25 ~ Teduh Bersama Damai!

Pernahkah kita menghitung berapa lama sehat menemani?
Tidak! Yang kita hitung adalah berapa lama kita sakit.
Padahal, Allah sudah bermurah hati lebih banyak memberi sehat.
Namun, sakit terasa menyita waktu lebih panjang.
Rupanya, ada nikmat sakit yang terlupa.
Bahwa sakit juga termasuk pencetak sabar,
mencipta syukur, ladang introspeksi, penggugur dosa,
dan lahan untuk menyemai doa.
(Nararya Tirtakusuma)

🍃🍃🍃

Ratusan ribu menit sudah terlewati. Ada masa terpuruk di jalur terdalam, ada masa bangkit lalu kembali menata masa depan. Tidak ada sendiri ketika melewati setiap menit berlalu. Mereka menemani dalam untaian suka dan duka.

Ayah Ris, Mama Rid, Papa Revan, berdiri paling depat untuk Arya. Ada Aren yang selalu berdiri di samping Arya. Menemani, merengkuhnya, dan mengajaknya bangkit kembali. Ada Andre dan Cio juga teman-teman sekelas yang selalu memberikan dukungan.

Untuk Arya, tatapan iba lalu menjadi sendu tidak dia butuhkan. Hanya ada semangat dan dukungan yang harus datang dan merubah jalan hidupnya. Menjadi sakit tak harus menjadi penebar duka lalu bertindak seolah lara juga turut menggerogoti jiwa.

Arya sempat menyerah ketika sakitnya kembali menyerang. Mengurung diri dan merasa dirinya paling sakit. Tidak ada kesempatan bagi Aren untuk mendekatinya. Teriakan dan kata-kata kasar justru dia lontarkan untuk sepupunya saat itu.

"Lo nggak ngerasain sakitnya! Gue yang sakit, gue yang ngerasain! Lo enak bilang seperti itu karena lo nggak ada di posisi gue. Gue udah capek! Gue sakit! Gue capek, Ren!" Air mata Arya menetes bersama dengan gemelutuk rahangnya yang beradu menahan sakit.

Aren berusaha mendekat, "Biarin papa bantu lo buat ngurangi rasa sakitnya. Setidaknya kasih kita kesempatan. Teriak saja kalau lo udah nggak sanggup. Gue siap jadi tempat pelampiasan lo saat sakit, tapi jangan gini. Ayah Ris kepikiran kalau lo malah mengurung diri."

Tawa sinis tercetak di bibir Arya, "Payah! Sampai kapan gue harus begini? Bukan jadi anak yang berguna, gue malah nyiksa ayah. Jadi beban keluarga, nyusahin lo, mama, papa, terutama ayah. Semu, apa yang gue lakuin ternyata kebalikannya. Gue merasa tersiksa, tapi nyatanya kalian tersiksa karena sikap gue. Gue capek ...."

Suara Arya hilang bersamaan dengan tubuhnya yang limbung dan nyaris menghantam lantai jika Papa Revan tak sigap melompat. Lelaki itu menjadikan badannya sebagai matras dan menyambut tubuh Arya yang rebah di dadanya.

🍃🍃🍃

Lalu lalang pasien dan beberapa keluarga pasien lainnya ternyata tak menarik perhatian Arya. Putra tunggal dari Ayah Ris itu akhirnya kembali lagi ke tempat ini. Setahun yang lalu, di saat masa terburuknya dia datang ke tempat ini. Sebuah rumah sakit swasta ternama di Singapura menerimanya sebagai pasien.

Kini, Arya ditemani dengan sebuah buku dengan sampul berwarna dasar ungu buku yang kisah dari mereka yang sudah hidup bersama Lupus selama bertahun-tahun. Di dalam buku itu ada tujuh kisah dari mereka, para odapus. Cerita tentang penerimaan dan berdamai dengan sakit. Buku itu Arya dapat tahun lalu--saat pertama kali dia menjadi pasien--, tapi dia tak pernah bosan dia membacanya.

Ingatan tentang setahun yang lalu kembali hadir. Sepasang suami istri berusia lanjut duduk dengan mesranya di samping Arya. Mereka bertukar pandang lalu tersenyum. Hingga sang suami menegurnya.

"Kamu sendiri? Di mana keluargamu?" tanya si suami.

"Ayah dan saudara saya sedang mengurus beberapa administrasi dan kebutuhan obat untuk saya. Saya Arya, dari Indonesia." Arya mengenalkan dirinya dengan sopan dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Owh ..., saya Jatmiko, dan ini istri saya, Rasmini, kami dari Jogja. Kalau boleh tahu, sakit apa? Apa di Indonesia tidak ada rumah sakit yang bagus hingga berobat ke Singapura?" ujar lelaki paruh baya itu.

"Saya odapus, paman saya memiliki kenalan di sini, jadi saya diminta untuk menjalani pengobatan di sini," ujar Arya.

"Mungkin kita memang berjodoh. Dia ...," pak tua itu menunjuk wanita di sebelahnya, " adalah wanita yang terhebat yang saya kenal. Dia sudah berkawan dengan Lupus sejak usia 22 tahun. Sekarang usianya sudah setengah abad. Percayakah kamu jika dia sudah banyak melewati rintangan?"

Perempuan yang ditunjuk itu berpindah dan duduk di sebelah Arya. Pasangan suami-istri itu duduk mengapit Arya. "Jangan patah semangat, kita masih bisa hidup dengan baik. Saya hampir kehilangan semangat dan tak sanggup menghadapi sakitnya. Namun, saya ingat ada anak-anak yang masih membutuhkan saya. Jika tak sanggup, ajak orang lain untuk berbagi keluh kesah. Setidaknya, meski tubuhmu didera sakit, otakmu masih waras untuk berpikir."

"Kamu masih muda, masih banyak kisah yang harus kamu lalui. Hidup ini terlalu singkat untuk terus diratapi, jadikan hidupmu lebih berharga. Hidupkan kembali mereka yang sudah merasa mati karena sakit berkepanjangan. Jika tak bisa mencegah, setidaknya memberikan pengetahuan tentang lupus pada khalayak ramai juga bermanfaat," ujar sang suami lagi.

Arya tergugu mendengar nasehat dari pasangan itu. Semacam sebuah tamparan yang menariknya untuk bangkit lagi dari terpuruk. Bak mendapat lampu pijar yang baru, Arya kembali menyunggingkan senyum lebar.

"Terima kasih sudah membawa saya kembali. Menampar sekaligus menarik saya dari murung. Ini yang saya cari, terima kasih," ujar Arya sambil mencium tangan sepasang suami-istri tersebut.

"Main-main ke Jogja, rumah kami terbuka untuk kamu. Kami juga ada asosiasi untuk odapus. Jika berkenan, bulan depan saya undang untuk menjadi salah satu motivator di tempat kami," ajak si istri.

Sang suami mengeluarkan ponselnya, membuka sandi dan menyodorkannya pada Arya. "Tuliskan nama dan nomer ponselmu, kami akan menunggu kedatanganmu di Jogja."

🍃🍃🍃

Kenyataan menampar Arya untuk kesekian kali. Tidak ada yang namanya kebetulan. Allah sudah merencanakan jalan hidup setiap hamba-Nya. Meski jalan itu berkelok dan terjal, tetapi pasti akan ada keindahan yang menanti.

Sepasang suami istri yang ditemui Arya adalah pendiri Asosiasi Lupus Indonesia. Dari mereka, Arya bisa mengenal beberapa odapus dan saling berbagi kisah. Banyak kisah yang menyentuh sekaligus miris. Hal ini membuat Arya lebih banyak bersyukur akan hidup yang dia jalani.

Berkat dukungan dan semangat dari keluarga, teman dan yang lainnya, Arya mulai menata kembali untuk meraih mimpi bundanya. Mengejar ketertinggalannya selama setahun lalu, kemudian menata lagi rencana hidupnya.

"Belum tidur, le? Jangan dilanjut begadangnya, sudah malam!" ujar Ayah Ris.

"Bentar lagi, Yah. Dikit lagi selesai."

"Istirahat, baru juga landing sore tadi dari Singapura. Ini udah lanjut aja kerjaannya," tegur Ayah Ris.

"Sudah selesai!" ujar Arya sambil mematikan laptopnya. "Arya besok ngisi acara sharing bareng di kota sebelah atas permintaan Pak Jatmiko. Boleh 'kan, Yah?"

"Boleh, asal ...." Ucapan Ayah Ris terpotong dan dilanjutkan oleh Arya.

"Nggak boleh terlalu capek, istirahat yang bener, obatnya nggak lupa dibawa."

"Pinter anak Ayah! Cakep lagi, sayangnya nggak ada pacar. Aren terus yang digandeng, gandeng anak gadis kapan?" goda Ayah Ris.

"Nanti, Yah! Kalau udah halal baru boleh gandeng," elak Arya.

Ayah Ris hanya mengangguk setuju dengan ucapan putranya. "Tidur, gih! Capek 'kan?" ucapnya lagi dan dibalas anggukan oleh Arya.

Arya berjalan ke kamarnya, sementara sang ayah menutup pintu ruang tamu dan mematikan lampu tengah. Keduanya menghilang di balik pintu. Arya telentang dengan lengan kanan dia jadikan bantal. Menatap langit-langit kamarnya sembari menggumamkan kata.

"Bunda, yang sabar nunggu lulusnya Arya. Terima kasih sudah menemani Arya sampai saat ini. Arya juga janji nggak akan mengecewakan semua. Mendapat sakit, jatuh, lalu berusaha untuk bangkit. Meski berkali-kali menghadapi sakit, nyatanya Arya belum juga terbiasa. Beruntungnya, Arya ditemani dengan orang-orang hebat yang selalu sabar dan selalu ada. Arya tetap berusaha yang terbaik."

Dalam setiap malamnya, Arya selalu saja seperti itu. Mengucap terima kasih pada sang bunda. Bersyukur atas berkah hidup yang masih diberikan kepadanya. Menikmati segala anugrah yang sudah diterimanya hingga detik ini.

Hal sederhana yang dia dapat dari beberapa teman sesame odapus. Menanamkan pemikiran positif, berdamai dengan setiap aliran sakit yang bisa datang tiba-tiba. Setidaknya, Arya bisa lebih percaya pada dirinya.

Merubah segala hal yang bersifat negatif menjadi sesuatu yang lebih indah. Menurut Arya hidupnya terlalu singkat untuk tersiksa, berusaha mendapat apa yang paling dia inginkan adalah caranya menikmati hidup.

(Selesai)

🍃🍃🍃

Terima kasih untuk segala penerimaan yang kalian berikan.
Sekian dulu kisah Arya dan Aren, see you!

Salam sayang!
Aren dan Arya

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3

#DAY25
Bondowoso, 21 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top