35. DOUBLE DATE
Hola guisss, tidak terasa bentar lagi mau tamat hehehhe. Maaf yaaa banyak plot hole di cerita ini🙏
Happy reading!🥰
"Mau sampai kapan lo terima gue kasarin?" tanya Valerie.
"Sampai kamu maafin aku." Nagara sadar bahwa ini adalah karma karena telah membentak Valerie selama ini. Jadi, ia terima apa pun konsekuensinya.
"Kalo gue maafin lo, lo masih soft kayak gini?"
"Masih. Malah tambah lembut." Jawaban itu ia lontarkan sepenuh hati. Menjaga serta membahagiakan Valerie adalah janji yang ia tanamkan di dalam diri. Separuh jiwa sudah ada di wanita itu, tak mungkin sang pria bisa menyakiti Valerie lagi.
Valerie berdecih. "Najis."
"Kok najis, sih?" Nagara mencebik kesal.
"Gapapa." Malas rasanya memperjelas jawaban tersebut.
"Kamu mau maafin aku?" Retina Nagara berbinar.
"Sebenernya enggak, tapi karena anak dan orang tua lo yang welcome banget sama gue, gue berusaha bertahan sama lo. Gak mungkin gue bisa maafin manusia toxic dan tolol kayak lo."
"Jangan gitu...."
"Kenapa?" Valerie mengerut kening.
"Gue lagi berusaha baik dan nunjukin betapa cintanya gue sama lo. Jadi, jangan pernah minta pisah. Jari aja gue korbanin biar lo maafin gue."
"Coba lihat jari lo yang berdarah."
Telunjuknya ia sodorkan pada Valerie. "Nih."
Netra sang wanita menelisik luka yang ditorehkan di jemari Nagara. "Lain kali jangan tolol lagi."
"Kamu mau maafin aku?"
Valerie menghela napas. "Dengan berat hati, gue harus maafin lo."
"Kok, berat hati?" tanya Nagara.
"Soalnya secara nggak langsung gue ngaku diri gue tolol maafin manusia jahanam," jawab Valerie.
"Aku janji nggak bakal nyakitin kamu lagi, kamu bisa pegang omongan aku." Nagara bersungguh-sungguh saat berujar.
"Awas kalo bohong," ancam Valerie menatap sebal cowok itu.
"Iya, Sayang." Wajahnya begitu manis saat berucap. Jiwa ganas Nagara telah sirna, digantikan oleh cinta yang menginvasi seluruh sukma.
Valerie mendelik. "Sayang, sayang. Najis!"
"Aku paham kamu memang berat maafin aku, tapi tolong buka hati kamu buat aku, ya?" Tindakan persuasif terus digencarkan Nagara. Valerie akan ia perjuangkan sampai titik darah penghabisan.
"Enak aja minta buka hati, usaha sendiri lah!" sinis Valerie.
Rasa takut melingkupi hati, membuatnya tertunduk sesal. "Iya, aku bakal berusaha."
"Ya," ketus Valerie.
***
Sudah banyak kecupan Nagara daratkan di sekujur wajah Valerie. Namun, wanita itu tadinya hanya cuek bermain ponsel. Akan tetapi, lama-lama ia terganggu, mau fokus main ponsel jadi tidak bisa.
Valerie menaruh ponsel di atas kasur. "Gara, jangan cium mulu!"
Masa bodoh Nagara kena marah, kecupan tetap dilayangkan. "Nggak bisa berhenti, soalnya aku sayang banget sama kamu."
"Cringe." Sudah malas Valerie bertikai dengan Nagara. Tadi ia membiarkan sang suami mengecupnya agar pria itu tak banyak protes, kepalanya pening mendengar ocehan Nagara.
"Katanya kamu udah maafin aku, tapi kok masih cuekin aku?"
Lihat betapa bodohnya Nagara Mahaputra! Dia pikir Valerie bisa memaafkannya begitu saja setelah semua yang terjadi? Valerie mahir mempermainkan hati, ia sengaja membuat Nagara frustrasi.
Senyuman miring terpatri di bibir Valerie. "Memang gue ada janji buat nggak cuekin lo?"
"Enggak," jawab Nagara.
"Ya udah, berarti suka-suka gue mau cuekin lo atau enggak."
"Kamu sama aja nyiksa aku kalo kayak gini."
"Oh."
"Kok, gitu doang responnya?" Nagara kecewa.
"Terus, gue harus nangis gitu ngelihat lo tersiksa?" tanya Valerie dengan tatapan mengejek.
"Harusnya gitu," balas Nagara.
Dengan emosi, Valerie beranjak dari ranjang, menghentakkan kaki di setiap langkah. "Lo bikin gue bad mood aja, anjing! Mending gue pergi daripada diem di sini. Nggak betah lama-lama sama lo!"
Nagara turut turun dari ranjang, mencegat tangan Valerie. "Valerie, jangan pergi...."
Valerie menghentikan langkah. "Kali ini gue nggak kabur diem-diem, biar lo lihat sendiri betapa muaknya gue sama lo!"
Kedua tangan Nagara memegang pundak Valerie, menatap wanita itu penuh harap. "Please, aku nggak mau kehilangan kamu. Jangan pergi lagi...."
"Kalo gue sering dimaki, enaknya pergi dari sini, dong?" Di sini momen yang tepat untuk Valerie mempermainkan perasaan Nagara.
"Aku janji nggak gitu lagi. Sehari ditinggal kamu aja aku udah gila...." Setetes air mata menerobos pertahanan retina Nagara. Sungguh, ia lelah berpura-pura terlihat kuat di depan Valerie.
Rasa sakit dan senang bersatu padu ketika melihat Nagara menangis. "Kalo gue nggak kabur tapi gue selingkuh sama cowok lain di depan mata lo, apa lo masih mau bertahan?"
"Gapapa, yang penting aku pemilik utama kamu," ujar Nagara sembari mengusap kasar air matanya. "Anak yang di perut kamu ciptaan kita, itu salah satu alasan kenapa kamu harus bertahan sama aku."
"Bisa aja, kok. Nanti kalo anak ini udah lahir, gue buat anak lagi sama cowok lain. Gue murahan banget, 'kan?"
"Enggak murahan, kok."
Valerie mengangguk paham. "Oh, gitu," tuturnya. "Tapi, kenapa waktu itu lo ngatain gue murahan? Padahal, gue nggak ada selingkuh, cuma telponan atau interaksi sama cowok lain aja lo nganggapnya selingkuh."
Rekaman kejadian di masa lalu kembali terputar di otak Nagara. Ia sadar dirinya jahat memberi ujaran kebencian hanya berlandaskan rasa cemburu. "Aku yang salah, Vale. Nggak seharusnya aku gampang nuduh kamu aneh-aneh."
"Telat banget sadarnya." Valerie terkekeh sumbang. "Sayang, gue udah mau minta pisah, tunggu aja surat gugatannya datang."
Nagara berlutut di hadapan Valerie. "Aku nggak bisa hidup tanpa kamu!"
Valerie menghempas pelan Nagara dengan kakinya hingga pria itu terdorong pelan. "Ah, bohong. Buktinya pas gue tinggal sehari lo masih hidup."
Sang pria tetap terduduk di lantai, menatap getir wanitanya yang telah berubah. "Tubuhku hidup, tapi jiwaku mati."
"Aduh, puitis dan sangat melankolis," ejek Valerie.
"Terserah kamu mau bilang apa, yang penting kamu bertahan sama aku."
"Terserah lo mau bilang apa, yang penting surat gugatan sebentar lagi bakal datang."
Kepanikan dirasakan Nagara saat ini. "Kamu nggak serius, 'kan?"
"Serius." Valerie mengambil surat gugatan cerai di laci, memamerkan pada Nagara. "Nih, suratnya."
Nagara berdiri, merampas surat tersebut. Ia menyobek gugatan terkutuk itu hingga tak berbentuk. "Nggak boleh!"
"Lo gila, hah?!"
"Iya, aku gila karena kamu," ujarnya. "Jangan pernah minta cerai."
"Gue bisa buat lagi suratnya," ungkap Valerie.
"Pokoknya nggak boleh cerai!" seru Nagara tak mau dibantah.
"Oke, nggak usah cerai, tapi mending kita pisah, ya?"
"Nggak mau...." Pertahanan Nagara semakin hancur, air mata mengucur deras.
"Lo tidur siang dulu, gih."
"Jangan bilang kamu mau kabur pas aku tidur?" tanya Nagara.
"Iya."
"Aku nggak mau tidur kalo gitu."
Valerie tertawa kecil, seolah perceraian adalah hal yang main-main. "Enggak, bercanda. Lo capek, kan, habis nangis?"
"Buat perjuangin kamu, aku nggak mengenal kata capek," balas Nagara.
"Ya udah, aku undur plan cerainya. Setelah anak ini lahir, kita cerai."
Air mata semakin mengucur deras. Biarlah terlihat lemah di hadapan Valerie, Nagara tidak peduli. "Nggak mau...."
Hati Valerie mulai teriris, namun ia mengeraskan hati agar tidak ikut menangis. "Jangan nangis dari sekarang, nanti aja nangisnya pas sidang perceraian. Kasian air mata lo nanti habis."
"Jangan cerai...."
Valerie mengusap air mata Nagara. "Iya, sekarang nggak cerai, kok. Nantian cerainya."
Nagara menggenggam kedua tangan Valerie. "Aku maunya jangan pernah cerai."
"Boleh aja, sih, tapi...."
"Tapi apa?"
"Tapi lo buktiin dulu kalo lo pantes jadi pendamping gue. Gue nggak mau sia-siain hidup cuma karena salah pilih pasang— eh, ralat, maksudnya terpaksa jadi pasangan. Jadi, gue ada pertimbangan apakah gue harus bertahan sama orang ini atau enggak. Kasian anak gue diejek orang-orang karena broken home, makanya gue ngasih kesempatan ke lo."
Secercah harapan mulai ada bagi Nagara. "Oke, aku bakal buktiin kalo aku pantes jadi pasangan kamu sehidup semati."
"Baik banget, kan, gue ngasih kesempatan ke cowok bajingan kayak lo?" tanya Valerie.
Nagara mengangguk pelan. Tak ingin menampik, sudah sadar diri dulu dia memang bajingan.
"Gue pengin keliling naik mobil." Setelah drama tadi, kepala Valerie jadi pening. Refreshing adalah pilihan untuk meredakan masalah untuk sementara.
Seulas senyum terbit di bibir Nagara. Setidaknya, wanita itu mau menghabiskan waktu berdua dengannya. "Aku anterin."
"Ayo," balas Valerie.
***
Valerie ngidam pengin beli gelato di restoran. Oleh karena itu, kedua sejoli itu mampir ke restoran. Nagara memesan steak ayam dan air mineral, lapar habis menangis tadi siang, sedangkan Valerie hanya makan gelato. Tadi Nagara ingin duduk berhadapan dengan wanita itu. Namun, Valerie ingin mereka duduk berdampingan.
"Lo kapan mau latihan lagi?" tanya Valerie sembari mengambil sesuap gelato rasa bueno.
Nagara senang Valerie mulai perhatian dengannya. "Besok."
"Gue mau ikut, kangen ke cafe," balas Valerie.
"Berarti kamu nungguin aku sampai selesai latihan, dong?" tanya Nagara.
Valerie mengangguk. "Iya."
Dekapan hangat diberikan Nagara pada Valerie. "Yey! Makasih, Valerie!"
Wanita itu memilih membiarkan Nagara memeluknya, walaupun di mulut dia protes. "Kayak bocil aja lo."
Tak peduli ada orang yang melihat, Nagara tetap memeluk Valerie dari samping. "Sayang banget sama Valerie."
Valerie berdecak malas. "Selain menggelikan, lo sok clingy juga."
"Emang beneran clingy, Vale. Aku udah lama pengin meluk kamu tiap hari, ada di samping kamu tiap saat, pokoknya aku seneng banget kalo sama kamu."
"Bullshit! Kalo sama orang tua lo, lo nggak seneng gitu?"
Seketika Nagara menggeleng panik. "Bukan gitu. Aku seneng juga, tapi rasa sayangnya beda kalo aku ke orang tua."
"Lebih sayang orang tua lo atau gue?" tanya Valerie.
"Nggak bisa milih, kalian sama-sama berarti di hidup aku," balas Nagara.
Valerie sadar dirinya salah membandingkan kasih sayang dengan orang tua Nagara yang begitu baik kepadanya. "Ngomong-ngomong soal orang tua, gue kangen sama Mama Papa."
"Mau nggak weekend kita ke sana?"
"Lo nggak sibuk?" tanya Valerie.
"Pelatih minggu ini ngasih kita free di weekend," ujar Nagara.
"Oke, makasih."
"Sama-sama, Baby."
***
Pada pukul tiga dini hari, nasi goreng ayam menjadi pilihan Valerie dalam memenuhi keinginan sang anak. Akan tetapi, ia tidak berani keluar sendiri mengingat ada anak di dalam kandungan, belum lagi banyak begal di jaman sekarang.
"Gue pengin banget nasi goreng ayam, tapi mager nyetir sendiri. Masa gue harus minta tolong sama Nagara?" Valerie bergumam. "Mending gue pergi sendiri aja."
Ketika Valerie hendak bangkit dari ranjang, Nagara merasakan pergerakan sang istri, membuatnya terbangun. "Mau ke mana, hm?"
"Gue mau beli nasi goreng ayam," jawab Valerie, terpaksa mengaku.
"Ayo aku anter. Aku cuci muka dulu," balas Nagara, lalu
Valerie menatap canggung pria itu. "Iya."
"Kamu nggak cuci muka?"
"Mager," jawab Valerie.
Seulas senyum terbit di bibir Nagara. Ia menarik tangan Valerie agar bangkit dari ranjang. "Sini cuci muka, bentar doang, kok."
Wanita itu hanya pasrah menuruti perintah sang suami. Biasanya dia anti untuk tidak cuci muka, apalagi selebgram papan atas harus menjaga penampilan. Akan tetapi, kali ini dia sedang tidak mood untuk membasuh wajah.
Nagara mengambil kursi di depan meja rias, memindahkannya ke depan wastafel.
"Ngapain ambil kursi?" tanya Valerie.
"Aku mau cuciin muka kamu, kamu duduk di kursinya biar nggak lama berdiri," jawab Nagara.
Kaum act of service seperti Valerie sebenarnya meleleh melihat effort Nagara. Namun, karena posisinya mereka sedang berkonflik, Valerie memilih untuk pura-pura tidak salting brutal. "Nggak usah, lebay banget."
"Ayo, Valerie."
Valerie mendaratkan bokong di kursi. "Ya."
Tadi Nagara sudah mengambil bando untuk merapikan rambut Valerie agar tidak terkena busa saat membasuh wajah. "Permisi, ya."
"Hm."
Diambil spons tersebut di dekat wastafel, memberi air ke atas sana, lalu dituangkan sabun khusus cuci muka. Nagara sudah membelikan sabun Cetaphil yang kandungannya ringan agar Valerie tidak kenapa-napa. Ia membasuh wajah Valerie dengan spons hingga bersih.
Ketika hendak membersihkan busa di wajah wanitanya, retina mereka sempat bertemu beberapa detik, lalu saling memalingkan wajah. Keduanya merasa salah tingkah, apalagi sudah lama tidak berinteraksi secara intens.
"Cuci muka udah, sekarang sikat gigi dulu."
"Lo treat gue kayak anak kecil," protes Valerie.
"Biarin," sahutnya. "Iiii dulu, Vale." Nagara mengambil sikat gigi, menuangkan pasta gigi di atasnya.
"Iiiii."
Pria itu tertawa kecil melihat Valerie menjadi wanita penurut. "Pinter." Kemudian, Nagara menyikat gigi Valerie hingga bersih. Ia kini memberi gelas berisi air untuk Valerie kumur. "Kumur dulu."
Ia berkumur-kumur di wastafel menggunakan air yang Nagara berikan.
Nagara mengelus kepala Valerie. "Udah, kamu keluar dulu, aku mau cuci muka."
"Iya."
***
Tak disangka, dagang nasi goreng kebanjiran pengunjung pada dini hari, sampai-sampai Nagara dan Valerie harus menikmati makanan tersebut di dalam mobil karena tidak dapat tempat duduk. Tadi saat mengantre sampai tiga puluh menit. Tempat ini memang terkenal akan kelezatan nasi gorengnya.
"Syukur dapet, tapi harus makan di mobil," ujar Nagara setelah menyantap sesuap nasi goreng ayam.
"Gapapa, yang penting dapet," jawab Valerie usai mengunyah makanan tersebut.
"Suka nggak?"
"Suka." Kali ini Valerie tak mau berbohong, tak tega menghancurkan usaha Nagara untuk membuatnya luluh.
"Jujur, kamu cantik banget kalo baru bangun tidur."
"Udah, nggak usah muji biar gue luluh," ketus Valerie.
"Beneran, loh. Mau kamu pake make up atau enggak, kamu selalu cantik."
Valerie berdecak malas. "Ya udah, makasih kalo gitu."
Helaan napas dikeluarkan Nagara, paham bahwa Valerie lagi malas berbasa-basi. "Valerie."
"Kenapa?"
"Kamu sebenernya masih sayang nggak sama aku?" tanya Nagara bersungguh-sungguh.
"Mau gue jawab serius?"
"Iya."
"Kalo dibilang cinta, kayaknya udah mulai pudar, deh. Gue bertahan sama lo karena ada anak dan Mama Papa. Kalo kita sekarang lagi pacaran, gue pasti langsung minta putus. Pernikahan itu sakral, nggak bisa putus nyambung kayak pacaran, apalagi udah ada tanggung jawab, yaitu anak. Lebih baik gue korbanin perasaan dan kebahagiaan daripada ngelihat anak kita sedih jadi anak broken home. Memang, jadi anak broken home nggak selamanya buruk, cuma gue pengin kita didik anak kita sama-sama di dalam satu rumah, biar anak kita nggak bolak-balik ke rumah lo sama gue kalo kita cerai."
"Berarti, kamu udah nggak cinta, sedangkan aku cinta sendirian. Gitu?"
"Mungkin begitu," jawabnya. "Gue cuma anggap lo temen hidup—maksudnya temen yang diajak hidup bersama selamanya, tapi nggak pake perasaan."
Nagara mengangkat sebelah alisnya. "Kayak FWB?"
"Yap."
"Apa masih ada kesempatan buat kamu cinta sama aku?" Nagara menatap Valerie penuh harap.
"Mungkin enggak, soalnya gue cuma anggap lo temen. Kebaikan lo selama ini masih jadi salah satu faktor kenapa gue lebih milih bertahan, setidaknya lo mau ngerawat gue kalo habis muntah, buatin susu. Itu berarti buat gue," jelas Valerie.
Nagara menatap kagum Valerie. "Kamu hebat masih bisa ngelihat dari sisi positifnya. Kalo kayak gini, aku mau nggak mau harus rela kamu bahagia sama orang lain. Toh, salahku juga kenapa aku sia-siain kamu."
"Jangan buru-buru siapin mental kalo seandainya gue bakal bahagia sama cowok lain, santai aja." Ini adalah salah satu cara Valerie untuk melemahkan perasaan Nagara.
"Emangnya kamu nggak bakal tertarik sama cowok lain?"
"Gue malah nggak tertarik lagi sama cinta-cintaan, pengalaman sama lo aja udah cukup bikin gue kapok. Gue mending kerja keras, ngumpulin uang sebanyak mungkin supaya di masa depan anak kita bisa sekolah di sekolah yang bagus, bayar asuransi anak, ngasih uang jajan, dan lain-lain. Gue berusaha ngasih anak privilege biar dia nggak merasakan kesusahan. Memang kadang kalo anak punya privilege suka diremehin sama orang yang nggak punya privilege, ngapain juga, kan, nanggapin orang iri?"
"Orang good looking sama punya privilege kadang bisa jadi 'hama' bagi masyarakat. Mereka insecure bukannya berbenah, malah pojokkin orang yang nggak salah apa-apa. Kalo dia manfaatin privilege-nya buat hal yang gak bener gapapa kalo dikasih sanksi sosial, tapi kalo melakukan hal yang baik, kenapa mesti dihujat?" Kali ini mereka tumben bicara serius mengenai masa depan.
"Namanya juga iri dengki, pasti bawaannya pengin jatuhin orang lain," pungkas Valerie. "Kayaknya lo cocok jadi Papa yang baik."
"Tapi, nggak cocok jadi suami yang baik, 'kan?"
"Gue nggak ada bilang gitu."
"Menurut kamu gimana? Aku cocok nggak jadi suami yang baik?" Nagara bertanya.
Valerie berpikir sejenak, mengetuk dagu dengan telunjuk. "Hm, kayaknya cocok kalo lo nggak khawatir lagi gue bakal selingkuh sama cowok lain. Sebenernya lo baik, cuma lo buta sama rasa cemburu, jadinya bangsat."
"Sorry, Valerie...."
"Lanjutin makan. Kalo masih laper tapi makanannya nggak dihabisin, gue marah sama lo."
"Iya, sekarang aku habisin."
***
Walaupun Valerie masih bermusuhan dengan Nagara, tapi dia berusaha untuk melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangga, yaitu menyiapkan jersey latihan, sepatu bola, serta kaos kaki untuk Nagara.
Ia masih mengingat kebaikan orang tua Nagara yang mau menerimanya di saat sang Tante malah terlihat tak peduli pada saat itu. Hal itu menjadi salah satu faktor mengapa Valerie masih mau mengayomi Nagara.
Seulas senyum ditampilkan Nagara ketika melihat Valerie menaruh baju di atas sofa. Celana latihan sudah dipakai oleh cowok itu. Jadi, Valerie tak perlu menyiapkannya lagi. "Makasih, Valerie."
Valerie mengangguk. "Pulang latihan lo mau makan di cafe?"
Nagara memakai jersey, lalu menengok ke arah Valerie sembari memakai kaos kaki. "Tergantung. Kalo kamu lagi nggak pengin masak, aku makan di cafe, tapi kalo kamu lagi pengin masak, aku makan di rumah."
"Kayaknya ini kode biar gue nggak masak. Nggak suka, ya, sama masakan gue?" Valerie cemberut.
"E-enggak gitu, sumpah!" Nagara seketika panik. Dengan cepat, ia mengikat tali sepatu.
"Iya, iya. Makan di cafe aja, gue lagi mager masak."
"Kamu marah, ya?" tanya Nagara.
"Ayo berangkat," jawab Valerie.
"Jawab dulu, ih!" Nagara mendesak Valerie.
"Enggak marah. Ayo cepetan."
"Syukurlah."
***
Setelah lima belas menit perjalanan, akhirnya Nagara dan Valerie sampai di stadion. Nagara tadi sudah masuk ke stadion, sedangkan Valerie langsung menuju cafe.
Dahi mengerut, menatap seseorang yang begitu familiar di matanya. Wanita itu tengah duduk sembari memesan milkshake cokelat. Lantas, Valerie menghampiri sang wanita. "Loh, Cia?"
Cia yang tadinya sedang asyik minum seketika menengok ke arah Valerie. "Hai, Valerie."
"Hai, Cia," balas Valerie tersenyum ramah.
"Sini duduk." Cia menunjuk kursi di depannya.
Valerie hanya mengangguk, lalu mendaratkan bokong di kursi depan Cia.
"Gimana kabar lo setelah kabur?" tanya Cia.
"I'm totally fine. How about you?"
"Gue baik-baik aja," balas Cia.
"Ngapain lo ke sini?"
"Nganter Neron latihan, kasian dia kalo harus nyetir setelah latihan, pasti capek. Ya udah, gue yang nyupir," jawab Cia.
Valerie tersenyum kecil. "Buset, pasti dia sempet ngelarang lo buat nyupir."
"Iya. Tapi, gue ngotot terus, akhirnya dia mau, deh."
"Gimana, sih, cara punya hubungan yang manis kayak lo? Gue pengin punya cowok kayak Neron. Jangan salah paham, maksudnya gue pengin Nagara agak waras." Valerie iri melihat Cia begitu mesra dengan Neron.
"Santai." Cia paham akan maksud Valerie. "Lo harus bicara baik-baik, deep talk dari hati ke hati. Kalo Neron tipenya lebih suka dibilangin baik-baik dan halus kayak ngasih tau anak kecil, pasti dia bakal nurut."
"Kayaknya Nagara sama Neron sebelah dua belas, deh. Sejak gue kabur, Nagara jadi nurut banget sama gue."
"Nah, apalagi udah nurut, tinggal bicara aja baik-baik kalo mau hubungan kalian membaik."
"Tapi gue aneh nggak, sih, ngasih kesempatan buat Nagara?" Valerie bimbang.
"Kalo orang lain yang ngelihat agak aneh, sih. Lo selama ini udah dikasarin, tapi lo gampang maafin dia. Tapi, dari sudut pandang yang pernah ngalamin hal itu, emang terkesan tolol buat maafin orang gitu kalo lo pake hati, soalnya udah terlanjur cinta. Neron dulu sering marah pas cemburu, masakan gue sampe dibilang jelek. Gue akhirnya marah dikatain terus, ngancem mau minggat. Syukur dia cepet berubah dan treat gue kayak ratu."
"Pantesan beberapa orang rada takut buat nikah, nggak bisa minta pisah seenaknya kayak pas pacaran. Hubungan kita udah sah di mata agama dan hukum, ngurus cerai juga ribet." Ini salah satu alasan Valerie kenapa tidak mau cerai.
"Itu juga salah satu faktor gue buat bertahan. Awalnya memang malesin banget bertahan di tengah luka, tapi lama-lama bisa, kok, asal pasangan kita mau berubah. Ya, walaupun rata-rata cowok brengsek susah berubah. Cowok, kan, pilihannya ada dua, kalo gak brengsek, ya buaya."
"Setuju banget." Valerie mengangguk. "Btw, lo mau pesen apa?"
"Milkshake cokelat aja."
"Pesen milkshake lagi?" Valerie terkejut.
Cia mengangguk. Dia kalau sedang datang bulan memang senang minum yang manis-manis seperti milkshake.
"Loh, nggak makan?" Seolah percakapan ini seperti sesi wawancara karena Valerie terus bertanya.
Cia tertawa kecil melihat sikap perhatian yang Valerie tunjukkan. "Enggak, soalnya udah masak banyak di rumah," ungkapnya. "Lo mau nggak dinner di rumah gue? Anggap aja kayak double date."
Ia berpikir sejenak, mengetuk telunjuk di dagu. "Hm, boleh. Coba nanti gue tanya Gara dia mau atau enggak."
"Oke."
***
Hari sudah menjelang malam, Nagara dan Neron baru saja selesai latihan di stadion. Mereka berjalan beriringan ke dalam cafe, melihat keberadaan istri mereka tengah asyik berbincang, lalu menghampiri kedua wanita itu.
Neron mengacak gemas surai Cia. "Kamu udah berapa gelas minum milkshake?"
Cia menjawab, "Dua."
Ia menggeleng heran. "Jangan minum banyak-banyak, Sayang. Nanti diabetes, loh."
"Siap, Ahli Gizi!" Tangan Cia menempel di dekat pelipis sebagai tanda hormat kepada Neron.
"Dasar." Neron terkekeh kecil.
"Kok, kamu nggak makan?" tanya Nagara pada Valerie.
"Kita diundang makan ke rumah Cia. Lo mau nggak makan di sana? Cia udah masak banyak," tawar Valerie.
"Boleh."
"Kasian ngomong aku-kamu tapi dibalas pake lo-gue," celetuk Neron.
Cia mendelik, tak enak hati dengan Nagara. "Neron!" tegurnya.
Neron malah tersenyum jahil pada Cia. "Biarin aja, Cia."
"Hadeh...."
"Sewot aja lo," ujar Nagara tak terima.
"Rese lo jadi cowok. Untung aja Valerie kemarin minggat, kalo enggak, mana bisa sadar?" Cia kini berujar.
Nagara seketika bungkam karena yang diucapkan Cia benar adanya.
Valerie peka bahwa Nagara merasa bersalah, apalagi dipojokkan di depan umum membuatnya semakin malu. "Udah, gapapa. Nagara udah baik, kok. Masa gue cuci muka sendiri aja nggak dikasih? Muka gue dicuciin sama dia, habis itu dia bantuin gue sikat gigi."
"Cih, bucinnya telat," sewot Neron.
"Daripada enggak sama sekali," balas Nagara.
"Ayo, aku udah laper." Cia berusaha meredakan situasi.
"Ayo," sahut Neron.
***
"Cia, masakan lo enak banget, apalagi sapo tahunya," ujar Valerie.
Valerie dari tadi sangat lahap menyantap masakan Cia, ia sengaja mengambil banyak makanan di awal agar tidak menambah. Sebenarnya ia ingin menambah lagi, namun tak enak dengan Cia.
"Mau gue bungkusin?" tawar Cia.
"Enggak usah. Tapi... boleh nggak gue minta resepnya?"
"Boleh banget! Nanti gue kirim ke WA." Cia sangat antusias melihat Valerie yang senang dengan masakannya. Suatu kebanggaan tersendiri bisa menyenangkan orang lain melalui masakan yang ia buat.
Neron tersenyum bangga melihat Cia dipuji Valerie. Ia tahu Valerie tipe orang yang seperti apa, apalagi dulu pernah menjalin kasih sebentar saat SMP. Valerie tipe orang yang jujur, pasti akan memuji kalau suka dengan suatu hal.
"Makasih, Cia."
"Sama-sama, Valerie."
Satu kecupan mendarat di pipi Cia, membuat wanita itu salah tingkah. Neron merangkul bahu Cia. "Hebat, kan, istri gue jago masak?"
"Hebat, dong. Beruntung lo punya Cia." Padahal, bukan Valerie yang dipuji, tapi dia ikut bangga melihat Cia sangat disayang oleh Neron.
"Nah, kalo lo beruntung nggak punya Nagara?" Neron tersenyum penuh arti.
"Si Monyet emang paling pinter kalo mancing," cibir Nagara.
"Hm, antara iya dan tidak, sih," jawab Valerie sembari melirik Nagara.
Neron mengerut kening. "Maksudnya?"
"Pas gue muntah sama ngidam, Nagara selalu ada buat gue, tapi kalo dia marah, gue bener-bener dibuat sakit hati sama dia," jelas Valerie.
"Kenapa lo bisa dimarah sama dia?" Neron terus memancing Valerie agar memojokkan Nagara. Ia kesal melihat sahabatnya tidak menghargai keberadaan Valerie di hidupnya.
"Karena banyak cowok yang suka sama gue," balas Valerie.
"Dih, aneh banget," sinis Neron.
"Udah, Neron. Jangan mancing emosi Nagara," peringat Cia.
Neron mengedipkan sebelah mata pada Cia. "Stt, biar seru."
Cia menggeleng heran melihat tingkah suaminya seperti bocah.
"Bajingan!" seru Nagara.
"Kayaknya udah panas, tuh." Neron julid terus.
"Udah, ayo lanjut makan." Cia berushaa melerai mereka. Tatapannya beralih pada Valerie. "Valerie, kalo lo mau nambah boleh banget, loh."
"Makasih, Cia," balas Valerie sembari tersenyum ramah.
"Kalo aku boleh?" tanya Neron pada Cia.
"Tanpa aku tawarin, pasti kamu nambah sendiri."
"Tau aja, deh," balas Neron.
Di sisi lain, Valerie melirik Nagara yang tidak menghabiskan makanannya. "Gara, lo nggak makan lagi?"
"Enggak." Nagara terlihat bad mood akibat ucapan Neron tadi.
"Habis latihan masa nggak laper, sih?"
Nagara mencebik gemas. "Laper."
"Oke, gue ngerti," ujar Valerie berdecak malas. "Sini deketin."
Nagara mendekatkan wajah pada Valerie, menunggu sesuap nasi masuk ke bibirnya.
"Aaa, pesawat mau masuk." Valerie menyodorkan sesuap nasi dan lauk pauk.
Bibir Nagara terbuka, lalu menerima sesendok nasi dan lauk pauk. Ia kunyah makanan itu hingga tandas.
"Enak?" tanya Valerie sembari membersihkan bibir Nagara.
Kedua sudut bibir Nagara tertarik lebar. Senang rasanya dimanja Valerie, walaupun tahu wanita itu begitu karena jaga image. "Enak."
"Makan lagi sampai habis, ya?" bujuk Valerie.
"Iya, asalkan disuapin kamu."
"Yeu, bucin," cibir Neron.
Tatapan sinis Nagara lemparkan pada Neron, lalu beralih kepada Valerie. "Kasih aku nyuapin kamu, Valerie."
"Kok, jadi ajang saling suapin?" tanya Valerie tersenyum kecil.
"Gapapa."
***
Perut sudah penuh isi makanan, sekarang enaknya rebahan berdua di ranjang bersama orang terkasih seperti yang dilakukan oleh Nagara dan Valerie. Valerie hari ini ingin mempermainkan perasaan Nagara, mau tarik ulur perasaan cowok itu, makanya dia tidur bareng.
"Makasih udah balik ke rumah," ujar Nagara.
"Kenapa baru ngucapin?" Valerie mengerut kening.
"Dari kemarin keadaannya nggak kondusif buat ngomong gini, kamu juga masih emosi banget sama aku."
Tatapan sinis Valerie berikan pada Nagara. "Oh, lo pikir sekarang gue udah nggak kesel gitu? Sampai kapan pun gue bakal inget gimana jahatnya mulut lo ke gue."
"Please, jangan marah lagi. Aku udah janji bakal treat kamu kayak ratu...."
"Ngomong gitu doang mah siapa pun bisa, anjing," kesal Valerie.
"Aku bener-bener putus asa, nggak tau lagi gimana caranya biar kamu maafin aku."
"Masih syukur tadi gue belain lo di depan Neron sama Cia, mana terpaksa sok sweet di depan mereka biar lo nggak diejek lagi. Tau diri dikit, jangan banyak mau!"
"Maafin aku, Valerie...." Tak terasa air mata mulai jatuh dari netra Nagara, tak kuasa menahan kesedihan melihat sang tambatan hati berubah sikap.
"Jadi cowok jangan cengeng!" bentak Valerie.
"Iya, sekarang aku nggak nangis lagi, kok."
"Gue sebenernya gapapa ngelihat cowok nangis, cowok juga manusia yang punya perasaan. Tapi, khusus buat lo, gue benci ngelihat lo sok memelas biar gue maafin, mending simpen air mata lo buat tangisin kematian gue."
Nagara memegang kedua pundak Valerie sembari menggeleng cepat. "Jangan ngomong gitu, mending aku yang mati duluan biar aku nggak nangis ngelihat kamu mati."
"Lo nggak mikirin perasaan orang lain ngelihat lo mati, hah? Egois!"
"Kamu masih peduli sama aku?"
"Gak."
"Aku sayang kamu, Valerie."
"Gue nggak sayang lo, najis."
——
Lebih sayang Nagara atau Valerie?
Lebih baik Valerie bertahan tapi sakit hati atau cerai tapi ngurus perceraiannya ribet?
Yukkk lakukan tradisi readers cinderianaxx dengan cara:
Spam "Nagara" for next chapter
Spam "Valerie" for next chapter
Spam "Nana Cantik" for next chapter
2.7k komen + 500 vote aku up yaaa (HARUS TEMBUS YAAA GUISSS!!❤️)
Tbc luv❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top