2. BERTEMU KEMBALI
Halo guisss, akhirnya aku up. Maaf yaa up jam segini, aku lagi ngerjain UTS Take Home yang soalnya proposal penelitian
Tau cerita ini dari mana?
Suka nggak kalo cerita angst, tapi happy ending?
Apa alasan kamu follow seorang author?
Happy reading❤️
"Masalah Coach Made?"
Kalimat itu dilontarkan Neron saat melihat wajah murung Nagara. Tak biasanya Nagara seperti ini, tak ada sedikit kebahagiaan yang cowok itu pancarkan. Oleh karena itu, keputusan Neron tepat untuk menjenguk Nagara ke kontrakkannya.
Pria itu sejak kemarin khawatir akan kondisi Nagara. Ia tahu bahwa berada di titik terendah tak mudah untuk dilewati, ia ingin memberi dukungan moral kepada sang pesepakbola supaya tak merasa sendiri menghadapi masalah ini.
Nagara menggeleng. "Bukan itu aja."
"Terus, masalah apa, Bro?" Neron memancing Nagara agar mau mengeluarkan semua keluh kesahnya, siapa tahu ia bisa membantu pria itu.
Nagara tak mau membebani pikiran Neron, takutnya merepotkan. Ia memutuskan untuk tak memberi tahu Neron. "Nanti gue cerita kalo gue udah siap."
Neron menghela napas, menatap iba sang pria. Ia malah makin khawatir karena Nagara tak mau terbuka. "Okelah."
Nagara meminum segelas air putih di atas meja ruang tamu untuk menenangkan perasaannya.
Gerak-gerik Nagara semakin membuat Neron curiga kalau cowok itu tak hanya menghadapi persoalan permainannya yang kian memburuk, ia yakin ada masalah lain. Akan tetapi, ia ingin mengalihkan topik terlebih dahulu agar suasana tak semakin canggung. "Nanti malam lo datang nggak ke grand opening restoran Steven?"
Steven adalah pemain sepakbola Tim Nasional, namun beda club bola. Pria itu bermain di Red White United, klub yang menduduki puncak klasemen Liga 1 saat ini.
"Oh, nanti malam, ya? Sorry, gue lupa," ujar Nagara.
Neron menggeleng heran. "Kayaknya lo banyak pikiran, Gara. Lo butuh refreshing, nih."
Ada benarnya juga ucapan Neron. Ini saatnya ia mengalihkan pikiran dari masalah yang semakin menjalar ke seluruh pikiran. "Oke, gue ikut."
Neron tersenyum puas. "Bagus."
Entah ini keputusan yang tepat, yang penting Nagara ada usaha untuk menghindar dari hiruk pikuk pahitnya realita. Memang terkesan pengecut, tapi mau bagaimana lagi? Ini jalan satu-satunya yang bisa ia tempuh saat ini.
***
Lautan manusia berkumpul di restaurant khusus seafood milik Steven. Grand opening ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari selebgram, pengusaha, pemilik klub bola, hingga pemain bola. Pria itu memang punya banyak teman, bahkan ia biasa saja merangkul perempuan, terutama selebgram papan atas.
Nagara dan Neron yang menghadiri acara ini saja hanya bisa menatap Steven lagaknya seperti Cassanova.
"Buset, Steven emang banyak punya temen cewek. Maksud gue, kok, bisa nggak gerogi deket sama banyak cewek, ya?" Neron terheran.
Nagara juga tak mengerti mengapa ia bisa berteman dengan Steven, padahal ia tak ada jiwa berani untuk dekat dengan wanita, kecuali insiden kemarin. "Jiwa dia udah kayak playboy cap terasi, jadi dia nggak gerogi."
"Bener juga. Lo sentuhan sama cewek aja auto keringet dingin, kan?"
Pertanyaan Neron itu membuat Nagara berdegup kencang. Sialan! Mengapa pertanyaannya bisa pas sekali dengan situasi yang ia hadapi. Akhirnya, Nagara mengangguk. "Iya," balasnya. "Lo juga gitu, kan?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Yoi, makanya gue nggak pernah punya cewek pas kuliah," jawab Neron.
Nagara berdecak malas. "Halah, itu mah karena lo naksir sama tetangga lo itu."
Neron sering cerita bahwa dirinya menyukai tetangganya yang galak dan suka ia ajak bertengkar agar dapat momen untuk bicara. Selama ini, ia hanya memendam rasa, tak berani menyatakan perasaan terhadap cewek itu.
"Si Cia maksud lo?" tanya Neron.
"Iya," sahut Nagara mengangguk. "Lo sering cerita tentang dia, isinya kekaguman semua, tapi pas ketemu dia, lo malah ejek mulu."
"Justru itu cara gue biar deket sama Cia. Kalo nggak ngajak debat, mana mungkin gue bisa ngobrol sama dia?" Neron memang punya gengsi menembus langit ke tujuh. Maju segan ditolak, tak maju segan sang tambatan hati direbut.
"Iya juga, sih. Semoga aja lo dijodohin sama Cia." Doa itu asal terlontar dari bibir Nagara. Kalau benar kejadian syukur, kalau tidak berarti bukan jodoh.
Kedua netra Neron seketika berbinar. Ia bertepuk tangan saking senangnya sampai beberapa orang menengok ke arahnya. "WAH! HARUS, DONG!" Neron memang tak punya malu, dilihat keanehannya oleh banyak orang ia tak malu.
Peduli amat, yang penting gue nggak ngelakuin dosa. Begitu pikirnya.
Tingkah Neron setidaknya mulai menghibur Nagara. Seketika masalahnya mulai terlupakan. Ia tertawa kecil melihat pria itu. "Santai, Ngab."
Di sisi lain, Steven sudah selesai bercengkrama dengan tamu yang lain. Kini ia menuju Nagara dan Neron, lalu duduk di hadapan mereka.
"Widih, akhirnya playboy cap terasi datang juga," ejek Neron.
Nagara hanya tersenyum kecil. Ia teringat lagi akan kejadian malam itu.
Wajah Steven seketika masam. "Yeu, mereka mah temen gue, bukan pacar. Lo aja yang nggak punya banyak temen cewek, jadinya ngira gue playboy."
"Padahal, emang iya, kan?" Neron tak percaya alasan Steven.
Steven melotot. "Kagak, anjir!" elaknya.
Ketika Neron hendak merapikan rambut, netranya tak sengaja menangkap keberadaan Valerie sedang mengobrol dengan seorang wanita paruh baya. Matanya lantas memicing. "Eh, sebentar. Itu Valerie, kan?" Ia menunjuk sang wanita menggunakan dagu.
Nagara dan Steven mengikuti arah dagu Nagara. Benar saja, itu memang Valerie, ia sedang bicara dengan Tantenya.
Steven kembali menatap Neron. Ia mengangguk. "Yoi. Kenapa emangnya?"
"Kagak, dia mantan gue pas SMP," jawab Neron.
Hal itu membuat Nagara terkejut. Ia baru tahu bahwa definisi dunia seluas daun kelor terjadi padanya. Kemungkinan besar ia akan bertemu dengan Valerie kalau orang sekitarnya kenal atau terlibat dengan wanita itu.
Sial! Mengapa masalah malah semakin mendekatinya? Apakah ia terlalu tampan sampai masalah saja tertarik kepadanya? Ah, tidak. Ini konyol!
"Mau gue panggilin?" tawar Steven.
"Nggak us—"
"Jangan!" Bukan Neron yang menyahut, melainkan Nagara.
"Loh, Nagara? Lo mantannya juga?" tanya Steven bertubi-tubi.
"Enggaklah, njir. Gue males aja, lo tau sendiri gimana image dia di publik," kilah Nagara. Entah sampai kapan ia harus berbohong terus. Ia yakin cepat atau lambat, pasti kebohongan akan terkuak satu per satu.
"Dia nggak seburuk itu, kok, cuma kadang emang nggak suka sabaran kalo mesen sesuatu di restoran, pelayan sana jadi diketusin." Steven menjelaskan.
Ia menatap tak suka Valerie. "Angkuh banget. Jangan sampai, dah, dapet cewek modelan begitu."
"Gue ketawain lo kalo sampe nikah sama Valerie," ujar Neron.
Nagara mengerut kening. "Kenal aja kagak, gimana mau nikah?"
Steven yakin pasti ada yang tak beres antara Nagara dan Valerie. Terlihat sekali bahwa sang pria ingin menghindari dan membela diri seolah dirinya tak kenal Valerie.
***
Sampai jam satu pagi, Nagara tak bisa tidur karena masih kepikiran masalah yang ia alami. Mentalnya tak siap menghadapi ini sendiri, sedangkan dirinya seolah tak mau didukung, padahal ada teman yang siap mendukung.
Ia tengah menatap langit-langit kamar, merenung atas perbuatannya. Setelah dipikir-pikir, ia pengecut, tak berani bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Akan tetapi, ia belum siap. Itu saja terus yang diperdebatkan, tapi tak ada aksi.
Benda pipih berlogo apel digigit bergetar di atas nakas, membuat lamunannya buyar. Ia duduk di ranjang, mengambil ponsel dengan tangan kanan. Kedua netra menatap layar, terkejut melihat notifikasi direct message dari akun mulut_curah.
Nagara mengusak kasar surainya, rasa frustasi semakin menyelimuti. "Bangsat! Niatnya mau healing, malah duit gue dimaling, anjing!"
***
Di lain tempat, Valerie tak bisa tidur karena mengecek satu per satu barang endorse serta bukti transfer. Tak dipungkiri masalah kemarin membuatnya terguncang, namun ia berusaha tenang. Berdoa kepada Tuhan adalah jalan satu-satunya yang ia tempuh.
Tiba-tiba, suara dering telepon terdengar dari benda pipih miliknya. Ia segera mengambil ponsel. Kedua netra menatap nama sang penelepon, ternyata Tantenya yang memanggil.
"Valerie."
"Iya, Tante?"
"Kapan kamu main ke sini? Tante kangen."
Valerie berdecak malas. "Ah, Tante diajak ke sini malah nggak mau. Lagian, baru tadi Valerie antar Tante pulang setelah dari grand opening."
"Tante sibuk, Sayang. Tante ngajar, habis itu ngurus jadwal dan endorse-an kamu. Waktu grand opening restoran temen kamu aja Tante sempetin biar kamu nggak sendirian." Sang Tante berusaha memberikan pengertian.
Valerie memajukan mulut. "Yah, sayang banget, padahal Valerie pengin ngajak Tante jalan-jalan."
"Oalah ... gitu, ya? Ya udah, besok, kan, Tante libur, Tante susulin kamu ke kota."
Mata Valerie seketika berbinar. Di saat terpuruk, ia butuh dampingan sang Tante. Hanya beliau yang Valerie punya. "Biar aku jemput aja, Tante."
"Oke, Valerie. Makasih, ya."
"Sama-sama, Tante," jawab Valerie.
Sambungan telepon ditutup oleh beliau. Valerie menaruh ponsel di atas nakas, beralih ke barang-barang endorse yang sudah ia cek. Kini ia menyiapkan tripod, ring light, dan ponsel untuk membuat snapgram. Valerie sudah siap menggunakan baju tidur panjang berwarna pink untuk bekerja.
Valerie mengatur napas. "Valerie, lo harus profesional, walaupun lagi sedih."
Ia menekan tombol 'hands free' pada instastory, pertanda sudah mulai bekerja di pagi buta ini. Ini request dari sang penjual harus diposting jam segini, soalnya menurutnya bakal ramai yang menyimak karena anak sekarang suka begadang. Tak heran banyak yang jompo di usia dini.
"Hai, Guys. Aku lagi pake baju tidur dari mamam_nasi.wear nih. Kainnya halus banget, nyaman dipake pas tidur." Ia memperlihatkan tekstur dan mendekatkan kain bagian tangan ke kamera. "Tuh, lihat warnanya cute banget kayak yang lihat sg ini. Gila, pokoknya aku suka banget!" seru Valerie.
Ia menghentikan video tersebut. Selanjutnya, ia menyiapkan sepaket perawatan wajah di depannya. "Oke, sg pertama udah selesai, lanjut ke skin care."
"Malam-malam gini aku harus menjaga kulit agar tetap sehat dengan produk perawatan tubuh dari Scaranjrot." Valerie memperlihatkan sepaket rangkaian perawatan wajah dan tubuh ke kamera. "Di sini aku dapat hand body, serum, dan sabun mandi." Ia mengambil sabun berwarna ungu berisi glitter tersebut. "Tadi aku udah mandi pake sabun ini, wangi banget sumpah, udah gitu bikin lembut kulit."
Ia mengambil serum berbentuk botol kecil dengan tutup seperti dot bayi. "Sekarang saatnya aku pake serum." Ia meneteskan serum ke wajah. "Aku tepuk-tepuk dulu, tapi bukan tepuk magic ala Pak Tarno," ujarnya. "Hahaha, nggak lucu, ya? Lucuin aja, deh."
Ia menunggu beberapa saat. "Tuh, cepat menyerap, loh. Gila, sih, gue pasti bakal beli lagi, bagus banget, anjrot!" serunya dengan heboh. "Lo pada percaya aja, deh, sama gue, gue juga kagak mau nerima barang yang bikin gue nggak aman." Valerie menaruh barang-barang itu di atas meja. "Next time, kalian mau minta direkomendasi barang atau makanan apa? Bisa isi question box, ya."
Ia mematikan kamera dan keluar dari aplikasi Instagram. Lampu ring light tak lupa ia matikan, lalu membereskan tripod. Ia kembali rebahan di kasur. "Valerie capek harus pura-pura bahagia di depan banyak orang. Maaf selama ini bersikap angkuh supaya nggak kelihatan lemah di depan banyak orang."
Valerie menghela napas. "Padahal, Valerie udah rajin ibadah ke Gereja, kenapa masih nggak lancar, ya, perjalanan hidup Valerie? Apa dulu orang tua gue pernah buat dosa, lalu kesialannya dilimpahkan ke gue?"
Harusnya Valerie sadar kalau bermain di kelab malam dan kecerobohannya menyebabkan dirinya terjerumus dalam kubangan masalah.
***
Nagara bangun kesiangan, syukur hari ini tak ada kuliah dan latihan. Ia refleks mencari Instagram Valerie, ingin tahu bagaimana keadaannya saat ini. Ia stalking pakai akun bodong agar tak ketahuan.
"Gila, dia masih bisa santai setelah kita terlibat insiden satu malam," ujar Nagara berdecak heran. "Nggak heran, sih. Dia aja sering ke club malam, pasti udah pro mainnya."
Ia menaruh ponselnya di atas nakas. "Tapi ... kok, gue ngerasa dia baru pertama kali, ya? Apa jangan-jangan gue udah ngambil virgin dia? Ya Tuhan, gue bejat banget ...."
Rentetan peristiwa malam itu kembali terbayang di otaknya. "Kita, kan, sama-sama mau, harusnya gue nggak bejat, dong?" Sungguh, Nagara tak bisa berpikir jernih lagi. "Argh! Gue pusing! Niatnya mau refreshing, sekarang malah pusing. Ini salah gue kenapa nggak doa sama Tuhan, entah kesambet apa gue bisa mikir main ke club malam."
Nagara sudah tak kuat menahan ini sendirian, air mata dengan lancang mendobrak pertahanan yang sudah ia kokohkan. "Maafkan hamba, ya Tuhan ...."
Nagara menggeleng takut. "Gue belum siap ketemu Valerie setelah kejadian itu, apalagi disuruh tanggung jawab. Gue nggak sanggup punya anak di umur dua puluh dua tahun ...."
"Ngatur waktu kuliah sama main bola aja kesusahan, apalagi punya anak, bisa tepar gue."
Ia menghela napas. "Semoga Valerie nggak gugurin kandungan itu. Selama dia nggak minta pertanggung jawaban, gue anggap kita nggak pernah terjadi apa-apa."
***
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya Valerie sampai di pedesaan tempat Tantenya tinggal. Dulu ia sempat tinggal di sini saat TK, namun pindah saat Sekolah Dasar dan sempat ditemani oleh sang Tante sebelum resmi menjabat sebagai guru.
"Halo, Tante. Valerie udah di depan rumah."
——-
Nanti bakal seru kok, aku jamin wkwkkwk. Yukkk spam sayangggg
Spam "Nana Cantik" for next chapter
Spam "Nagara" for next chapter
Spam "Valerie" for next chapter
Spam nama guru kesukaan kalian
Jangan lupa follow:
Ig @ay.riana
Tiktok @idontknowblablablabla
800 komen aku up yaaa
Tbc❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top