3. KENA SALTY
Halo guisss, akhirnya aku up. Maaf baru update, aku sibuk bgt UTS, kulitku pada kering sama telapak kaki ngelupas gt wkwkwk
Lebih suka update tiap hari atau dua hari sekali?
Enakan punya pacar atau jomblo?
Happy reading
"Dulu aku paling membenci lelaki tak bertanggung jawab, namun sekarang aku menjilat ludah sendiri."
—Nagara Mahaputra—
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya Valerie sampai di pedesaan tempat Tantenya tinggal. Dulu ia sempat tinggal di sini saat TK, namun pindah saat Sekolah Dasar dan sempat ditemani oleh sang Tante sebelum resmi menjabat sebagai guru.
Rumah ini hanya satu petak, tapi tingkat seperti rumah minimalis jaman sekarang. Valerie memaksa sang Tante untuk merenovasi rumah ini pada walaupun beliau menolak pada awalnya. Akan tetapi, beliau terima tawaran Valerie dengan syarat jangan memperluas rumah agar cita rasa rumah tak berubah banyak.
Valerie mengambil ponsel di sling bag, lalu mencari kontak sang Tante untuk meneleponnya. Akhirnya, sambungan telepon terkoneksi. "Halo, Tante. Aku udah di depan rumah."
"Masuk aja, Tante nggak kunci."
"Oke," ujar Valerie, lalu mematikan sambungan telepon.
Ia membuka tas selempang branded tersebut, menaruh ponsel di dalamnya. Setelah dirasa tas itu sudah tak terbuka lagi, ia mendorong pintu, dilihatnya sang Tante sudah bersiap di depan pintu.
Kedua retina wanita paruh baya itu berbinar, merentangkan tangan guna menyambut kedatangan Valerie. "Hai, Valerie! Tante kangen banget sama kamu." Ia menerjang cewek itu dengan pelukan hangat.
Valerie membalas pelukan sang Tante. Sungguh, rasanya nyaman, penyaluran afeksi sangat terasa lewat dekapan hangat. Kedua sudut bibir sang puan tertarik tipis. "Valerie juga kangen sama Tante." Ia melepas pelukan beliau. "Tante sehat, kan, setelah kemarin aku ajak ke grand opening malam-malam?"
Lina mengangguk. "Puji Tuhan sehat. Baru kemarin kita ketemu pas di grand opening, kamu udah kangen aja."
Valerie tersenyum tipis. "Iyalah, Tante. Aku ngerasa sebentar banget ketemu sama Tante."
Lina menatap kasihan keponakannya. Ia menangkup wajah Valerie dengan kedua tangan, tersirat kekhawatiran di kedua retina. "Wajah kamu kelihatan lesu, mending kamu istirahat dulu, nanti kita berangkat ke kota."
Tawaan kecil ia lontarkan agar Lina tak khawatir. "Nggak usah, aku cuma kurang tidur karena ngurus endorse, Tante nggak usah khawatir. Oke?"
Lina melepaskan tangkupan tangan dari wajah Valerie. Decakan malas ia berikan pada cewek itu. "Kamu memang keras kepala. Ya sudah, yang penting hati-hati."
Valerie mengacungkan jari jempol. "Siap, Tante," ujarnya. "Ya udah, kita berangkat, yuk? Nanti keburu macet." Ia mengalihkan pembicaraan agar Lina tak membahas lagi perihal kondisinya. Cukup dirinya yang terluka, jangan sampai orang di sekitarnya okit terluka atas kondisinya.
Lina mengangguk, mengambil tas di atas meja ruang tamu. "Yuk."
Mereka melangkahkan kaki keluar rumah, berdiri di depan pintu untuk menguncinya. Lina memgambil kunci rumah di saku celana kulot hitam yang ia gunakan, lalu mengunci pintu. Setelah itu, mereka ke depan rumah guna menutup gerbang. Kali ini Valerie yang menutup gerbang, sedangkan sang Tante menggembok pagar.
Di sisi lain, Ijah—salah satu tetangga yang terkenal suka nyinyir melihat kedatangan mereka. Oleh karena itu, ia menghampiri Tante dan keponakan tersebut. "Aduh ... anak gadis ke mana aja selama ini? Tantenya sendirian di rumah nggak pernah ditengok."
Valerie mengalihkan atensinya. "Saya kerja di kota, kemarin saya ke sini, kok, buat jemput Tante, Bu Ijah." Ia masih berusaha sopan, walaupun tahu bahwa manusia peyot itu memang suka nyinyir dan banyak gaya.
Tangan wanita paruh baya itu bergelimang emas, niatnya mau pamer kalau dia orang kaya, padahal Valerie tahu kalau itu emas imitasi alias palsu kayak tokoh fiksi idaman kalian.
Ijah menatap Valerie dari ujung kepala sampai ujung kaki. Baju crop sedikit menggantung warna hitam dan celana jeans itu membuat Ijah menggeleng miris. "Wah ... pasti kerja jadi lonte, ya? Kelihatan banget udah nggak perawan, udah gitu cepet kaya. Nggak mungkin bisa kaya dalam waktu tiga tahun tanpa jadi pengusaha atau jual diri."
"Jangan menghina ponakan saya!" seru Lina tak terima.
Valerie memegang bahu Lina guna menenangkan wanita itu. Ia tahu bahwa Lina tak suka dirinya dihina, ia pasti akan maju di garda terdepan untuk membela Valerie. "Tante, biar Valerie aja yang urus."
Lina mengatur napas naik turun, meredakan emosi supaya tak jadi bahan gosip tetangga sekitar sini. Ia yakin Valerie bisa menghadapi semua ini.
Valerie menatap remeh sang wanita paruh baya tersebut. Ia tersenyum miring. "Loh? Bukannya Anda nggak perawan, ya? Udah punya anak dua yang katanya berprestasi, padahal nyogok guru biar dapat ranking. Eh, taunya hamidun. Aduh, masih SMA udah hamil di luar nikah karena ngangkang sana sini. Entah siapa yang jadi Papanya," papar Valerie dengan nada sinis.
Ijah tak menyangka kalimat itu akan terlontar dari bibir Valerie. Memang benar kedua anaknya seburuk itu, akan tetapi tak seharusnya sang puan mengucapkan kalimat itu, tak pantas untuk didengar. Selama ini Valerie berusaha menghindari Ijah karena tak ingin ada kegaduhan yang membuat image sang Tante menjadi buruk. "Jaga mulut kamu!"
"Saya tidak membual, memang begitu adanya. Syukur, ya, udah digugurin, kasian anaknya punya ibu sama nenek berjiwa lonte. Ngangkang mania? Mantap!" Valerie semakin semangat merundung Ijah. Tak perlu menunggu karma, lebih baik dia saja yang menjadi 'karma' untuk Ijah.
"Brengsek!" umpat Ijah.
Valerie tertawa puas. Ia mengalihkan atensinya ke Lina. "Ayo, Tante, kita ke mobil selebgram papan atas followers 1M centang biru."
"Kerja, kok, jadi kilogram? Kilogram itu massa atau berat, bukan pekerjaan," decih Ijah tak nyambung.
Sudah katrok, goblok pula.
"Selebgram, bukan kilogram!" bentak Valerie. "Nggak otak, nggak muka sama-sama kisut, masih lebih kenceng kerupuk layu yang dijual di pasar." Valerie mencubit gemas pipi kendor tersebut.
Ijah semakin tak terima dengan pernyataan Valerie. "Awas aja kamu nanti!"
Tiba-tiba, ada tetangga lain—korban tersakiti dari Ijah menyahut, "Mampus! Siapa suruh selama ini nyogok biar anak saya nggak dapat ranking? Kena karma kau sekarang."
"Jangan ikut campur," peringat Ijah.
***
Sudah empat puluh lima menit waktu ditempuh oleh Valerie dan Lina menuju ke rumah sang selebgram tersebut. Walaupun jauh dan memakan waktu lama, Valerie tak merasa lelah menyetir, apalagi ia bersama sang Tante. Lina adalah energi bagi kehidupan Valerie. Jika nanti Lina pergi, Valerie tak yakin bahwa ia bisa bertahan atau tidak.
"Valerie, Tante mau bicara sama kamu." Lina membuka topik pembicaraan.
Valerie sempat tegang, takutnya beliau membicarakan mengenai cinta satu malamnya dengan Nagara. Semoga saja beliau tidak tahu. "Bicara apa, Tante?" tanyanya berusaha tenang.
Lina menatap khawatir Valerie. "Tolong hati-hati, ya? Pergaulan di kota sangat bebas, apalagi kamu sering main ke club malam, takutnya kamu terjerumus pergaulan bebas dan hamil di luar nikah. Jaga diri, Tante benar-benar sayang sama kamu. Tante nggak mungkin cerewet kalo Tante nggak sayang."
Wanita itu punya firasat kalau Valerie dalam masalah, tapi Valerie tak mau mengungkapkannya.
Seperti yang kalian ketahui bahwa cewek itu tak mau membebankan sang Tante dengan berbagai macam problematika kehidupan yang ia hadapi.
"Siap, Tante. Aku pasti hati-hati, Tante nggak usah khawatir. Oke?" Valerie berusaha menenangkan Lina.
"Oke," balas Lina menghela napas. "Tolong banget cerita ke Tante kalo ada masalah, Tante nggak bisa jagain kamu secara langsung."
"Aduh, Tante tenang aja, Valerie udah gede." Valerie tahu ini alasan klasik, tapi ia tak punya alasan lain supaya Lina berhenti mengkhawatirkannya.
"Bagi Tante, kamu masih kecil, butuh kasih sayang orang tua. Tante jadi orang tua kamu, yang ngasuh kamu dari kecil. Tante nggak rela keponakan Tante kenapa-napa," jelas Lina.
Valerie terkekeh geli. "Posesif banget kayak mafia Wattpad."
Lina mengerut kening. "Apa itu Wattpad?"
Valerie bersyukur akhirnya topik tadi bisa ia alihkan. "Aplikasi buat baca cerita. Kadang Valerie suka baca-baca di sana kalau lagi nggak ada kerjaan."
"Wah ... Tante mau baca, dong!" ungkap Lina penuh semangat.
"Boleh, sih ... asal pinter-pinter pilih bacaan, yang ada nanti salah baca cerita," tutur Valerie tersenyum penuh arti. Anak Wattpad pasti mengerti dengan maksud Valerie, terutama yang suka baca 1821.
"Maksudnya salah baca cerita gimana?" Lina semakin kepo.
"Nanti dapet cerita yang part awal udah 'shhh ahhh daddyhhh'," kata Valerie.
Lina malah panik. "Kenapa kamu kepedesan gitu?"
Valerie tertawa. Tantenya lumayan menghibur tatkala ia terkena masalah. "Bukan kepedasan, tapi cerita begituan intinya."
"Cerita apa, sih?" tanya Lina semakin penasaran.
"Hubungan suami istri pada malam hari, kuda-kudaan," jelas Valerie sedikit frontal.
"Oalah." Akhirnya Lina mengerti. "Ya sudah, kalau begitu tidak jadi."
Valerie tertawa. "Okelah."
Semoga dalam seminggu ini Lina tak tahu bahwa Valerie telah bercinta dengan Nagara, apalagi sampai hamil, bisa kecewa berat sang Tante. Ia optimis sang Tante tak akan meninggalkannya dalam keadaaan apa pun, yang ia takutkan hanyalah ucapan tetangga yang bisa mengguncang pikiran Lina.
***
Matahari mulai memudar pada sore ini, pertanda akan ada pergantian dari sore ke malam. Nagara dan Neron baru saja seleai dari latihan di stadion khusus club Nabiru FC. Tadi Nagara lagi-lagi kena tegur oleh sang pelatih. Terlihat sekali kalau Nagara tak bisa fokus melakukan kegiatan apa pun, kejadian malam itu masih menguasai pikiran.
Kini Nagara dan Neron berjalan beriringan menuju parkiran stadion sembari mengobrol.
"Lo kenapa, sih? Dari kemarin lesu mulu, mana nggak mau cerita. Hati-hati pas latihan nanti mainan lo kacau, gue nggak rela lo dikeluarin dari club dan Timnas," peringat Neron.
Nagara berdecak malas. "Jangan sampai, anjir."
"Ya udah, makanya cerita, dong. Siapa tau aja dengan cerita masalah lo bakal lebih cepet selesai." Neron gregetan, padahal maksud dia baik. Lagipula, ia tak akan membocorkan masalah Nagara ke siapapun. Jadi, untuk apa Nagara takut bercerita kepadanya?
Nagara menghela napas. Ia menggeleng. "Nggak dulu, Ron. Masalah ini nggak segampang yang lo bayangin."
Neron sudah pasrah, keputusan Nagara tak bisa diganggu gugat. "Okelah. Terserah lo aja, gue juga nggak mau maksa." Ia menepuk pelan bahu Nagara. "Gue cuma khawatir sebagai temen, Steven juga khawatir, tadi dia nanyain gue lewat WA. Dia nggak bisa mantau langsung keadaan lo karena lagi latihan sama club."
Nagara sebenarnya senang kalau banyak yang peduli, tapi justru karena itu ia jadi sungkan untuk bercerita, takutnya mereka ikut kepikiran masalah ini. "Nanti gue chat Steven."
Neron kini merangkul Nagara. "Sebenarnya banyak yang perhatian sama lo, jangan pernah merasa sendirian. Gue siap bantu kalo lo nggak bisa ngatasin masalah lo."
"Makasih, Ron," balas Nagara tersenyum tulus. "Sorry banget, masalah ini sebenernya bisa gue atasi sendiri, cuma butuh inisiatif diri sendiri supaya cepet kelar."
Neron menjentikkan jari. "Ah, pasti masalah kecil, nih, makanya bisa diatasi sendiri."
Gampang kepala lo botak, lo belum tahu aja gimana masalahnya.
Nagara mengangguk. "Bagus kalo lo nganggapnya gitu."
"Nggak tau, deh. Bisa jadi lo bohong. We never know." Neron menaikkan kedua bahu.
Nagara tak tega seolah ia membatasi akses Neron untuk perhatian kepadanya. "Nanti bakal ada saatnya gue kasih tau apa masalah gue, doain aja semoga gue bisa tenang hadapi semua ini."
Neron tersenyum tipis. "Apa pun itu, semoga keputusan lo adalah keputusan yang terbaik."
"Amin."
***
Tinggal di kontrakan seorang diri membuat Nagara hanya bisa bermonolog seperti orang kesepian. Cowok itu memang tipe orang yang tak suka curhat mengenai masalah pribadi. Ia lebih baik bicara dan mengeluh sendiri ketimbang mengeluh pada orang lain, takutnya energi negatif akan tersebar ke orang lain.
"Kayaknya gue butuh curhat di base Twitter, lagian gue pake akun folls dikit dan udah di-follback, jadi identitas gue aman kalo curhat," ujar Nagara. "Gue curhat aja, deh." Ia mengambil ponsel di atas nakas ruang tamu, lalu duduk di sofa menaikkan kedua kaki. Ia mengetik di direct message akun 18fess—akun khusus bertanya tentang hal tabu mengenai hal-hal dewasa.
"Anggap aja kemarahan mereka reaksi Neron, Steven dan orang tua gue kalo tau gue udah jadi cowok bajingan." Nagara berusaha tegar. "Gue nggak mau hamilin cewek, itu salah satu perbuatan paling bejat yang pernah gue perbuat."
Suara dering telepon tiba-tiba berbunyi. Ia menatap layar, ternyata sang Mama—Asri yang meneleponnya. Oleh karena itu, ia segera mengangkat teleponz
"Halo, Ma."
"Halo, Gara. Kamu apa kabar?"
"Baik, Ma. Tumben nelpon malam gini?" tanya Nagara.
"Pengin aja, habisnya kangen sama anak Mama satu-satunya."
"Aaaa, Mama bisa ajaaa," ujar Nagara dengan nada manja. Ia hanya berani bersikap manja dan seperti anak kecil kepada orang tuanya.
Suara tawaan terdengar dari sang Mama. "Kamu udah makan, Nak?"
"Sudah, Mama," sahut Nagara. "Oh, iya, Papa mana?"
"Biasalah, Papa kamu itu kerja ngurus sekolah sepak bolanya."
"Tapi, kan, ini udah malam. Siapa coba yang mau diurusin? Papa nggak selingkuh, kan?" Nagara memang suka bercanda yang aneh-aneh dengan sang Mama.
"Heh! Congormu tak jadiin topping rujak cingur baru tau rasa. Ini baru jam delapan malam, nggak malam-malam amat buat keliling sekolah sepak bola. Papa rencananya pengen renovasi, cuma Mama nggak tahu jadi atau enggak."
"Santai kali, Ma. Yeu, marah-marah mulu kayak cewek datang bulan," ejek Nagara tertawa kecil.
"Nagara!" tegur Asri.
"Ya udah, maafin Nagara, ya? Nagara janji bakal ulangin lagi." Jiwa jahil Nagara mulai kumat.
"Dasar, Bocil Jahanam!"
"Wle, aku matiin."
"Nag—"
Belum sempat Asri menyelesaikan kalimatnya, Nagara sudah mematikan sambungan telepon. Ia tebak pasti sang Mama marah-marah di seberang sana. Membuat beliau murka adalah hiburan tersendiri bagi Nagara.
"Mau sampai kapan gue harus fake?" Nagara teringat lagi dengan masalahnya yang tak usai.
***
Pekarangan luas dan rumah mewah menjadi pemandangan pertama Valerie dan Lina setelah menginjakkan kaki di rumah Valerie. Di sini ada satu satpam untuk menjaga rumah, sisanya Valerie kerjakan sendiri. Kalau untuk memasak Valerie tak bisa, tinggal beli langsung beres, tapi kalau masalah bersih-bersih, ia membersihkan sendiri rumah ini.
"Akhirnya kita sampai rumah, Tante. Yuk masuk dulu," ajak Valerie pada Lina.
Lina mengangguk. Ia tersenyum tulus. "Makasih banyak, Valerie."
Valerie menaruh tas di atas meja ruang tamu. Ia duduk di atas sofa. "Oh, iya. Tante mau pesan apa? Biar aku pesenin lewat aplikasi Bagong Food."
"Kamu tau aja Tante lagi lapar," balas Luna tertawa kecil.
"Tau, dong. Kelihatan dari wajahnya agak lesu. Makan julidan tetangga aja nggak cukup bikin kenyang, harus juga makan makanan beneran," ungkap Valerie.
"Halah, kamu bisa aja," sahut Lina. "Maaf, ya, kalo ngelunjak, Tante ingin sekali makan pizza, soalnya di desa susah nyari pizza yang enak, nanti Tante yang bayar."
"Nggak usah, biar aku aja," tolak Valerie.
"Jangan, Valerie, biar Tante aja."
"Tante ... jangan nggak enakan gitu. Biaya Tante besarin aku jauh lebih besar ketimbang satu loyang pizza," jelas Valerie.
"Tap—"
"Aku nggak terima penolakan, ya, Tante. Pokoknya Tante harus makan enak," kata Valerie.
"Baiklah, Valerie. Tapi, besok pagi kamu harus mau Tante masakkin pecel ayam sama sambel cumi. Tante nggak bakal capek masak buat kamu."
"Iya, Tante. Aku mau, kok. Aku kangen makan masakan Tante."
Sang Tante tersenyum senang. "Siap, deh, kalo gitu."
"Aku pesenin sekarang, ya."
"Oke, Valerie."
***
"Huft, kayaknya gue harus ketemuan sama Valerie. Gue nggak bisa diem terus, sama aja kayak cowok pengecut."
—-
Seperti biasa sayangggg wkwkwkw
Spam apa aja di sini
Spam "Nana Cantik" di sini
Spam "Nagara" di sini
Spam "Valerie" di sini
3k komen aku up besok malam biar aman bacanya wkwkwk
Tbc ayankkkk💋😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top