29. BALI
Halo guisss, udah pada libur yaaa?
Happy holiday buat yang libur yaaa!😍
Lebih suka kucing atau ANJING?
Tekan "2" apabila Anda ingin happy ending
Tekan "3" apabila Anda ingin sad ending
Happy reading!
Valerie: Cia, maaf ganggu sebelumnya.
Cia: Santai aja. Kenapa, Val?
Valerie: Gue boleh nggak temenan sama lo?
Cia: Boleh, dong! Lo, kan, memang temen gue
Valerie: Maksud gue, temen deket gitu. Maaf banyak mau
Cia: Boleh bangetttt, Bestie🥰
Valerie: Makasih, ya
Cia: Sama-sama, Valerie😍
Benda pipih itu diletakkan Valerie di atas nakas. Wajah begitu pesimis, membuat sang wanita menghela napas. "Dia mah cuma bilang mau, tapi hatinya belum tentu mau temenan sama gue," ujarnya. "Modelan cewek clubbing kayak gue mana cocok sama Cia yang bijak?" Ia terus bergumam, merendahkan diri padahal belum tentu ia serendah itu. "Sumpah, tumben gue insecure mau temenan sama orang."
Di dekat pintu kamar, Nagara bersandar di sana sembari melipat tangan, mengamati pergerakan Valerie. Kedua kaki melangkah, menepuk bahu Valerie. "Woi!"
Valerie beralih ke sumber suara, menarik tipis kedua sudut bibir. "Eh, udah pulang latihan."
Nagara hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Lo mandi dulu, gue udah siapin air hangat, habis itu makan malam, gue udah masakin sayur asem isi daging ayam," titah Valerie.
"Oke, gue mandi dulu. Jangan lupa packing baju, besok kita ke Bali buat nonton gue tanding."
"Siap."
***
Kumpulan pakaian dan peralatan skincare ia masukkan ke dalam koper, menarik resleting agar semua tertutup rapat. Valerie mengikat rambutnya asal, menyandarkan tubuh di headboard kasur.
"Kemungkinan besok gue ketemu sama Cia di Bali, gue harus siapin diri buat deketin dia." Rasa insecure Valerie tak pudar sedari tadi. Padahal, apa yang ditakutkan oleh Valerie? Toh, Cia tidak akan memakannya.
Rekaman memori saat Nagara memaki wanita itu terputar di otak Valerie. Sungguh, rasanya bingung harus bagaimana, banyak hal yang harus ia pikirkan tiap kali membuat keputusan.
Mending kalau dia salah, jadi wajar Nagara sering marah, sedangkan di sini dia tak pernah salah, kecuali saat bertutur kasar untuk membalas ujaran kebencian yang dilayangkan oleh manusia jahanam.
"Jujur, kalo kayak gini gue kangen merokok sama minum, tapi nanti anak gue kenapa-napa."
Kedua netra menatap perut yang kian membesar, mengusap penuh kasih sayang. "Nak, sehat-sehat terus, ya? Mama janji bakal melakukan yang terbaik buat kamu, Mama pasti mengutamakan kebahagiaan kamu dibanding Mama. Kemarin pas Papa bilang, 'I've fallen for you, Valerie' bukan karena cinta, tapi karena puas sama Mama."
"Mama berusaha untuk nggak marah biar kamu nggak ikutan stress di dalam sana. Mama waktu itu cuma senyum tipis, habis itu diam aja biar nggak bertengkar. Doain Mama bisa kuat sampai akhir jagain kamu, ya?" Tak terasa air mata jatuh begitu saja. "Mama sayang kamu, Nak...."
"Nak, Mama mau curhat. Sejak Mama nggak mau nentang Papa, hubungan kami jadi adem, tapi agak canggung. Mama melayani Papa kamu sebagai suami kayak formalitas aja, walaupun masih cinta, tapi rasa cintanya udah mulai berkurang. Siapa juga yang tahan dikatain mulu? Walaupun secinta apa pun, kemungkinan besar bakal nyerah juga."
"Kalau Mama cerai nanti, entah siapa yang pegang hak asuh, pasti kamu bakal dijaga dengan baik, kok. Toh, Papa kamu juga sayang banget sama kamu. Kamu nggak usah mikirin nasib Mama kayak gimana nanti, Mama kaya, bisa cari duit sendiri."
"Lo yakin mau cerai dari gue?" tanya Nagara.
Valerie mengusap kasar air mata, menengok ke arah pintu kamar. Lagi-lagi, pria itu memergokinya dari dekat pintu kamar seperti penampakan setan. "Nagara?"
Ia menutup pintu, berjalan ke depan Valerie, bergabung bersamanya di atas ranjang. "Jawab pertanyaan gue tadi," tegasnya.
"Iya, setelah anak kita lahir."
Nagara mengacak frustrasi surai, tak habis pikir dengan pemikiran Valerie. "Lo nggak mikir nanti anak kita malu jadi anak broken home?"
"Sebenernya sama-sama sakit. Gue bertahan sama lo, anak kita juga sakit, kalo gue pisah, anak kita juga sakit, tapi setidaknya dia nggak lihat kita bertengkar."
"Ayo, Valerie. Coba kita omongin baik-baik masalah ini." Nagara masih mencoba bernegosiasi.
"Apa lagi yang mau diomongin? Masalahnya ada di lo, lo yang sering marahin gue."
"Lo juga sering nentang gue. Kalo lo nurut, masalah selesai."
"Iya, iya." Valerie malas memperpanjang perdebatan, tak akan usai kalau Nagara tak mau kooperatif untuk menyelesaikan masalah. "Pergi sana, gue mau tidur, takut besok telat."
"Gue mau mengunjungi anak dulu."
"Hm."
Nagara menyibak baju Valerie, memperlihatkan perut besar itu. Ia mengusap, memajukan wajah agar lebih dekat dengan anaknya. "Halo, Nak. Papa mengunjungi kamu lagi, nih. Udah siap belum jadi anak pemain bola sama selebgram? Pasti hidup kamu bakal disorot terus. Kalo kamu risih, Papa janji nggak bakal expose kamu ke media."
"Gimana calanya, Pa?" Valerie bersuara ala anak kecil.
"Jangan ngaku kamu anak Papa Mama."
"Terus, aku anak ciapa, dong?"
"Enggak tahu."
"Papa jaat, hiks hiksrot!" Ia merengek.
Tawaan kecil meluncur dari bibir Nagara. "Lucu juga lo, Valerie."
"Gue pernah mau jadi pelawak, tapi gagal audisi."
"Beneran?" Nagara penasaran.
"Bohong," jawab Valerie.
"Gue tidur dulu."
"Sana tidur." Hasrat wanita itu untuk mengusir Nagara kian membuncah.
"Mau dadah dulu sama anak kita."
Valerie mengumpat di dalam hati, kesal pria itu seolah tak mau pergi cepat dari sini.
"Dadah, Nak! Papa harus tidur dulu, besok kita harus ke Bali buat nonton Papa tanding. Selamat malam, Nak!" Satu kecupan Nagara daratkan di perut Valerie.
"Malam juga, Papa!" sahut Valerie.
Nagara mengecup pipi Valerie. "Good night, Valerie."
Seulas senyum ditampilkan oleh Valerie. "Good night too, Gara."
***
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya Valerie dan Nagara tiba di Bandara Ngurah Rai. Lautan manusia bertebaran dari manca negara, hingga berbagai daerah di Indonesia.
Valerie dari tadi memegang perut, menahan sesuatu yang hendak keluar. "Gara, gue mau ke kamar mandi dulu."
"Jangan lama-lama," peringat Nagara.
"Iya."
Valerie langsung berlari mencari kamar mandi bandara. Untung saja tidak ada antrean di sana, sehingga wanita itu bisa langsung masuk ke dalam. Ia mengeluarkan cairan bening di kloset, mengatur napas ketika usai.
Dikarenakan waktu terbatas, Valerie cepat-cepat menekan tombol kloset, melaju ke tempat Nagara berdiam. Terlihat rambut Valerie acak-acakan, wajahnya lesu.
"Kenapa wajah lo berantakan gitu? Lo muntah?" Nagara peka akan kondisi Valerie.
Valerie hanya mengangguk.
"Kenapa nggak bilang sama gue, anjir?" Nagara marah karena gagal melindungi Valerie.
"Nggak penting."
Dia peka kalau Valerie berusaha cut off obrolan mereka setiap kali berbincang. Siapa juga yang nggak muak diajak berdebat tapi tak ada solusi?
"Kita beli air mineral dulu."
"Duh, baiknya suamiku." Valerie tersenyum paksa.
Decakan malas dikeluarkan oleh Nagara. "Apaan, sih?"
Mengangkat bahu sembari tersenyum tipis adalah respon yang Valerie berikan pada Nagara.
Nagara membawa koper dengan tangan kiri, menggenggam tangan Valerie dengan tangan kanan menuju tempat penjual minuman. Wanita itu hanya melihat sebentar tangan yang digenggam, kemudian ia turut berjalan di samping Nagara.
Kini mereka tiba di toko khusus jual minuman manis, pasti akan mahal kalau beli air mineral di sini, apalagi pajak mendirikan store di Bandara terbilang tinggi.
Air mineral diambil Nagara di dekat kasir, menyodorkannya pada sang kasir.
"Berapa harganya?" tanya Nagara.
"Lima belas ribu rupiah."
Tangan kanan merogoh saku celana, Nagara memang suka menyimpan uang kecil di dalam saku. Lembaran ungu dan kuning ia berikan kepada kasir.
"Makasih banyak."
"Sama-sama," balas Nagara.
Valerie hanya menyimak usaha Nagara untuk memulihkan kondisi cewek itu. Kalau dibilang baper, sih, tidak juga, soalnya sudah mulai mati rasa sejak kemarin. Lebih ke tersentuh saja Nagara mau melindungi anaknya.
Air mineral tersebut diberikan ke Valerie. "Minum."
Tak sepatah kata pun dilontarkan Valerie, ia langsung meneguk air tersebut hingga sisa setengah botol.
Dirasa Valerie sudah selesai minum, Nagara kembali melanjutkan perjalanan ke tempat penjemputan.
Di tengah perjalanan, sepasang mata Valerie menangkap keberadaan Neron dan Cia dari kejauhan. "Eh, itu Neron sama Cia."
"Memang. Kita nanti satu mobil, gue lupa booking mobil soalnya," balas Nagara.
"Yeu, dasar," celoteh Valerie.
"Ya udah, ayo ke sana."
Mereka kembali melanjutkan langkah ke arah kedua sejoli itu, memberhentikan kedua kaki tepat di depan Neron dan Cia.
"Hai, Cia! Kita ketemu lagi!" sapa Valerie pada Cia.
"Hai, Valerie! Gue kira lo nggak ke sini," ujar Cia tersenyum ramah.
"Ke sini, dong, soalnya Nagara mau main, sekalian mau nonton langsung pas club dia main di stadion," jelas Valerie.
Cia mengangguk paham. "Terus, lo tinggal di mana?"
"Di villa yang ada di Ubud," papar Valerie.
Mata Cia seketika memicing. "Apa jangan-jangan villa kita deketan?"
"Mungkin," jawab Valerie.
"Semoga deketan, ya, biar gue bisa jagain lo, apalagi lo lagi hamil, takutnya kenapa-napa kalo sendirian," ungkap Cia.
"Iya, memang deketan, Cia. Gue udah nanyain Neron sebelumnya." Kini Nagara yang menyahut.
Cia mengacungkan jari jempol. "Bagus kalo gitu."
Di sisi lain, Neron menatap mobil yang datang dari kejauhan ke arah mereka. Ia menengok pada Cia. "Kayaknya mobil kita udah dateng. Ayo naik ke sana."
Mereka pun turut melihat ke arah tatapan Neron. Benar saja, mobil itu berhenti tepat di depan mereka.
"Kita satu mobil sama Valerie dan Nagara, Si Monyet ini bego ga nyari mobil dulu sebelum ke sini buat Valerie, soalnya rencananya dia mau langsung ke hotel club." Neron memberitahu.
"Lo yang bego," cibir Nagara.
"Ayo masuk," ajak Neron pada mereka.
Mereka mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Supir yang menjemput mereka menggunakan mobil Fortuner, sehingga bisa menampung empat orang. Kini Valerie duduk dengan Cia di tengah, sedangkan Neron dan Nagara duduk di jok belakang.
"Selamat datang di Bali," ujar sang supir. Supir ini Neron sewa dari kenalannya di Bali.
"Matur suksma, Bli Putu," balas Neron.
"Cia, tau nggak?" Valerie membuka topik.
"Nggak tau," jawab Cia.
Valerie berdecak malas. "Iyalah gak tau, soalnya gue belum bilang."
"Prik, ga jelas," cibir Nagara.
Valerie mengalihkan atensinya ke Nagara. "Diem lo netijen julid."
"Nyenyenye," ejek Nagara.
Valerie kembali ke posisi semua, ia tak mau memperpanjang perdebatan dengan Nagara karena hanya akan membuang tenaga. Ia kembali bicara pada Cia. "Cia."
"Kenapa, Vale?" sahut Cia.
"Gue pengen makan ayam betutu di villa lo. Boleh, ya?" Valerie menatap Cia penuh harap.
"Boleh, kok. Nanti gue pesenin lewat Bagong Food, ya," jawab Cia sembari tersenyum.
"Yey, makasih!" pekik Valerie kegirangan.
"Makan mulu," ejek Nagara.
"Biarin!" seru Valerie menjulurkan lidah pada Nagara.
Nagara menggeleng heran. "Kita naruh pakaian lo di villa dulu, baru ke villa Cia. Oke?"
"Oke!" jawab Valerie.
Di tengah perjalanan, barisan wanita Bali membawa buah-buahan di atas kepala dengan alas membuat mobil berhenti sejenak. Ada pecalang—petugas keamanan tradisional yang bertugas untuk menjaga, mengamankan, aktivitas warga desa adat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan yang mengatur jalanan karena ada upacara adat.
"Wow, ada upacara adat. Gue suka ngelihat cewek Bali bawa buah di atas kepala gitu, pada kuat, ya, anjir, bawa buah segitu beratnya." Valerie menatap kagum mereka.
"Udah biasa mereka mah. Pas gue kecil, Nenek gue biasa bawa gitu kalo ada upacara adat," jawab Cia.
"Nenek lo orang Bali?" tanya Valerie.
"Yap. Sebenernya gue orang Bali. Papa gue orang Bali, tapi lahir di Jakarta, sedangkan Mama orang Lombok yang merantau ke Jakarta buat kerja, cuma karena lama tinggal di Jakarta, gue nggak bisa bahasa Bali, paling cuma tau 'nggih', 'ten', 'sing', 'cicing'."
*nggih= iya (bahasa Bali halus)
*ten= tidak (bahasa Bali halus)
*sing= tidak (bahasa Bali kasar)
*cicing= anjing
Valerie semakin tertarik dengan topik ini. "Mirip kayak bahasa Jawa, ya?"
"Iya, memang mirip."
"Btw, cicing bahasa Sunda sama bahasa Bali sama atau beda?" tanya Valerie.
"Beda. Cicing bahasa Bali artinya anjing, kalo bahasa Sunda artinya diam," jawab Cia.
"Jadi kebayang kalo orang Sunda ngobrol sama orang Bali pake kata cicing, takutnya salah paham."
Cia tertawa kecil. "Iya juga, ya."
Di sisi lain, Nagara dan Neron melihat interaksi istri mereka, membuat Nagara tersenyum senang. Ia berbisik pada Neron, "Bro, istri kita kayaknya deket banget, apalagi Valerie Dugong rewel banget sama Cia, terus Cia sabar hadapi Valerie. Gimana kalo kita jodohin anak kita nanti?"
Cowok itu mendelik kesal. "Muatamu! Gue nggak mau jodohin anak, biarin anak gue kelak nyari jodoh sendiri," ujar Neron.
"Ya udah, kalo gitu gue mau jodohin anak gue sama anaknya Steven."
Neron menatap aneh Nagara. "Steven aja kagak punya pacar, lo udah ngomongin anak. Cia juga belum hamil."
"Ya, kan, nanti maksud gue, nggak sekarang," jawab Nagara.
"Pentingin pendidikan anak dulu lah, urusan jodoh belakangan," saran Neron.
Nagara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya juga, ya."
"Jangan lupa buat asuransi buat anak biar anak lo terjamin hidupnya. Amit-amit gitu kalo kita meninggal, gue udah buat asuransi buat bekel anak gue."
"Kayaknya lebih siap lo punya anak ketimbang gue."
"Gue karena tau mau dijodohin waktu itu, makanya nyari tau hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, sedangkan lo karena insiden. Lo nggak bisa nyalahin diri karena nggak siap, wajar karena lo juga shock bisa berumah tangga secepat ini," jelas Neron.
Nagara tahu Neron punya sisi serius. Ia paham mengapa cowok itu bisa jadi pemain bola top di Indonesia. Selain usahanya keras, lelaki itu juga visioner. "Tolong bantu gue kalo ada apa-apa, ya? Gue awam banget masalah kayak gini."
Neron menepuk bahu Nagara. "Yoi, pasti."
***
"Inget, jangan genit," peringat Nagara pada Valerie.
"Siapa juga yang mau genit?" Valerie menatap malas pria itu.
"Bagus kalo gitu." Nagara tersenyum puas.
"Kayaknya mobil lo udah sampai."
Nagara mengangguk. "Ayo ke luar."
Villa tempat Valerie dan Cia menginap bersebelahan. Oleh karena itu, ia cepat sampai ke sana guna memberikan salam perpisahan pada Neron. Selain itu, mobil Bagong Car sudah diam di sana menjemput kedua pria tampan itu.
"Eh, Cia. Baru aja gue mau ke sana." Valerie menatap antusias Cia.
"Nanti aja sekalian sama gue ke villa."
"Yey!" seru Valerie.
Di sisi lain, Nagara dan Neron memasukkan koper ke dalam bagasi dibantu oleh sang supir paruh baya. Setelahnya, sang supir menutup pintu bagasi mobil.
"Hati-hati, Gara." Valerie melambaikan tangan pada Nagara.
"Hm. Gue berangkat dulu, lo jangan ngerepotin Cia," peringat Nagara.
"Tenang aja, gue nggak merasa direpotin, kok," ujar Cia.
"Baguslah, semoga lo nggak bohong, soalnya Valerie rada rewel." Nagara menatap sinis Valerie, membuat cewek itu memalingkan wajah dari sang suami.
"Iya, santai aja."
"Aku masuk mobil dulu, jaga diri baik-baik. Kalo duit kurang, chat aja aku," pamit Neron pada Cia.
Cia mengangguk. "Iya, Neron."
Nagara mengetik di layar ponsel, lalu mengirimkannya pada Cia. "Cia, lihat chat."
"Oke," balas Cia.
Cia merogoh saku guna mengambil ponsel. Di layar benda pipih tersebut terpampang jelas pesan yang cowok itu kirimkan.
Nagara: Tolong jangan kasih Valerie ambil job endorse dulu, nanti dia kecapekan. Kemarin untung dia udah selesaiin semua job-nya. Jangan bilang ke dia kalo gue bilang gini, nanti dia kepedean
Cia: WKWKWK SIPPPP👍
Kedua pria itu masuk mobil duduk di kursi belakang supir. Mereka menutup pintu, lalu melambaikan tangan dari dalam kendaraan beroda empat kepada mereka. Para wanita turut membalas lambaian tangan itu.
"Cia, ayo kita ke villa lo, nggak sabar pengen makan ayam betutu," ujar Valerie setelah menatap kepergian mobil yang mereka tumpangi.
"Ayo."
Cia menggandeng tangan Valerie ke villa itu. Tak butuh waktu tiga menit, mereka sudah sampai di sana. Villa ini eksklusif hanya untuk dirinya dan Neron, jadi tak ada siapa-siapa di sini. Staff yang berjaga hanya diam di depan.
Valerie mengedarkan pandangan ke sekeliling villa. "Wah, villa-nya bagus. Siapa yang pilihin villa-nya?"
"Neron," jawab Cia.
"Ah, nggak jadi bagus."
Cia mengerut kening. "Kenapa gitu?"
"Nanti lo salah paham, terus cemburu. Gue nggak mau kita main jambak-jambakkan."
"Gue gak suka ribut karena cowok. Kalaupun gue cemburu, yang pertama kali gue interogasi Si Neron. Harusnya tanya orang terdekat dulu, baru tanya baik-baik ke ceweknya. Bukan main labrak doang atau buat konten sindir-sindiran. Lagipula, lo sama Neron udah lama putus, gue mah santai aja," jelas Cia.
"Hm, gue belum tentu bisa kayak lo kalo Nagara diambil cewek lain. Gue memang nggak pernah labrak ceweknya kalo diselingkuhin sama mantan gue dulu, kalo keinginan untuk labrak, sih, ada, cuma jadi dendam dan pengen dorong pasangan gaje ke jurang karena dongkol."
"Pasti dongkol, kok, itu manusiawi, tapi kalo ada masalah kayak gitu, saran gue jangan asal main labrak, yang ada masalah makin runyam. Kalo beneran selingkuh, ya udah ambil aja sana, ngapain gue ngemis-ngemis cinta? Gue pasti sakit hati kalo diselingkuhin, tapi gue nggak mau jatuhin harga diri demi cowok. Lebih baik gue marahin cowok gue ketimbang marahin selingkuhannya. Toh, dua-duanya sama-sama salah. Mau ceweknya yang genitin, kek, tetep aja gue bakal nyalahin cowok gue dulu karena ga bisa jaga hati."
"Setuju, sih, soalnya jaman sekarang apa-apa cewek mulu yang dipojokkin. Misalnya ada cowok selingkuh sama cewek, pasti ceweknya yang lebih disalahin, dikata jalang, blabla, jarang cowoknya yang disalahin. Ada aja pasti yang belain 'wajar cowok khilaf' halahhh, bacot."
Cia tertawa melihat Valerie emosi. "Tampaknya Anda sangat emosional, Bung."
"Habisnya kesel, anjir! Netijen demen amat hujat orang dan langsung percaya konten selingkuh begitu," jelasnya menggebu-gebu.
"Ya, begitulah netijen +62, suka ngurus orang, tapi diri sendiri belum tentu bener," ujarnya. "Kita pesen ayam aja, yuk."
"Ah!"
"Lo kenapa, Valerie?"
Sambil memegang kaki menahan rasa sakit dan ngilu, Valerie berkata, "Kaki gue kram."
"Karena hamil ini mah." Cia berjongkok di depan Valerie, menaruh tangan cewek itu di bahunya. Perlahan, ia berdiri, menahan beban cewek itu di pundaknya. Jujur saja, Cia merasa badan Valerie semakin berat. Namun, ia kasihan melihat sang puan kesakitan. "Yuk pelan-pelan ke atas tempat tidur dulu, habis ini gue pijetin."
Valerie peka bahwa Cia kelelahan menahan beban tubuhnya yang kian melonjak. Selama ini image mandiri dan tak mau merepotkan orang lain melekat di cewek itu, namun kali ini ia butuh bantuan dan terpaksa merepotkan orang lain. "Sorry ngerepotin."
Cia mendudukkan dirinya dan Valerie di atas ranjang, menaruh dengan hati-hati tubuh cewek itu. "Gapapa, Valerie." Cia bangkit dari kasur. "Sebentar, gue ngambil minyak dulu di koper."
Valerie mengangguk. "Iya."
Cia mengambil koper yang ia taruh di dekat almari, membukanya guna mencari minyak eucalyptus di dalam tas kecil khusus obat-obatan. Akhirnya, ia mendapat benda penyelamat tersebut, membawanya ke tempat Valerie rebahan.
Cia duduk di dekat kedua kaki Valerie. "Lurusin kaki lo," titahnya.
"Gue pesenin, ya, Cia." Syukur tadi Valerie kesakitan sembari membawa ponsel. Jadi, ia tak perlu repot-repot minta tolong pada Cia untuk mengambilkannya benda pipih berlogo apel.
"Bisa main hape di saat kaki lo kram?" Cia terlihat khawatir akan kondisi Valerie. Ia kini mulai memijat kaki cewek itu berdasarkan tutorial yang ia pernah lihat di tiktok.
"Bisa," jawab Valerie.
"Okelah. Gue samain aja makanannya sama lo," balas Cia membalurkan minyak di kaki sebelah kiri Valerie.
"Sip," sahut Valerie.
Jemarinya bergerak membuka layar ponsel dengan sidik jari yang ia tempelkan di tombol tengah ponsel. Di daftar aplikasi ada Bagong—aplikasi order makanan, ojek motor dan mobil. Ia mencari dagang ayam betutu terenak dekat sini, lalu memesan dua nasi, satu ekor ayam betutu, dan dua es teh manis. Ia sudah membayarnya lewat uang elektronik.
Sembari memijat Valerie, Cia bertanya, "Sakit nggak?"
"Enggak, malah enak." Valerie nyengir.
"Dasar." Cia tertawa. "Udah mulai enakan?" tanyanya.
"Udah, Cia," jawab Valerie. "Nggak usah pijetin lagi, gue nggak enak sama lo." Terlihat cewek itu memang tak enak hati karena terus merepotkan Cia akhir-akhir ini.
"Jangan bohong," tegas Cia.
Valerie menghela napas, lalu ia embuskan. "Beneran udah mendingan."
Cia mengangguk. "Iya, sama-sama."
Cewek itu bangkit dari ranjang guna ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Ia menatap kaca di dekat wastafel, lalu membasuh tangan hingga bersih. Cia kembali ke atas tempat tidur, lalu rebahan di samping Valerie.
"Nanti gue minta tolong sama penjaga aja buat bawain ayamnya ke sini biar lo gak keluar kamar," tutur Valerie.
"Biar gue aja yang bilang ke satpam," tawar Cia.
"Oke."
Cia mengambil gagang telepon di atas nakas, menekan tombol di sana sembari melihat nomor yang tertempel di meja. Setelah tersambung, ia berkata pada satpam itu, "Halo, Pak."
"Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Nanti ada driver yang bawa makanan. Bisa minta tolong bawain ke kamar saya? Makanannya udah saya bayar, kok," ujar Cia.
"Boleh, Mbak. Nanti saya antar ke sana."
"Baik, Pak. Terima kasih," kata Cia.
"Sama-sama, Mbak."
Sambungan telepon terputus. Oleh karena itu, Cia menaruh telepon kamar di tempatnya. Ia menengok ke arah Valerie. "Udah beres."
Valerie tepuk tangan karena saking girangnya. "Asik! Seneng, deh, bisa makan ayam betutu langsung di Bali. Gue pengin banget makan ini dari kemarin."
Cia tersenyum senang melihat Valerie sudah tak kesakitan seperti tadi. "Syukur kita nyampe siang di sini, ya, jadi bisa pesen ayam betutu."
Valerie mengangguk gembira. "Iya," selorohnya. "Cia, boleh nggak nanti kita jalan-jalan ke pantai, habis itu makan di restoran seafood?"
"Ayo! Gue juga pengen jalan-jalan," balas Cia penuh antusias. "Btw, nanti gue mau renang. Lo mau ikut nggak?" tawar Cia pada Valerie.
"Mau, dong. Kebetulan gue bawa bikini, tapi masih di villa gue."
"Nanti gue anter lo ambil ke sana," ungkap Cia.
"Oke, Cia!"
Derap langkah terdengar dari depan kamar mereka, membuat Valerie memantau aplikasinya. Benar saja, di sana tertera bahwa makanan sudah diambil, ia tinggal menberi nilai kepada sang driver.
"Wah, kayaknya makanannya udah nyampe," ujar Valerie.
"Asik! Biar gue aja yang buka kalo gitu." Cia seketika bangkit dari tempat tidur, merapikan sedikit rambutnya agar tidak seperti kuntilanak. Ia membuka pintu kamar, menyambut satpam yang membawakannya makanan.
"Permisi, Mbak. Ini makanannya," ujar satpam itu sambil menyodorkan makanan beserta dua es teh.
Cia tersenyum ramah, mengambil makanan dan minuman tersebut dari sang satpam. "Terima kasih banyak, ya, Pak."
"Sama-sama, Mbak. Kalau begitu saya balik dulu."
"Sebentar, Pak," cegah Cia.
Satpam itu mengerut kening. "Kenapa, Mbak?"
"Bapak di sini sampai malam?" tanya Cia.
Ia mengangguk. "Iya, Mbak."
"Nanti saya beliin makan mau nggak?" Cia menawarkan.
Wajah satpam itu seketika cerah seolah setelah perawatan wajah di Korea. "Beneran, ini?"
"Beneran, Pak. Saya mau keluar nanti malam. Bapak bisa makan seafood?"
Satpam itu mengangguk senang. "Bisa, Mbak."
"Oke, nanti saya beliin, ya," balas Cia.
"Terima kasih banyak. Kalau begitu saya balik dulu."
"Siap, Pak!" seru Cia.
Mereka membubarkan diri ke tempat masing-masing. Cia menutup pintu kamar, membawa makanan yang menyebarkan aroma ke seluruh penjuru kamar, apalagi di sini ada AC, membuat aromanya semakin menguar. Ia menaruh makanan itu di atas nakas.
"Makasih, Cia," ujar Valerie tersenyum tulus.
Cia menengok ke arah Valerie. "Sama-sama."
***
Para pemain bola Nabiru FC sekarang tengah berbaris di lapangan. Coach club kini sedang memberikan instruksi setelah latihan tadi.
"Baik, sekian latihan hari ini, semoga besok kita bisa mendapatkan hasil yang memuaskan," ujar coach Nabiru FC—Fandi.
"Tumpuk tangan dulu, Bro!" seru sang kapten club—Levi.
Mereka saling menumpuk tangan guna menjaga kekompakan tim. Selain itu, hal ini dilakukan untuk menjaga kedekatan satu sama lain.
"Nabiru FC, hu ha!" sorak semuanya serempak sembari mengayunkan tangan ke udara.
"Ingat jaga pola makan!" peringat Fandi.
"Siap, Coach!"
Mereka membubarkan diri ke kamar masing-masing. Kini Neron dan Nagara berjalan beriringan. Semua pemain tahu bahwa mereka memang dekat layaknya Upin dan Ipin versi tidak botak dan tidak ada jambul seperti ekor tikus.
"Bro, istri kita gimana, ya, di villa?" Nagara membuka pembicaraan.
"Jiah, lo khawatir sama Valerie?" Neron menaikkan kedua alis seraya tersenyum penuh arti.
"Gue takut bayi gue kenapa-napa. Kalo dia nggak ngandung bayi gue, ngapain juga khawatir sama dia?" Tampaknya pria itu masih gengsi mengakui perasaannya. Entah dia tak sadar bahwa dirinya ada perasaan dengan Valerie atau bagaimana, Neron juga tak mengerti.
"Iyain aja, gue pura-pura percaya," cibir Neron.
Langkah kaki mereka sudah dekat menuju kamar hotel. Mereka masih asyik mengobrol, tepatnya membicarakan istri mereka.
"Yeu, emang bener," elak Nagara.
Neron membuka pintu hotel dengan kartu hotel, menempelkannya di dekat pintu. "Udahlah, nggak usah diperpanjang. Gue mau video call sama Cia, pasti ada Valerie di sana."
Ia masuk ke dalam, disusul oleh Nagara di belakangnya. Cowok itu menutup pintu, lalu duduk di atas ranjang sembari melepas ikatan tali sepatu. Tak lupa ia membuka baju, sehingga terpampang perut berbentuk cokelat batangan.
"Gue ikut," ujar Nagara.
"Katanya nggak kepo sama Valerie?"
"Cuma pengen nyapa anak gue," kilah Nagara.
Neron memutar malas bola matanya. "Ya, ya, ya."
Suara notifikasi chat terdengar dari ponsel Nagara. Oleh karena itu, ia mengambilnya di atas nakas. Terlihat pesan dari Valerie. Dikarenakan rasa penasaran, ia membuka isi chat tersebut.
Entah apa yang ia lihat, ia tiba-tiba terkejut. "Buset, anjrit."
Neron seketika menengok ke arah Nagara. "Lo kenapa?"
"Lo gak boleh lihat!" Nagara buru-buru menutup ponselnya.
Neron mengerut heran. "Dih, kenapa, dah?"
Nagara menggeleng panik. "Bukan apa-apa."
"Ya udah." Neron juga tak terlalu penasaran apa yang membuat Nagara panik. "Lo jadi ikut nggak video call?" tanyanya.
"Nggak jadi, nanti aja gue telpon Valerie," balas Nagara.
"Oke. Gue telponan dulu sama Cia."
"Iya," jawab cowok itu.
Neron menjauh sedikit dari Nagara ke dekat pintu. Jari jemarinya mencari kontak Cia di Whatsapp, menekan simbol video untuk meneleponnya secara video call.
Akhirnya, sambungan telepon tersambung. Wajah Cia terpampang di layar ponsel membuat Neron tersenyum senang. Ia sangat rindu dengan istrinya. Padahal, baru berpisah beberapa jam. "Halo, Cia Sayang. Neron kangen banget sama Cia."
Cia menatap gemas cowok itu, tapi dia juga senang dirindukan oleh sang suami. "Aduh, baru pisah bentar udah kangen."
Neron memajukan mulut, kedua netranya berbinar menatap Cia. "Habisnya kamu ngangenin, rasanya hampa kalo nggak ada kamu."
"Bisa aja." Cia terkekeh. "Kamu gimana tadi latihannya?"
"Lancar, kok. Doain aja semoga besok aku menang."
"Semoga, ya. Btw, kamu udah makan belum?"
"Nanti malam aku makan bareng tim," jawab Neron.
"Oh, iya. Besok aku ke stadion sama Valerie, tiketnya udah ada, 'kan?" tanya Cia.
Neron menjentikkan jari. "Udah, tenang aja, aku pesenin di deretan VIP."
"Mantap memang suamiku yang tajir dan tampan ini." Cia tersenyum bangga.
"Dih, tumben amat puji aku? Kesambet kuyang Neptunus, ya?"
Cia mengerut kening. "Mana ada kuyang di Neptunus?"
"Ada, kamu," ejek Neron pada Cia.
"Gaje, deh." Cia menggeleng heran. "Ya udah, aku renang dulu, ya. Sampai ketemu besok, I love you, Neron!"
"Have fun, ya, Sayang. I love you too, Cia!"
Neron sebenarnya tak rela harus berpisah dengan Cia. Namun, demi kemenangan tim dan cuan, ia harus tak bertemu dengan cewek itu selama beberapa hari.
"Have fun, ya, Sayang. I love you, Neron!" Nagara mengejek Neron dengan wajah menyebalkan.
Neron be like: Iri bilang, Bos!
Neron menatap sinis cowok itu. "Dih! Apaan, sih, lo? Stress."
Nagara berlari memeluk Neron, memasang wajah sok imut dan manja layaknya cewek imut. "Mau, dong, disayang Neron."
Neron menatap jijik Nagara, mendorong cowok itu agar menjauh darinya. "Diem lo, nanti kita dikira nge-gay!"
Nagara mencolek dagu Neron, mengedipkan mata sebelah kiri dengan tatapan genit. "Tenang aja, di sini cuma ada kita, nggak bakal ada yang ciduk perselingkuhan kita."
"Aneh lo, ye."
***
Satu ekor ayam betutu, dua porsi nasi, serta es teh tandas oleh kedua cewek itu. Bahkan, mereka sampai memegang perut karena saking kenyangnya.
Valerie bersendawa. "Gila, kenyang banget, Cia."
"Gue juga kenyang, kayak orang rakus kita habisin satu ekor ayam berdua," ujar Cia.
"Lo sanggup nggak makan malam pake banyak seafood?" Valerie tak mau nantinya Cia terpaksa mengantarkannya ke restoran seafood.
Cia mengangguk yakin. "Sanggup. Toh, dari tadi gue nggak dapet ngemil."
Valerie tersenyum. "Baguslah, nanti kita ke sana."
"Siap." Cia mengacungkan jari jempol.
"Cia, lo bawa bikini, 'kan?" tanya Valerie.
"Bawa, sih, tapi seumur hidup gue belum pernah renang pake bikini," jawab Cia.
"Coba pake, Cia. Beuh, dijamin lo kelihatan seksi, percaya sama gue. Sekalian kirim ke Neron biar dia nggak bisa tidur tenang."
Cia tertawa membayangkan ekspresi Neron ketika melihat dirinya menggunakan bikini. "Gila! Ide lo bagus juga."
"Sana pake, gih. Pap ke Neron."
"Oke." Cia berjalan ke koper guna mengambil bikini yang baru ia beli lewat keranjang oren, membawanya ke kamar mandi guna berganti baju. Setelah selesai ganti baju, ia keluar dengan memakai bikini.
Valerie menatap kagum cewek itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memang cewek yang tak pernah tampil seksi sebelumnya kalau sekalinya tampil seksi membuat siapapun terpana, aura liarnya seketika keluar. "Damn! Mantep banget body lo, Cia."
"Makasih."
"Buruan pap ke Neron."
"Siap," balas Cia. Cewek itu mengambil ponsel di atas nakas, lalu memberikannya pada Valerie. "Tolong fotoin gue full body, dong."
"Wih, mantap. Oke!" Valerie mengambil ponsel Cia, memotret cewek itu beberapa kali. "Udah."
"Thanks," kata Cia. Ia mengirim foto tersebut pada Neron lewat aplikasi Whatsapp.
Cia: Sayang, kalo aku pake pakaian gini ke mall cocok nggak?
Neron: FUCK, AKU KE VILLA SEKARANG!
Cia tak kuasa menahan tawa tatkala melihat Neron panik, membuat Valerie mendekat ke samping Cia dan mulai penasaran dengan reaksi cowok itu. Ia juga tadi baru saja chat Nagara dan berusaha membuat cowok itu peka dengan perasaannya.
Cia: HEH, JANGAN! AKU CUMA BERCANDA, SAYANGGGGG🥺
Cia: YA KALI AKU KE MALL PAKE BIKINI
Neron: SIALAN KAMU MALAH NGERJAIN AKU!!!!😡😡😡😡
Cia: Maaf ya, Neron. Ini idenya Valerie😚
Neron: Anjir kalian! Awas ya sampe bohong!
Cia: Nggak bakal bohong
Neron: Tapi, Nagara aneh, deh, dia tadi malah mendadak geleng-geleng setelah ngelihat hape. Apa mungkin Valerie ngerjain dia ya?
Cia: Hah? Seriusan aku nggak tau kalo dia jailin Nagara. Emang Nagara dikirimin apa sama Valerie?
Neron: Nggak tau, Byyy. Coba kamu tanyain dia. Ngeri banget tuh bocah, mana mendadak nge-gay setelah lihat hape
Cia: Anjir, ngeri juga. Aku tanyain ke Valerie, tapi kamu jangan ember ke Nagara, ya. Aku curiga Valerie jailin Nagara
Neron: Oke, Sayang😚
Setelah melihat Cia menaruh ponsel di atas nakas, ia simpulkan bahwa cewek itu sudah selesai chat dengan Neron. Ia pun menaikkan kedua alis dengan ekspresi penasaran "Gimana, Cia?"
Cia terkadang masih tertawa mengingat kepanikan Neron tadi. Ia teringat dulu sering dibuat kesal dengan cowok itu, sekarang saatnya balas dendam. "Neron tadi panik, anjir! Bahkan dia mau ke villa nyamperin gue."
"Buangke, ngakak banget!" Valerie ikut tertawa sampai memukul kasur mendengar ucapan Cia. Ia membayangkan betapa paniknya cowok itu.
"Gila emang." Cia menghentikan tawanya. Ia berdeham. "Btw, lo ngirim apa ke Nagara sampe dia geleng-geleng kepala? Kata Neron, dia mendadak aneh setelah lo kirimin sesuatu."
Valerie mengerut bingung. "Hah? Padahal, gue cuma bilang mau ketemuan sama mantan, terus gue salah pencet foto pas gue liburan ke luar negeri sama temen gue dulu di hotel.
"Emang fotonya kayak gimana?" tanya Cia penasaran.
"Bentar." Valerie mengambil ponsel yang ia letakkan di sampingnya, membuka chat dengan Nagara guna mencari foto yang ia kirim. Ia menyodorkannya pada Cia. "Nih."
"Buset, kayaknya dia takut lo ketemu mantan pake outfit gitu. Padahal, gak mungkin kayaknya lo keluar gak kancingin kemeja, apalagi ketemu mantan," tutur Cia.
"Mungkin dia ketar-ketir gue pake baju kelihatan dada ketemu mantan. Takut mantan gue ngerebut gue dari Nagara. Katanya nggak cinta, tapi gengsinya anjir." Valerie berspekulasi.
Cia mengangguk setuju. "Dia kayaknya belum nyadar kalo dia sayang sama lo, apalagi lo sama dia nggak PDKT."
"Iya juga, sih." Valerie menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Terus, gue harus gimana?"
"Diem aja," saran Cia. "Lihat aja besok di stadion, Valerie. Pasti dia semangat ngelihat lo di tribun." Cewek itu mengedipkan sebelah mata.
Sejujurnya, ia juga bingung mau kasih saran apa. Pasalnya, ia tak terlalu berpengalaman di dunia asmara, apalagi Valerie jauh lebih jago pacaran ketimbang dirinya. Salah sasaran ia memberi saran kepada suhu.
Valerie tertawa melihat ekspresi Cia. "Okelah."
"Ayo ke villa lo buat ambil bikini sama baju, lo hari ini nginep aja di villa gue, takutnya nggak ada yang jagain." Cia teringat mereka sore ini akan berenang, namun tertunda beberapa menit karena harus berdebat dengan Neron.
"Oke, Cia. Maaf banget ngerepotin terus."
Cia menepuk bahu Valerie. "Santai, Valerie."
***
Tadi sore Cia dan Valerie sudah berenang di kolam renang dengan view yang menghadap langsung ke pantai. Angin sepoi menyapu rambut kedua wanita tersebut, membuat pancaran pesona mereka kian terlihat. Kini mereka langsung ke cafe dekat pantai untuk makan sekaligus menikmati suasana malam di sini.
Cia tak henti-hentinya mengagumi keindahan pantai dengan alunan musik jazz di sini, belum lagi pemandangan indah yang memanjakan mata membuatnya semakin terpukau. "Indah banget pantai di malam hari, belum lagi ada musik sambil makan seafood. Beuh, kalo bawa pasangan pasti bakal terhanyut dalam suasana romantis."
Valerie dulu sering liburan ke Bali sebelum hamil bersama temannya yang sekarang sudah pindah ke luar negeri guna menimba ilmu. Makanya, dia sudah biasa, walaupun tiap ke sini tetap saja selalu kagum akan keindahan pantai dan alunan musik. Ia tertawa kecil. "Jiah, bahasa lo terhanyut, Cia. Gue jadi pengen bawa Nagara ke sini, deh, tapi sayang dia nggak boleh makan makanan banyak bumbu."
"Sebenernya bisa aja, sih. Pesen sup kepala ikan aja," saran Cia.
Ah, kenapa Valerie tidak kepikiran, ya? Ia baru sadar banyak menu di sini. "Oh iya, ya. Makasih buat sarannya, Cia."
Cia mengangguk. "Sama-sama."
Di sisi lain, seorang pelayan cafe melihat mereka dari kejauhan. Oleh karena itu, ia datang menghampiri Cia dan Valerie dengan membawa buku kecil, pulpen, serta nampan. "Permisi, Kak. Mau pesan apa?" Ia bertanya dengan ramah.
Ucapan sang pelayan perempuan tersbeut membuat atensi mereka teralihkan. Mereka sudah tahu apa yang hendak dipesan karena sebelum berangkat sudah diskusi.
"Ikan bakar dua, yang satu di-take away, yang satu makan sini, calamary satu, kerang bakar satu, nasi tiga, dua makan sini, satunya dibungkus," pesan Valerie pada sang pelayan.
Sang pelayan sibuk mencatat pesanan Valerie. Setelah selesai menulis, ia kembali bertanya. "Minumnya apa, Kak?"
Valerie menengok ke arah Cia. "Lo mau apa, Cia?"
"Es kelapa muda," jawab Cia.
"Oke, es kelapa muda dua, Kak," tutur Valerie.
Pelayan itu kembali mencatat pesanan mereka. Setelah dirasa beres, ia memasukkan cacatan kecil dan pulpen ke dalam saku. "Baik, Kak. Ditunggu sebentar, ya."
"Iya, Kak," balas Cia.
"Boleh saya ambil menunya?" tanya sang pelayan dengan ramah.
"Silakan," seloroh Cia.
Sang pelayan tersenyum sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. "Terima kasih."
"Sama-sama," ucap Valerie.
Sang pelayan berjalan ke dapur guna memberitahu pesanan mereka supaya segera dibuat. Apalagi, ia tahu bahwa mereka oranh terkenal, jadi ia tak mau membuat citra restoran jelek karena pelayanan lelet dan tak memuaskan.
"Buset, gue mendadak ngerasa kayak bule, padahal masih di dalam negeri." Valerie membuka topik pembicaraan lagi.
"Sama, Vale. Gue juga mendadak ngerasa kayak bule, suasana sangat mendukung, Bestie," sergah Cia tersenyum tipis.
"Yoi, Cia." Valerie mengangguk setuju.
"Nggak sabar nunggu makanan dateng."
"Gue jadi bodo amat di sini nggak jaga body, yang penting anak gue sehat."
"Tetep jaga kesehatan ya, Valerie," peringat Cia.
"Iya," jawab Valerie.
Setelah itu, percakapan mereka terhenti. Mereka kembali fokus bermain ponsel. Cia memberitahu Neron info mengenai Valerie lewat Whatsapp.
Cia: Kata Valerie, dia bilang mau ketemu mantan, terus kepencet foto seksi Valerie sambil bawa wine di depan kaca
Neron: Burung Nagara murahan juga, lihat gitu doang langsung galau🤣
Cia: Heh, nggak boleh gitu. Dia mungkin lebih khawatir kalo mantan Valerie ngajak balikan, padahal Valerie aja lagi asik makan sama aku di pantai
Neron: Iya, Baby😚
Neron: Btw, jadi pengen makan di pantai :(
Cia: Semangat cari cuan, Sayang😜😘
Cia: Semangat buat pertandingan besok!🥳
Neron: Siap, Sayang. Selamat makan, Cia, jangan lupa mimpiin aku🥰
Cia: Pasti itu mah wkwkwk. Aku makan dulu ya, Neron❤️
Neron: Oke, Cia. Bye bye❤️
Cia: Bye, Sayang🥰
Cia menaruh ponsel di atas meja. Ia menatap Valerie yang sudah selesai bermain ponsel. Kini cewek itu tengah memandang deburan ombak. Suaranya sungguh menenangkan sejenak dari masalah yang ia hadapi.
"Udah gue bilang ke Neron, tapi dia nggak bakal ember, kok," ujar Cia.
"Iya, gue percaya dia nggak bakal ember," balas Valerie. Ia juga tak masalah kalau Nagara tahu bahwa dirinya hanya mengerjai cowok itu. Cewek itu hanya jahil semata, tak ada maksud apa-apa.
Sang pelayan tiba-tiba datang membawa makanan ke meja mereka. Semua hidangan pesanan mereka ditata serapi mungkin agar mereka leluasa makan. "Permisi, Kak. Makanannya sudah datang, nanti minumannya menyusul ya, Kak."
Cia mengangguk. "Oke."
"Selamat menikmati," ujar sang pelayan.
"Iya, Kak."
Sang pelayan pergi dari meja mereka, membuat Valerie menatap punggung wanita itu dari kejauhan. Ia berdecak sebal. "Selamat menikmati congormu, minuman aja belum dateng, Asu."
"Valerie, jangan gitu, nanti Mbaknya denger," tegur Cia.
"Sorry, soalnya gue laper."
Cia menggeleng heran. Ia tahu sifat Valerie yang terkadang menyebalkan membuatnya harus menegur wanita itu. "Ada-ada aja."
Sang pelayan kembali datang ke meja mereka membawa dua es kelapa muda langsung dengan kelapanya sebagai wadah minuman. "Permisi, Kak. Dua es kelapa muda sudah datang. Pesanannya sudah lengkap, ya."
"Sudah," tutur Cia.
"Mari, Kak." Pelayan itu tersenyum ramah.
"Mari," balas Cia.
"Anjir, syukur minumannya cepet dateng."
"Biar nggak ada yang ngomel," sindir Cia pada Valerie. Ia biasanya tak mau menyindir Valerie, namun sikap menyebalkan cewek itu membuatnya tak enak hati dengan sang pelayan.
Valerie berdecak malas. "Lo nyindir gue?"
Cia menutup kedua telinga. "Gue nggak denger."
Valerie tertawa kecil sambil memukul lengan Cia. "Rese lo, Cia."
***
Sejak Nagara melihat chat dari Valerie, cowok itu seringkali menggeleng kepala sendiri, kadang bolak-balik seperti setrikaan karena bingung harus melakukan apa. Neron tak bisa diam melihat sahabatnya begini, takut berpengaruh kepada performa tim besok di stadion.
Neron memutuskan untuk turut berdiri di samping Nagara, menepuk pundaknya. "Bro, kalo lo galau karena Valerie, mending video call dia. Dia lagi makan di pantai katanya."
Nagara menatap malas cowok itu. "Tuh, kan, anjir. Genit banget pake makan sama mantan pake baju gitu."
Neron menatap malas sang pria. Gemas Nagara tak pernah sadar akan kelakuannya. Sebenarnya Neron tak mau ikut campur rumah tangga kedua sejoli itu. Namun, sebagai teman yang baik, ia harus menyarankan yang baik.
"Lo, sih, sering bilang nggak suka sama dia, dimusuhin terus sampe anak orang cemberut. Mampus lo sekarang panas, selamat menikmati api neraka yang membara di hati."
"Udah gue bilang gue nggak cemburu, Sialan! Gue cuma takut anak gue gimana jadinya kalo ibunya gitu."
Neron capek cowok itu terus saja membuat alasan. Membual demi menampik perasaan sayang yang Nagara alami ke Valerie hanya akan menimbulkan konflik yang tak berujung. "Anak lo nggak bakal tau, kan, belum lahir."
"Gue bakal kasih tau biar nggak niru ibunya." Nagara tak mau argumennya dimatikan oleh Neron. Apa pun akan ia jawab, yang penting tidak mati kutu.
Neron berdecak malas. "Bego lo bongkar aib istri sendiri."
"Dia jadi istri gue juga karena insiden, bukan karena cinta," balas Nagara.
"Ngelak terus sampe mampus."
Nagara mengerut kening. Ia heran mengapa Neron seolah memaksa dirinya mengaku bahwa dirinya sayang dengan Valerie. Padahal, ia sendiri tak merasa begitu. "Lo aja yang terlalu berharap gue sayang Valerie."
"Terserah, gue padahal mau ngasih tau kabar Valerie ke lo." Neron masih berusaha memancing Nagara agar mengakui perasaannya.
"Kan, gue udah tau kalo Valerie pergi sama mantannya," ketus Nagara.
"Enggak, anjir. Dia pergi sama Cia."
"Ada mantannya juga, kan?" tanya Nagara sudah malas mendengar topik tentang Valerie.
"Enggak, bego."
Nagara melipat kedua tangan di depan dada, ia tertawa sinis. "Nah, kan, dia bohongin gue."
"Tapi, katanya mantannya bakal nyusul ke sana," ujar Neron.
Nagara berdecih. "Tai, nggak jelas."
"Makanya, telpon dia langsung biar tau gimana keadaan Valerie," saran Neron.
"Nanti gue telpon."
Neron tersenyum puas. Ia menepuk bahu Nagara. "Nah, gitu, dong!"
"Sekarang aja, deh." Nagara berubah pikiran.
"Yeu, plin plan!" seru Neron.
"Biarin."
Nagara mengambil ponselnya di atas nakas, mencari kontak Valerie di Whatsapp. Setelah menemukannya, ia menekan tombol telepon. Benda pipih tersebut ia tempelkan di telinga. Setelah tersambung, ia mendengar suara Valerie.
"Ngapain lo nelpon gu—"
"Woi, Valerie! Lo jangan keliaran sama mantan lo, gue nggak mau tau!" murka Nagara
"Ta—"
"Pulang!" Nagara tak terima bantahan.
"Gue nggak—"
"Cepet pulang, titik."
"Nggak mau, koma."
Nagara mengacak kasar rambutnya. "Jangan bebal kalo dibilangin!"
"Ngapain gue nurut? Jugaan gue di luar sama Cia doang."
"Mantan lo nggak ke sana, 'kan?" Mata Nahara memicing tajam.
"Hm, nggak tau juga, ya ...." Valerie terlihat ingin membuat masalah dengan Nagara.
"Brengsek! Pulang nggak lo?!" Benar saja, cewek itu berhasil memancing emosinya. Nagara tak peduli Valerie hanya mengerjainya atau bagaimana, yang penting cewek itu tak bertemu dengan mantannya.
"Nggak mau, ah ...."
"Sialan! Share loc sekarang juga, Monyet!"
"Nggak mau."
"Valerie, gue udah sabar." Nagara berusaha menahan emosi.
"Gue juga sabar bikin lo sadar kalo gue cuma prank lo." Terdengar suara cekikikan dari cewek itu.
"Ap—" Nagara baru sadar kalau dirinya dipermainkan oleh Valerie. "Hah, anjing lo! Gue jadi bingung lo jujur apa kagak."
"Gue jujur, Nagara. Gue makan cuma sama Cia di cafe deket pantai."
"Siapa yang anter lo pulang nanti?" Nagara khawatir.
"Naik Bagong Car."
"Anjrit, malam-malam gini lo naik Bagong Car."
"Tenang, aman, kok."
"Kabarin gue kalo lo udah sampe villa, jangan di sana sendirian, nginep di tempat Cia dulu." Nagara jadi bawel kalau masalah keselamatan Valerie.
"Iya, Nagara."
"Jangan nge-prank kayak tadi, nggak lucu."
"Iya, pasti gue bakal nge-prank lagi."
Nagara mendelik kesal. "Valerie!"
"Makan dulu, bye!"
Nagara membanting ponselnya ke atas ranjang. Ia menendang tepi kasur. "Bangsat, ini cewek memang gak jelas."
"Lo juga nggak jelas perasaan lo kayak gimana ke Valerie," ujar Neron.
"Diem lo."
———
Jujurly ini sekitar 6600+ words, jadi agak nge-lag pas aku ketik wkwkwkkw
Kepanjangan pasti. Ya kan?
Yukkk lakukan tradisi readers cinderianaxx dengan cara:
Spam "Nagara" for next chapter
Spam "Valerie" for next chapter
Spam "Nana Cantik" for next chapter
2k komen + 500 vote aku up yaaa (HARUS TEMBUS YAAA GUISSS!!❤️)
Tbc luv❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top