13 ~ Aman?

Tenang ....
Ini terlalu tenang untukku.
Ketenangan yang didapat hanyalah semu.
Sebenarnya, tak ada ketenangan bagiku.
Karena segalanya hanyalah gejolak yang tertunda.
(Nararya Tirtakusuma)

🍃🍃🍃

Ada yang terasa kosong saat biasa ramai lalu hening tiba-tiba. Terasa tenang tapi nyatanya ada yang tak lega. Menanti ketenangan yang benar-benar tenang hanyalah sebuah perencanaan yang tak pernah terlaksana, mustahil!

Sejak Mala pamit untuk pindah kota, Arya sedikit merasa tenang karena tak ada lagi yang mengikutinya. Tidak ada lagi sosok gadis berkacamata yang mendekati lalu mulai membuat rusuh dalam hidupnya. Awalnya tenang, tapi ketenangannya itu seperti hampa.

Perkuliahan yang dilalui akhir-akhir ini cukup tenang, dengan semua kegiatan bisa dilaluinya dengan baik. Tak hanya Arya, Aren pun begitu. Keduanya masih diberikan kesempatan untuk menikmati hari bersama.

"Nanti malam mau makan apaan? Gue belum belanja, Bang! Nanti belanja sekalian makan di luar gimana?" tanya Aren yang duduk di sofa tengah, samping tangga.

Arya yang sedang berselancar di dunia maya memilih untuk menyudahi kegiatannya. "Enaknya makan apa? Lagi nggak napsu mau makan."

"Tadi siang lo juga bilang nggak enak yang mau makan. Tumbenan banget, Bang?"

Arya hanya terdiam, tangan kanannya dia tarik ke arah mulut lalu mulai menggigiti kuku ibu jarinya. Aren masih saja tak menyadari yang dilakukan oleh abangnya itu. Selama beberapa waktu mereka terjebak dalam hening.

"Ish, mulai kapan lo gigitin kuku lagi?" ujar Aren sambil menarik tangan Arya untuk menjauhi mulutnya.

"Gabut, Ren!"

"Gabut sih gabut, Bang! Tapi nggak gini juga caranya. Lo udah lama buang kebiasaan ini. Kenapa sekarang begini lagi?"

Arya cemberut mendengar Aren berceramah. Lelaki itu lalu beranjak ke kamarnya dan tak lama kemudian suara bantingan pintu membuat Aren kaget. "PMS nih si abang!" ujar Aren sambil menggeleng.

🍃🍃🍃

Arya termenung di dalam kamar. Lelaki itu hanya menatap kosong lembaran kertas di hadapannya. Niatnya untuk menulis sebuah puisi hanya berakhir dengan lamunan. Tiba-tiba saja terbersit satu pikiran di kepalanya.

Seorang Nararya Tirtakusuma yang biasanya berpikir laksanan air mengalir dan mengikuti alur yang sudah ada, tiba-tiba saja memikirkan jauh hingga beberapa waktu ke depan. Apakah dia bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu? Apakah dia sanggup menjalani sisa hidupnya? Apakah dia bisa meraih bahagia untuk dirinya dan kedua orang tuanya?

Pertanyaan itu terus saja menari dalam benaknya. Semacam mendung yang bergelayut di langit, hitam tanpa hujan. Begitulah pikirannya saat ini. Penuh tapi tak memiliki jalan keluar untuk menjawabnya.

Kenapa malah mikirnya macem-macem kayak ini, sih? Tapi semua itu normal 'kan? Gue punya otak, ya, buat mikir. Batin Arya.

Belum juga menemukan jawaban, tenggorokan yang sedari siang sudah terasa sedikit perih itu semakin jadi. Bukan hanya perih, tapi disertai gatal yang mengganggu. Arya terbatuk beberapa kali, bukannya lega malah terasa sesak.

Arya menarik napas dalam-dalam lalu terbatuk lagi saat tarikan napasnya justru menimbulkan nyeri di dada. Pria dengan mata elang itu beranjak saat mendengar ketukan di pintu kamarnya. Dia memandang penuh tanya pada sepupunya.

"Apa?" Suara serak Arya menyambut kedatangan Aren.

Aren menyodorkan segelas dan terima oleh Arya. Hangat langsung menyapa indera peraba abangnya.

"Makasih," ujar Arya sambil berjalan mendudukkan dirinya di sisi ranjang.

"Jadi makan apa? Biar gue aja yang jalan. Lo jaga rumah."

"Apaan ya? Pengen yang seger, Ren. Titip es buah, ya? Di depan Toko Bursa Mahasiswa masih ada meski udah sore begini."

"Sekalian aja titip es teler sama gerobaknya, Bang! Itu tenggorokan makain seret, terus besok sisa suara kodok yang muncul. Kalo titip es gue ogah beliin, yang lain aja!"

"Cilok depan Jl. Jawa III, jangan lupa sambelnya dua sendok!"

"Ya Allah, Gusti! Lo itu mau bikin tenggorokan lo kelojotan, Bang? Makanan yang lo titip ini nggak ada yang bener. Udah, terserah gue aja!" Aren kemudian pergi meninggalkan kamar Arya.

"Tadi ditanyain, sekarang dimarahin. Dasar bocah labil!"

"Gue denger, Bang!" teriak Aren dari lantai dasar. "Iya gue emang bocah labil, tapi lo apa? Lo itu balita labil!" olok Aren.

🍃🍃🍃

Aren datang membawakan bubur kesukaan Arya. Namun, Aren bak menabuh genderang perang dengan sepupunya. Abangnya itu suka bubur. Segala jenis bubur dia sukai, hanya saja kali ini Aren melupakan satu hal, dia lupa bahwa abangnya sangat benci dengan seledri.

Abangnya sudah sangat semangat saat melihat bawaan Aren, tetapi begitu dibuka, pemandangan potonga-potongan hijau di buburnya membuat Arya menekuk wajahnya. Arya terduduk dengan lesu.

"Seledri," ucap Arya lirih.

"Tinggal dipinggirin aja kalo nggak suka. Tadi lupa bilang."

"Minggirin seledri segitu banyaknya, belum makan udah kenyang duluan. Nggak mau! Gue minum wedang rondenya aja. Makan tuh bubur, lo suka sama seledri 'kan?" Arya lalu menyambar minuman hangat di sebelah Aren.

Aren mendesah pelan melihat kelakuan abangnya. "Iyee, gue makan bubur. Apesnya jadi adek. Padahal umur juga tuaan adeknya, masa nggak ada sopan-sopannya sama dedek?"

"Sabodo teuing! Suka-suka gue, ujar Arya.

Tenggorokan Arya sudah kembali hangat, batuk yang menyiksanya sudah jauh berkurang. Doanya kali ini adalah semoga tidur kali ini tak terganggu. Dia ingin bangun di pagi hari dengan tubuh yang segar.

Sayangnya ketenangan tak berpihak padanya. Saat menjelang dini hari, justru batuk dan sesaknya kembali menyerang. Tetes-tetes keringat membahasahi keningnya. Dia menahan batuknya supaya tak mengganggu tidur sepupunya.

Lelah menahan batuk dan sesak, lelaki itu memboyong selimut dan bantal miliknya ke tempat salat. Arya bersandar pada dinding dan memeluk bantal. Kakinya dia lilit menggunakan selimut. Berharap dingin yang menjalar di kakinya itu segera berkurang.

Sesekali dia masih saja terbatuk pelan. Matanya terpejam, tapi deru napas yang tercekat terasa menganggu telinganya sendiri. Beberapa kali ganti posisi, tapi tetap saja tak membuahkan hasil.

"Bang, minum dulu, ya? Batuknya masih nyiksa?"

Arya hanya mengangguk. "Sorry, lo jadi keganggu tidurnya. Balik ke kamar gih, gue tidur di sini aja. Kamar gue udah kayak kulkas rasanya," lirih Arya.

"Gak apa-apa, ini lo demam, Bang! Tidur di sini malah makin dingin."

"Enak di sini," ujar Arya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Aren.

Aren memilih untuk tak memaksa abangnya, yang terpenting baginya adalah kenyamanan. Selama Arya masih merasa nyaman, dia akan menuruti. Seperti saat ini, Arya merasa nyaman tidur sambil bersandar di bahu Aren.  Meski dengan duduk bersandar di dinding, keduanya justru terlelap dan melanjutkan tidurnya kembali.


🍃🍃🍃

Maafkan karena kemarin nunggak lagi.
Masih nungguin mereka, kan?
Kalo masih ditungguin, abis ini bakal up lagi.
Saba-sabar, yaa!

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 3
#DAY13
Bondowoso, 07 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top