18 ~ Aku Bisa Apa?
Ini bukan perkara ikhlas atau tidak ikhlas.
Ini hanya perkara rindu ....
Ya, rindu! Karena Rindu itu beda.
Aku mampu memendam rindu hingga batas tak tentu.
Namun, aku tak bisa melepas rindu seperti aku melepasmu.
(Nararya Tirtakusuma)
🍃🍃🍃
Senja sudah kembali ke peraduannya, tetapi tamu yang hadir untuk takziah sama sekali tak surut. Mulai keluarga inti, hingga kerabat jauh, beberapa teman dan sahabat dari Ayah Ris dan Bunda Runi juga banyak yang hadir.
Jika kata sesepuh desa, orang yang meninggal di hari Jumat itu orang baik. Bunda Runi dikenal karena kebaikannya, hingga beliau diwafatkan di hari yang baik pula. Beberapa orang berkomentar bahwa meninggalnya Bunda Runi termasuk keramat karena banyak yang mengantar hingga ke pemakaman.
Semua diluar prediksi keluarga. Arya tak hentinya berjabat dan memeluk sanak keluarga yang hadir. Ayah Ris tak terlihat sebab putra semata wayangnya itu memintanya beristirahat. Papa Revan yang berprofesi sebagai mantri desa sempat memeriksa Ayah Ris setelah dia melihat kakak iparnya sangat tak bertenaga.
Papa Revan memberi tahu Arya supaya membujuk ayahnya untuk beristirahat. Sejak sang bunda sakit, Ayah Ris benar-benar menjaga dengan sepenuh hati. Kurang istirahat, pola makan juga tak teratur, dehidrasi berat, belum lagi tekanan darahnya yang tiba-tiba anjlok.
"Le, kamu istirahat juga! Sejak sampai Mama lihat kamu belum makan dan istirahat," ujar Mama Rid.
"Arya masih mau nemeni beberapa tamu, Ma. Biar ayah saja yang beristirahat. Mama bisa bantu untuk giring Kak Cio sama Andre ke kamar, nggak? Mereka pasti capek," ujar Arya lirih.
"Tamunya sudah mulai sepi, Nak. Kamu butuh istirahat. Kamu juga belum sembuh benar 'kan? Aren sudah bilang sama Mama kalo kamu sakit," ujar Mama Rid.
Arya hanya tersenyum kecut dan kembali ke ruang tengah tanpa membalas perkataan sang mama. Lelaki itu duduk di ruang tengah dan menatap kosong pada kursi tempat bundanya biasa duduk. Kursi tua peninggalan kakeknya adalah tempat kesukaan sang bunda untuk menikmati waktu senggang bersamanya dan Ayah Ris.
Detik hingga menit terus berlalu. Arya bahkan tak menyadari bahwa Cio, Andre dan Aren sudah bergabung dengannya. Keempat lelaki itu terdiam, hanya ada suara jangkrik yang terdengar memecah keheningan.
"Capek!" ujar Arya.
Satu keluhan dari bibir Arya itu cukup untuk membuat ketiganya saling menatap. Rasa terkejut mereka bertambah kala Arya merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di pangkuan Aren yang tengah selonjor di samping kanannya.
"Bang, tidur di kamar, ya?" tawar Aren.
Arya menggeleng dan berucap, "Sebentar saja, biarin gini aja. Kalo di kamar nanti bunda nyamperin dan tanya macem-macem kalo gue tidur lebih awal."
Andre berpaling, dia menghindari kontak mata baik dengan Aren maupun Cio. Air matanya sudah kembali menggenang. Bersitan dari hidung Andre sudah sangat cukup untuk membuktikan bahwa laki-laki itu turut merasakan pedih yang dirasa sahabatnya.
🍃🍃🍃
Ayah Ris berjalan menuju ruang tengah saat suasana sudah mulai sepi. Papa Revan dan Mama Rid mengikuti di belakangnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk dimana istrinya biasa bersantai.
Dilihatnya keempat pemuda yang sedang rehat, duduk lesehan dan bersandar pada dinding. Ayah Ris menatap putra tunggalnya yang sedang terlelap dan menjadikan paha Aren sebagai bantal.
"Udah tidur si abang? Nggak disuruh tidur di kamar, Ren? Biar sekalian Cio sama Andre bisa istirahat juga," ujar Ayah Ris.
"Nggak mau, Yah. Capek katanya, terus rebahan gini sampe ketiduran."
Mama Rid memilih duduk menemani sang kakak, Ayah Ris. Sementara itu Papa Revan memilih untuk duduk dihadapan Arya yang sudah terlelap. Menatap sendu wajah keponakannya lalu meraba kening Arya dengan perlahan.
"Ayah kira nggak enak badan, tapi si abang nggak apa-apa,kok!" ujar Papa Revan.
"Iya, abang nggak apa-apa, tapi pahaku yang kenapa-kenapa. Mati rasa, Pa, Aren bangunin aja, ya?
"Jangan dulu, nanti agak lamaan baru bangunin." Aren hanya mengangguk menanggapi perkataan papanya meski pahanya sudah terasa kesemutan.
"Kalo kalian mau istrihat duluan saja, nggak apa-apa. Tidurnya rame-rame nggak masalah 'kan? Sekalian temenin Arya." Ayah Ris manatap Cio dan Andre secara bergantian.
"Nggak masalah, Om. Kita tidur di sini juga nggak apa-apa, iya 'kan, Ndre?" ujar Cio sambil meminta persetujuan Andre.
"Iya, Om. Kita mah bebas mau tidur di mana saja," imbuh Andre.
Mereka yang ada di ruang tengah mungkin mengira Arya tengah lelap tertidur. Sebenarnya saat Papa Revan meraba keningnya, dia sudah mendengar jelas suara-suara di sekitarnya. Hanya saja matanya terlalu berat untuk dibuka.
"Rid, Mas nggak tau lagi harus gimana. Jujur saja ada rasa khawatir melihat Arya seperti tadi. Ini anak nggak nunjukin sakitnya sama sekali. Dia terlalu tegar menghadapi kepergian bundanya. Bantu dia, Rid. Bantu dia supaya bisa melepas rasa sakitnya."
"Mas Ris tenang saja. Arya masih punya kita, masih punya Mas dan juga teman-teman yang hebat. Dia nggak akan sendirian, Mas. Lebih baik Mas Ris istirahat, biarkan kita yang bantu Arya," bujuk Mama Rid sembari membantu kakaknya untuk kembali ke kamar.
Arya mendengar suara lirih sang ayah. Semua begitu jelas di telinganya. Sesak kembali melingkupi dada yang terasa kosong. Dia mulai merasakan sakit yang merambah secara perlahan dan memenuhi dadanya.
Tak terasa tetes bening lolos begitu saja dari mata Arya dan menarik perhatian Papa Revan yang memijat pelan lengan juga bahunya. Ayah Aren lalu menepuk pelan bahu sang keponakan. Dia berusaha menenangkan keponakannya itu.
Arya merubah posisinya meringkuk dan menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata. Tangis pilu itu akhirnya pecah. Berusaha melepaskan sesak yang ditahannya sedari siang.
"Jangan ditahan lagi, lepaskan semuanya, Le. Anak cakep, anak baik, Papa tau kamu pasti bisa. Ini memang berat tapi pasti bisa kita lalui bersama. Kamu kuat, Ayah Ris juga kuat. Kamu sakit, Ayah Ris juga bisa merasakan sakitnya, Nak."
"Bu-bunda ..., bunda Arya, Pa. Bunda Runi .... Arya belum bisa bikin bunda bahagia. Arya bisa apa? Harus apa? Di sini sakit, Pa. Arya harus gimana?" Racauan yang bercampur isak tangis itu terdengar begitu menyesakkan.
Kegetiran begitu terasa di ruang tengah. Beruntungnya jarak ruang tengah dan kamar utama agak jauh, sehingga riuh suara di ruang tengah tak sampai ke kamar Ayah Ris.
Papa Revan membawa Arya ke dalam pelukannya. Berharap pelukan hangat itu bisa menenangkan sang keponakan. Seorang laki-laki yang menangis itu bukanlah banci, tetapi memang sampai masanya lelaki menangis karena tak kuat menahan beban di pundak dan bahunya.
🍃🍃🍃
Sebuah ranjang double bed terisi oleh empat laki-laki seumuran. Arya dan Aren menempati bed atas, sedangkan Andre dan Cio menempati bed bawah. Setelah kejadian mengharu biru semalam, mereka memilih untuk segera tidur atas saran Papa Revan.
Aren memegangi lengan sang abang. Arya sedang dalam kondisi yang tak baik. Ada sakit fisik dan psikis yang menderanya bersamaan. Bahkan demamnya mendadak meningkat saat lewat tengah malam.
Pagi ini, selepas kumandang azan Subuh, Aren yang akan beranjak dari tempat tidur terpaku karena abangnya memegang baju bagian belakangnya dengan sangat erat.
"Bang, lepasin dulu bajunya. Bentar aja, ini dah subuh."
Arya bergeming, cengkeraman di baju Aren makin kuat hingga lelaki itu terduduk kembali di ranjang. Hentakan dari ranjangnya membuat Andre dan Cio melenguh karena tidurnya terganggu.
Andre lekas duduk dan melihat apa yang dilakukan oleh Aren. "Kenapa?" tanya Andre.
"Si abang ogah ngelepasin baju gue. Liat aja, nih!" tunjuk Aren pada bagian punggungnya. Kaos yang digunakannya sedikit terangkat karena rematan Arya semakin kuat.
"Bantuin napa? Kak Cio napa bengong? Bantu lepasin!"
"Ntar kalo si Arya nabok, gimana?" ujar Cio dengan mata yang masih setengah terpejam.
"Gue sama Andre salat dulu, dah! Lo di sini bentar temenin si Arya, abis itu gue bantu jagain," ujar Cio lagi.
"Ya udah, cepetan, gih!" balas Aren.
Keduanya lalu bergegas ke kamar mandi dan lanjut ke musola sederhana di sisi kanan rumah. Aren masih saja tak bisa bergerak. Dia meraih tangan Arya dan berusaha mengurai jari-jari abangnya.
"Jangan pergi, jangan dilepas juga. Gue takut, Ren," ujar Arya dengan lirih.
🍃🍃🍃
Selamat malam!
Semoga mendapat malam yang indah.
Semoga hari esok lebih indah.
Semoga yang sakit segera sehat.
Semoga warga yang jomlo segera dapat pasangan.
(Aamiin yang keras yaaaa ....)
ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3
#DAY18
Bondowoso, 12 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top