Bakso dan Kenangannya

Cinta itu susah jatuhnya, sekalinya jatuh, kita yang terluka.
.
.
.

Candy duduk dan menghirup aroma kopi yang dia buat. Memandang langit yang masih betah gelap karena hujan, membuatnya mengurungkan diri untuk pulang ke kosan. Dia ingin meminta tolong sahabatnya untuk menjemput, tapi dia urungkan. Mereka juga sama sibuknya. Memandang kembali jam tangan yang melingkar manis di tangan mungilnya, menunjukkan pukul enam sore. Seharusnya dia sudah bergelung nyaman di dalam selimut. Nyatanya dia terjebak karena hujan angin. Dia tidak mampu pulang sendiri dengan jalan kaki.

Satu cangkir kopi tepat berada di depannya, diiringi duduknya seseorang yang tidak pernah dia pikirkan. Aidan. Dia duduk tanpa meminta ijin. Candy menyesap kopinya perlahan.

"Belum pulang kamu?" tanya Aiden, ikut menyesap kopinya seperti Candy.

"Belum. Kayaknya disuruh nginap sini deh, sama si hujan." Aiden terkekeh. Candy memang selalu bisa membuat dirinya tertawa atau melengkungkan senyuman kecil.

"Mau abang anterin nggak?" Candy mengusap tengkuknya kala Aiden menyebutkan dirinya abang.

"Kenapa merinding ya, Bapak eh maksudnya Babang nyebut sendiri Abang tadi." Aiden kembali berdecak, selalu seperti ini.

Niat hati ingin membuat Candy terpesona bahkan dia ingin mencoba berusaha romantis. Candy bukanlah seseorang yang mampu diajak romantis, perempuan itu penyuka humor, pikirnya.

"Mau pulang nggak? Beneran saya anterin." Candy memandang jalanan yang masih saja diguyur hujan deras, dia harus menerima tawaran ini.

"Mau dong. Tapi, abisin kopi dulu." Aiden mengangguk.

Hatinya bersorak kegirangan, dia tidak menyangka jika Candy menerima ajakannya untuk pulang bersama. Wah, di luar dugaan. Aiden tidak berhenti melengkungkan senyuman yang mampu membuat seorang perempuan duduk di seberangnya salah tingkah.

"Kopi saya sudah habis," ucap Aiden yang menunjukkan cangkir kopinya.

"Sama. Yuk, deh," ajakan Candy membuat jantung Aiden beratensi hebat.

Dasar lemah. Cibir Aiden pada jantungnya.

Aiden mengajak Candy menuju mobilnya yang terparkir rapi di dekat kafe. Tempat parkir khusus untuk membedakan antara rakyat jelata dan sultan. Candy duduk dengan manisnya di dalam mobil HRV warna hitam milik Aiden. Aiden menyalakan radio yang mendengarkan beberapa anak muda yang mengirimkan salam bahkan request lagu pengiring. Kembali dia mendengarkan suara Arkana yang menyapa semua orang.

"Babang suka dengerin frekuensi ini?" Aiden menoleh sebentar lalu memusatkan lagi pandangannya ke depan.

"Iya, saya masih muda, kalau kamu lupa." Candy menggeleng tidak percaya. Umur tiga puluh muda dari mananya.

"Itu lelaki yang pernah anterin kamu, siapa? Pacar kamu?" tanya Aiden.

"Oh, Arka? Bukan, dia sahabat saya dari SMA. Yang lagi siaran saat ini, Arka." Aiden mengangguk.

"Kamu lapar nggak sih? Makan dulu yuk, temani saya. Tenang kok gratis!" Candy mengangguk.

Mereka menuju depot penjual bakso yang sedikit ramai. Mereka berdua turun dan duduk manis di kursi dekat pintu masuk. Candy mengecek ponselnya, terdapat beberapa notifikasi dari Arka dan Celline. Juga panggilan tidak terjawab berjumlah sepuluh dari ibunya. Candy mengetikkan pesan untuk ibu tercintanya itu.

"Kamu asalnya dari mana?" 

"Dari rahim ibu saya." Aiden berdecak sebal.

"Saya tanya serius Candy!"

"Kenapa? Bapak mau melamar saya?" Aiden terbatuk-batuk. Dia meminum jeruk hangatnya untuk menetralkan rasa tak nyaman pada tenggorokan.

"Edan, kamu!" Candy tertawa.

"Saya dari Surabaya, Bang. Dari SMA sudah merantau bareng kakak saya, tapi dia sekarang udah punya keluarga sendiri. Ya ... seumuran Babang gitu. Lha, Babang belum nikah?"

"Nikah itu bukan mainan Candy, saya nggak ingin nikah asal dan cerai begitu saja seperti Daru. Begok sih, dia."

"Babang jadi kang gosip ya, sekarang?" Aiden tertawa bersama.

"Nggak gitu sih, jadi dulu, saya dan Daru temen dari kuliah. Kita berdua jatuh cinta sama seseorang yang sama. Dia lebih memilih Daru, ya, saya mundur deh." Menyesap jeruknya kembali.

"Mereka tiba-tiba menikah saat semester akhir. Banyak yang menentang apalagi keluarga Daru yang darah biru itu, termasuk saya. Tapi mereka nekat tetap menikah. Ya, sekarang mereka pisah."

"Pisahnya udah lama, Bang?" tanya Candy yang mulai menyuapkan baksonya.

"Hmm ... sekitar lima tahunan gitu. Istrinya tapi belum punya anak sampai sekarang. Si Daru juga sepertinya nggak tertarik dengan anak kecil. Nggak tahu deh, kenapa."

***
H

arum aroma kopi merebak disetiap sudut ruangan ini. Pecinta kopi dengan gaya dan rasa yang beraneka ragam, berkumpul di sini, dan menikmatinya bersama orang terkasih. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan obrolan mengenai rasa kopi yang tersaji di depan mereka.

Seorang gadis memandang seorang lelaki yang asyik menekuri laptop kesayangannya. Dia tersenyum, kala sebuah ide masuk ke dalam otak cantiknya, yang kadar kebucinannya melebihi kapasitas. Dia berbalik dan membuatkan secangkir kopi cappucino dengan art berbentuk hati. Berjalan dengan jumawa, melewati beberapa orang yang menyapanya dengan ramah. Di meletakkan secangkir kopi yang asapnya masih mengepul di atas meja. Lelaki itu memandang gadis muda di depannya dengan mengerutkan keningnya.

"Untuk siapa kopi ini?" tanyanya penasaran, "saya tidak pesan kopi."

"Untuk Mas Handaru Kamandaka, spesial pakai cinta dari Candy," ucapnya penuh semangat.

"Tapi saya tidak pesan kopi, Candy!" tolaknya secara halus.

"Tapi saya pecinta duda lho Mas!"

"Jangan sama saya. Saya tidak ingin menjalin hubungan dengan orang lain."

***

Candy menghampiri stasiun radio tempat Arka bekerja. Dia duduk di ruang tunggu. Mengecek kembali pakaian yang dia kenakan, pantas untuk jalan bareng Arka. Arka keluar bersama seorang perempuan muda.  Candy melambaikan tangannya pada Arka yang dibalas dengan senyuman.

"Ngapain?" tanya Arka. Tidak biasanya Candy datang ke sini.

"Mau ngajakin lo kencan," kelakarnya. "Mbak, saya pinjam pacarnya dulu, ya!"

Perempuan itu diam saja saat Candy menarik paksa Arka menuju parkiran motornya. Candy menyuruh Arka menuju bakso tempat mereka dulu menghabiskan waktu bersama yang lain. Mereka berdua duduk di tempat favorit.

"Ngapain?" Arka membuka pembicaraan.

"Gue patah hati." Arka diam sesaat, lalu tertawa. "Apaan sih, lo, nggak jelas banget."

"Gue baru tahu, lo bisa patah hati juga, permen." Candy memukul tangan Arka.

"Puas lo?" Arka mengangguk, dia menyuapkan baksonya ke mulut.

"Sama?"

"Duda itu, yang pernah gue ceritain. Jadi gue bilang aja kalau cinta dia, jawabannya tuh, bikin gue malu."

"Apaan?"

"Dia nggak mau punya hubungan dengan siapapun."

"Homo kali."

***

Haiy, maaf baru update. Hapenya masih rusak, ini hape pinjam. Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top