15 ~ Kabar

Ada kesakitan yang bisa ditahan.
Ada kesakitan yang harus dilepas.
Ada kesakitan yang wajib dinikmati.
Namun, kesakitan yang tersakit adalah saat melepaskan.
(Nararya Tirtakusuma)

🍃🍃🍃

Arya duduk bersandar di kepala ranjang. Ada tiga laki-laki yang tengah menatapnya dengan sangar, Andre, Cio, dan Aren. Ketiganya sedang meluapkan kekesalan pada Arya.

Begitu Arya berkata kakinya kram, Aren bergegas memanggil Andre dan Cio. Keduanya lalu memapah Arya masuk rumah. Beginilah akhirnya, Arya tak berkutik dan menjadi terdakwa.

"Udahan napa? Gue lagi sakit, lo! Masa iya yang sakit dimarahin, keroyokan pula!"

"Udah tau sakit, masih aja maksa kelayapan!" sindir Cio.

"Lo terlalu badung kalo dibilangin, Bang! Giliran diomelin manyun juga tuh bibir!" Aren lalu meremat gemas bibir Arya. Lelaki itu tak terima dan balik menatap sadis pada sepupunya.

"Persis sama si Ica keponakan gue yang masih TK. Giliran sakit nggak bisa diem, pas dimarahin malah manyun! Gue curiga nih anak cuma dewasa badan aja, kelakuan sebelas, duabelas sama anak TK," ucap Andre sambil melirik Arya yang semakin menunduk.

"Boleh tidur nggak?" ujar Arya pelan.

Ketiganya saling menoleh lalu mengangguk bersamaan. Tak banyak bicara lagi Arya langsung menurunkan tubuhnya untuk berbaring. Aren bergegas menarik selimut yang berada di ujung ranjang.

Cio meraba kening Arya. "Panas lagi, Ren! Kompres aja abis ini, tapi kalo nggak turun-turun panasnya bawa ke UGD saja."

Arya yang mendengar kata UGD langsung menepis kasar tangan Cio yang masing bertengger di keningnya. "Nggak! Awas aja kalo masih maksain, gue kerjain abis-abisan!" ancam Arya.

Ketiganya menegang mendengar ucapan Arya. Apa yang dia rencanakan tak pernah gagal. Ibarat kata, jika tidak tuntas hingga akar maka Arya tak akan pernah berhenti mengganggu dan usil pada teman-temannya.

🍃🍃🍃

Inikah yang namanya sembuh karena takut? Arya lebih takut dengan UGD hingga daya tahan tubuhnya meningkat dengan pesat. Demamnya reda dalam semalam. Batuk dan sesaknya sedikit berkurang.

Agenda kegiatan HMJ sudah menantinya. Dua hari lagi, jurusannya akan mengadakan seminar kebahasaan yang mendatangkan beberapa narasumber ternama. Kegiatan ini juga yang menjadi salah satu alasan dia sembuh lebih cepat.

"Gue tau, Bang, kegiatan ini bakal jadi pamungkas untuk pengurus HMJ periode ini. Pesen gue satu, gunakan tenaga lo sebaik mungkin. Simpen tenaga lo untuk hal-hal tak terduga lainnya. Jangan gaspol macem motor sport-nya si Andre."

"Iya, gue paham. Gue udah catet baik-baik di kepala untuk ngatur jadwal biar ada waktu untuk istirahat. Gue nggak lupa sama tujuan awal, gue udah pajang niat awal dengan mantra khusus biar terus terlihat. Nih, di sini!" ujar Arya sambil menunjuk sesuatu tak terlihat lima senti di depan matanya.

"Keseringan nonton film 5 cm, lo, Bang!"

"Emang kenapa? Selama tontonan itu bisa menjadi tuntunan yang baik, kenapa juga nggak diambil faedahnya. Kecuali film yang biru-biru, barulah bisa ditanya faedahnya ada di sebelah mana."

Aren hanya manggut-manggut. Dia memilih untuk mengakhiri bahasan tentang film biru. "Nanti pulangnya jam berapa? Gue rada sore baru balik," ucap Aren.

"Gue juga sorean baru beres. Saling nunggu biar bisa balik bareng."

"Ntar gue kabarin kalo dah beres duluan."

🍃🍃🍃

Aren sedang berada di kelas dan mendengarkan penjelasan dosen saat ponselnya bergetar. Lelaki itu berusaha mengabaikan panggilan yang masuk. Sisa sepuluh menit lagi sebelum sang dosen meninggalkan kelasnya.

Getar ponsel Aren tak juga berhenti. Sulung dari dua bersaudara itu akhirnya mengeluarkan ponsel untuk melihat berapa panggilan yang masuk. Mata elangnya melebar, ada sekitar dua puluh panggilan tak terjawab dari mamanya.

Hal ini mengundang tanya di benak Aren. Tak berlama-lama lagi, ketika panggilan berikutnya masuk Aren langsung mengangkatnya.

"Halo? Asalamualaikum, Ma. Maaf barusan masih ada kelas. Ada apa?" tanya Aren.

"Wa alaikum salam, Ren. Ajak abang pulang, ya! Bunda Runi sakit, Nak. Nyariin abang terus," ujar suara dari seberang.

"Sejak kapan bunda sakit, Ma? Kenapa baru ngabarin?" Aren bertanya dengan nada khawatir.

"Sakitnya dari semalam. Ini dikabari siang biar kalian ndak kemalaman sampe sini. Abis ini masih ada kelas? Kalo bisa izin aja dulu."

"Masih sisa satu kelas lagi, Ma. Kemarin Aren sudah izin. Si abang sakit."

"Abangnya kenapa lagi, Nak?"

"Nggak tau, tiba-tiba aja demam, batuk, sama sesak. Sekarang udah baikan, sudah pecicilan lagi seperti ulat nangka, Ma."

"Usahakan pulang, ya, Nak? Kasihan Bunda Runi, kayaknya kangen banget sama si abang," pinta Mama Rid.

"Abis ini Aren susul abang."

"Nggak usah buru-buru pas pulang nanti, hati-hati di jalan. Salam sama abang, ya! Asalamualaikum."

"Nanti Aren sampein salamnya. Wa alaikum salam." Ditutupnya sambungan telepon dari sang mama.

Aren lalu menghubungi abangnya. Beberapa kali menelepon selalu saja tak ada jawaban. Pesan yang dikirim melalui whatsapp juga masih dua centang berwarna abu-abu. Aren tak sabar, dia memilih berlari untuk mencari keberadaan abangnya.

Kelas yang biasa digunakan anak PBI'18 ternyata kosong. Aren menengok beberapa kelas lainnya berharap kelas Arya hanya berpindah kelas. Sama saja, tak ada yang mengisi ruang kelas tersebut.

"An-Ana!" panggil Aren pada gadis berjilbab biru langit. "Lo Ana 'kan? Teman sekelasnya Arya?"

Ana yang merasa dipanggil lantas berbalik dan mengangguk pada Aren.

"Lo tau nggak ke mana Arya pergi? Kelas udah kosong pas gue sampe sana. Apa dah lama kelasnya kelar?"

"Arya ada di sekretnya HMJ, kayaknya masih riweh sama persiapan seminar, lusa. Coba aja cari ke sana," jawab Ana.

"Oke, thanks banget, An!"

"Sama-sama," ujar Ana sambil memandang punggung Aren yang mulai menjauh.

Si sulung itu langsung menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Ana. Mata tajamnya memindai setiap orang yang dilewati. Aren berharap abangnya sedang tak sibuk dan tak berada di luar kampus.

Sampai di depan pintu ruang sekretariat, Aren melihat sosok abangnya tengah bersandar pada dinding dan memejamkan mata. Tampak gurat lelah menghias wajah abangnya.

"Lo sepupunya Arya 'kan?" Aren mengangguk menjawab pertanyaan lelaki itu.

"Dia baru aja tidur. Mau gue bangunin?" tanya lelaki itu sekali lagi.

"Nggak usah, biar gue aja yang bangunin. Makasih, ya!"

"Nggak usah sungkan, Bro! Gue duluan," pamitnya.

Setelah mempersilakan lelaki itu pergi, Aren mendekati Arya dengan perlahan. Diguncangnya lengan sang abang. "Bang, bangun!"

Hanya dengan panggilan pelan Arya sudah mengerjapkan mata. Lelaki itu menyipitkan matanya saat melihat wajah Aren berada di hadapannya.

"Kenapa nyamperin sampe sini? Bukannya lo bilang mau ngabarin kalo dah kelar?" tanya Arya sambil menggeliat guna mengurangi pegal di tubuhnya.

"Gue udah telepon sama WA, tapi lo nggak jawab." Arya lalu meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya.

"Sorry, ponselnya mode senyap. Ada apaan? Kerjaan gue belum beres di sini," ujar Arya.

"Mama telepon, Bang! Kita disuruh pulang hari ini juga. Bunda Runi sakit dan lo yang dicariin."

Arya tertegun mendengar sang bunda tengah sakit. "Bunda biasanya paling kebal, kenapa tiba-tiba sakit? Kenapa baru ngabarin?" tanya Arya sambil merapikan barang-barang miliknya.

Tangan Arya mendadak bergetar. Ada rasa panik yang menyerang saat mengetahui sang bunda sakit. Arya menyesal karena beberapa hari terakhir dia lupa untuk sekadar bertanya kabar keluarganya.

"Bang, tenang! Nggak usah panik. Kita pasti ketemu sama bunda. Kita balik sekarang, ya?"

Arya mengangguk. Dia masih berusaha menenangkan diri. Gemetar di tangannya sudah berkurang. Namun detak jantungnya meningkat. Rasanya sangat tak nyaman hingga dia berkali-kali mengembuskan napasnya dengan kasar.

Getar ponsel Aren menarik perhatian keduanya. Mama Rid kembali menelepon. Aren bergegas mengangkat teleponnya, sementata Arya hanya bisa terdiam dan menarik napasnya dalam-dalam.

Aren membatu mendengarkan kata demi kata yang diucapkan oleh mamanya. Arya yang penasaran menatap Aren dengan penuh tanya. Begitu sambungan telepon terputus, tangan Aren yang memegang ponsel lunglai seketika.

"Kenapa? Mama Rid bilang apa?" tanya Arya sambil mengguncang bahu sepupunya.

Aren hanya menggeleng, lelaki itu kehilangan kata-kata. Suaranya bahkan tercekat seperti enggan untuk dikeluarkan. Hanya tarikan napas yang terdengar semakin memburu.

"Aren! Mama bilang apa?" teriak Arya.

🍃🍃🍃

Voilaaa!!!
Update-nya di jam Sinderlela.
Masih selamat dan tepat waktu.
Semoga lolos dari tantangan hari ini.

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3
#DAY15
Bondowoso, 09 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top