Chapter 17
Celine mengguling-gulingkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Setelah menelepon bundanya dan bercerita, ia semakin dibuat bingung dengan perasaannya. Ya, urusan begini, ia lebih memilih bercerita dengan bundanya daripada sahabat-sahabatnya yang takutnya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.
Tetapi, bukan lebih ke memberi saran, bundanya malah lebih banyak meledek anak gadis semata wayangnya yang tengah kasmaran.
Harus Celine akui, setelah tak bertemu Joni seminggu terakhir itu, ia baru menyadari sebuah kehilangan yang tak pernah ia rasakan. Terkadang, ia ingin menghubungi Joni. Tetapi tentu saja gengsi. Walaupun, pada akhirnya ia sendiri ketahuan karena setiap hari pergi ke kampus untuk mencari Joni.
"Kayaknya, gue kualat apa gimana, ya? Bisa-bisanya gue naksir sama pak Joni. DIH APA? NAKSIR? NGGAK!"
Celine terus saja begitu. Berbicara, kemudian mematahkan pembicaraannya sendiri.
Setelah pertemuannya kemarin, Celine masih tidak percaya saja. Ia lagi-lagi bertanya kepada dirinya sendiri. Kemudian, memegang bibirnya.
"Heh, pak Joni cium-cium gue! Argh!"
Gadis itu lebih memikirkan betapa beragamnya perasaan yang ia rasakan sekarang. Padahal, ia janji untuk menyelesaikan skripsinya segera. Tetapi, kalau pikirannya kini malah lebih tertuju kepada Joni? Apa yang harus ia lakukan?
Lagi-lagi, Celine teringat perkataan Joni semalam. "Saya memang gak bisa jadi Johnny bias kamu. Tapi, saya bisa jadi Jonathan yang terbaik buat kamu."
"Aaa... Bisa gila gue. Sejak kapan gue jadi kayak gini? Biasanya juga uwuphobia. Geli banget. Tapi kok sekarang malah deg-degan, sih?"
Ia kembali teringat kalau di sebelah, ada penghuni lain yang mungkin saja terganggu dengan teriakannya. Tetapi, ia juga tidak bisa menahan dirinya.
Dosen nyebelin :
Sayang, ayo makan malam. Aku depan kosanmu.
Belum selesai ia memikirkan pria itu. Kini, pesan yang masuk malah mengejutkannya. Dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu dan berlari ke arah gerbang. Joni tidak berbohong. Pria itu memang sedang berdiri di depan mobil mewahnya.
"Kenapa baru chat pas udah sampe sini? Kan, jadi gak siap-siap!" Celine melayangkan protes.
"Gak usah siap-siap. Aku udah biasa liat kamu kayak gini juga," kekeh Joni yang entah sejak kapan awalnya menggunakan aku bukan saya.
Celine yang memang tak terlalu memperhatikan penampilannya itu baru sadar kalau dirinya hanya mengenakan kaus oversize dengan celana tidur yang kebesaran juga.
"Mau ganti baju dulu!" rengek Celine.
"Gak usah. Waktu ke abang nasi goreng, kamu juga gini, kan?"
Memang, sulit rasanya Celine untuk menjaga citranya sekarang. Salahkan dirinya dulu yang terlalu tidak peduli dengan kehadiran Joni.
Dengan langkah berat, ia keluar pagar dan berjalan mengikuti Joni.
"Kamu kayak anak ilang kalo jalan di belakang gitu." Joni mengamit lengannya agar mereka berjalan bersebelahan.
"Malu," cicit Celine.
Perubahan terasa begitu cepat. Ia yang biasanya bersitegang dengan Joni yang menurutnya sangat menyebalkan itu kini berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang menghabiskan waktu berdua.
"Saya masih kesel, lho."
"Apa lagi?"
"Ini, gak ganti baju. Kan malu banget keluar gini."
Setelah makan, Joni mengajak Celine pergi. Late night drive katanya. Tetapi, pria itu tidak memberikan waktu Celine untuk berganti pakaian.
"Pertama, jangan pakai saya. Kedua, jangan sering kesel. Nanti, makin bucin aja kamu nyesel."
"Dih! Pede banget anda! Gak akan ya mohon maaf!"
Celine mengalihkan pandangannya ke luar. Menyaksikan lampu-lampu yang berjejer rapi di tepi jalan dengan tangan yang berada dalam genggaman Joni. Tolong, siapapun ingatkan Joni kalau ia bukan lagi remaja yang bisa berlaku sebucin ini. Tetapi, Celine menyukainya. Memang, ia selalu saja plin-plan. Selalu saja denial dengan perasaannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top