30. TEARS

Kangen tidak dengan cerita ini?

Anak IPA atau IPS?

Lebih suka nonton Squid Game atau Alice Im Borderland?

Happy reading?

Stadion Kapten I Wayan Dipta kini terlihat ramai dipadati lautan manusia. Pedagang makanan, pakaian, dan merchandise original sampai KW berkumpul di sekitar stadion. Valerie pertama kali datang ke stadion ini. Ia terkagum melihat antusias orang untuk menonton bola.

Kedua wanita itu memakai jersey dan syal Nabiru FC, mereka kompak memakai bawahan celana jeans panjang. Mereka kini berjalan beriringan keliling sekitar stadion guna melihat-lihat.

"Wow, rame juga ya yang nonton," kagum Valerie.

Cia mengangguk setuju. "Orang Indonesia emang seneng banget nonton bola."

"Iya. Club luar negeri dan piala dunia pun mereka tonton, padahal kagak ada Indonesia," ujar Valerie.

Cia terkekeh tipis. "Udah ketergantungan sama bola, Vale, jadi susah lepasnya. Udah kayak kecanduam zat adiktif."

Mereka berbelok ke deretan dagang makanan sembari berjalan beriringan. Cia terus saja menggandeng Valerie agar cewek itu tak kenapa-napa.

"Iye, ye. Kalo nontonnya seneng, kayak seru gitu, tapi kalo disuruh main bisa kebobolan terus gue mah," jawab Valerie tersenyum penuh arti.

"Punya suami pemain bola aja sekalinya dibikin jebol langsung mampus." Cia jadi teringat Neron.

"Dijebol apanya, tuh?" tanya Valerie menaikkan kedua alis bergantian.

"Dijebol hatinya," balas Cia.

Valerie mengangguk paham, walaupun ia yakin Cia punya maksud tertentu. "Oh, gue kira apaan."

Cia melihat dagang sate ikan tuna tengah mengipas sate seraya duduk dengan kursi kecil. "Valerie, beli sate ikan tuna dulu, yuk. Gue pengen ngemil sebelum masuk stadion."

"Ayo." Valerie pasti mau saja, dia memang suka kalau diajak makan.

Mereka melangkah ke sana guna menghampiri pedagang sate tersebut. Cia berjongkok di depan pedagang itu. "Bu, sate ikannya dua porsi, ya."

"Pakai lontong?" tanya pegadang tersebut.

Cia menengok pada Valerie yang sudah duduk di dekat dagang. "Lo mau pake lontong?"

Valerie mengangguk. "Boleh."

Anggukan paham diberikan oleh Cia. Ia kembali menatap sang pedagang. "Pakai, Bu."

Pedagang tersebut mengangguk paham. Ia mulai memotong dua lontong dan menaruh sate yang baru saja matang ke atas piring. "Duduk dulu, Mbak."

"Terima kasih, Bu," ujar Cia. Ia kini duduk di samping Valerie.

"Pake masker dulu, Mbak, biar nggak kena asap," peringat sang pedagang.

Cia menjawab, "Iya, Bu."

Cewek itu mengambil masker yang ia taruh di dalam sling bag, memberikannya satu pada Valerie, satu lagi untuk dirinya.

"Thanks," ucap Valerie pada Cia, memakai masker pemberian cewek itu.

Cia yang sedang memakai masker hanya mengangguk.

"Bau asapnya enak." Valerie membuka topik pembicaraan baru.

Cia mengangguk setuju. Ia memegang perut, seketika mendadak lapar karena aroma sate begitu menggoda. "Iya, Vale. Jadi laper, deh."

Sang pedagang memberikan kedua porsi makanan pada mereka. "Ini, Mbak, makanannya."

"Matur suksma, Bu." (Terima kasih, Bu)

"Nggih, mewali." (Iya, sama-sama)

Perempuan paruh baya tersebut kembali melanjutkan kegiatannya membuat sate. Ia kini sedang melayani pelanggan selanjutnya.

Valerie menatap wanita paruh baya itu sekilas, lalu berbisik pada Cia, "Ibunya bilang apa, Cia?"

"Nggih, mewali artinya 'iya, sama-sama'."

Anggukan paham diberikan oleh Valerie. "Oh, gitu."

"Iya," balas Cia mengangguk.

Valerie dan Cia menundukkan kepala sejenak, memanjatkan doa kepada Tuhan sebelum makan. Mereka merapalkan doa dalam hati. Setelah selesai, mereka mendongak, lalu menyantap makanan dengan lahap.

"Bu, udah berapa lama jualan di sini?" Cia berbasa-basi.

Cewek itu memang tipe orang yang ramah dan gampang bergaul. Ia akan mengajak ngobrol orang di sampingnya ketika ia merasa bahwa orang yang diajak ngobrol bisa meresponnya dengan baik.

"Udah tiga tahun, Mbak," jawab wanita itu.

Cia mengangguk paham. "Lumayan lama juga, ya."

Ibu itu tersenyum tipis. "Iya, begitulah."

"Sering rame, ya, di sini?" tanya Cia.

"Syukur sering, Mbak, tapi tetep ada fase di mana dagangan saya sepi." Sang pedagang mencurahkan hati. Ia suka kalau ada pelanggan yang mengajaknya bicara. Pasalnya, ia tak ada partner berjualan, sering bosan kalau sendirian.

"Semoga rejekinya lancar terus, ya, Bu," ujar Cia.

"Terima kasih, Mbak."

Di sisi lain, kedua bocah SMP yang diduga penggemar Neron karena memakai jersey dan poster Neron menatap keberadaan Cia. Ia menunjuk Cia dengan jelas. "Eh, itu istrinya Neron bukan, sih?"

"Eh, iya, ya," jawab wanita satunya.

Temannya menatap tak suka Cia. "Dih, tumben banget nonton ke stadion, gue yang nge-fans dari lama sama Neron aja kagak caper kayak dia."

"Bener. Lihat aja tuh gayanya kayak si paling tau bola, palingan ditanyain offside tuh apa dia kagak tau."

"Kita yang tau bola dari lama mah diem bae, ya. Dia mah caper sama Neron sok-sokan suka bola biar dinikahin sama Neron. Lihat, kan, akhirnya berhasil, sedangkan kita yang nge-fans dari lama malah nggak dapetin Neron," tuturnya penuh iri dengki.

Cia sebenarnya mendengar ucapan mereka, apalagi mereka sengaja keras-keras bicara begitu supaya cewek itu sakit hati, namun ia tak peduli. Ia tahu ini resiko menjadi istri Neron, cowok itu sudah wanti-wanti dirinya wkatu itu.

Valerie menatap sinis kedua bocah itu. Ia lalu beralih pada Cia. "Cia, ini nggak bisa dibiarin. Mulutnya jelek banget kayak sampah. Sampah aja masih lebih berguna bisa didaur ulang, sedangkan mulut dia gak bisa didaur ulang."

Cewek itu langsung bangkit tanpa menunggu jawaban Cia. Ia tak suka ada orang menghina temannya. Cia menurutnya orang baik, tak pantas mendapat caci maki, apalagi dari orang tak dikenal.

Cia segera menaruh piringnya di dekat kursi. "Heh, lo mau ke mana? Biarin aja mereka."

Valerie menghentikan langkahnya sejenak. "Nggak! Gue gak terima lo diginiin." Kemudian, ia lanjut berjalan ke arah kedua bocah itu.

"Valerie!" tegur Cia, turut mengejar wanita itu.

Valerie berkacak pinggang di depan kedua cewek tersebut, membuat nyali mereka mulai menciut. Mereka tak menyangka bahwa Valerie akan menghampirinya. Selama ini, mereka tak pernah dilabrak oleh orang ketika menghina seseorang. Oleh karena itu, mereka santai saja.

"Woi, Cewek Si Paling Bola! Lo cuma fans, jangan halu. Lo paling demen Neron karena visual doang, makanya demen ngerecokin privasi orang." Valerie menatap mereka bergantian. "Sebenernya gue nggak masalah sama cewek yang suka pemain bola karena visual doang, tapi modelan kayak lo yang suka visual doang dan suka ganggu privasi pemain malah bikin orang nganggap cewek itu sama rata."

"Aduh, mentang-mentang temennya langsung dibelain, ya? Pasti lo penggila cowok bola, kan, makanya panas. Panas? Bilang, Bos!" balas cewek itu tak mau kalah, walaupun nadanya sudah sedikit bergetar.

Valerie tertawa sinis mendengar ucapan cewek itu. Ia tahu bahwa orang mulut nyinyir itu sudah mulai gentar. "Lo nggak jelas, ya, nyari gara-gara sama Cia, padahal dia nggak pernah nyakitin lo. Tau sampah kayak lo hidup aja kagak."

"Ya udah kalo gitu, ngapain lo repot-repot negur kita memberi argumen?" timpal teman cewek itu. Sebenarnya ia ingin kabur karena takut dengan Valerie, namun ia tak mau dicap sebagai pengecut.

"Itu bukan argumen, tapi hujatan. Bodoh nggak bisa bedain argumen dan hujatan, di sekolah pasti cuma diem di depan gerbang doang," ejek Valerie.

"Diem lo! Mentang-mentang bunting jangan banyak gaya, deh!"

Valerie semakin tersulut emosi. "Apa hubungannya? Nggak nyambung, Goblok!"

Cia mengelus bahu Valerie, memberi kesabaran pada cewek itu. "Udah, Valerie. Ayo balik habisin makanannya, dia cuma bocil SMP."

"Hello! Anak SMP tuh udah dewasa, ya, jangan ngatain gue bocil!" seru cewek itu tak terima.

"Pantesan wajahnya tua, mainannya kayak orang dewasa," sinis Valerie.

"Valerie, balik, yuk?" bujuk Cia.

Valerie menatap malas cewek itu. "Jangan diem terus kalo lo ditindas, Cia."

"Omongan mereka mah nggak ada efeknya bagi gue, mending kita makan lagi, yuk." Cia berusaha menenangkan Valerie.

"Awas lo berdua!" Valerie menunjuk mereka dengan tatapan tajam.

"Awasin aja, wle!" balas mereka pura-pura tak takut.

Mereka tak sadar sedari tadi Lala—salah satu fans Valerie sudah merekam kejadian tadi. Ia menghampiri mereka. "Kak, udah aku rekam ulah mereka, nanti aku kasih ke orang tuanya."

Mereka seketika ketakutan. "Anjing, kabur!"

Valerie dan Cia tertawa melihat kedua bocah itu kabur. Dasar pengecut!

"Eh, Lala?" Valerie terkejut melihat keberadaan Lala di sini.

"Halo, Kak," sapa Lala dengan senyum manisnya.

"Hai, Lala. Kamu ke Bali sama siapa?" tanya Valerie.

"Sama Papa aku, beliau suka banget bola," ujar Lala.

Valerie menatap excited gadis itu. "Wow, kayaknya kita sama-sama supporter Nabiru FC, ya."

"Iya, dong!" seru Lala antusias. Ia senang bisa bicara langsung dengan Valerie. Baginya, cewek itu sangat menginspirasinya dalam hal pakaian dan keberaniannya membuat cewek itu terkagum.

Tiba-tiba, seorang pria yang Cia taksir umur empat puluh tahun datang menghampiri Lala dengan membawa syal. "Nak, ini Papa udah beliin syal buat kamu." Ia menyodorkannya pada Lala.

"Terima kasih, Pa," balas Lala tersenyum senang.

"Sama-sama, Nak," jawab pria itu mengangguk. Ia menatap Valerie dan Cia bergantian, lalu kembali menatap anaknya. "Ini teman kamu?"

"Buk—"

"Iya, saya temannya Lala," sergah Valerie. Cewek itu mengulurkan tangan pada sang pria. "Perkenalkan, saya Valerie, ini teman saya Cia."

Ia membalas jabat tangan Valerie. "Kalo nggak salah, kalian ini istrinya Neron dan Nagara, ya?"

Valerie melepas tangan pria berumur tersebut. Ia dan Cia menjawab serempak, "Iya, Om."

"Wah, Lala! Hebat sekali kamu bisa kenal langsung dengan mereka," ujarnya pada Lala. "Kapan-kapan saya bisa, dong, minta foto sama Neron dan Nagara?" tanya pria itu pada Valerie.

"Bisa, dong. Nanti DM aja Instagram saya yang centang biru, followers 1M, username valerieadaire."

"Lengkap sekali." Pria tua itu terkekeh kecil. "Baiklah kalau begitu, saya ingin keliling sini sebelum pertandingan dimulai."

"Baik, Om," jawab Valerie.

"Lala pamit, Kak." Cewek manis itu tersenyum ramah.

"Sebentar, La," cegah Valerie.

Sontak, Lala menghentikan langkahnya, sedangkan Papanya menunggu agak jauh dari sana. Pria itu merasa bahwa mereka akan membicarakan topik anak muda, jadi ia tak enak untuk nimbrung. "Kenapa, Kak?" tanya Lala.

"Minta username ig kamu, nanti Kakak follback."

Lala melotot kegirangan. "BENERAN?"

Valerie tertawa melihat antusias Lala. Ia mengangguk. "Iya, Lala," jawabnya dengan nada lembut.

"Ya ampun, makasih banyak. Ig-ku lalavalentina."

"Wow, sama-sama Vale nama kita." Mood Valerie seketika bagus karena bertemu dengan Lala. "Sampai jumpa nanti, Lala." Ia melambaikan tangan pada Lala.

"Makasih, Kak."

"Sama-sama."

Lala berjalan menghampiri Papanya, membuat punggung gadis itu mulai menjauh. Valerie kini menatap Cia. "Yuk, makan sate lagi."

"Yuk," jawab Cia.

"Gue bayar sekarang, ya." Valerie merogoh uang di dalam sling bag-nya. Biasanya ia akan menaruh uang setidaknya lima puluh ribu rupiah di dalam sana supaya tidak merogoh dompet lagi.

"Nggak usah, biar gue aja," tolak Cia.

"Cia, jangan nolak. Oke?" Valerie tak menerima penolakan.

"Okelah, tapi nanti gue yang traktir lo, ya?" Ia tauu bahwa Valerie tak bisa dibantah.

"Iya." Valerie mengangguk. Ia menghampiri pedagang tersebut. "Totalnya berapa, Bu?"

"Tiga puluh ribu rupiah, Mbak," jawab sang pedagang.

Valerie memberikan lembaran biru pada pedagang itu. "Ini, Bu."

Ketika ibu itu hendak memberi kembalian pada Valerie, cewek itu melarangnya, "Nggak usah dikasih kembalian, ambil aja buat ibu biar semangat terus jualannya."

"Makasih banyak, Mbak Cantik," ujar sang pedagang.

"Sama-sama, Ibu," balas Valerie.

Ketika mereka hendak makan, dua orang dari dunia jurnalistik, yang satu pembawa kamera dan wartawan dari salah satu acara gosip di televisi datang ke mereka.

"Kak, minta waktu wawancaranya sebentar boleh?" ijin sang reporter.

"Anjrit, baru aja gue makan," dumel Valerie.

"Saya mau wawancara Cia, bukan kamu," balas wartawan perempuan itu.

Valerie tersenyum sinis. "Syukurlah."

Cia mengangguk. "Boleh."

Ia menyodorkan mic khusus wawancara pada Cia. "Apakah benar kamu sudah lama menikah dengan Neron?"

"Iya, betul," jawab Cia.

"Katanya, kalian dijodohin, ya?"

"Betul."

"Kata orang, kamu mau sama Neron karena dia tajir dan terkenal. Apakah itu benar?" Pertanyaan ini membuat Valerie menatap sinis sang wartawan. Ia tahu Cia akan dijebak dengan pertanyaan sampah seperti ini.

"Pikir aja sendiri pake otak goblok lo itu," ketus Valerie.

Sang wartawan tak peduli dengan Valerie, yang penting Cia mau menjawab pertanyaannya demi kebutuhan berita.

"Enggak, dong. Justru saya yang awalnya belum tertarik sama Neron, tapi sikap manis dan perjuangannya untuk mendapatkan hati saya membuat saya luluh," jelas Cia tersenyum ramah. Ia berusaha tenang menghadapi orang suka memancing emosi.

Reporter itu mengangguk paham. "Seperti dongeng, ya, Cia."

"Memang begitu yang saya alami," jelas Cia.

"Baiklah. Saya mau nanya lagi, nih, kamu, kan, tumben tertangkap kamera ke stadion untuk men-support Neron. Apa harapan kamu di pertandingan kali ini?" tanya sang wartawan.

"Nanya mulu lo kayak wartawan," cibir Valerie.

"Tetap semangat, semoga kerjasama tim bisa bagus dan kompak, minimalisir kesalahan terutama di lini belakang terkadang suka kosong. Jangan membuat pelanggaran di kotak pinalti, kalaupun mau tackle, tackle bersih, jangan lengah, tetap fokus pada tujuan, yaitu kemenangan."

"Wah, tampaknya kamu mengerti sekali tentang bola. Terima kasih sudah bersedia untuk di wawancara."

"Sama-sama, Kak."

"Kamu mau wawancara saya juga?" tanya Valerie dengan wajah juteknya.

Sang wartawan menatap aneh cewek itu. "Skip dulu, soalnya galak."

"Yeu, nggak jelas!" protes Valerie.

***

Pertandingan Nabiru FC vs Bali FC ini disiarkan oleh salah satu televisi nasional. Pertandingan ini termasuk big match, sehingga banyak yang antusias menontonnya.

Di televisi terpampang dua sportcaster sedang membawakan acara pertandingan sepakbola. Mereka begitu semangat dalam membawakannya.

Kamera televisi menyorot Valerie dan Cia yang tengah bicara, membuat sang komentator berkata, "Lihat, Bung Agus. Ada dua wanita cantik berada di tribun VIP," ujar Fabio.

"Setahu saya, mereka adalah istri dari Neron dan Nagara, Bung Fabio," balas Agus.

"Saya yakin Nabiru FC bisa menang di laga tandang ini mengingat kedua pemain andalan mereka didukung oleh sang istri."

Agus tertawa. "Pengaruh istri memang begitu mujarab."

"Baik, Bung. Mari kita fokus ke pertandingan, jangan cuci mata terus," peringat Fabio.

"Siap, Bung Fabio."

Kini di layar ditampilkan formasi permainan tim Nabiru FC.

"Formasi Nabiru FC kali ini 4-4-2. Tampaknya Neron seperti biasa berduet dengan Nagara di depan," ucap Agus.

Fabio mengangguk setuju. "Duet maut mereka seringkali membahayakan lawan, mereka patut diwaspadai."

"Setuju, Bung."

Sekarang layar televisi menampilkan para pemain sudah berkumpul di lapangan dengan menggandeng anak kecil. Mereka berbaris menyamping di tengah lapangan.

Kedua kapten kesebelasan berjabat tangan sebelum pertandingan dimulai, kemudian wasit melempar koin. Sang kapten Nabiru—Levi memilih koin gambar garuda, sedangkan kapten Bali FC memilih angka. Koin itu menunjukkan garuda, pertanda bahwa tim Nabiru yang akan mengambil menendang bola pertama.

"Baiklah, kick off babak pertama segera dimulai. Kami pihak dari Indoterbamg menyiarkan langsung dari studio Indoterbang!" seru Fabio tersenyum tegas menatap kamera.

"Wasit Supomo Fradinata sudah meniup peluit. Kick off babak pertama telah dimulai," sambung Agus.

"Levi mengoper bola kepada Neron. Neron berlari ke depan mencari teman. Ia kini mengoper bola Nagara. Nagara menyerang dari sisi kanan, ia melambungkan bola pada Neron," ujar Fabio menatap layar.

"Pemain belakang Bali FC tampaknya terlihat panik, pertahanan mereka seketika parking bus, namun sudah terlambat karena Neron sudah berada di depan. Kini hanya ada Neron dan kiper yang menentukan skor."

"Neron shooting ke gawang dan ..." ia menggantungkan kalimatnya, "gol, jebret!"

"Kedudukan sementara kini 1-0 untuk keunggulan Nabiru FC."

***

Peluit panjang sudah dibunyikan, pertanda pertandingan hari ini sudah berakhir dengan keunggulan Nabiru FC 1-0. Sebenarnya tadi banyak peluang, namun pertahanan Bali FC yang sangat kuat membuat mereka susah membobol gawang.

Kini para pemain mulai saling bersalaman dengan pemain lawan, bahkan mengobrol seolah mereka bukan rival di lapangan. Inilah sisi lain dari sepakbola yang disukai banyak orang, sportifitas harus tetap dijunjung tinggi meskipun selama sembilan puluh menit mereka rival di lapangan hijau.

"Neron!" panggil Putu—salah satu pemain muda andalan Bali FC.

Neron yang sedang menyisir rambutnya karena gerah seketika menengok. "Oit! Kenapa, Bro?"

"Minta foto sama sekalian tukeran jersey boleh?" tanya Putu.

Neron mengangguk mantap. "Boleh. Ayo sini."

Biasanya di pinggir lapangan ada fotografer yang akan memotret momen di lapangan ketika pertandingan maupun selesai pertandingan. Mereka menghadap ke kamera, Neron dan Putu membuka baju, sehingga terpampang perut kotak-kotak mereka, kemudian bertukar jersey, lalu memakainya. Ia merangkul Putu, tersenyum ke arah lensa.

Setelah selesai berfoto, Putu menepuk pundak Neron. "Makasih banyak, Bro. Selamat atas kemenangannya, sukses selalu buat karirnya."

"Sama-sama, Putu. Kapan-kapan main ke tempatku," tawar Neron.

"Nanti kalo aku ada waktu, aku ke sana."

Neron tersenyum, mengacungkan ibu jari pada Putu. "Siap."

"Sampai ketemu di Training Center Timnas nanti, Kak Neron," ujar Putu.

Putu seharusnya memang memanggil Neron dengan sebutan 'Kak' karena ia berumur delapan belas tahun, sedangkan Neron berusia dua puluh dua tahun.

Persepakbolaan Indonesia sempat gempar dengan skill Putu karena di usia segitu sudah mempunyai skill di atas rata-rata. Banyak supporter Timnas berharap pria itu dipanggil oleh pelatih Timnas karena dianggap potensial.

"Nggak usah pake 'Kak'," peringat Neron. "Sip, Putu."

***

Setelah pertandingan tadi, para pemain beristirahat di kamar masing-masing untuk memulihkan energi. Tiga hari lagi, mereka akan bertanding di kandang, jadi lusa mereka harus balik.

Kini kedua pria pesepakbola itu tengah rebahan di kasur sembari menatap langit-langit kamar. Ini adalah salah satu cara untuk mengisi energi setelah pertandingan.

"Akhirnya kita menang, Bro. Saatnya nemuin istri ke villa!" Neron tak sabar guna bertemu Cia dengan jangka waktu lama.

Tadi di stadion mereka hanya saling sapa, itu pun Neron melambaikan tangan dari lapangan ketika pertandingan sudah selesai. Hal itu membuat cewek-cewek heboh, pada baper karena mereka romantis di lapangan.

"Sabar, besok pagi kita ke sana," jawab Nagara.

Neron menatap malas cowok itu. "Sok sabar, sabar, lo pasti pengin ketemu Valerie, 'kan?"

"Mulai lagi, deh. Nggak jelas." Nagara tak suka kalau ada yang membahas Valerie di depannya, bahkan Neron yang notabenenya adalah sahabatnya sejak gabung di club Nabiru. Ia masih shock akan kejadian di kelab malam, perlu menenangkan diri, termasuk melupakan Valerie sejenak.

"Ya, ya, ya, ngelak terus. Nanti kalo Valerie ketemu mantannya baru lo mampus," cibir Neron.

"Nggak mau denger."

Neron peka bahwa cowok itu memang tak mau membahas Valerie, ia mengganti topik pembicaraan agar Nagara tak bete lagi seperti kemarin. "Nanti di Timnas kita bakal kenalan sama banyak pemain baru, mantap perkembangan pemain muda sekarang, kayak Putu tadi umur delapan belas tahun udah bisa masuk Timnas."

"Gue umur delapan belas tahun aja masih main di club, dia udah nembus Timnas, apalagi dia satu-satunya pemain Bali yang lolos seleksi. Memang, sih, kita baru hasil seleksi sementara, siapa tau ada yang kena coret."

Neron berdecak malas. "Jangan sampai ada yang kena coret."

"Semoga aja, ya," balas Nagara. "Btw, gue belum pernah ngomong sama Putu, padahal gue kagum sama dia di umur segitu bisa masuk Timnas Senior."

"Ngomong aja kayak biasa, tapi jangan pake lo-gue, soalnya orang Bali nggak biasa ngomong lo-gue," tutur Neron.

Nagara seketika duduk di ranjang. Ia menatap aneh cowok itu. "Ya kali gue tiba-tiba say hello gitu?"

Neron mengerut kening. Ia tahu betul Nagara tipe orang yang tak gampang dekat dengan orang di luar tim. Bukannya cowok itu sombong, hanya saja ia takut dianggap sok kenal sok dekat. "Lah, kenapa emangnya? Santai aja kali. Dia baik, kok, ramah juga anaknya, nggak sombong."

Nagara benar-benar tertarik berteman dengan Putu. Ia mencoba memberanikan diri. "Coba gue DM nanti."

"Nah, gitu, dong!" seru Neron menepuk paha Nagara.

Nagara mengambil ponsel di atas nakas, membuka layar benda pipih tersebut dengan sidik jari di tombol bawah tengah ponsel. "Gue stalking, ah."

"Sekalian DM orangnya," saran Neron.

"Iye," balas Nagara.

Nagara membuka aplikasi Instagram guna mencari tahu akun Putu. Matanya seketika terbelalak melihat akun pria itu. "Anjir, ternyata dia udah follow gue, cuma gue nggak nyadar."


Neron berdecih. "Songong ye mentang-mentang seleb bola."

Nagara mengalihkan atensi dari layar ponsel, lalu menatap Neron. "Nggak gitu maksud gue."

"Iya, emang gitu maksud lo." Neron mulai cari gara-gara dengan Nagara.

"Mulai nyari gara-gara, gue cium, nih," ancam Nagara memajukan bibirnya.

Ia menatap jijik Nagara. "Geli amat, nih, bocah."

"Mau bermanja dulu sama Babang Neron." Nagara mengambil ancang-ancang untuk memeluk Neron, namun pria itu segera menepisnya.

"Pergi lo sana!" seru Neron seketika terbangun dari rebahan. Ia menjauh dari Nagara dan duduk di sofa yang terletak di dekat nakas.

Nagara turut bangun dari ranjang, mengikuti ke mana Neron duduk. Ia mengedipkan sebelah mata. "Gak mau, ah. Nagara haus akan kasih sayang Babang Neron."

"Najis!" seru Neron.

***

Cia dan Valerie tadi sudah sampai villa naik Bagong Car. Sekarang mereka lagi rebahan sambil main ponsel. Serius, nonton bola di stadion itu capek, apalagi sambil berdiri dan lompat-lompat. Di sana memang disediakan tempat duduk, hanya saja tidak seru kalau nonton hanya duduk di sepanjang pertandingan.

"Gila, tadi untung menang tipis 1-0, gue udah deg-degan kalo Nabiru FC bakal dihujat. Lo tau sendirilah di Indonesia kalo menang dipuji, kalah dihujat, tapi syukur masih ada aja yang bela pas pemain dihujat." Cia membuka topik pembicaraan.

Valerie teringat akan orang-orang yang biasa komentar buruk di sosial media atlet. "Gue nggak habis pikir, sih, sama orang-orang yang suka hujat atlet pas kalah. Lo mikir nggak, sih, gimana kerasnya mereka latihan, ngorbanin waktu, udah berusaha semaksimal mungkin tapi lo malah hujat? Yang ada bikin mental down."

Cia mengangguk setuju. "Bener. Kesel gue sama orang kayak gitu. Belum lagi kalo ada cewek yang nyemangatin, dikatain fans modal visual, kadang dikatain 'lo cewek nggak usah sok-sokan bahas bola, kebanyakan sok tau', mereka pokoknya merasa superior karena punya hobi yang 'laki'. Harusnya bangga karena punya prestasi, bukan karena punya hobi laki habis itu ngatain orang." Intonasi bicara sang puan begitu menggebu-gebu.

Ia sudah muak akan fenomena yang marak di sosial media. Cewek itu tak habis pikir akan pola pikir mereka yang terlalu dangkal. Memang biasanya begitu, orang yang tak punya prestasi dan suka julid hanya bisa membanggakan hobi 'maskulin' mereka, soalnya tak ada yang bisa dibanggakan lagi selain itu.

"Jujur, gue suka geli dan gemes lihat cowok gitu, amit-amit ya Tuhan gue punya temen gitu." Masa bodoh Valerie mau dikata julid, ia sudah emosi dengan kaum-kaum sok pintar seperti itu.

"Yang cewek juga sok paling oke kalo suka bola dari lama, mereka kadang bilang 'hahaha, kalian baru suka bola gara-gara ngelihat fisik, gue, dong, dari sebelum dia famous.' Terus gue harus bilang wow gitu, Bangsat?!"

Valerie tertawa puas melihat Cia melampiaskan emosinya. Ia tak pernah melihat cewek itu semarah ini. "Anjing, Cia. Gue nggak nyangka lo bisa emosi gini, biasanya lo bijak."

"Habisnya gue kesel anjir mau suka sama suatu hal ada senioritas kayak tai gitu. Bisa nggak, sih, lo pada diem dan saling support aja? Pick me banget, anjir."

"Makanya, pas tadi ada yang hina lo, gue langsung pengin lemparin tai sapi ke mukanya. Argh, sumpah kesel banget!" Valerie geregetan, tak kuat ingin memaki lagi kedua cewek yang sempat menghina Cia. Padahal, bukan dirinya yang diganggu oleh mereka.

"Gue berusaha nahan emosi di publik, sih, sebenernya, takut image Neron jelek gara-gara gue," ujar Cia.

"Iya, sih. Harusnya tadi gue diem aja, TAPI TADI ITU UDAH KETERLALUAN, MATI AJA LO WOIIIII!"

Cia terkejut Valerie tiba-tiba berteriak seperti kesurupan genderuwo. Ia mengelus bahu Valerie, menenangkan cewek itu agar tidak emosi. "Heh, sabar! Lo lagi hamil, Valerie, anak lo nanti suka ngomong kasar dan ngejulid kayak ibunya."

Valerie berdecak malas. "Brengsek lo!"

"Valerie, mulut lo," peringat Cia.

"Sorry."

"Lo nggak minum susu hamil?" tanya Cia.

"Ada, kok, di tas gue, gue wadahin ke wadah kecil biar gampang bawanya," jawab Valerie.

Cia bangkit dari ranjang, turun dari lautam kapuk tersebut. "Sini gue buatin, lo istirahat dulu, pasti capek, kan, tadi habis marah-marah dan berdiri lama?"

"Iya, tapi lo nggak usah buatin, biar gue aja yang buat," ungkap Valerie turut berdiri dari sana.

Cia dengan sigap mendudukan cewek itu di ranjang. "No way! Lo harus bersihin kaki dan cuci muka, habis itu rebahan, biar gue yang buat. Ibu hamil nggak boleh kecapekan, loh."

Valerie memutar malas bola matanya. "Iya, deh, Pakar Bumil."

"Pakar Bumil silitmu!" seru Cia.

Valerie berdecak. "Jorok lo!"

Cia menunjuk ranjang dengan dagunya. "Sana, gih, bersihin diri dulu, habis itu rebahan."

"Yoi. Makasih banyak, Cia."

"Hm, sama-sama."

Cia mengambil susu khusus ibu hamil di dalam tas Valerie. Setelah ia menemukan toples kecil khusus susu, ia mengeluarkannya dan menaruhnya di atas meja. Cia mengambil air mineral wadah botol tanggung di atas meja dekat penghangat air berbentuk teko. Cewek itu memasukkannya ke dalam sana, menutup penghangat tersebut, lalu menyalakannya.

"Nunggu airnya hangat dulu, ye, gue mau ngecek hape bentar," ujar Cia pada Valerie.

"Oke," balas Valerie.

Cia kembali ke ranjang untuk rebahan. Ia mengambil ponsel di atas nakas, membuka sandi benda pipih tersebut. Ia membuka akun Instagram-nya. Matanya seketika terbelalak melihat notifikasi. "Buset, followers gue langsung nambah drastis, tapi seinget gue, gue nggak ada posting apa-apa hari ini."

"Tadi gue lihat Twitter ada komentator yang komenin kita pas kamera ngarah ke kita." Valerie dari tadi memang buka Twitter. Ia lebih senang main Twitter ketimbang main Instagram, walaupun dirinya terkenal karena platform tersebut.

Cia menengok ke arah Valerie. "Minta link video-nya, dong."

"Link video apa?" tanga Valerie.

"Link video komentatornya lah, masa video bokep," balas Cia berdecak malas.

Valerie tertawa karena ia tadi sengaja memancing Cia untuk berkata jorok. "Mulut lo frontal juga, ya."

"Lebih parah mulut lo, gue masih bisa ngontrol di depan umum," seloroh Cia.

Valerie seketika mengangguk lesu. Dirinya hendak mengerjai Cia, tapi malah kena semprot oleh cewek itu. "Iya, sih ...."

Cia menatap pemanas air yang sudah berubah warna lampunya. Ia bangkit dari ranjang guna membuatkan susu untuk Valerie. "Ya udah, gue mau buatin lo susu, kayaknya airnya udah panas."

Valerie mengangguk. "Oke."

Cia membuka toples susu, menyendok tiga sendok susu bubuk, menuangkan air dan susu ke atas gelas yang disediakan villa, kemudian mengaduknya hingga rata. Ia sendiri membuat teh hangat untuk dirinya, di sana sudah disedikan teh dan gula sachet. Setelah semuanya beres, ia menaruh kedua minuman tersebut di atas nakas. "Nih, diminum dulu."

Valerie mengambil susu di atas nakas. "Cheers!"

Cia membenturkan gelasnya pada gelas Valerie. "Cheers!"

Valerie tersenyum senang. "Makasih banyak, Cia, udah baik banget sama gue. Jujur, gue nggak pernah nemu orang setulus lo sebelumnya, mana awalnya gue asal ceplos tentang Neron, untung lo nggak labrak gue."

"Kagaklah, santai aja. Toh, Neron udah jadi milik gue," ujar Cia menarik kedua sudut bibirnya.

"Lagaknya milik gue, kemarin-kemarin lo ngakunya kagak demen," cibir Valerie.

Cia mengerut kening. "Kata siapa gue kagak demen?"

"Lah, lo nikah awalnya karena dijodohin, 'kan? Gue yakin pasti lo kagak demen dulu sama dia. Kelihatan dari tatapan lo," tebak Valerie tepat sasaran.

"Iye, bener."

"Gue jadi pengin, deh, Nagara naksir gue dan hidup selamanya sama dia bukan karena status di atas kertas doang. Gue baru sadar gue mulai sayang sama dia, padahal dia aja nggak pernah perlakuin gue kayak orang spesial."

"Pasti bisa, kok, pelan-pelan aja deketin dia, gue yakin Nagara bakal luluh." Cia memang yakin bahwa suatu saat nanti cowok itu akan luluh pada Valerie, bibit bucinnya sudah mulai terlihat.

"Kira-kira dia mau nggak, ya, nemenin gue pas lahiran? Dia nemenin gue ke dokter kandungan aja kadang-kadang karena sibuk latihan dan kuliah." Valerie risau.

"Gue yakin dia mau, udah seharusnya dia tanggung jawab sama apa yang dia perbuat. Lo jangan banyak mikirin hal yang negatif, nggak baik buat bayi lo. Kita di sini buat refreshing, Valerie. Lupain sejenak masalah hidup lo, sesekali buat diri lo seneng."

"Gimana caranya?" tanya Valerie.

"Kita nonton Twenty Five, Twenty One di Netflix, gue baru aja beli Netflix sharing tiga hari di keranjang oren. Mau nggak?" tawar Cia. Apa pun ia akan lakukan demi membuat Valerie senang. Mood ibu hamil harus dijaga terus agar sang anak juga senang.

"Boleh. Mari kita berpikir bersama-sama siapakah Bapak dari anaknya Na Hee Do!" seru Valerie bersemangat.

"Anjir, kok, jadi mikir, ya? Nonton Business Proposal aja, deh, biar nggak banyak mikir." Cia berubah pikiran.

"Kuy, sekalian mau lihat keuwuan kedua pasangan itu."

"Siap."

***

Neron menatap Nagara yang tengah bercermin di depan kaca. Cowok itu sedang menyisir rambut, lalu memakai pomade. "Bro, lo udah siap?"

Nagara mengangguk. "Udah."

Ia berjalan ke arah koper yang ia geletakkan di lantai, menaruh sisir dan pomade di dalam koper. Resleting penampung segala keperluan Nagara itu ditutup. Ia kini berdiri.

"Ayo berangkat," ajak Neron.

"Kuy."

Mereka keluar dari kamar, membawa kunci hotel untuk diberikan ke meja resepsionis. Kedua cowok itu berjalan melewati lorong hotel guna mencari lift. Neron menekan tombol '1', kemudiam masuk ke dalam sana bersama Nagara.

Tak beberapa lama kemudian, mereka sampai di lantai satu. Mereka menuju meja resepsionis guna memberikan kunci. Setelah beres semua urusan, Neron dan Nagara duduk di sofa yang ada di sana sembari menunggu jemputan ke villa.

Neron sangat rindu dengan Cia. Bahkan, tadi malam ia bermimpi memeluk cewek itu sembari mengecup sekujur wajahnya. Ia juga kangen disiapkan hidangan oleh sang puan. Seenak apa pun makanan di luar sana, tetap Cia yang juara. "Nggak sabar ketemu, Cia."

"Sama, anjir."

Jawaban Nagara membuat Neron mendelik. "Hah? Maksudnya?"

"Maksud gue nggak sabar ketemu anak gue!" ralat Nagara. Ia tak mau cowok itu salah paham. Sebenarnya, ia juga rindu dengan Valerie. Dibilang cinta juga tidak, tapi ia ingin ada di samping Valerie.

Neron berdecak malas. "Awas aja lo kalo naksir sama Cia."

"Gue naksir sama Val—" ia berdeham, "maksudnya sama anak gue."

Neron tersenyum puas. "Nah, kan, berhasil juga pancingan gue. Ngaku lo kalo naksir sama Valerie."

Nagara menggeleng cepat. "Kagak, anjir. Gue cuma keceplosan."

"Tuh, kan, keceplosan tandanya omongan lo yang harusnya ga boleh lo bilang, tapi malah bocor." Neron puas melihat cowok itu kelabakan.

"Enggak, kok," bantah Nagara terlihat panik.

"Iya, gue percaya, deh."

***

"Nagara, dingin ...," keluh Valerie.

"Perasaan AC-nya nggak dingin banget." Nagara segera bangkit mendengar keluhan Valerie, takut anaknya kenapa-napa. Ia menempelkan tangannya pada dahi Valerie. "Lo sakit?"

"Iya, badan gue agak lemes." Suara cewek itu agak serak, wajahnya juga lesu.

"Ayo kita ke dokter," ajak Nagara pada Valerie.

"Nggak usah, ini biasa, kok, namanya juga ibu hamil, pasti kena morning sickness," tolak Valerie. Ia tak mau merepotkan Nagara, soalnya cowok itu kerap kali melontarkan ucapan yang tidak enak didengar, ia takut sang pria semakin membencinya.

"Gue pesenin sup hang—"

Valerie tak kuasa menahan mual yang sedari tadi ia tahan. Ia berlari ke kamar mandi yang ada di kamar, mengeluarkan cairan ke kloset.

Melihat istrinya muntah, Nagara berseru "Valerie!" Ia sekarang membantu Valerie memegang rambutnya yang terurai dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mengelus punggung cewek itu.

Valerie akhirnya selesai mengeluarkan cairan melalui mulut. Ia merasa bersalah dengan Nagara. "Sorry, Nagara."

Nagara menuntun Valerie ke ranjang, merebahkannya di lautan kapuk. Ia sekali lagi menempelkan punggung tangan pada dahi cewek itu. "Gapapa, mending lo istirahat dulu, gue pesenin lo sup hangat."

Valerie tersenyum tipis. "Cie, khawatir."

"Sempet-sempetnya cie cie. Tiduran dulu sana, habis itu pake selimut," ujar Nagara.

"Iya, Gara," jawab Valerie, lalu memakai selimut dari kaki sampai leher.

"Tadi malam lo dapet begadang?" Nada bicara Nagara tersirat kekhawatiran.

Valerie mengangguk lesu. "Iya, soalnya nggak bisa tidur setelah nonton lo main, padahal Cia udah nyuruh tidur dan buatin susu untuk gue."

Nagara menghela napas. "Ya ampun, harusnya lo paksain tidur, nanti anak kita kenapa-napa gimana?"

"Lo mikirin anak atau mikirin kondisi gue dan anak gue?" tanya Valerie.

"Jangan banyak tanya, Valerie. Ini bukan saatnya untuk argumen kayak gitu. Cepet istirahat, nanti makan sup hangat pas supnya udah datang." Nagara tak suka membahas perasaannya dengan Valerie.

Valerie mencebik kesal. "Ngeles mulu, sebel."

"Lo berharap gue jawab 'iya, gue mikirin lo dan anak lo. Gue sayang sama lo, Valerie, makanya gue khawatir sama keadaan lo' gitu? Nggak bakal, Vale. Inget, kita nikah bukan karena saling cinta, tapi karena insiden. Jangan berharap lebih kayak dongeng yang bisa happy ending. Nggak usah berekspektasi tinggi, yang ada bikin lo sakit hati." Nagara tak kuasa menahan amarah. Masa bodoh cewek itu sedang sakit, soalnya Valerie tak mengerti betapa kacaunya perasaannya kini.

"Oke, makasih atas penjelasannya, sekarang gue mau tidur. Semoga nggak jilat ludah sendiri." Setelahnya, Valerie menutup sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Terserah lo, Cewek Lebay. Gue mau keluar dulu nunggu makanan lo."

"Hm," jawabnya. Perlahan, air matanya mulai meluncur tanpa ijin, berusaha menahan isakan tangis agar Nagara tak mendengarnya.

Ia sakit hati merasa tak dihargai oleh cowok itu. Di otaknya seketika terlintas dua pilihan, berpisah dengan menanggung sendiri anak yang ia kandung atau bertahan tapi sakit hati setiap hari.

Haruskah ia berkorban demi masa depan anak dengan cara bertahan dengan orang yang tak menghargainya?

———

Gimana perasaan kalian kalo cerita ini sad ending?

Gimana perasaan kalian kalo cerita ini happy ending?

Kalo hubungan toxic gini, pantes ga sih buat bersatu?

Yukkk lakukan tradisi readers cinderianaxx dengan cara:

Spam "Nagara" for next chapter

Spam "Valerie" for next chapter

Spam "Nana Cantik" for next chapter

2k komen + 500 vote aku up yaaa (HARUS TEMBUS YAAA GUISSS!!❤️)

Tbc luv❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top