13. HIS PARENTS

Maaf udah 3 hari ga update, soalnya banyak tugas. Maklum guis semester 6 udah mulai nyari topik skripsi dan PKL WKKWK

Lebaran pada beli baju baru atau novel baru?

Kalo kalian punya uang 1M, kalian mau pakai buat beli apa?

Kalian lahir tahun berapa?

Happy reading!❤️

Nagara kali ini mengajak Valerie ke rumahnya untuk menginap, takut ada kejadian yang tak diinginkan kalau wanita itu tak ada di sampingnya.

Tadi mereka mampir dulu sebentar ke rumah Valerie guna mengambil pakaian cewek itu, lalu ke rumah Nagara. Untung di sini ada dua kamar, jadi bisa tidur pisah ranjang mengingat mereka belum sah di mata hukum.

"Lo pikir gue mau ke Gereja sama lo buat konsultasi?" tanya Nagara.

Valerie yang tadinya main ponsel seketika menengok ke arah cowok itu. "Kalo lo nggak mau, gapapa, kok."

"Lo nggak mau nanya kenapa gue nggak mau buat ke Gereja?" Nagara hari ini tumben banyak bicara dibandingkan sebelumnya.

"Gue nggak pengin tau," jawab Valerie.

Nagara sedikit kesal karena Valerie seolah tak mau bicara lama-lama dengan dirinya. Padahal, cowok itu sedang berusaha untuk memperpanjang topik dengan Valerie. "Ya udah, sebulan lagi kita nikah, tapi nggak ngundang siapa-siapa."

Valerie mengangguk. "Oke, terserah."

Tatapan Nagara seketika berubah menjadi sendu. Ia tertunduk sesal. "Tapi, Valerie, gue belum siap bilang ke orang tua gue, takutnya dihajar."

Valerie sekarang mengerti mengapa Nagara sering membentaknya. Bukannya ia menormalisasi toxic relationship, tapi berusaha memahami bahwa perilaku buruk cowok itu ada sebabnya. Semua caci maki dilontarkan untuk menutupi kesedihan dan keresahan hati.

Kedua sudut bibir Valerie tertarik tipis, mengusap bahu Nagara untuk memberikan ketenangan jiwa. "Biar kita yang nanggung sama-sama. Kalo lo dihajar, gue pasti juga kena marah. Ini cuma di awal, kok, lama-lama pasti nggak bakal marah lagi karena ada baby di dalam sini."

Nagara mendongak, tertawa kecil sembari menatap Valerie. "Tumben ngomong serius?"

Valerie berdecak malas. "Memang biasanya gue nggak ngomong serius?"

Nagara mengangkat kedua bahu. "Entahlah."

Valerie berusaha tersenyum tenang, walaupun ia sendiri juga takut. "Jangan takut, ada gue di sini."

Nagara mengangguk. Ia peka bahwa Valerie tersenyum hanya untuk menenangkannya. Ia sadar bahwa mereka harus saling menguatkan, bukan saling membenci. Selama Steven tak menganggu Valerie, ia bisa berbuat baik pada cewek itu. "Oke, besok kita ke rumah orang tua gue."

"Iya," balas Valerie.

Setelah percakapan tersebut, mereka terdiam sejenak, bergulat dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya Nagara kembali membuka topik pembicaraan.

"Valerie," panggilnya dengan nada lembut.

"Hm?" sahut Valerie.

"Boleh nggak gue mau nyapa si baby?" tanya Nagara.

Jantung perempuan itu berdegup kencang, aliran listrik mengalir ke seluruh tubuh. Sial, perlakuan Nagara membuat kupu-kupu ini terbang di perut Valerie. Pasalnya, cowok itu sebelumnya tak pernah meminta untuk menyapa sang buah hati.

Perlahan, Valerie mengangguk. "Boleh."

Nagara tersenyum tipis. "Makasih." Ia bangkit dari sofa, lalu berjongkok di hadapan Valerie. Nagara mendongak, menatap kedua retina sang perempuan. "Ijin buka dikit baju lo."

"Iya."

Getaran mendadak mengalir di tangan Nagara, tapi insting-nya mengatakan bahwa ia harus mengunjungi sang buah hati. Anak itu butuh kasih sayang sang Papa. Tangan kanan Nagara menyibak sedikit baju Valerie, lalu mengusap lembut sembari menatap perut cewek tersebut. "Nak, maafin Papa, ya, kamu terlahir di jalur yang tidak semestinya, tapi Papa janji bakal bikin kamu bahagia dan nggak malu dengan apa yang terjadi saat ini," ujarnya.

Ucapan Nagara sungguh membuat hatinya menghangat. Semoga hari ini tidak cepat berlalu, sebelum Nagara berubah menjadi sosok yang menyebalkan dan tempramen seperti biasanya. Tangan kanan Valerie refleks mengusap lembut surai Nagara, membuat cowok itu mengecup perut cewek itu sembari memejamkan mata.

"Mau kamu cewek atau cowok, Papa pasti terima kamu, kok. Mau bagaimana pun keadaan kamu, kamu tetap anak kebanggaan Papa," ujar Nagara.

***

Keesokan harinya, Nagara dan Valerie berkunjung ke rumah orang tua Nagara guna memberitahu kehamilan Valerie. Sebenarnya mereka belum siap, namun cepat atau lambat, semua pihak keluarga keduanya pasti akan mengetahui fakta tersebut.

Nagara menatap Valerie seolah meminta kekuatan untuk menghadapi orang tuanya. Cewek itu mengangguk, mengisyaratkan bahwa Nagara harus berani menghadapi semuanya. Toh, mereka hadapi bersama-sama. Perlahan, sang lelaki menarik napas, lalu mengembuskannya. Setelah itu, ia menekan bel.

Pintu rumah dibuka oleh Mamanya Nagara—Asri. Beliau menatap keduanya bergantian, lalu kembali menatap Nagara. "Ya ampun, Gara. Kok, kamu nggak bilang kalo mau ke sini? Mana bawa cewek cantik pula."

Valerie tersenyum ramah mendengar pujian Asri, kemudian dibalas oleh senyuman dari calon mertua.

"Ini pacar kamu?" tanya Asri melihat Valerie sekilas.

"Iya, Ma," jawab Nagara.

"Hoki seumur hidup terpakai, ya, bisa dapet cewek cantik gini," puji Asri.

Valerie tertawa tipis. "Ah, Tante bisa aja."

"Ayo, silakan masuk." Wanita paruh baya tersebut membuka pintu sedikit lebar. Ia berjalan terlebih dahulu, lalu disusul keduanya. Nagara menutup pintu rumah, mengajak Valerie duduk di sampingnya.

"Terima kasih, Tante," ujar Valerie. Setidaknya ia masih bisa tenang sebentar sebelum nanti menghadapi amarah dari orang tua Nagara.

"Sama-sama, Calon Mantu," jawab Asri.

Nagara mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Keadaannya masih tetap sama seperti terakhir kali ia kunjungi. "Ma, Papa mana?"

"Masih mandi, sebentar lagi selesai, kok," balas Asri.

"Oke, Ma."

Tak lama kemudian, Fandi—Papa Nagara datang dengan menuruni anak tangga langkah demi langkah. Ia menghampiri anak semata wayangnya, kemudian duduk di samping Asri. "Wah, tumben kamu datang, Gara."

"Halo, Om," sapa Valerie tersenyum ramah.

"Halo, Nak," balas Fandi membalas senyuman Valerie. "Kamu pacarnya Nagara?"

Valerie mengangguk. "Iya, Om."

"Kalo bawa pacar gini, biasanya ada hal serius, soalnya Nagara jarang bawa cewek ke sini. Sebenarnya ada apa, Gara?" tanya Fandi.

Ini saatnya Nagara dan Valerie harus menyelesaikan masalah yang mereka perbuat. Mereka saling pandang, membuat Nagara menghela napas terlebih dahulu.

Ia menunduk, memainkan kedua tangan bergantian guna menghilangkan rasa gugup. "Maaf, Pa, aku udah jadi anak yang gagal mengamalkan ajaran orang tua. Aku bawa Valerie ke sini karena bulan depan kita mau nikah."

"Sebentar, Papa nggak mengerti maksud kamu." Fandi sebenarnya paham pesan tersirat yang Nagara sampaikan, namun tak yakin akan kebenaran persepsinya.

"Aku udah bikin Valerie hamil, Pa ...."

Sontak, Fandi menggebrak meja ruang tamu, lalu berdiri menarik kerah baju Nagara. "Sialan! Siapa yang mengajarkan kamu menjadi lelaki bajingan, hah?"

Asri mulai panik. Ia turut berdiri, mengelus punggung Fandi agar diberikan ketenangan. Ia juga terkejut, tapi tak mau menunjukkan reaksi berlebihan supaya sang suami tidak semakin menggila dalam melampiaskan amarah pada Nagara.

"Maaf, Pa ...."

Bugh!

Satu bogeman mentah Fandi layangkan pada pipi Nagara hingga cowok itu terjatuh ke atas sofa. Valerie lantas berdiri di depan Nagara, merentangkan kedua tangan ketika Fandi hendak menghantam anaknya lagi.

"Papa!" teriak Asri.

Napas sang pria paruh baya itu memburu, ia sedih karena telah gagal mendidik anak. Dirinya selama ini sudah berusaha menjadi orang tua yang baik bagi Nagara, namun hasilnya malah begini. Bukannya ia membenci cowok itu, hanya saja kelakuan Nagara di luar ekspektasi.

"Om, saya juga salah di sini. Saya mohon jangan hajar Nagara. Kita di sini sama-sama mau," jelas Valerie.

"Kamu tidak berbohong, kan?" tanya Fandi.

"Tidak, Om. Kami waktu itu bertemu di club malam. Malam itu saya melihat Nagara sedang stress karena terancam namanya dicoret dari Timnas. Saya kasihan melihat dia mabuk sendiri, akhirnya saya temani dia. Kami sama-sama mabuk dan berakhir hal yang tidak diinginkan."

"Oh, rupanya kalian bertemu di club malam." Fandi tertawa miris, tak terbayang di pikirannya bahwa Nagara bermain ke tempat yang ia paling benci. "Saya tidak akan merendahkan orang yang main di club malam, tapi kalau sudah masuk sana, kejadian yang seperti itu kemungkinan besar bakal terjadi. Apa kalian nggak mikirin itu sebelumnya?"

"Nagara waktu itu baru sekali ke sana," celetuk Nagara.

"Tetap saja salah!" seru Fandi. Jujur, Fandi lebih kesal dengan Nagara ketimbang dengan Valerie.

"Maafkan saya, Om, karena telah menjerumuskan anak Om. Seandainya saya nggak nemenin Nagara, mungkin nggak bakal ada kejadian kayak gini ...."

Fandi menghela napas. Mau tidak mau, ia harus menerima kalau anaknya telah membuat seorang perempuan mengandung. "Kalau kamu nggak nemenin Nagara, bisa saja dia dengan wanita lain. Lebih baik tidak usah ke sana dari awal daripada ada insiden satu malam."

"Ma—"

Kini Asri berdecak malas. Ia paham bagaimana rasanya sudah terkena masalah, tapi malah dipojokkan. Bukannya ia membenarkan perbuatan Valerie, tapi sudah terlanjur terjadi. Apa mau dikata? "Sudah, tidak usah minta maaf, semuanya sudah terjadi," sergahnya. "Valerie, orang tua kamu tahu kejadian ini?"

Fandi membiarkan Asri yang menginterogasi Valerie. Dirinya berusaha ikhlas, walaupun masih tak menyangka Nagara akan menjadi bajingan.

"Saya nggak punya orang tua, tapi dulu tinggal sama Tante," terang Valerie.

"Maaf, Valerie. Apakah Tante kamu tahu?" tanya Asri dengan hati-hati.

"Enggak, Tante," jawab Valerie.

"Ya Tuhan ...," ia membayangkan bagaimana reaksi Tantenya Valerie setelah mendengar kabar ini. "Setelah ini, kasih tau Tante kamu."

"Baik, Tante."

"Untuk hari ini, kalian menginap dulu sehari, saya ingin mengajarkan Valerie masak. Saya yakin kamu nggak bisa masak, kan?" tanya Asri.

"Bisanya masak air sama mie, Tante," tutur Valerie.

Asri tersenyum tipis. "Sudah saya duga, soalnya kamu selebgram, pasti sibuk buat belajar masak. Saya tau kelakuan kamu di luar sana, tapi saya nggak percaya seratus persen, media kadang suka membesar-besarkan masalah."

"Iya, Tante ...."

***

Sesi memasak kini tengah berlangsung di dapur rumah keluarga Nagara. Valerie berusaha serius dalam belajar memasak. Selama ini ia sibuk cari uang, mau makan pun biasanya memesan di luar.

Saat keadaan finansialnya belum mapan seperti sekarang, sang Tante biasanya mengirimkan telur goreng dan tempe penyet dengan sambal pete sebagai makanan sehari-hari ke rumahnya, tapi lebih sering makan kerupuk dan nasi karena harganya lebih ekonomis.

"Coba kamu lakuin apa yang kamu bisa," titah Asri pada Valerie.

"Baik, Tante." Valerie menghidupkan kompor terlebih dahulu, lalu menuangkan minyak di atas penggorengan.

"Valerie, jangan hidupin kompor dulu, lalu tuang minyak, yang ada bisa meledak!" peringat Asri.

"Maaf, Tante." Valerie tak enak hati.

"Hari ini Tante mau ngajarin masak yang sinple aja, yaitu sayur sup. Tante sengaja kasih resep yang gampang biar kamu dan Nagara makan makanan sehat," tutur Asri.

"Iya, Tante."

"Iris dua siung bawang putih."

"Iya." Valerie memotong bawang itu semampunya. Selama ini ia paling mentok masak mie sama telur rebus, tidak pernah berani masak yang pakai metode goreng.

"Sini saya ajarin pakai pisau yang benar." Asri gemas melihat cara Valerie memakai pisau, takut tangan wanita itu terluka.

"Maaf, Tante." Valerie masih canggung, apalagi tadi keluarganya bertengkar karena masalah dirinya dan Nagara.

Asri mengambil pisau di atas talenan, lalu mengiris bawang putih tersebut hingga tak utuh. "Gapapa, namanya juga baru belajar."

Valerie mengangguk pelan.

"Coba kamu yang pakai pisaunya. Ingat, hati-hati."

Anggukan diberikan oleh Valerie. Ia mengambil pisau di atas talenan, lalu memotong bawang itu dengan hati-hati. Gerakannya memang masih lebih lambat dari biasanya, tapi kemampuannya sudah mulai membaik dibanding tadi.

"Nah, udah mulai bisa. Pelan-pelan aja, saya nggak nuntut kamu biar jago kayak chef restoran bintang lima."

"Iya, Tante," jawab Valerie. Setelah beres, cewek itu menaruh bawang ke dalam mangkok kecil.

"Akhirnya selesai, sekarang kamu masukkin satu sendok makan minyak buat tumis bawang putih dulu."

"Pake minyak goreng atau olive oil?" Valerie bertanya begitu karena pernah melihat tutorial di internet bisa memakai keduanya. Ia tak tahu bagaimana selera Asri.

"Bebas," jawab Asri.

"Oke."

Di sisi lain, Fandi tengah mengobati karya buatannya di wajah Nagara. Sesekali mereka memandang Asri dan Valerie yang sedang memasak di dapur.

"Syukur Mama kamu nggak ikut menghajar kamu, kalau tidak, bisa habis kamu," ungkap Fandi.

"Maaf, Pa."

Fandi menaruh kapas bekas itu di atas meja. "Sudahlah! Papa bosan dengar kamu minta maaf terus. Papa sebenarnya masih nggak nyangka kamu bisa begitu. Kenapa kamu nggak pernah mau cerita kalau ada masalah? Begini, kan, jadinya!"

Nagara tertunduk sesal. Ia merasa bersalah telah mengecewakan orang tua yang telah berusaha mendidiknya agar menjadi anak yang membanggakan.

"Nak, Papa marah bukan berarti Papa benci kamu. Papa hanya kecewa kenapa kamu bisa begini? Anak yang selama ini saya banggakan karena prestasinya di sepak bola ternyata perilakunya menyimpang," tuturnya berusaha memberikan pengertian pada Nagara. "Tolong, jangan pernah tertutup sama Mama Papa, kami nggak pernah, kan, menghakimi kamu kalau kamu berbuat salah?"

"Enggak."

"Terus, kenapa kamu bisa nggak mau cerita pas hampir dicoret dari Timnas?" tanya Fandi menghela napas. Ia sampai tidak jadi ke sekolah sepak bola miliknya karena masalah ini.

"Gara malu kalau Papa tahu Gara gagal jadi pemain Timnas, apalagi Papa punya sekolah sepak bola."

"Ya Tuhan, Nak ..." Fandi tak habis pikir, padahal dirinya tak akan menghujat Nagara kalau cowok itu tidak masuk Timnas. "Inilah pentingnya terbuka dengan orang tua."

"Iya."

"Sejak kejadian itu, apa kamu pernah menyakiti perempuan itu?" tanya Fandi.

"Maaf, pernah." Nagara tertunduk.

Fandi menepuk bahu Nagara. "Papa ngerti kamu shock, tapi dia juga shock karena kejadian ini. Kamu bayangkan dia mengandung anak kamu, tapi kamu malah sakiti. Apa kamu gila?" tanyanya. "Ibu hamil itu nggak boleh stress, buat dia senang."

"Gara mau terbuka sama Papa, boleh?" Nagara menatap ragu sang Papa.

"Boleh," Fandi mengangguk, "Jawab pertanyaan Papa tadi."

"Dia sering didekati sama Steven, dia juga ngerespon aja pas didekati, itu sebabnya Gara marah."

"Waduh, Nak. Kamu cemburu?" Fandi tertawa.

"Enggak. Gara nggak suka sama Valerie, dia cewek club malam. Kalau Papa tahu gimana image-nya dia di media, mungkin Papa bakal ilfeel."

"Tapi, aslinya nggak seburuk di media, kan?"

"Enggak terlalu, tapi dia suka ngelawan pas Gara marah, padahal maksud Gara baik supaya dia nggak gatel sama cowok lain," jelas Nagara.

"Loh? Kamu sendiri yang bilang kalau dia yang didekati, bukan yang mendekati. Kenapa kamu bilang dia yang gatel?"

"Karena dia mau ngerespon."

Fandi menggeleng heran. Ia maklum Nagara masih muda, belum bisa mengendalikan emosi sepenuhnya saat kejadian tak terduga menimpanya. "Begini, Nak. Papa juga pernah cemburu saat muda dulu, reaksi Papa juga marah ke Mama kamu saat itu, tapi setelah itu kami cepat baikan. Kamu harusnya ngomong baik-baik sama Valerie, bukannya malah menghakimi."

Nagara masih menyimak wejangan dari Fandi.

"Iya kalo dia masih tahan sama kelakuan kamu makanya dia mau bertahan sama kamu. Kalo enggak, gimana? Kamu tega biarin dia sendirian ngasuh anak kamu kelak?"

Nagara menggeleng pelan. "Enggak, Pa."

"Makanya, berusaha baik sama Valerie, ya, Nak?" nasihat Fandi pada Nagara.

"Iya, Pa."

"Karena semuanya sudah terlanjur terjadi, tolong pertahankan apa yang seharusnya dipertahankan," peringat Fandi.

"Baik, Pa."

***

Semangkuk sayur sup buatan Valerie sudah tersedia di samping kompor. Hawa panas dan kepulan asap itu masih terasa karena baru matang.

"Akhirnya sayuran buatan kamu udah jadi. Tante ijin cicipi, ya?" tanya Asri.

"Iya, Tante," jawab Valerie sambil mengangguk.

Asri mengambil mangkuk kecil dan sendok untuk mencicipi masakan Valerie. Ia mengambil dua sendok sup dari mangkuk tersebut, lalu ia pindahkan ke mangkuknya. Ia meniup pelan sup tersebut, menyeruput pelan agar tak kepanasan. "Hm, enak."

Valerie tersenyum mendengar respon Asri. Ternyata mengungkap fakta kelam itu tak seseram yang Valerie bayangkan. Untung saja orang tua Nagara bukan tipe orang tua yang menghakimi terus menerus tanpa memberikan solusi, jadi dirinya tak terlalu sedih saat dimarahi tadi.

"Sebenernya kamu bakat masak, loh, Valerie. Buktinya kamu cepet bisa diajarin masak."

"Makasih banyak, Tante."

"Panggil Mama aja, ya? Sebentar lagi kamu bakal jadi mantu saya," terang Asri.

"Iya, Mama."

"Kamu jangan canggung sama saya. Saya memang terpukul dengan kejadian yang kalian alami, tapi saya berusaha untuk lapang dada karena saya mengerti bagaimana rasanya jadi kamu," jelas Asri.

"Maaf, Tante, kalau saya lancang. Maksudnya bagaimana, ya?" Valerie takut menyinggung hati Asri.

"Saya pernah hamil di luar nikah kayak kamu."

——-

Waduhhhh, apakah Nagara anak di luar nikah?

Spam "Nagara" for next chapter

Spam "Valerie" for next chapter

Spam "Nana Cantik" for next chapter

500 komen aku up yaaa

Ramein yukkkk xixixi

Kuy follow ig-ku
@ay.riana
@cinderianaxx (ig khusus wp)

Tbc❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top