Book I: Vapor - Chapter 1

BUKU SATU
• HEMBUSAN •

1. Kali Pertama.

Hujan.

Adalah hal yang paling tidak disukai oleh hampir seluruh orang terlebih lagi yang tinggal di Ibukota Jakarta. Salah satu alasannya adalah karena menghambat pergerakkan yang disebabkan oleh air-air itu, walaupun sadar kalau tanpa hujan mereka tak akan bisa hidup karena keringnya air.

Kali ini hujan mengguyur kota administrasi Jakarta Selatan, entah terjadi pula di kota lain atau tidak, intinya disinilah sekarang Cantika berdiri, di depan gerbang sekolahannya yang masih tertutup bagian atapnya untuk menghindari rintik hujan yang cukup deras dari langit.

Sekolah mulai sepi karena ini sudah menginjak pukul empat sore, ditambah lagi orang tua yang khawatir pun langsung menjemput anak-anaknya.

Begitu juga dengan Zanufa yang sudah pamit di awal tadi karena Ayahnya datang menjemput. Cantika menolak secara halus kala di tawari menebeng di mobil ayah Zanufa sampai rumah agar tak terlalu sore sampai di rumah, tetapi Cantika bilang tidak apa-apa karena ia ada yang menjemput setelah ini.

Namun, pada nyatanya sama sekali tidak ada yang menjemput Cantika. Yang Cantika lakukan disini hanyalah menunggu sampai hujan menjadi sedikit reda dan ia akan berjalan ke depan komplek untuk naik ojek sampai rumah, seperti yang biasa dia lakukan kala pulang sekolah.

Orang tuanya bahkan terlalu sibuk hingga tak dapat menjemputnya. Paling-paling hanya di antar karena sama-sama berangkat kelampau pagi.

Cantika juga hanya memiliki satu saudara, kakaknya itu laki-laki, satu tahun diatas Cantika dan berbeda sekolah pula, jarak sekolahnya pun cukup jauh sehingga Cantika tak mau merepotkan untuk meminta kepada kakaknya agar di jemput. Belum lagi kakaknya yang memiliki jadwal padat sepulang sekolah.

Pandangan kosong Cantika yang sedaritadi menerawang kini teralihkan kala dirasa ponsel disakunya bergetar.

"Halo?"

Cantika main asal menjawab tanpa melihat si penelpon terlebih dahulu.

"Dimana dek?"

Rupanya itu Claudio, kakak laki-laki Cantika.

Perempuan yang tampangnya sudah mulai sedikit pucat karena kedinginan itupun berfikir dua kali sebelum menjawab, agak bimbang antara menjawab jujur atau tidak.

"Di sekolah, bang." Dan akhirnya pilihan jatuh ke pihak jujur, sehingga ia mengatakan kebenarannya. Aktingnya sangat buruk di depan Claudio dan pasti dengan segera Claudio akan sadar walau hanya berhubungan lewat telepon sekalipun.

"Disitu aja ya, abang jemput."

"Gausa—"

Tut tut.

Baru saja Cantika hendak menjawab, namun panggilan sudah terputus. Lebih tepatnya di putuskan oleh sebelah pihak: Claudio.

"Yang namanya Claudio Adrian itu emang paling semena-mena deh ya," gerutu Cantika, memasukkan ponselnya kedalam seragam putih-putih miliknya.

Byur!

"Ffffffffuckhhh!" geram Cantika kala baru saja ada mobil yang lewat dan menyipratkan cairan-cairan kotor akibat air hujan yang bercampur dengan tanah atau apapun yang bersentuhan dibawah ke arah seragamnya. Dan jadilah dirinya sekarang yang begitu lengkap kehancurannya. Tak hanya di muka namun hingga ke pakaiannya pun turut hancur.

Tak jauh dari posisi si gadis menyedihkan, mobil itu berhenti dan mundur kembali hingga berada tepat di hadapannya. Dan sontak kaca mobil pun terbuka, menampilkan sosok cantik yang duduk di kursi kemudi, dan yang lainnya di kursi penumpang serta merta yang di belakang.

"Hai, Cantik."

Yang duduk di kursi kemudi angkat bicara dengan nada mencemooh. Cantika menghela nafasnya panjang. Perempuan itu adalah kakak kelas Cantika--Terre namanya--dan semua yang berada di dalam mobil sana. Anak-anak eksis karena tampang mereka dan anak dari orang kaya yang hobby menghamburkan uang milik orang tua. Jangan lupakan satu fakta kalau mereka semua itu anak ekskul cheers.

"Kenapa kak?" tanya Cantika dengan nada ogah-ogahan.

Dia sama sekali tidak perduli dengan kakak kelas semacam mereka itu, tapi hanya satu yang ia takuti yaitu di permalukan di depan umum. Sudah cukup satu kali saja Terre menyelengkat kakinya saat tengah berjalan menuju kantin, dan tepat saat itu juga Vano lewat dan sepertinya dugaan Cantika bahwa cowok yang ditaksirnya itu menyaksikan semuanya adalah benar. Karena Terre sama sekali tidak suka kalau ada yang mengganggu atau mendekati Vano, barang sedikitpun. Cantika bingung kenapa harus seperti itu, setau Cantika mereka bukan pacar atau apapun, dan lagi kenapa harus takut kalau Cantika yang mendekati? Toh ia tak ada apa-apanya.

"Ow, galak sekali. Aku takuuttt," ledek cewek yang duduk di kursi penumpang, rambut kemerahannya menyala-nyala. Tiara namanya.

"Bajunya abis ini di cuci sendiri ya dek? Kasian gak mampu laundry."

Ingin sekali ia menjambak mulut Terre yang baru saja berkata dengan semena-mena. Rasanya ia ingin menangis kala mengingat dirinya bahkan tak dapat berkutik sedikitpun. Cantika mendengus kesal kala mereka hendak berjalan melajukan lagi mobilnya, namun kembali berhenti. Itu semua membuat Cantika merasa was-was, takut kalau mereka berbuat yang aneh-aneh lagi.

Tangan Cantika sesekali menggesuh kotoran yang menempel pada roknya, walau ia yakin tak akan berpengaruh tetapi ia tetap mencoba. Sampai ia sadar kalau mobil milik Terre tetap pada posisinya dan tak bergerak.

Mogok? Yakali, hahahaha.

Pikiran Cantika baru saja menghayal yang tidak-tidak kala tiba-tiba saja Claudio muncul dan menarik tangannya, berjalan melewati mobil Terre dan menuju belokkan dimana mobilnya terparkir.

"Loh kak cepet banget?" Cantika bertanya kala mereka sudah di dalam mobil. Claudio hanya memutar bola matanya, tak menjawab. Di detik berikutnya Claudio sadar akan seragam adiknya yang begitu kotor.

"Mereka yang ngelakuin ini?" tanya Claudio, menatap dengan seksama adik satu-satunya ini dan masih belum menjalankan mobilnya. Tatapan tajam milik Claudio membuat Cantika salah tingkah dan takut kalau ia menjawab bohong.

Ia menggigit bibir bawahnya.

"Ditanya tuh ya di jawab." Tatapan mengintimidasi lagi-lagi di jatuhkan kepada Cantika yang kini menundukkan kepalanya.

Claudio mendengus kala sadar bahwa adiknya ini sama sekali tak menjawab pertanyaannya. Alih-alih menjalankan mobilnya dan membuat perasaan Cantika sedikit lega karena tak lagi di hujat tatapan mematikan dari kakaknya itu, Claudio malah angkat suara lagi kali ini.

"Gue bilang bokap aja kalo gitu. Pengen pindah ke sekolah lo."

Dan dunia Cantika seakan berhenti saat ini juga.

• • •

Senang rasanya walau hanya sekedar sarapan pagi bersama di meja makan. Karena hanya inilah yang dapat di lakukan keluarga Cantika. Papa dan Mamanya yang sibuk bekerja dan Claudio yang memiliki sejuta jadwal setiap harinya.

"Boleh kan Mah, Pah?" ulang Claudio atas pertanyaan yang sebelumnya sudah ia ajukan. Mengenai dirinya yang hendak pindah sekolah agar dapat bersekolah di tempat yang sama dengan adiknya.

"Tapi mama gaada waktu buat ngurusin pindahan kamu, Dio," jawab Juliana--Mamanya yang baru saja menyeduh secangkir kopi untuk Adrian, suami tercintanya.

"Gapapa kok Mah, Dio bisa urusin sendiri." Claudio tersenyum menenangkan kepada kedua orang tuanya.

Sementara Cantika masih terdiam di tempatnya. Ia tidak menyangka kalau kakaknya akan seperti ini, maksudnya, sampai rela untuk berpindah sekolah. Serius, ia tak pernah dapat membayangkan apa yang terjadi kalau kakaknya sampai benar-benar sekolah ditempatnya. Apa yang akan terjadi kedepannya, dan bagaimana nasib Cantika?

Claudio adalah kakak yang menyenangkan, juga baik hati. Cantika merasa selalu saja terlindungi kalau berada dekat-dekat dengan Claudio, walau sebenarnya dia juga bisa melindungi diri sendiri.

"Urusan biaya atau apapun kamu telpon Papa aja ya," ujar Adrian yang sedaritadi tak angkat bicara, menyeruput kopi buatan istrinya sembari menatap anak pertamanya.

Claudio menggeleng cepat, "Nggak usah Pah, uang Dio sendiri juga masih banyak sisa kok."

Jawaban putranya tentu saja menenangkan relung hati Adrian maupun Juliana. Namun, Adrian tetap tidak akan menghilangkan soal kewajibannya sebagai orang tua yang seharusnya membiayai sekolah anaknya.

"Simpen aja uang kamu."

Setelah selesai sarapan, Cantika pun berangkat sekolah, namun kali ini ia diantar oleh Juliana, sementara Adrian ada meeting dengan kliennya dan harus langsung berangkat. Ia juga tak mungkin berangkat bersama Claudio karena sekolah mereka yang berlawanan arah dan tentu saja itu akan membuat Claudio datang terlambat nantinya.

Ada hal yang mengganjal pikiran Juliana setiap kali mengantar anak perempuannya ini ke sekolah, karena ia akan selalu meminta di turunkan di belokkan sekolah, bukan di depan gerbang sekolah seperti yang anak-anak dan orang tua lain lakukan. Namun Juliana tak bertanya mengingat sifat tertutup anaknya yang sudah pasti tak akan bercerita kepadanya.

"Dah, Mah," pamit Cantika setelah menyalimi Mamanya. Baru saja ia hendak turun dari mobil sampai tiba-tiba panggilan Juliana menghentikannya.

"Kenapa, Mah?"

"Kalo ada apa-apa cerita sama Mama ya." Perkataan Juliana membuat Cantika tersenyum manis dan mengangguk, sebelum akhirnya benar-benar keluar dari mobil.

Paras cantik alami milik Juliana mungkin akan membuat orang-orang tak memercayai suatu fakta bahwa Cantika adalah anak kandungnya.

Cantika masuk kedalam sekolahnya dan berjalan menyusuri koridor, menuju depan ruang tata usaha untuk absen dengan menempelkan jari telunjuknya pada finger print.

"Cantik!"

Cantika sontak menoleh ke belakang dan mendapati Zanufa yang baru saja masuk, ia terdiam di tempatnya sementara menunggu temannya itu untuk menghampiri.

Setelah Zanufa absen, mereka'pun berjalan bersama menyusuri koridor dan menaiki tangga, menuju kelas mereka yang berada di lantai tiga.

Zanufa adalah cewek yang cukup cantik, dan itu membuat Cantika sedikit risih kala berada di dekatnya. Ia bahkan sempat bertanya kepada Zanufa: apakah ia malu kalau berteman dengan Cantika, namun Zanufa dengan lantang membalas tidak, karena ia nyaman bersama Cantika dan tak pernah memerdulikan perkataan orang lain mengenai pertemanannya bersama Cantika.

Cantika tentu sangat senang dengan jawaban yang diberikan Zanufa, dan karena itu jugalah mereka bersama hingga sekarang.

"Zan, nanti istirahat tungguin gue di tempat biasa ya?" pinta Cantika. Zanufa terlihat menimang-nimang jawabannya sesaat.

"Lo yakin?" tanya Zanufa seolah sudah tau apa yang akan Cantika lakukan.

"Yakin banget," jawab Cantika sembari menampilkan senyumannya. Zanufa balas tersenyum melihat semangat Cantika yang tak pernah pudar.

Tak lama, guru mata pelajaran pertama pun masuk, dan itu tandanya neraka akan segera dimulai karena pelajaran pertama hari ini adalah Matematika.

Mata Cantika tak luput kala memerhatikan Bu Bertha yang tengah menjelaskan, walaupun ia tidak mengerti, tetap saja ia mengangguk kala ditanya. Karena ia baru akan mengerti setelah memahaminya sendiri di rumah.

"Lo ngerti?" tanya Zanufa kepada Cantika yang duduk di sampingnya kala bell tanda istirahat berbunyi.

Cantika menggeleng cepat. "Enggak," jawabnya disertai cengiran kuda andalannya kala ia tidak mengerti pelajaran.

"Se ga ngerti ga ngertinya lo, masih bisa ngerti juga ntar. Lah gue, mana pernah ngerti," gerutu Zanufa membuat Cantika tertawa.

Kemudian ponsel Cantika yang berada di kolong meja selama jam pelajaran itu bergetar. Tangannya meraih ponsel dan membuka pesan yang masuk.

Claudio Gentenk:
Gue udah ngurus pindahan dong. Ntar gue jemput yah, sekalian ngeliat sekolah baru. Besok gue kan udah ngurusin surat pindah ke sekolah lo. Haha see ya my sista.

Cantika meneguk saliva dengan berat kala membaca pesan dari kakaknya. Membuat Zanufa kini menautkan alisnya kala melihat perubahan ekspresi pada wajah Cantika.

"Dari siapa Tik?"

"Abang gue," jawab Cantika. Di detik berikutnya ia bangkit dan sudah mengambil kotak bekal dari dalam tasnya. Zanufa pun tak menanyakan lebih lanjut seputar kakaknya itu.

"Ayo Zan," ajak Cantika dengan senyum merekah di wajahnya. Zanufa ikut tersenyum karena senang juga kalau temannya bahagia.

"Ngasih apa kali ini?" tanya Zanufa saat mereka sudah keluar dari kelas.

"Raibow cheessseeeeeee cake." Cantika menjawab dengan sumringah dan Zanufa terkekeh pelan.

Saat sudah sampai di depan perpustakaan, Zanufa duduk di kursi panjang tempat biasa ia duduk. Alih-alih meminta di doakan agar berhasil, Cantika berjalan menuju pinggir lapangan. Dimana terdapat Vano yang tengah duduk sendiri di samping kolam sementara teman-temannya bermain futsal.

Ekspresi bahagia dan ledak tawa dari Vano yang sangat jarang Cantika lihat kali ini tengah menjadi pemandangan yang sangat indah dimata Cantika dan enggan ia lewati sedetikpun. Namun ekspresi Vano berubah kala mendapati tubuh Cantika yang berdiri tak jauh dari posisinya dengan memeluk kotak makanan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Cantika tanpa ragu berjalan menghampiri dan menyodorkan kotak itu kepada Vano.

"Raibow cheese cake, semoga kakak suka ya," kata Cantika dengan tangannya yang terjulur bersama kotak makannya itu.

Vano bangkit dari posisinya dan meraih kotak makan yang di berikan oleh Cantika.

"Makasih ya."

Untuk pertama kalinya, Cantika mendengar langsung suara Vano, berbicara dengannya.

Dan untuk pertama kalinya juga, Vano mengucapkan terimakasih kepadanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top