Pulang

Jodoh mencerminkan kepribadian diri. Tapi jika memang tidak berjodoh? Mengapa harus dipaksa?
.
.
.

Tiap waktu itu berharga. Hargai, nikmati dan jalani. Memang bukanlah hal yang mudah untuk menjalaninya, tapi jika waktu itu terlewatkan, hanya sesal yang ada.

Aroma kopi menguar di ruangan yang sepi ini. Candy hanya duduk diam dan menikmati kopi itu sendirian di kafe yang sepi. Telunjuknya memutari tepi cangkir berwarna putih itu dengan rasa bosan. Dia lelah, ingin tidur dengan nyenyaknya hari ini. Tapi, Aidan menyuruhnya untuk menunggu.

Dering nada tinggi di ponselnya, menandakan panggilan masuk. Dia menggeser ikon berwarna hijau itu dan menempelkannya di telinga.

"Ya, Bu?" Suara helaan napas dari seberang terdengar jelas.

"Kapan moleh, Nduk? Ra kangen ro ibumu Iki ngopo?"

"Iya Bu, aku usahakan minggu depan pulang." Hanya deheman dari seberang yang terdengar. "Ibu sehat?"

"Sehat Nduk, cuma ibu Ki kangen Karo anakke ibu wae. Mbakyu mu kae jek tas moleh, tapi Kowe ora moleh ki ngopo?"

"Enggeh Bu, sesuk moleh." Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar semakin dekat. "Bu, aku tutup ya. Kalau pulang nanti, aku kabari."

Candy menutup teleponnya, dia menaruh asal ponselnya di meja. Menghirup aroma kopi yang bisa menenangkan dirinya dari rasa gelisah itu. Satu teguk kopi itu, mampu membuat dia kembali tenang. Kursi di depannya berderit, tanda seseorang menariknya. Seseorang yang dikenal Candy beberapa bulan lalu itu duduk dengan manisnya di situ.

"Kenapa?" Candy menggeleng, dia kembali menikmati kopinya yang tinggal setengah cangkir. "Ada masalah?"

"Nggak ada Babang. Cuma ... mau ajuin cuti aja sih, emak pingin saya pulang." Aidan mengangguk.

"Ya udah, ambil cuti kapan? Berapa hari? Saya acc sekarang juga!" Candy terkekeh pelan, dia mengangguk sekilas dan kembali menyeruput kopi.

"Can, kalau saya bilang jatuh cinta sama kamu, apa kamu percaya?" tanya Aidan.

"Seklise itu Bang?" Aidan mengangguk. "Percaya nggak ya? Babang real buaya nih."

Aidan tertawa mendengarnya, mau dia serius atau tidak. Bukanlah hal yang perlu dipentingkan oleh jantung Candy, jikalau itu Handaru ... mungkin dia akan kelonjotan.

***

Menghirup udara pedesaan yang segar, membuat Candy nyaman. Dia tidak bisa menghirup aroma ini di Jakarta. Berjalan menuju rumah berwarna coklat tua, dia membuka pagar rumah yang telah mengelupas catnya termakan usia.

"Ora nyasar ning Jogja, Nduk?" Candy menggeleng. Dia menyalami ibunya yang sedang duduk menikmati teh di teras.

"Bu, rumah sepi banget ya? Ibu ... nggak mau gitu ikut ke Jakarta?" Ibunya menggeleng.

"Nduk, bapakmu wes ora eneng. Lek ibu melu nang Jakarta, terus sopo sing neruske nggarap sawah karo niliki malame bapak?" Wanita yang melahirkan dirinya tersenyum teduh.

Tangis Candy akhirnya pecah, dia memeluk ibunya dengan erat. Setega itukah dirinya harus meninggalkan ibunya sendirian di kota kelahirannya. Sejak SMA, Candy telah merantau ke ibu kota hingga saat ini. Delapan tahun lamanya, dia meninggalkan rumah yang nyaman ini.

"Sudah Nduk, ora usah nangis. Ibu ora jaluk opp-opo. Sing penting kowe sehat, ora lali karo ibu." Candy mengangguk.

"Aku akan urus semuanya ya, Bu. Aku akan di sini bareng ibu. Ibu sabar." Ibunya mengangguk.

"Iya, ibu sabar. Ibu tunggu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top