwa ia juga tak mengetahui apa alasan pasti penyebab Oma-nya itu dilarikan ke rumah sakit. "Gue disuruh makan dulu sama bokap gue takut di sana nggak sempet, abis jam istirahat bokap gue mau jemput."
• • •
Cantika membereskan buku-bukunya dengan gerakkan cepat seperti biasa dan memasukkannya ke dalam tas. Zanufa izin tepat setelah istirahat tadi kala Papanya sudah datang menjemput, dan sekarang Cantika sendiri di dalam kelas karena teman-temannya langsung berhambur keluar begitu jam pelajaran selesai menandakan waktunya pulang. Biasanya Zanufa akan menemani untuk sekedar bercerita sedikit, tetapi hari ini Cantika harus sendiri.
Tak lama, ponsel Cantika bergetar tanda ada chat dari Line yang masuk.
Tumben ngeline? Biasanya sms. Pulsa abis apa gimana? batin Cantika kala meraih ponselnya dan melihat notifikasi masuk, memberitahu bahwa ada pesan dari kakaknya, Claudio.
Claudio Adrian: WOY NGEHE BURUAN!!!! INI GUE DI KERUBUTIN DI DEPAN. TOLONGIN!!!!!!!!
Cantika tak dapat menahan gelak tawanya kala membaca pesan dari kakaknya itu, di tambah lagi karena capslock yang menyala dan juga tanda serunya yang berlebihan.
Cantika Adriana: Selow napa bang capslock sama tanda serunya wkwk
Cantika Adriana: Emangnya lo gak malu karena ternyata gue ini adek lo? WKWK
Claudio Adrian: Ngomong apasih lo. Udah sini buruan.
Cantika Adriana: Ogah ah. Siapa suruh nekat ke depan sekolah. Ke belokan dulu sana baru gue keluar sekolah.
Claudio Adrian: Ye si anying. Gue kan niatnya mau liat sekolahan dulu.
Claudio Adrian: Yaudah gue ke belokan ya. Cepetan. Ini mobil gue lecet dah di garuk-garuk fakuy.
Cantika terkekeh begitu membaca pesan balasan dari kakaknya itu. Baru pertama ingin pindah kesini saja sudah menjadi kerumunan, bagaimana seterusnya nanti? Cantika tidak dapat membayangkannya.
Namun ada satu yang ingin ia katakan kepada kakaknya sebelum semuanya terlambat dan malah mencemarkan nama baik keluarganya.
Cantika cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menggunakan tasnya. Namun matanya sontak terbelalak dan langkah terburu-burunya 'pun langsung terhenti kala melihat sesuatu yang begitu menyilaukan matanya bagai permata di depan kelas. Supernova sungguhan.
Vano tengah berdiri di depan kelasnya lengkap dengan tasnya dan kedua tangan yang di masukkan ke dalam kantung celana abu-abu miliknya.
Degup jantung Cantika menjadi semakin berpacu tak karuan. Matanya berkedip selama beberapa kali. Ia tidak tahu harus melakukan apa sementara hanya untuk sekedar menggerakkan kakinya saja terasa begitu sulit baginya.
Vano maju selangkah, namun kini tubuh Cantika dapat bergerak karena dia juga langsung memundurkan tubuhnya, satu langkah juga.
Alis Vano bertaut, menatap Cantika yang sekiranya berubah pucat pasi. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah Cantika sehingga gadis berambut panjang yang selalu di kuncir itu mengedipkan matanya beberapa kali, dan melepas kacamata yang ia kenakan seolah tersadar dari alam bawah sadarnya.
"Gue bukan setan kali," tutur Vano sementara Cantika menggeleng cepat seolah memberitahu kalau ia tak berfikir seperti itu sebelumnya. Hendak bicara pun rasanya susah sekali, ia ngeri kalau suaranya akan bergetar atau bahkan mencicit seperti binatang pengerat.
Biasanya Cantika tidak pernah segugup ini, bahkan saat dia tengah memberikan Vano makanan sekalipun. Masalahnya adalah saat Cantika melihat ke belakang tubuh Vano, luar kelas yang menghamparkan seluruh koridor lantai tiga, itu sudah sangat sepi. Dan suatu ke tidak mungkinan lagi kalau Vano menghampirinya seperti ini, apalagi sampai nekat ke kelasnya.
"Dari tadi gue nunggu di depan TU tapi lo gak turun-turun buat absen. Gue tanya anak sekelas lo aja, eh katanya lo masih di kelas." Vano seolah menjelaskan kenapa ia berada disini dan menjawab pikiran Cantika. Kepala Cantika menunduk, melihat sepatu yang di kenakan Vano menapak di lantai. Ini beneran Revano kan?
"Et ini gue ngomong di kacangin." Vano berdecak, dan Cantika benar-benar tidak tahu apa yang harus di katakan olehnya sementara detak jantungnya saja sudah tak karuan.
"E-eh.. kak Vano ke-kenapa.." Cantika tak bisa menyelesaikan kata-katanya sendiri.
Vano memajukan langkahnya dengan alis yang bertaut. Memegang dahi Cantika, dan jantung Cantika rasanya mau meledak seperti jantung milik Do Min-Jun di drama favoritnya saat ia mencium Cheon Song-Yi.
"Kenapa apanya? Elo yang kenapa....."
Cantika menggeleng cepat saat Vano sudah menarik tangannya dan mundur kembali. "Maksud aku, ehm. Kak Vano. Anu, kenapa nyariin aku?"
Akhirnya mulut Cantika berhasil mengeluarkan kata-kata setelah sekian lama tertahan di kerongkongannya.
"Oh itu." Vano mengacak-ngacak poninya sendiri dan membuat Cantika meneguk saliva sementara melihat pemandangan di hadapannya kini.
"Gue mau bilang makasih sama maaf soal beberapa hari lalu itu. And, kotak bekel lo gue balikin nanti ya kalo udah di cuci. And.... kuenya enak, itu kesukaan gue."
Cantika mengedipkan matanya beberapa kali karena masih tak percaya. Tak menyangka bahwa ia akan berbicara dengan pujaannya. Bertatapan, hanya berdua. Dan lagi ini adalah percakapan terpanjang mereka. Maksudnya adalah kali pertama bagi Cantika untuk berbicara seperti ini dengan Vano.
"Eh? I-iya kak santai aja. Ehm, bagus deh kalo itu kesukaan kakak. Aku suka bingung mau ngasih apa," jujur Cantika, menundukkan kepalanya karena malu. Ia juga tak percaya diri untuk menatap Vano lama-lama karena ia takut Vano ilfeel dengannya. Tangannya menggaruk tengkuknya yang bahkan tidak gatal sama sekali.
"Lain kali gausah repot-repot ya. Gue ga enak sama lo juga. Udah gitu keseringan makanan dari lo itu temen-temen gue yang ngabisin," kata Vano. Dan, di detik itu juga jantung Cantika bagaikan berhenti berdetak.
Cantika berfikir bahwa itu tandanya jelas bahwa Vano memintanya untuk tak lagi mengganggu dengan memberikannya makanan karena percuma, toh ia tak akan makan dan lebih memilih untuk memberikannya kepada teman-temannya dibanding ia harus memakan makanan dari cewek semacam Cantika.
Jujur karena selama ini yang mengembalikan kotak bekal Cantika saat pulang adalah teman-teman Vano. Dan Cantika sudah bagaikan di langit ketujuh kala Vano yang akan mengembalikkannya dan bahkan menemuinya. Tetapi ternyata ia salah karena pada kenyataannya yang Vano inginkan adalah agar dirinya untuk segera menyingkir dari kehidupan sempurnanya.
Cantika merasa bodoh dengan perasaannya sendiri. Ia berharap terlalu banyak sehingga tak sadar siapa dirinya sendiri dan sosoknya.
Sebelum pertahanannya roboh, menangis dan tubuhnya berubah menjadi abu, ada yang perlu Cantika lakukan; pergi dari hadapan Vano sekarang juga.
"Ehm, kak aku duluan ya. Udah di jemput," kata Cantika, bahkan enggan untuk menjawab pernyataan dari Vano tadi, tak mau pertahanannya runtuh disini.
Ia melangkahkan kaki panjangnya yang berbalut rok abu-abu dengan langkah cepat sembari tangan kanannya menarik sedikit roknya agar tak menghalangi langkah cepatnya. Berjalan melewati Vano yang terpaku dan berjalan menyusuri koridor.
Saat ia di tangga hendak turun ke bawah, ponsel di sakunya bergetar.
Claudio.
"Halo?" jawab Cantika saat ponsel sudah di telinga sebelah kirinya.
"Dimana lo? Buru! Ntar keburu pada kesini," pekik Claudio di seberang sana. Cantika melangkah di anak tangga terakhir dan segera berlari menuju depan TU. Tangannya menyibak air mata yang tiba-tiba saja menetes tanpa di suruh.
"Bawel. Lagi mau absen."
Mematikan panggilan secara sepihak, Cantika memasukkan lagi ponselnya dan meletakkan jari telunjuknya di mesin absen. Rasanya ia ingin menyemburkan semua amarahnya kepada Claudio.
Saat sampai di depan gerbang, ia melihat segerombolan cewek-cewek yang tengah berkumpul dengan masing-masing ponsel di tangannya.
"Dia satu SMP sama gue. Biasa aja tuh."
Suara yang sekiranya pernah Cantika dengar itu bersuara. Ia menoleh dan mendapati satu-satunya cewek yang terlihat tidak begitu tertarik tengah memutar bola matanya dengan gerakkan malas.
"Lah itukan Catalia? Mantannya abang?" batin Cantika. Ia hanya menaikkan bahunya dan melanjutkan berjalan menuju belokkan yang berjarak lumayan jauh.
Yaiyalah biasa aja, lo udah putus.
Cantika langsung masuk kedalam mobil kala melihat mobil kakaknya terparkir asal.
"Anjing, gue kirain siapa main masuk-masuk aja," celetuk Claudio yang tengah memainkan ponselnya, kaget karena tiba-tiba saja Cantika masuk dan duduk di kursi penumpang.
"Bawel lu ah," balas Cantika yang sepertinya masih kesal. Bukan, ia sebenarnya bukan kesal, melainkan ia tengah bersedih dan lebih memilih untuk menutupi kesedihannya itu dengan marah-marah di banding memasang wajah sedihnya. Ia akan kalah telak dengan kemampuan berakting kakaknya, dan oleh karena itu Claudio pasti akan langsung tau kalau dia sedih.
"PMS lu yak." Claudio menggerutu kelakuan galak adiknya yang tiba-tiba, dan mulai melajukan mobilnya.
Perjalanan berlangsung cukup hening, membuat Claudio agaknya kurang nyaman dengan keadaan seperti ini. Tetapi ia tak ingin mengganggu adiknya yang moodnya sedang benar-benar hancur. Ia sebenarnya tahu kalau Cantika tengah menyembunyikan sesuatu, tapi ia enggan bertanya sampai keadaan setidaknya menjadi lebih baik walau sedikit.
Baru saja tangannya hendak menyalahkan radio, tangan Cantika langsung menghentikan kegiatannya.
"Bang," panggilnya seolah mencegah. Claudio menarik kembali tangannya dan fokus menyetir lagi.
"Hm?"
Cantika menatap Claudio yang fokus menyetir, memerhatikannya lekat-lekat.
"Mau janji sama gue gak?" Cantika bertanya tepat sekali sedang lampu merah sehingga Claudio berhenti dan menatapnya.
"Janji apa?" tanya Claudio.
"Gue nggak mau bikin lo malu. Mama sama Papa juga."
Perkataan Cantika tak dapat Claudio langsung pahami. Terbukti dengan dahinya yang mengkerut.
"Gimana maksudnya?"
"Gue jelek gini. Lo cakep apalagi Mama. Papa juga kan ganteng. Kayak anak pungut gue. Gue gamau buat kalian malu dengan ngakuin gue sebagai anggota keluarga kalian." Cantika menundukkan kepalanya. Mata Claudio terbelalak mendengar ucapan adiknya itu.
"Ngomong apaansih lo!? Nggak lah! Lo tetep adek gue, tetep anaknya Mama, sama tetep anaknya Papa!" tukas Claudio yang tak terima dengan ucapannya.
"Gue mohon sekali aja, Bang. Di sekolah kita pura-pura gak kenal aja."
Dan dunia Claudio seakan berhenti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top