19 ~ Babak Baru?
Tuhan sudah menuliskan kisah hidupmu.
Jangan berpaling dari-Nya
Ini hanya sedikit dari sekian jalan hidup yang Tuhan rancang.
Terima atau tidak, semua tergantung bagaimana caramu menjalaninya.
Angkat kepalamu, lalu tersenyumlah.
Bunda Runi akan ikut tersenyum bersamamu.
(Narendra Tirtakusuma)
🍃🍃🍃
Arya bangun dengan tubuh yang lebih segar. Sepupunya terheran dengan sikap Arya. Padahal Subuh tadi abangnya enggan membiarkannya pergi. Namun selang sepuluh menit berlalu beretepatan dengan kembalinya Andre dan Cio salat Subuh, Arya bangun dan mengucek matanya.
Sang abang juga mengeluhkan matanya yang sedikit sembap. Andre dan Cio menoleh begitu Arya melewatinya begitu saja. Ketiganya mengikuti setiap gerakan Arya hingga keluar kamar.
"Jadi tu anak tadi ngigau?" tanya Cio.
"Gue kira dia udah bangun beneran pas megangin bajunya si Aren. Abang lo ngigau, Ren?" Aren yang ditanya oleh Andre hanya mengangguk pasrah.
"Kek gak ada apa-apa gitu, ya?" ujar Cio lagi.
"Mending gitu, kayaknya udah baikan tuh anak. Bisa lega kita pas balik nanti, semalam udah tumpah ruah begitu, mending sih daripada dia mendem, gue malah ngerasa serem aja gitu," lanjut Andre sambil mengambil tempat di bed bawah.
Aren memilih untuk menyusul abangnya dan membiarkan si monyet berlesung pipi kembali bergelung dalam selimut. Cio gemas melihat kelakuan Andre, lelaki itu lantas menendang bokongnya hingga terguling ke lantai.
"Kak! Usil banget, sih? Ini masih pagi, ngantuk, ditambah dingin pula. Suasana gini enaknya melungker lagi di bawah selimut."
"Nggak baik tidur lagi selepas Subuh. Gue meski badung kuliah, sering ngulang, tapi nggak segitunya juga kali. Lagian ini bukan rumah sendiri. Nggak enak, Ndre! Bangun, terus beresin tempat tidurnya!" perintah Cio.
🍃🍃🍃
Andre dan Cio akhirnya pulang di hari ketiga, tepatnya di Minggu pagi. Berat sebenarnya untuk meninggalkan sahabat mereka disaat duka sedang melanda. Bagi keduanya, teman adalah mereka yang mau berbagi suka dan duka.
Tepat di hari kelima kepergian sang bunda, Arya dikejutkan dengan hadirnya perwakilan dari teman sekelas. Indra, Yoga, Ana, Riska, Nova, Ujang, dan beberapa teman yang lain membawa dua mobil untuk sampai di rumah Arya.
Pelukan erat dari teman-temannya Arya sambut dengan senyum tipisnya. Indra dan Yoga memeluknya dengan erat seolah ingin memangkas jarak yang sempat ada setelah tragedi presentasi terakhir kali. Ujang pun juga sama, lelaki Sunda itu justru menangis di pelukan Arya.
"Kenapa lo malah nangis, Jang?" tanya Yoga
"Ujang inget sama emak! Ujang nggak bisa bayangin kalo harus ada di posisi Arya, Ujang nggak akan sanggup kayak Arya begini."
"Ar, sorry, kita baru sempat main ke sini. Kita juga baru dengar kabar pas Andre kasih pengumuman di grup kelas. Kita juga baru bisa free hari ini. Kok pas banget Bu Evi nggak ada. Keknya sih emang ditakdirkan untuk sampai ke sini," ucap Ana.
"Nggak apa-apa, kalian bisa sampai sini aja sudah terima kasih banyak," jawab Arya dengan senyum tipisnya.
"Ar, lo kok bisa senyum gitu? Ini nyokap lo yang meninggal, Ar. Kenapa masih bisa senyum-senyum?" tanya Yoga.
"Emangnya lo ngarep gue gimana, Ga? Gue nyambut kedatangan lo sambil nangis guling-guling? Mau nangis darah sekalipun, nyokap nggak akan bangun lagi dan ngusap air mata gue, Ga!"
"Ya, nggak gitu juga, sih! Cuma gimana, ya? Apa nggak sedih gitu?" tanya Yoga lirih dan dihadiahi sikutan oleh Indra.
"Sedih pasti, kehilangan itu juga pasti, tapi apa iya harus pasang wajah murung dan terus-terusan nangis? Bukannya tenang, nyokap malah terbebani, Ga. Sekarang dia udah damai, nggak sakit, nggak perlu mikirin yang berat-berat soal dunia." Arya menjeda perkataannya dengan menghela napas.
"Jalannya itu kayak dipermudah sama Allah. Sakitnya nggak lama, nggak ngebebani ayah sama gue, wafatnya juga di hari yang baik. Apalagi yang perlu gue ratapi? Nyokap dah nemuin jalan pulang yang terang," imbuh Arya dengan mantab.
Beberapa teman di hadapan Arya hanya mengangguk tanda setuju dengan ucapan Arya. Sebagian lainnya hanya memandang tanpa berkedip laki-laki dengan mata elang itu. Aren yang turut menemani mengusap pelan pundak abangnya untuk menyalurkan kekuatan.
Setelah selesai berbincang, mereka berpamitan untuk pulang. Sekali lagi, pelukan hangat dari teman laki-lakinya membuat Arya kembali bersemangat. Janjinya pada mereka yang hadir untuk segera kembali kuliah dia ikrarkan dengan mantap.
Arya bersalaman pada Riska, Nova, Ana, dan beberapa teman wanita lainnya. Ana yang berada di posisi paling akhir menyampaikan salam dari Mala. Salam ungkapan turut berbelasungkawa untuk Arya telah disampaikan dengan baik.
"Ren, si Arya kayaknya demam, ya? Tangannya panas banget. Mending suruh istirahat saja pas tamu-tamu udah mulai sepi, kayaknya dia capek." Indra yang sudah sampai halaman berbalik dan berjalan mendekati Aren.
"Iya? Gue nggak ngeh! Thanks, ya? Ntar gue pastikan dia bakal istirahat dengan baik, sekali lagi makasih udah diingetin."
🍃🍃🍃
Sekuat-kuatnya otak mendoktrin tubuh supaya lebih kuat, jika sudah sampai pada batasnya tak akan sanggup menanggung semua. Tubuh bisa dengan mudahnya berkhianat dan tumbang disaat yang tak diinginkan.
Siang hari, setelah teman kampusnya pulang, Arya memang merasakan tubuhnya sudah lemas. Bahkan menjawab sapaan beberapa tamu seperti butuh tenaga tambahan. Dadanya kembali terasa sesak. Batuk juga mulai menyiksa.
Aren yang melihat abangnya duduk di ruang tengah sambil menunduk, bergegas menghampiri. Aren menepuk pelan punggung Arya berharap batuk menyiksa itu segera mereda.
"Bang, ke kamar saja. Biarin papa sama mama yang gantiin nemuin tamu. Ayah Ris dah mendingan, kok malah abang yang begini?"
Arya mendongak dan tersenyum pada Aren. Tatapan mata merah dan berair milik Arya membuat Aren meraba kening abangnya.
"Kali ini nggak bisa ngelak. Istirahat di kamar atau aku minta papa buat bawa abang ke rumah sakit?"
"Kamar aja, gue ogah kalo ke rumah sakit. Bukannya sembuh yang ada malah makin sekarat," ucap Arya.
"Mulutnya masih aja loss nggak ada control! Ya udah, bangun!"
"Sayangnga gue nggak bisa bangun. Kaki sama tangan gue bener-bener ngilu, Ren. Genggam gini aja ngilunya sampe mbun-mbunan!" kilah Arya.
"Nggak usah becanda, Bang!"
"Gue serius!"
Arya mencoba untuk bangun, dia bertumpu pada kedua lututnya. Sebelah kaki ditekuk untuk mendorong tubuhnya supaya bangkit. Namun, usahanya seperti sia-sia. Kakinya terasa seperti mau lepas begitu dipaksakan.
Lelaki itu menyerah dan terengah. Keringat mulai bermunculan di keningnya. Hanya untuk berdiri saja tubuhnya sudah tak mampu. Demam sialan ini membuat seluruh persendiannya seret mirip mesin yang sudah kehabisan oli dan mulai aus.
"Pa, Arya nggak bisa bangun! Badan terasa sakit semua. Ini kaki juga kayak udah nggak sanggup buat berdiri," lirih Arya di tengah usahanya untuk berdiri.
Papa Revan terenyuh melihat usaha Arya. "Papa bantu, ya? Kalo sakit bilang!"
Arya mengangguk dan meringis ketika lengan kanan dan kirinya berpindah ke pundak Aren dan Papa Revan. Dengan sedikit usaha yang cukup menyakitkan, Arya bisa berdiri dengan tegak.
Bapak dan anak itu akhirnya memapah Arya hingga ke kamar. Desisan Arya cukup menyita keduanya. Aren memeriksa kembali tubuh abangnya.
"Pa, kemarin abang pernah kena chikungunya, ini persendian abang bengkak lagi, dari kaki sama tangan sama. Terus juga untuk genggam katanya sakit. Apa mungkin chikungunya itu masih nggak hilang?" tanya Aren.
🍃🍃🍃
Hulaaaa, aku kembali lagi dengan si Aren dan Arya.
Jangan bilang aku jahat, aku nggak jahat.
Cuma otakku aja yang kadang suka jahatin Arya.
#senyum_jahat
😈😈😈
ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3
#DAY19
Bondowoso, 13 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top