26. GELATO

Hai, aku update lagi xixixi!😍

Kalo typing ketawa, kalian lebih suka pake "hahaha" atau "wkwkwk"?

Apa yang kalian lakukan kalo punya duit 100 M?

Bentar lagi Galungan, nih. Selamat hari raya Galungan dan Kuningan bagi yang merayakan!

Sebentar lagi aku bakal sibuk karena Galungan, untung aja waktu itu otakku lagi lancar jaya, jadi aku udah nyetok part wkwkw

Happy reading❤️

"Valerie!"

Valerie segera menengok ke arah suara tersebut. Syukurlah, ternyata Steven yang memanggilnya, cowok itu langsung menghampiri, bergabung dengan Valerie. Cewek itu bernapas lega. "Ya ampun, gue kira Si Anjing."

"Lo bertengkar sama Nagara?" tanya Steven.

Valerie mengangguk malas. "Lo ngapain di sini?"

"Lagi liburan mumpung liga libur," jawab Steven.

Valerie mengerut kening. "Sendiri doang?"

"Kenapa memangnya?" Steven terheran. Memangnya aneh, ya, kalau bepergian sendiri?

"Aneh, ya, bisa liburan sendiri." Valerie sebenarnya juga bisa berlibur sendiri, itu pun karena temannya dikit. Ia heran saja melihat Steven sendiri bepergian, soalnya, kan, teman cowok itu banyak.

"Bisa, dong. Siapa juga yang gue kudu ajak kalo mau liburan sama temen? Semua udah pada punya pasangan."

"Makanya, cari pacar!"

"Gue bisa aja tembak cewek yang pada ngejar gue. Tapi, gue mau cari yang serius, umur segini harusnya gue nikah," jelas Steven.

Valerie tertawa. Entah siapa wanita yang membuat Steven berubah menjadi lebih baik. Dahulu, cowok itu senang mendekati banyak cewek, apalagi dia terkenal friendly. Siapa, sih, yang nggak baper kalau dibaikin terus? "Buset, mantap lo udah tobat tebar pesona."

"Tanpa gue tebar, cewek pasti nemplok." Steven menyugar rambut, menampilkan wajah sombong.

Valerie melipat bungkus lumpia yang sudah ia makan, menaruh di dalam sling bag untuk sementara sampai ia melihat tempat sampah nantinya. Decihan meluncur dari bibir Valerie. "Gaya lo, anjing."

Steven hanya tertawa menanggapinya. "Gue lagi pengin makan gelato deket sini, lo mau ikut nggak?"

"Boleh." Valerie juga pengin refreshing. Katanya, kalau makan yang manis-manis bisa bikin mood naik.

Steven berdiri, membersihkan celana yang terkena pasir pantai, lalu mengulurkan tangan ke arah Valerie. "Kuy."

Valerie menerima uluran tangan dari Steven. "Kuy."

Mereka berjalan beriringan, menyusuri indahnya pantai untuk mencari jalan keluar dari sini. Di sini banyak restoran gelato, pizza, dan makanan luar yang didominasi dari Eropa.

"Masih jauh dari sini?" Baru tiga menit Valerie berjalan, ia sudah bertanya.

"Enggak, kok. Jalan dikit udah sampe," jawab Steven.

"Yang ini, ya?" tanya Valerie, menatap tulisan 'Massimo Gelato' di papan restoran.

Banyak bule terlihat berlalu lalang di sekitar sini. Range harga makanan dan minuman di kawasan ini memang mahal, tapi tetap saja ramai. Ada pun faktor-faktornya seperti, tempat aesthetic, pelayanan yang baik, dan lain sebagainya.

"Iya," sahut Steven. "Kita pesen dulu."

"Syukur antreannya nggak terlalu rame."

Steven mengangguk. Mereka berdiri di depan kumpulan gelato, melihat rasa yang akan dipilih nanti. Di sana ada tulisan satu cup atau cone dapat dua rasa, harganya dua puluh lima ribu rupiah.

"Hm, gue rasa bueno sama vanilla, deh. Lo rasa apa?" tawar Valerie.

"Gue samain aja," balas Steven.

"Oke, gue pesen dulu."

"Nggak usah, biar gue yang pesen. Lo cari tempat duduk aja," titah Steven.

"Oke," jawab Valerie, lalu ke dalam restoran guna mencari tempat duduk.

Sembari menunggu kedatangan Steven, ia bermain ponsel, melihat Instagram-nya yang berdebu akibat jarang posting endorse. Banyak yang bertanya mengenai kabarnya lewat direct message dan komentar, namun ia tak membalas karena jarinya bisa gempor membalas pesan sebanyak itu.

"Gelato sudah datang, Tuan Putri!" Steven membawa dua cone gelato, duduk di hadapan Valerie.

"Ini gue bayar." Valerie hendak mengeluarkan dompet, namun Steven tak memberi ijin.

"Nggak usah, biar gue yang bayar. Hitung-hitung ngasih sedekah ke ibu hamil."

"Bisa aja lo." Valerie tertawa kecil. "Makasih, ya."

"Kayak sama siapa aja lo pake berterima kasih segala." Steven menggeleng heran.

Seulas senyum ditampilkan oleh Valerie. "Btw, tenaga gue makin jompo sejak hamil."

"Harusnya lo banyak istirahat, jangan sampe stress." Sebagai teman baik Valerie, ia khawatir akan kondisi cewek itu.

"Gimana gue nggak stress? Nagara emosian banget. Setiap gue interaksi sama cowok, dia marah-marah ngatain gue cewek murahan blabla bacot."

"Separah itu, anjir?" Steven selama ini berusaha bersikap netral ketika Valerie menceritakan Nagara, namun kali ini ia terkejut bahwa Nagara bisa sekasar itu kepada perempuan.

"Iya, woi!" Valerie terdiam sesaat, sadar dirinya oversharing mengenai hubungan asmara dengan Nagara. "Sorry kalo gue ceritain privasi, tapi gue udah muak banget dikekang sama Nagara."

"Dia kayak gitu karena cinta sama lo." Steven tahu jawabannya malah terkesan membela Nagara, tapi ia juga tak mau membuat hubungan mereka retak dengan membenarkan ucapan Valerie bahwa Nagara memang kasar.

"Hah, cinta?" Valerie tertawa miris. "Dia aja nggak pernah mau bilang cinta setiap kali gue tanyain perasaan dia ke gue. Dia cuma bilang nggak mah kehilangan gue, pokoknya gue milik dia, nggak boleh ada cowok lain yang nyentuh gue."

"Anjing, dia obsessed banget sama lo. Dia dulu nggak pernah gitu sama cewek." Steven tak menyangka Nagara berubah drastis.

"Sahabat lo berubah drastis."

"Bener. Kalo Neron tau, bisa dimarahin tuh bocah."

"Memangnya kenapa?" Valerie mengerut kening.

"Neron dulu sering curhat ke kita tentang masalahnya sama Cia. Hampir mirip kasusnya sama lo. Neron sering marah kalo ceweknya senyum sama orang lain, tapi dia masih mendingan."

"Mendingan gimana maksudnya?" Valerie makin penasaran. Dulu, ia pernah iri melihat Neron mesra dengan Cia, soalnya terlihat mulus-mulus saja di publik. Ternyata, hubungan mereka ada kerikil juga, tapi tak sebesar dirinya.

Steven mengambil sesendok gelato menggunakan sendok kayu kecil yang sudah diberikan oleh kasir tadi. "Ya, dia akhirnya mau nurut kalo dibilangin secara halus kayak bocil sama ceweknya. Akhirnya, dia bucin banget, apa pun yang ceweknya bilang pasti dia nurut."

"Semoga Nagara bisa berubah kayak gitu." Valerie makan gelato sejenak. "Gue cinta sama dia, tapi gue sering sakit hati kalo sama dia."

Steven tersenyum tenang, meyakinkan Valerie bahwa situasi ini bisa diubah. "Coba kita cari solusinya bareng-bareng, ya."

"Huft, oke." Valerie benar-benar lelah. Jika tak ada anak di perutnya, tak mungkin ia bertahan. "Ngomong-ngomong soal Cia, gue jadi kangen sama dia. Terakhir ketemuan di stadion. Siapa tau aja gue bisa konsul sama dia."

"Hm, boleh juga." Steven mengangguk setuju. "Setau gue, setelah liburan liga, tim Nagara bakal ke Bali buat tanding. Lo ikut aja sama dia, pasti Cia dibawa juga sama Neron."

"Anjing, tapi gue udah muak banget sama Nagara." Sekarang dia sedang berada di titik tidak ingin bertahan, tapi tidak bisa ke mana-mana karena anak adalah alasannya untuk menguatkan diri.

"Coba lo omongin baik-baik dulu, jangan milih kabur. Oke?" Dari sudut pandang hukum, Steven berperan sebagai arbiter, yaitu pihak ketiga yang mendamaikan kedua pihak yang tengah bersengketa.

"Oke. Semoga dia mau denger."

Steven hanya tersenyum tipis. Ia hahya bisa berharap semoga ada keputusan yang terbaik dari kedua sejoli itu. "Btw, lo nginep di mana?"

"Di villa deket pantai tadi."

"Oh, lo ceritanya lagi kabur dari Nagara?" tanya Steven.

"Hm."

"Sorry, bukannya mau nakutin lo, nanti kalo Nagara kenapa-napa karena lo tinggal gimana?"

Valerie rasanya mau protes, seolah semua orang hanya memikirkan perasaan Nagara. Padahal, dirinya di sini tersakiti, bahkan menjadi korban dari penindasan yang dilakukan oleh Nagara. "Dia pasti baik-baik aja, Steven. Palingan gue dimaki-maki pas pulang nanti."

"Biar gue anter. Gue bakal lindungin lo kalo lo dimaki sama dia." Steven peka sebenarnya Valerie butuh pembelaan di saat yang lain tak ada yang mendengarkannya. Namun, ia tak mau ikut campur lebih jauh mengenai masalah asmara kedua temannya.

Valerie tersenyum tulus. Ini sosok yang ia butuhkan, mau mendengarkan penjelasannya di saat terpuruk. Seandainya Nagara seperti Steven, mungkin ia tak akan berpikir untuk pergi dari sisi cowok itu. "Makasih banyak, Stev. Gue nggak tau lagi harus cerita ke siapa selain lo. Semoga Cia bisa deket sama gue, gue pengin tahu cara selesaiin masalah ini dari sudut pandang cewek."

"Amin."

***

Nagara dari tadi mondar-mandir ruang tengah villa, tapi dia tidak mau menghubungi Valerie, soalnya nanti dikira khawatir. Ia masih tak terima hubungannya diakhiri begitu saja, mana dia sudah berhubungan suami istri sebelum menikah.

Ketika ia tengah gundah, suara dering telepon terdengar dari atas meja. Kedua kaki berjalan, mengambil benda pipih berlogo apel. Nama Steven terpampang di layar, membuatnya menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon.

"Kenapa lo nelpon?"

"Gue di depan villa lo bawa cewek."

"Jangan bilang Valerie sama lo?" Nagara memicing curiga.

"Udah, cepetan keluar." Terdengar decakan malas dari Steven.

"Ya, ya, ya."

Nagara langsung mematikan sambungan ponsel, ke depan villa guna menemui cowok itu. Ia berharap semoga Steven membawa Valerie ke sini.

Tuas pintu ia buka pelan, melihat kedua orang diam di depan pintu. Syukur, ternyata Steven datang bersama Valerie. Tatapannya sempat tertuju ke Valerie, namun cewek itu malah memalingkan wajah.

"Sejak kapan lo di Bali, Bro?" Nagara membuka topik pembicaraan.

"Dari kemarin, mumpung liga lagi libur. Gue juga lagi cidera, nggak bisa ikut pertandingan uji coba sama tim," jawab Steven.

Nagara menepuk bahu Steven. "Cepet sembuh, ya, Setan."

"Santai, Anjing. Cewek lo nggak gue apa-apain, kok." Steven berkata begitu agar Nagara tidak memarahi Valerie, serta tidak menuduhnya yang aneh-aneh. "Jaga Valerie baik-baik, dia lagi hamil, nggak boleh banyak pikiran."

"Iya, gue juga tau." Nagara malas melihat Steven peduli pada Valerie, seolah cowok itu lebih paham apa yang Valerie butuhkan ketimbang dirinya.

"Lakuin, dong!" seru Steven.

Nagara memutar malas bola matanya. "Iya, pasti gue bakal lakuin."

"Ya udah, gue balik dulu." Steven menatap keduanya bergantian, berpamitan pada Nagara dan Valerie.

"Hati-hati, Bro!" Nagara melambaikan tangan kepada Steven.

"Yoi, makasih!" Steven memberikan jari jempol. Ia berjalan keluar villa yang kedua sejoli itu tempati.

Nagara menatap punggung Steven yang mulai menjauh, lalu menatap sinis Valerie. "Oh, jadi lo kabur karena mau seling—"

"Ah, gue lagi nggak pengin ribut. Diem," peringat Valerie, kemudian masuk ke dalam villa.

Nagara turut masuk ke sana, menutup pintu villa. Ia berdiri di belakang Valerie. "Oke, gue tau tadi gue keterlaluan, tapi jangan berduaan sama Steven."

Valerie memilih tak menjawab ucapan Nagara, hanya akan membuang waktu dan tenaga.

"Lo cerita apa aja ke dia, hm? Pasti gue jadi orang jahat di cerita lo."

"Lo memang jahat."

"Ngadu terus, Valerie. Kasih tau gimana jahatnya gue ke lo."

"Ya, memang itu yang bakal gue lakuin. Lo juga mau nyebar skandal gue, kan?" Valerie tak gentar sama sekali akan sifat manipulatif Nagara. Cowok itu sebenarnya gampang ia tangani, soalnya dia tahu Nagara bisa gila kalau dirinya kabur, makanya mudah sekali mempermainkan emosi Nagara.

"Gue nggak serius ngomong gitu, gue juga nggak tega lo dihujat sama orang lain."

"Oh, oke. Manis banget sampe pengin nampol muka munafik lo!" ledek Valerie, melipat kedua tangan di depan dada.

"Gue memang manis, tapi lebih manis lagi kalo cicip bibir lo dulu."

"Bang—"

Terlambat sudah Valerie untuk membantah, bibir Nagara telah mendarat di benda kenyal merah muda milik Valerie, melumat sebentar hingga pria itu puas.

Valerie mengusap kasar bibirnya, menatap sebal Nagara.

Nagara tertawa sinis. "Wow, bibir lo ada pemanis buatan. Lo habis makan bareng Steven?"

"Iya."

"Hebat, selingkuh tapi sok merasa paling menderita." Nagara tepuk tangan, seolah kaum dengan Valerie.

"Selingkuh? Gue tadi udah mutusin lo."

"Gue nggak ada bilang mau putus sama lo!" Nagara mulai emosi.

"Tapi gue mau. Gimana, dong?" Valerie pura-pura cemberut.

"Brengsek!"

"Kok, ngatain diri sendiri?" tanya Valerie dengan tatapan mengejek.

"Lo yang brengsek, Valerie!" maki Nagara.

"Iya, gue memang cewek paling brengsek sejagat raya, seantero alam semesta. Wih, pokoknya gue si paling brengsek."

"Anjing!"

"Terus aja sebut kata-kata binatang lo, gue mau istirahat, bye!"

Belum sempat Valerie masuk ke kamar, Nagara sudah mendekap tubuhnya dari belakang, membenamkan dagu di ceruk leher Valerie. "Valerie, jangan pergi lagi, please...."

"Apaan, sih, pegang-pegang? Najis!" Valerie menyikut perut Nagara. Sungguh, ia tidak baper di saat begini, sudah terlanjur tenggelam dalam lautan emosi.

Nagara merasa perutnya agak sakit ketika Valerie menyikutnya, namun ia tak mau mengeluh tentang itu, pikirannya sudah fokus untuk memohon pada Valerie. "Jangan dikatain najis, gue bukan anjing...."

"Lo lebih jelek dari anjing!"

Nagara sakit hati mendengar hujatan Valerie, memalingkan wajah sebentar agar wanita itu tak mengetahui dirinya bisa menangis juga karena sakit hati. "Gue udah beli sup sayur sama nasi. Ayo makan dulu."

Valerie menggeleng heran. "Aneh, emosi lo bisa berubah dalam sekejap."

"Makan dulu, ya, Valerie? Anak kita butuh makanan bergizi."

Ia peka kalau Nagara sengaja mengalihkan topik agar pertengkaran ini usai. "Hm, ayo makan."

Seulas senyum ditampilkan oleh Nagara. Mereka berjalan ke meja makan, duduk berhadapan. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk Valerie dan dirinya. Kedua sejoli itu sama-sama menaruh nasi bungkus ke atas piring , lalu mengambil sup untuk ditaruh di atas nasi.

Nagara tak mau makan terlebih dahulu, ingin memastikan Valerie agar mengonsumsi hidangan tersebut.

Valerie sempat heran melihat Nagara malah tidak makan. Namun, ia cuek saja. Ia mengambil sesuap nasi dan sayur, memasukkan ke dalam mulut, mengunyah hingga tandas.

Nagara menatap Valerie, lalu memakan hidangan itu. "Enak?"

"Sama aja kayak sup pada umumnya." Valerie menatap tidak suka cowok itu, lalu kembali melanjutkan makan.

"Yang penting lo habisin, jangan sisa. Setelah ini, lo minum susu hamil."

Valerie tertawa sinis. "Tumben lo peduli? Biasanya gue minum kalo lo nggak ada di samping gue."

"Anak gue nanti kenapa-napa," jawab Nagara.

"Oke, sip." Valerie kembali menyantap makanan sehat tersebut hingga tak tersisa.

Melihat Valerie lebih dingin dan agak enggan membalas hujatannya dengan teriakan, membuat Nagara takut bahwa perasaan Valerie mulai pudar kepadanya. Ia berdeham. "Valerie."

"Apa?!" ketus Valerie.

"Santai dulu, jangan marah-marah."

"Hm, kenapa?" sahut Valerie, malas.

"Inget, habis dari Bali kita nikah," peringat Nagara.

"Oh, iya. Gue hampir aja lupa kalo mau nikah."

"Oke kalo lo masih marah sama gue, tapi setidaknya pikirin kondisi anak kita kalo lo kabur kayak tadi. Untung Steven yang nemuin lo, coba kalo orang lain, bisa diculik nanti."

"Gapapa gue diculik, biar lo susah nyari gue."

"Vale, gue peduli sama lo karena ada anak kita di dalam kandungan, jangan egois." Nagara mulai mengungkapkan isi hati. "Gue sebenernya nggak siap buat nikah muda, tapi karena gue mau tanggung jawab, gue terpaksa nikah sama lo nanti."

"Lo pikir gue ikhlas nikah sama lo? Enggak! Walaupun gue sayang sama lo, tapi gue disiksa terus, mana gue tahan!" Emosi Valerie mulai meledak.

"Gini, deh. Bertahan sebentar aja sampai anak kita lahir. Kalo anak kita udah lahir, lo boleh ninggalin gue." Nagara sengaja memberi opsi tersebut agar Valerie tak marah untuk sementara.

"Di agama kita mana boleh cerai, anjir. Gue harusnya bisa milih cowok yang lebih baik, tapi karena keadaan, gue jadi harus sama lo selamanya."

"Memang di agama kita nggak boleh cerai, tapi di mata hukum boleh, kok." Nagara berharap Valerie tak bersungguh-sungguh berpisah darinya.

"Gue udah banyak dosa, nggak mau melanggar lagi perintah Tuhan." Serius, sejak kejadian di club malam, dirinya kapok dan memilih mendekatkan diri kepada Tuhan.

"Ya udah, gini aja. Lo mau pisah gapapa, tapi jangan cerai. Terserah lo mau pacaran sama cowok pilihan lo yang KATANYA lebih baik dari gue, yang penting anak kita selamat. Deal?" Nagara memberi solusi.

"Deal." Valerie tersenyum. "Gue nggak sabar ngelahirin anak gue, habis itu pisah dari lo."

"Palingan nanti lo yang mohon-mohon supaya gue nggak nyari cewek lain."

"Cuih! Nggak sudi, anjing!"

——

Bertengkar terus yeee wkwkkw. Siap2 guis, beberapa part ke depan Nagara bakal nangis🤣

Aku baru sadar konfliknya itu2 mulu wkkwkw, aku sendiri jg agak gerah lihatnya, kek diriku kurang kreatif😩

Aku mau publish part Valerie dan Nagara gituan di Karya Karsa, cuma 5k kok xixixi. Gituan apa, tuh?🙂 pokoknya kalian blm pernah lihat Nagara jealous sanpe gituan wkkwk

Yukkk lakukan tradisi readers cinderianaxx dengan cara:

Spam "Nagara" for next chapter

Spam "Valerie" for next chapter

Spam "Nana Cantik" for next chapter

6,8k komen + 500 vote aku up yaaa

Tbc luv❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top