17 ~ Kuatkan Aku!

Sedih tak bisa diucap ataupun digambarkan.
Rasakan! Sesak? Pedih di hati? Seperti tersayat?
Semua bercampur hingga tak bisa kurasa lagi.
Yang pergi tetap pergi, tak 'kan kembali lagi.
Aku tegap berdiri untuk dia,
sekerat malaikat yang tersisa, ayah.
(Nararya Tirtakusuma)

🍃🍃🍃

"Jadilah anak salih yang doa-doanya bisa menembus langit dan terus mengalir untuk kami hingga hari akhir nanti. Jadilah anak kuat yang bisa menguatkan orang lain. Berbuatlah baik meski mereka tak baik karena kita tidak tau amal mana yang bisa menambah pahala. Jangan pernah berputus asa. Raih semua mimpi yang ingin kamu raih! Ayah dan Bunda akan selalu mendoakan yang terbaik untuk jalan yang kamu pilih."

Suara lembut sang bunda kala Arya berulang tahun setahun yang lalu kembali terdengar ketika lelaki itu memejamkan mata sembari berdoa untuk almarhumah bundanya. Dia mengabaikan suara lain dan hanya terfokus pada kenangan suara Bunda Runi.

"Le, bantu angkat bunda ke tempat memandikannya, ya? Kamu kuat?" tanya Papa Revan.

Arya mengangguk dan berdiri menunggu beberapa keluarga lainnya yang akan mengangkat sang bunda. Ayahnya berdiri di sebelahnya, kemudian ada Riko—keponakan Bunda Runi—yang juga bersiap.

Ketiga lelaki itu berstatus mahram dan halal meski tersentuh kulitnya. Di dalam ajaran agama diberitahukan bahwa keluarga memang diutamakan untuk mengurus jenazah. Hal ini untuk menjaga aib yang memang tak seharusnya dibuka di muka umum.

Kematian memang tak pernah bisa ditebak. Mereka yang datang takziah benar-benar tak menyangka bahwa Bunda Runi akan pergi secepat ini. Meninggalkan suami dan putra tunggalnya secara mendadak. Tanpa ada kabar menderita sakit akut. Tiba-tiba saja kesehatan ibu satu anak itu menurun drastis.

Mama Rid yang menemani hingga detik-detik tarakhir embusan napas Bunda Runi tak kuasa menahan tangisnya. Perempuan itu memeluk erat Rian—adik Aren—yang masih duduk di kelas XI SMA. Tak kuat lagi menahan tangis tubuh Mama Rid akhirnya lunglai.

Rian langsung menggendong mamanya masuk rumah dan membaringkannya di kamar milik Aren. Rumah keluarga Arya dan Aren memang berdekatan dan berada di satu halaman yang sama. Hal ini dikarenakan Ayah Ris dan Mama Rid hanya dua bersaudara.

Setiap prosesi diikuti dengan begitu tenang. Mata-mata sembab itu masih terus saja mengalirkan air mata. Beberapa saling menguatkan sambil mengenang kebaikan dari Bundar Runi. Sedangkan sisanya? Mereka berdiam dan berkecamuk dengan pikirannya masing-masing.

🍃🍃🍃

Keranda yang berisi jenazah Bunda Runi sudah siap dibawa ke makam. Arya, Aren, Cio dan Andre berada di dua baris terdepan. Dua sahabat yang ikut pulang itu tak ingin melewatkan kesempatan untuk memberikan penghormatan pada ibunda sang sahabat.

Beberapa kali Andre mengusap air matanya. Dia tak sanggup membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti dirinya berada di posisi yang sama seperti Arya. Mengangkat keranda dan mengantar sang bunda hingga ke liang lahat.

Cio berusaha lebih tenang. Meski tak bisa dipungkiri sesak juga meremat dadanya. Satu yang lelaki itu pikirkan yaitu Arya. Arya sama sekali tak menitikkan air matanya. Padahal sepupunya saja sudah menangis dalam diam.

Aren benar-benar menangis dalam diam. Tak ada isakan hanya tetes air matanya membasahi pipi. Bagaimana bisa seorang Arya yang putra tunggal tak menitikkan air mata?

Iring-iringan itu akhirnya memasuki area pemakaman. Arya dan Ayah Ris beserta paman Bunda Runi turun ke liang lahat. Ketiganya bersiap untuk mengantarkan jasad Bunda Runi ke rumah terakhirnya.

"Ayah kuat?" tanya Arya saat melihat sang ayah mulai limbung.

Sang ayah hanya mengangguk dan memberikan senyum tipisnya. "Ayah kuat! Ini kesempatan terakhir Ayah untuk melihat wajah bunda."

"Arya juga mau lihat wajah bunda, Yah!"

Begitu jasad sudah menyentuh tanah, Ayah Ris naik dan keluar dari liang lahat, berganti Arya yang mendekati kepala sang bunda. Dengan arahan dari salah satu pemuka agama, Arya dengan telaten mengantar wajah sang bunda mencium tanah.

Tangan Arya bergetar saat merapikan kafan penutup wajah ibunya. Senyum khas sang bunda menariknya dalam beku selama beberapa detik. Hingga pemuka agama memintanya untuk melanjutkan prosesi pemakaman.

Ketika tanah sudah mulai menutupi liang lahat, Arya memilih untuk menepi, membiarkan beberapa orang membantu menguruk tanah hingga lubang itu tertutup.

"Le, yang kuat! Ikhlaskan kepergian bunda. Kuatkab ayahmu, dia masih terpukul." Papa Revan merangkul bahu Arya.

Arya tetap saja diam bersama degup jantung yang meningkat. Mata elangnya menatap sang ayah yang masih tergugu menahan isak tangis.
Dia memilih berjongkok dan mengusap punggung ayahnya.

Bunda, Arya janji nggak akan bikin ayah nangis. Cukup sekali ini saja Arya lihat air mata ayah. Bunda ..., Bunda ..., Bunda .... Jangan pernah jenuh saat Arya selalu memanggil Bunda, batin Arya.

🍃🍃🍃

Ketika pemakaman selesai, dan semua pelayat meninggalkan area pemakaman dengan tertib. Tersisa beberapa keluarga dari pihak Bunda Runi dan tetangga yang membereskan beberapa barang untuk menggali makam.

Arya menoleh pada Ayah Ris yang masih memegang nisan sang bunda. Wajah ayahnya terlihat sangat pucat. Kedua lelaki itu sama-sama terduduk dihadapan makam basah yang bertabur bunga mawar.

"Ayah ..., bunda sudah tenang 'kan? Ayah itu suami yang kuat, suami yang kuat. Malu sama bunda kalo masih mewek kayak ini." Arya lantas memeluk sang ayah.

Lelaki paruh baya itu akhirnya menumpahkan segala sesaknya di bahu sang putera. Kini Arya yang bertindak lebih dewasa. Menenangkan sang ayah yang menangis sesenggukan.

"Bunda sudah tenang, nggak ngerasain sakit, nggak ada kesusahan lagi untuk bunda. Ayah masih punya Arya. Kalo Ayah mau percaya, bunda itu nggak ke mana-mana, kok! Ayah selalu setia sama Ayah, di sini!" Arya menepuk pelan dada sang ayah.

"Anak hebat, anak kuat. Maafkan Ayah, Nak! Hanya sampai di sini saja bisa jaga bunda. Arya benar, hanya jasad yang terpisah, tetapi jiwa bunda akan selalu menemani kita."

Arya mengangguk dan memeluk erat sang ayah sekali lagi. "Ayah pulangnya sama Mas Irfan saja, ya? Dia bawa motor."

"Ren, bantuin!" Aren mendekat dan memapah Ayah Ris untuk ke sampai ke gerbang area pemakaman.

Arya juga turut berdiri setelah mengakhiri doa untuk sang bunda. Ditatapnya punggung sang ayah yang mulai menjauh. Dia berdiam sejenak, mengembuskan napasnya dengan kuat-kuat seolah melepas sesak.

Langkah pertamanya seperti menjejak angin. Begitu ringan hingga tak merasakan tanah pemakaman. Cio yang sedari tadi berdiri dan mengikuti setiap gerakan Arya akhirnya mendekat saat tubuh di hadapannya itu limbung.

"Arya!" panggil Andre.

"Hmm .... Apa?"Arya menoleh menanggapi panggilan Andre.

Cio membiarkan Arya menegakkan kembali tubuhnya. "Nggak apa-apa, Kak! Tadi nggak seimbang, kaki kesemutan," ujar Arya dengan cengiran khasnya.

"Ada apa?" tanya Aren sekembalinya dari mengantarkan Ayah Ris.

"Nggak ada apa-apa. Ayo balik, Ren, biar Kak Cio sama Andre bisa istirahat. Lo juga harus istirahat." Arya berjalan terlebih dahulu.

Ketiga lelaki yang tertinggal itu saling menatap dan mengedikkan bahu. Mereka bergegas mengejar Arya yang sudah sampai di gerbang area pemakaman.

"Ren, gue khawatir sama abang lo! Sejak awal pas kita berhenti di jalan desa, dia kayak nggak ada ekspresi apa-apa. Pas masuk rumah juga gitu. Bahkan gue nggak lihat dia nangis. Sampe lihat Ayah Ris nangis pun dia nggak ada nangis," ujar Cio.

"Ren, dia terlalu tenang! Entah apa yang dia pikirin dan dia sembunyikan. Kita jaga dia sama-sama. Seenggaknya sampai dia bisa lepas semua belenggu yang ngikat dia," timpal Andre.

"Bantu gue ..., bantu gue jagain abang. Gue yakin dia mendam semuanya."

"Menurut lo, dia bisa nekat?" tanya Andre.

"Nggak usah mikir macem-macem! Abang bukan orang dengan pemikiran pendek!"

"Kalian jalan lama banget! Gue balik duluan, kasian ayah dah nungguin!" ucap Arya saat mendapati ketiga orang di belakangnya tertinggal jauh.

🍃🍃🍃

Ninja bawangnya masih suka naburin bawang+garam!
Pedihhhhh!!
😢😭😢😭

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3
#DAY17
Bondowoso, 11 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top