23 ~ Timbul Tenggelam!
Antara percaya dan tidak, aku memilih percaya.
Mempercayai apa yang akan aku hadapi.
Jika semua adalah kehendak-Nya,
Aku bisa apa untuk mengelak?
Menerima lalu menjalani, tak lupa berharap untuk
kemurahan hati dari-Nya,
Sang Pemilik Hidup.
(Nararya Tirtakusuma)
🍃🍃🍃
Hasil dari pemeriksaan beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa Arya menderita radang paru-paru akut. Salah satu penyebabnya bisa karena bakteri atau virus yang bersarang di paru-parunya.
Namun, hal yang paling aneh adalah saat Arya merasa benar-benar sehat setelah menjadi tahanan di rumah sakit. Sendi-sendinya justru terasa lebih menyakitkan selama beberapa hari belakangan.
Beruntung bulan ini adalah bulan terakhir semester genap. Final Examination yang dilakukan lebih banyak berupa take home atau tugas rumah. Beberapa berupa makalah yang lainnya berupa tugas secara daring.
Andre dan Cio sering kali mengerjakan tugas di kontrakan Arya. Tugas-tugas yang memiliki deadline berbeda-beda itu dikerjakan secara berurutan yang deadline-nya terdekat. Tak jarang keduanya malah memilih untuk bermalam.
Kalau bisa bersama kenapa mesti repot kerja sendirian? Begitu kata Cio. Seperti pagi ini, rumah kontrakan itu sudah sudah ramai denga celoteh yang ingin makan ini dan itu. Akhirnya Aren dan Arya berangkat untuk mencari sarapan pagi.
Matahari tak begitu tinggi, tetapi panasnya sudah cukup menyengat. Aren memutuskan sarapan di tempat karena perutnya sudah keroncongan. Pilihannya kali ini jatuh pada pecel pincuk dengan beberapa lauk.
"Bang, tadi ambil lauk apaan? Nggak ambil bakwan udang 'kan?"
"Nggak, cuma nambah rempeyek kacang aja, kenapa? Bayarnya nambah?"
"Bukan itu, pipi lo merah-merah gitu. Kayak lo alergi pas makan udang, tapi nggak ada bengkaknya. Nggak gatel?" tanya Aren saat melihat ruam merah di pipi dan hidung Arya.
Paparan sinar matahari yang mengenai wajah Arya membuat ruam itu tampak lebih merah dari saat mereka meninggalkan warung pecel.
"Dikit, Ren. Panas sama perih juga. Kenapa ya?"
"Ntar tanya papa, kali bisa dibeliin salep buat ngurangin gatelnya," tawar Aren di jalan menuju rumah.
Begitu sampai dikontrakannya, Arya langsung merebahkan diri di sofa. Terik matahari pagi malah membuatnya kepayahan. Napasnya juga kembali tersengal. Padahal belum lama terpapar matahari, tapi lelahnya sudah seperti ini.
🍃🍃🍃
Akhir dari perkuliahan semester ini membuat keluarga meminta Arya dan Aren pulang ke kampong halaman. Papa Revan yang melihat perubahan dari Arya juga melihat hal yang tak mengenakkan. Maka, begitu mereka tiba di rumah, Papa Revan mencecar dengan berbagai pertanyaan.
Kemarin paru-paru, sekarang masalah sama hati, besok apalagi? Secepat itu perubahan diagnosis yang dokter berikan pada Arya. Sedangkan untuk ruam yang ada di wajahnya, dokter hanya mengatakan itu reaksi alergi.
Keluarga tak tinggal diam, sebenarnya Papa Revan sudah mengantongi kesimpulan tentang sakitnya Arya, tetapi beliau masih membutuhkan beberapa pandangan dan saran dari beberapa orang yang lebih ahli.
Papa Revan menelepon beberapa kenalannya, dari beberapa teman sekelas sampai professor yang mengajar saat pendidikan dulu. Segala upaya ini hanya untuk Arya, dan demi kesehatan keponakannya.
"Pa, apa nggak ada jalan lain? Udahlah, ke rumah sakit yang ada di sini saja. Kasihan Arya kalau harus pergi terlalu jauh," bujuk Mama Rid.
"Ma, Papa juga inginnya seperti itu, tapi ini demi kebaikan Arya. Papa sudah bilang sama Mas Ris dan dia setuju. Papa dan Mas Ris yang akan menemani Arya. Mama sama anak-anak di sini saja."
"Pa, Arya bisa sembuh 'kan? Mama masih berharap semua yang Papa katakana itu hanya sebuah prediksi saja, diagnosis saja. Semoga itu tidak menimpa Arya. Arya anak kita juga, Pa."
"Kita usahakan yang terbaik untuk Arya. Apapun itu, semua harus dilakukan demi Arya. Demi keluarga kita.
🍃🍃🍃
Andai saja libur semester belum mulai, Arya pasti akan menjadikan kuliah sebagai alasan menolak untuk melakukan serangkaian pemeriksaan. Namun, tidak ada lagi pilihan. Desakan dari Ayah Ris dan Papa Revan ditambah dengan drama tangis dari Mama Rid akhirnya membuat Arya luluh.
Belum menjalani pemeriksaan, Arya sudah lelah dengan perjalanan jauh yang harus ditempuh. selama enam jam lebih mereka harus duduk diatas kendaraan pribadi.
"Pa, ini harus berapa lama di sini? Besok udah kelar?" tanya Arya yang sudah kebosanan menunggu di ruang tunggu.
Ayah Ris menoleh pada putranya dan mengacak rambut Arya. "Kamu harus sabar, kuat, dan tetap semangat. Kalau mau cepat beres kuncinya satu, nurut!"
Arya mengangguk dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Papa Revan sudah menjelaskan pada Arya perihal diagnosis awal yang diberikan oleh beberapa temannya. Ada sedikit rasa takut yang menyelimuti Arya.
"Yah, kalau ternyata diagnosis awal itu benar, bagaimana? Berarti Arya Odapus, dong?"
"Itu masih diagnosis awal, Le. Makanya Papa minta kerja sama dari kamu supaya semua berjalan dengan baik. Untuk hasil akhirnya, kita pasrahkan sama Allah. Papa, Ayah, Mama, dan adik-adik kamu akan selalu ada untuk kamu, jangan berkecil hati, jangan menyerah begitu saja," ujar Papa Revan yang terbalas anggukan dari Arya.
Selang beberapa menit, nama Arya dipanggil oleh petugas. Ayah Ris membawa Arya dan memeluk bahu putranya untuk menguatkan. Papa Revan yang terlebih dulu berdiri telah sampai di dalam ruangan.
"Lama tak jumpa, Revan!" ujar Dokter Hadi, sahabat lama Papa Revan.
Papa Revan memeluk erat sahabatnya dan mengenalkan Arya dan Ayah Ris kepada sang sahabat. "Ini kakak iparku, Mas Ris, dan ini putranya, Arya, anakku juga, sih! Udah kayak anak kembar sama anak sulungku, Di."
"Cakep juga, udah punya pacar, le?" tanya dokter yang bernama lengkap Rahadian itu.
"Disuruh lulus kuliah, kerja, setelah baru boleh bawa calon mantu ke rumah, Dok," jelas Arya.
"Panggil Om saja biar makin akrab. Memangnya siapa yang bilang begitu?
"Mama Rid ...," jawab Arya singkat.
"Istrimu itu selalu saja begitu, Van. Nggak ada berubahnya," ujar Dokter Rahadian.
Tak menunggu terlalu lama, Dokter Hadi memulai penjelasannya. Penjelasan Dokter Rahadian amatlah komplit. Keempat lelaki itu terjebak dalam suasana serius, pembahasan tentang Lupus.
Lupus adalah penyakit yang sulit untuk didiagnosis, karena gejalanya yang beragam dan bisa berbeda-beda pada tiap orang. Untuk itu, Dokter Rahadian menanyakan secara langsung pada Arya gejala yang dialami, serta riwayat kesehatan pasien dan keluarganya.
Sang dokter juga memaparkan pemeriksaan fisik menyeluruh yang harus dijalani oleh Arya, termasuk memeriksa ada tidaknya ruam dan peradangan sendi yang sering muncul pada penderita lupus. Dua hal itu yang mengerucutkan diagnosis karena Arya mengalami keduanya.
Selain itu dokter juga akan melakukan sejumlah pemeriksaan penunjang di bawah ini untuk membantu mendiagnosis lupus. Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody) untuk memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah yang biasanya dimiliki penderita lupus.
USG jantung, dada, untuk mengetahui kondisi paru-paru, termasuk mendeteksi peradangan dan penumpukan cairan di dalamnya. Biopsi kulit atau ginjal, untuk mengetahui ada tidaknya jaringan yang abnormal pada kulit dan ginjal.
"Pa, banyak banget? Itu semua harus dilakukan? Bisa klenger duluan Arya, Pa!"
"Arya, dengarkan sampai selesai!" perintah sang ayah.
Arya mengerucutkan bibirnya ketika mendapat terguran dari sang ayah. Lelaki itu menunduk dan enggan mengangkat kepalanya.
"Le, protesnya nanti dulu, ya? Biar Om jelasin sampai kelar, baru protes."
Arya kembali memanyunkan bibirnya.
"Di, punya karet gelang, nggak?" tanya Papa Revan.
"Buat apa? Karet gelang nggak ada, adanya lakban. Mau?" jawab Dokter Rahadian
"Buat ngaretin bibirnya si Arya. Manyun mulu kerjaannya."
"Om Dokter nggak usah ikut-ikutan, ya! Sudah cukup Arya punya Papa sadis dan Ayah tukang ngancem. Om Dokter cukup kasih tahu apa yang harus Arya lakukan, Arya bakal nurut."
Arya merasa tersudut dan menatap ketiga lelaki disekitarnya. Gelak tawa yang pecah dari para bapak-bapak sedikit mencairkan suasana serius yang menghantui. Dokter Rahadian melanjutkan pembicaraannya mengenai bagaimana diagnosis lupus ditegakkan.
Diagnosis lupus ditegakkan oleh dokter jika pasien memiliki atau mengalami setidaknya 4 dari 11 kriteria yang ada. Butterfly rash atau malar rash, discoid rash, yaitu ruam merah di kulit yang menyisakan bekas jaringan parut, kulit yang sensitif pada paparan cahaya matahari, sariawan, arthritis (peradangan pada sendi), gangguan ginjal, yang ditandai dengan munculnya protein pada urine, gangguan saraf yang ditandai dengan kejang.
Peradangan pada lapisan pembungkus paru-paru (pleuritis) atau lapisan pembungkus jantung , gangguan darah seperti anemia atau trombositopenia. Gangguan sistem imun, yang ditandai dengan adanya antibodi tertentu, seperti anti-dsDNA. Antinuclear antibody (ANA) berada di atas nilai normal
"Biasanya diagnosis Lupus berlangsung lebih lama karena penyakit ini sering berkamuflase dengan sakit lainnya. Tidak sedikit dokter yang mendiagnosis sebagai penyakit lain. Paling cepat sekitar enam bulan baru ketahuan dia sakit lupus. Bahkan ada yang sampai lima tahun baru terdeteksi. Beruntung Revan peka untuk mendiagnosis jadi bisa dilakukan pemeriksaannya lebih awal," jelas Dokter Rahadian.
Arya tertunduk lemas. Belum juga menjalani rentetan pemeriksaan, dia sudah meyakini bahwa diagnosis akhir tentang kesehatannya adalah Lupus. Setidaknya ada beberapa kriteria yang disebutkan Dokter Rahadian sudah dia alami.
"Nggak usah mikir macam-macam, jangan melakukan self-diagnose tanpa adanya bukti dan data akurat mengenai kondisi tubuh kamu. Menduga sesuatu yang tak pasti itu hanya akan menimbulkan kekhawatiran berlebih. Om yakin kamu bisa melewati ini semua. Kuncinya adalah percaya kamu bisa dan sabar." Dokter Rahadian mencoba untuk menenangkan saat gelisah terlihat di wajah Arya.
🍃🍃🍃
Hualaaaa, up di jam sinderlela!
Selamat menikmati malam kalian bersama Aren dan Arya.
Dikit lagi mau mendekati akhir.
Menghitung mundur, ya!
Salam sayang!
Aren dan Arya
ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3
#DAY23
Bondowoso, 19 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top