Last Chocolate (Agent!AkaixDoctor!Reader)
Aku yang selama ini dekat denganmu, tidak pernah bisa mengatakan isi hatiku. Dengan cokelat ini, kuharap kau bisa mengetahuinya. Walaupun ini akan jadi cokelat pertama dan terakhir
***
Aku berjalan menyusuri lorong bernuansa putih bersih yang sangat kukenal sambil sesekali membalas sapaan para perawat dan beberapa pasien yang akrab denganku. Tapi pagi ini pikiranku jadi sedikit terusik karena telepon dari salah satu perawat yang jaga.
Dengan langkah panjang dan bisa dibilang setengah berlari, aku segera menuju ruanganku. Di depan pintu ruang kerjaku sudah ada perawat yang bertanggung jawab atas kegelisahanku pagi ini.
"Ah, (Name)-sensei." Perawat itu tersenyum hangat kepadaku. Alih-alih membalas senyuman ataupun sapaannya, aku langsung bertanya dengan nada tak sabar.
"Di mana dia?"
Mengerti jika aku sudah siap bertugas, perawat itu langsung nenjawab,
"Dia sudah dibawa ke ruang operasi untuk mengeluarkan peluru dari bahu kanannya."
"Berapa peluru yang bersarang di tubuhnya?"
"Kurasa ada dua peluru. Araide-sensei sedang berada di ruang operasi sekarang."
"Siapkan peralatanku. Aku akan membantu Araide-sensei."
***
Seminggu berlalu sejak operasi menegangkan itu. Aku mulai bertugas untuk merawat orang yang kuoperasi bersama Dokter Araide. Alasannya? Karena aku mengenalnya sudah cukup lama. Bisa dibilang... kami teman masa kecil.
Aku memutar kenop pintu ruang rawat VIP yang bangunannya terpisah dari bangunan utama rumah sakit. Dan...
ruangan itu kosong.
Aku menghela nafas. Ini bukan pertama kalinya orang itu tiba-tiba menghilang. Jadi aku tahu orang yang bisa dihubungi sekarang.
Aku mengambil ponsel pintar dari saku jas dokterku dan menekan layar yang sudah kuhafal.
"Hello, (Name)-chan. What's Wrong?"
"Jody-san, Akai kabur lagi." Laporku dengan nada malas.
"What?! Apa mungkin dia benar-benar bertugas di kondisinya yang baru setengah pulih?"
"Kan sudah kubilang untuk tidak membicarakan pekerjaan jika kalian menjenguknya. Itu hanya akan membuatnya kabur demi menjalankan tugasnya."
"Rasa keadilannya memang tinggi sih... tapi tenang saja. Aku akan segera hubungi Mr Black untuk mencarinya."
"Seret dia ke Rumah Sakit jika perlu." Setelah berkata dengan nada yang cukup mengancam, aku memutus sambungan teleponnya dan tersenyum tipis.
Orang yang memiliki keadilan yang sangat tinggi ya? Dia bahkan mengabaikan kondisi fisiknya.
Tiga jam setelah percakapan singkatku dengan Jody-san, wanita berambut pirang itu mendatangi Rumah Sakit tempatku bekerja dan langsung pergi ke ruanganku.
"Jody-san?" Aku kaget melihatnya memasuki ruanganku ditemani salah seorang perawat yang kutahu bekerja di bagian resepsionis.
"Aku sudah menemukannya. Camel sedang membawanya kembali ke ruang perawatannya saat ini." Ujar wanita bule itu tersenyum puas.
"Kau... benar-benar menyeretnya?" Tanyaku bersweatdrop ria.
"Jika tidak begini, dia tidak akan mau kembali!" Jody-san agak cemberut karena melihat reaksiku yang mungkin tidak sesuai harapannya.
"Dia keras kepala sih... tapi, terima kasih sudah membawa Akai kembali ke Rumah Sakit." Aku tersenyum pada wanita yang juga merupakan rekan kerja Akai.
"No problem. (Name)-chan sudah banyak membantu kami. Terutama Shuichi, dia berhutang banyak sekali padamu."
"Tidak kok. Itu sudah tugasku sebagai seorang dokter untuk membantu kalian sebagai pelindung masyarakat."
"Baiklah. Aku harus pergi sekarang. Masih ada pekerjaan yang harus kulakukan."
Aku tersenyum dan mengantarnya sampai di depan resepsionis sebelum benar-benar berpisah dengannya.
Setelah mengantar Jody-san, aku segera pergi ke ruang VIP tempat Akai beristirahat. Saat aku masuk, pemuda bersurai hitam itu tengah membaca koran di ranjangnya.
"Jadi... pergi kemana kau pagi ini?" Tanyaku sambil berkacak pinggang. Akai pasti tahu jika aku akan menginterogasinya setelah dia kembali ke RS. Jadi dia menjawab dengan santai,
"Aku dengar ada salah satu anggota organisasi yang melakukan transaksi gelap di hotel Haido. Jadi aku pergi ke sana untuk menggali informasi."
Aku menghela nafas. Sebenarnya aku tahu tujuan Akai dan rekan-rekan FBInya datang ke Jepang. Karena pekerjaanku sebagai dokter dan Akai adalah teman masa kecilku, aku tahu cukup banyak tentang misi utamanya menghancurkan organisasi hitam yang melakukan banyak sekali tindak kejahatan.
Tapi melihat dia memaksakan diri seperti ini, sungguh membuatku khawatir padanya. Aku tahu -sangat tahu malah- jika pekerjaan Akai sangatlah beresiko. Tapi tetap saja jika menyangkut organisasi itu, Akai akan melakukan apapun bahkan seandainya dia berada dalam kondisi sekarat sekalipun.
"Akai, kenapa kau..."
"Kita hanya berdua. Kau tidak perlu memanggilku begitu." Sela Akai tanpa menatapku. Dia masih asyik membaca korannya.
"Baiklah, Shu. Kenapa kau ingin sekali menghancurkan organisasi itu? Aku tahu mereka orang jahat, tapi kau sering sekali dalam bahaya jika berurusan dengan mereka."
Akai terdiam selama beberapa saat.
"(Name), aku sudah pernah bercerita tentang seorang gadis yang kutemui saat menyusup di organisasi itu kan?"
Hatiku mencelos mendengarnya. Dengan ragu aku menjawab,
"I-iya. Dia tewas dibunuh oleh salah satu anggota organisasi itu kan?"
"Benar. Gadis itu sebenarnya anggota organisasi juga dan dia hanya dimanfaatkan oleh mereka. Aku tidak bisa memaafkan perbuatan mereka karena..." Akai menggantung ucapannya.
"Karena?" Aku mengulangi kata terakhirnya.
Akai melipat koran yang dibacanya dan menatapku sendu.
"...aku menyukai gadis itu."
Kalimat terakhir yang diucapkan Akai bagai pisau beracun yang menikam tepat di ulu hatiku. Akai Shuichi adalah tipikal orang yang tidak terlalu tertarik pada lawan jenis dan gila keadilan. Tapi... justru sifatnya yang sangat bisa diandalkan, yang membuatku tertarik padanya. Jadi mendengar dia menyukai seorang gadis benar-benar membuatku tak habis pikir. Sehebat apa gadis itu hingga Akai bisa jatuh cinta padanya?
Aku berusaha menguasai diriku sendiri. Setidaknya, aku menahan tangisku agar tidak meleleh di sini. Aku berjalan ke rak obat yang sudah disediakan dan bergumam pelan.
"Buka bajumu. Aku akan mengganti perbanmu sekarang."
***
Aku melangkah menuju halte bis dengan langkah lesu. Menyedihkan sekali rasanya patah hati bahkan sebelum berjuang. Selama bertahun-tahun, Akai belum mengerti perasaanku. Ah, kurasa ungkapan 'Cowok tidak peka' tidak sepenuhnya salah. Bahkan Akai yang lihai menyusun hipotesa sekalipun tidak bisa menyusun puzzle yang kubuat agar dia menyadari perasaanku.
Bruk!
Aku merasa menubruk seseorang. Saat aku merasakan kakiku agak oleng dan hendak jatuh, sebuah tangan terulur menahan pinggang rampingku.
"Kau tidak apa-apa, (Name)-san?"
Aku menatap wajah pemuda berkulit eksotik yang menahan pinggangku.
"Amuro-kun?" Aku kaget dan langsung berdiri tegak dan menjaga jarak kami.
Amuro tersenyum melihatku.
"Baru pulang?"
Aku hanya mengangguk.
"Mau kuantar?"
"Ah... tidak usah. Aku akan naik bis saja. Lagipula rumah Amuro-kun jauh, jadi..."
"Aku bawa mobil kok. Lagipula..." Amuro menatapku hangat.
"... sepertinya kau sedang ada masalah, perlu teman curhat?"
Aku menatap Amuro merasa sedikit tidak enak. Jika ada orang yang tidak bisa kubohongi di dunia ini, mereka adalah Akai dan Amuro karena kemampuan mereka dalam menganalisa orang lain benar-benar luar biasa.
Karena menolakpun percuma, akhirnya aku menyetujui ajakan Amuro untuk mengantarku pulang. Tapi di tengah perjalanan, pemuda berkulit eksotis itu malah mengajakku makan di cafe tempatnya bekerja sambilan.
"Amuro-kun?" Aku menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan saat ia menghentikan Mercedez silvernya di depan Cafe Poirot.
"Kau pasti belum makan malam kan? Makan saja sebentar, aku yang traktir. Lagipula karena aku bekerja di sini... mungkin kita akan dapat potongan harga."
Aku hendak membuka mulutku untuk menolaknya, namun Amuro sudah terlanjur keluar dari mobil. Kalau begini, aku tidak mungkin menolak.
Aku dan Amuro duduk di salah satu bangku di dekat jendela dan hanya diam sampai pelayan datang dan memberikan buku menunya pada Amuro.
"Ara? Kau sedang berkencan ya, Amuro-san?" Tanya si pelayan perempuan yang membawakan buku menu.
Blush!
Dan entah kenapa mukaku malah memerah. Seharusnya aku menolak ajakan Amuro. Ini hanya akan jadi salah paham.
Sedangkan Amuro hanya tertawa renyah mendengar ucapan pelayan itu.
"Mana mungkin aku berkencan dengannya? Dia sudah punya cowok incaran kok!"
Aku menatap Amuro heran. Apa begitu jelas kalau aku sedang menyukai Akai? Sehebat apapun analisa seseorang, tidak mungkin sampai mengetahui hal yang bersifat pribadi seperti itu kan?
Amuro memesan dua cappucino dan dua porsi steak untuknya -dan untukku tentu saja-. Si pelayan itu tersenyum sebelum mencatat pesanan dan pergi.
"Jadi, apa kau bertengkar dengan Akai?"
Ketika Amuro mengajukan pertanyaan itu, aku merutuki takdirku yang harus bertemu dengan orang-orang yang berpotensi menjadi mind reader.
Aku hanya menggeleng pelan. Aku tidak mungkin melontarkan pertanyaan seperti 'Bagaimana kau tahu' atau semacamnya. Karena aku yakin dia sudah menganalisa semua kemungkinan dan mengambil kesimpulan dengan keakuratan mencapai seratus persen.
"Lantas apa yang membuatmu tidak bersemangat begitu?"
Aku tidak yakin untuk menceritakannya pada Amuro. Mengingat kami baru mengenal selama setahun. Ia juga seorang agen sama halnya dengan Akai. Tapi dia berada di pihak PSB sedangkan Akai ada di pihak FBI. Tentu saja aku mengenal Amuro karena dia juga pernah menjadi pasienku. Tapi tidak sesering Akai yang masuk RS karena terluka saat bertugas.
"Jika kau ragu menceritakannya, tidak masalah. Tapi setidaknya kau harus mencari orang untuk berbagi perasaan sedihmu."
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat Amuro yang peduli padaku membuatku sedikit tersanjung.
"Oh ya, mungkin 'itu' bisa memperbaiki perasaanmu."
"Itu?" Aku menautkan alis heran.
Amuro menunjuk sebuah toko cokelat yang berada di seberang jalan. Aku sedikit terperanjat melihat toko itu. Toko itu memang sederhana, tapi dekorasi toko itu terlihat khas dengan warna merah muda yang tenang dan ornamen berbentuk hati di mana-mana.
"Coba saja beri Akai cokelat." Usul Amuro.
"Tapi... Shu tidak suka makanan yang terlalu manis."
"Kalau begitu, beli saja dark chocolate. Cokelat jenis itu tidak terlalu manis." Saran Amuro.
Aku terdiam sejenak dan kembali menatap toko cokelat itu.
Cokelat ya??
***
Pagi yang cerah menyelimuti kota Beika. Aku sengaja berangkat ke RS lebih awal entah karena nasihat Amuro atau apa, yang jelas aku begadang semalaman untuk membuat cokelat untuk kuserahkan pada Akai hari ini.
Aku mengayunkan langkah pelan menuju ruang VIP dan menghentikannya begitu pintu kamar Akai dirawat sudah tepat di depan mata.
Sambil menghela nafas perlahan dan mengatur detak jantungku yang mulai sedikit abnormal, kupegang kenop pintu ruangan dan mendorongnya pelan untuk sekedar mengintip ke dalam ruangan.
Tubuhku membeku seketika.
Di dalam sana ada Akai duduk di ranjang dan Jody duduk di tepi ranjang. Namun posisi merekalah yang membuatku tertegun. Bibir Jody menyentuh bibir Akai.
Mereka berciuman.
Aku merasa jiwaku hancur saat itu juga melihat kejadian yang seharusnya tidak kulihat. Cokelat yang tadinya kupegang, langsung terjatuh. Tubuhku merasa kehilangan kekuatannya. Dengan kaki gemetar, kupaksakan tubuhku untuk mundur dan pergi dari tempat itu sejauh yang kubisa.
Aku berlari melewati lorong rumah sakit yang masih sepi. Penglihatan mataku mulai kabur dan tetes demi tetes air mulai membasahi pipiku. Tapi aku tak peduli dan terus berlari hingga sampai di tempat parkir yang sangat sepi. Aku langsung menyandarkan tubuhku di salah satu sudut tempat parkir yang remang-remang dan perlahan merosot ke bawah. Aku memeluk lututku dan menangis dalam diam.
Harapanku pupus sudah.
Pikiranku kosong dan nyaris tak bisa berpikir jernih hingga aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku terdiam dan sedikit beringsut ke samping agar tak ada orang yang menyadari keberadaanku di sana. Tapi detik berikutnya, aku mendengar suara seorang wanita yang sepertinya tengah bercakap-cakap lewat telepon.
"... yah, semua berjalan sesuai rencana. Kau bisa ambil posisi sekarang."
Mau tak mau aku penasaran dengan percakapan yang tidak sengaja kudengar ini. Mungkin memang tidak sopan, tapi wanita yang tengah berbincang itu berjalan menuju salah satu mobil yang terparkir hanya sekitar 3 meter dari tempatku berada.
"Sebentar lagi mereka akan ke taman rumah sakit yang berada di belakang bangunan ini. Saat itu, segera siapkan senapanmu dan bunuh dia."
Aku nyaris memekik histeris seandainya aku tidak ingat bahwa kini aku tengah bersembunyi di sudut tempat parkir. Suasana tempat parkir yang masih sepi, membuat ucapan wanita tersebut menggema dengan jelas di tempat ini.
"Ah... maksudmu agen wanita itu ya? Kau melihatnya? Kau tidak perlu mempermasalahkannya. Saat peluru itu menembus kepalanya, dia akan terlalu panik untuk mengejarmu. Jadi kau bisa gunakan kesempatan itu untuk kabur."
Hatiku semakin gelisah mendengar percakapan wanita itu dengan seseorang lewat ponselnya. Jelas sekali si wanita ini hendak merencanakan sebuah pemnunuhan di rumah sakit tempatku bekerja.
"Bersiaplah. Sebentar lagi mereka akan menuju ke taman." Wanita itu masuk ke dalam sebuah mobil mercedez berwarna perak dan meninggalkan tempat parkir.
Aku masih membeku di tempatku. Ada orang yang berencana melakukan pembunuhan di sini. Lalu apa yang harus aku lakukan? Di sini ada 500 orang lebih pasien yang dirawat. Bagaimana bisa aku menemukan target itu dari sekian banyak pasien? Ditambah lagi aku tidak punya banyak petunjuk untuk mengetahui target mereka.
Terlintas di pikiranku untuk bicara dengan Akai. Dia adalah seorang agen FBI, jadi dia pasti bisa mencegah pembunuhan ini.
Aku langsung bergegas pergi untuk menemui Akai di lantai 5. Namun baru saja aku sampai di koridor lantai 5, kuhentikan langkahku secara tiba-tiba.
Tunggu dulu, aku merasa ada yang sedikit aneh di sini. Wanita itu tadi mengatakan sesuatu tentang agen wanita serta target mereka. Berarti si target ini bersama seorang agen yang mengawasi target tersebut. Ditambah lagi sepertinya pelaku tahu kebiasaan si korban.
Apa? Agen... taman belakang...
Mataku membulat sempurna dan hatiku mencelos seketika. Aku memutar tubuhku dan segera berlari menuju taman belakang. Aku merutuk pintu lift yang tengah digunakan hingga membuang waktuku yang berharga dan membuatku berlari menggunakan tangga darurat menuju taman belakang RS.
Saat sampai di taman belakang, aku bisa melihat sosok Akai yang duduk di kursi roda sambil ditemani Jody yang mendorong kursi rodanya. Tanpa pikir panjang aku berlari ke arah Akai dan memeluknya.
Tepat pada saat itu, aku merasakan sesuatu terasa menusuk punggungku membuat tubuhku bergetar dan terasa sakit menjalar di seluruh tubuhku.
Bisa kurasakan tubuh Akai menegang karena sikapku yang muncul tiba-tiba dan langsung memeluknya.
"(Na-name)?" Akai memanggilku dengan nada tak percaya dan sedikit terbata.
Aku berusaha mengatur nafasku yang malah terasa semakin berat dan membuat pandanganku agak kabur.
"Ma-maaf. Ta..pi... aku tidak... ingin ke-kehilangan... orang ya-yang ku...sayangi..." aku bergumam dengan nada lemah dan tubuhku terasa semakin berat.
Aku yakin jika Akai belum bisa mencerna ucapanku sepenuhnya. Tapi aku tidak bisa menahan kesadaranku lebih dari ini. Satu hal yang kuingat sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya adalah pekikan Jody dan teriakan Akai yang memanggil namaku.
***
Hujan deras mengguyur kota Haido. Beberapa orang berpakaian serba hitam terlihat berdiri di depan sebuah makam yang masih sangat baru. Terukir dengan sangat jelas di batu nisan itu '(Full Name)'
Ya, itu makamku.
Aku berdiri tak jauh dari kerumunan orang yang berdiri di makamku. Rambut (Hair Colour)ku tergerai indah serta gaun putih yang kugunakan tidak basah walau hujan yang mengguyur berintensitas tinggi. Tentu saja tidak ada orang yang menyadari kehadiranku di tempat ini.
Tak lama kemudian, kerumunan orang itu bubar. Menyisakan dua orang berbeda gender yang masih berdiri di depan makam itu.
"Shuichi-"
"Jody, tinggalkan saja aku di sini. Kumohon..." Suara Akai terdengar begitu lirih dan lemah. Membuatku merasa bersalah dan sedih di saat bersamaan.
Jody menatap Akai iba sebelum akhirnya pergi meninggalkan Akai sendirian di tempat sepi itu.
Hening
Hanya ada tetesan hujan yang menjadi latar di tempat yang cukup suram ini.
Aku tidak begitu mengingat tentang apa yang terjadi. Namun yang kuingat setelah kesadaranku hilang adalah aku berdiri di depan ruang operasi dan mendengar Araide-sensei mengatakan jika nyawaku tidak tertolong. Sebuah peluru menembus tulang punggungku dan mengenai syaraf-syaraf penting yang terhubung dengan otak.
Pada saat itu, aku baru sadar jika aku telah tewas.
Aku meninggalkan ragaku.
Akai sempat tak percaya ucapan Araide-sensei dan mengiranya tengah berbohong padanya. Tapi Jody berhasil menenangkan Akai dan berjanji akan menyelidiki kasus penembakan ini.
"(Name), maafkan aku..." Gumam Akai lirih. Ia tidak membawa payung hingga tubuhnya basah oleh hujan.
Ingin aku memeluknya sekali lagi dan berusaha menenangkannya. Namun itu tidak mungkin bisa kulakukan dengan kondisiku sekarang.
"Aku sudah berjanji untuk melindungimu.... tapi pada akhirnya, aku tidak bisa melindungi siapapun."
Ingatanku langsung kembali pada masa kanak-kanak saat Akai mengatakan itu. Saat itu, Akai bercita-cita menjadi polisi agar bisa melindungi orang-orang di sekitarnya. Maka akupun menyahut jika ingin menjadi dokter agar selalu bisa membantu Akai apabila dia terluka.
"Maaf, maafkan aku... (Name)..."
Tetes air mata Akai tersamarkan oleh air hujan. Namun sudah terlambat untuk memulai lagi segalanya. Aku melirik sekotak cokelat yang dibungkus kertas kado berwarna biru yang berada di saku jaket hitamnya dan tersenyum tipis.
Jika ada satu hal yang membuatku lega adalah...
Akai akhirnya menyadari perasaanku.
-
-
-
Fyiuh... *ngelap keringet*
Akhirnya bisa update bagian terakhir. Kayaknya ini angst gagal deh. Nggak berpengalaman bikin angst. TwT
Dan dari tiga story, bagian ini yang paling panjang serta paling lama ngerjainnya. Tapu kayaknya typo bakal tetep ada deh. Maafkeun dakuh... - -"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top