Tunangan Senpai Grisel

"Senpai Grisel?" ulang sapaanku dengan mata membinar. Tidak menyangka bertemu dengannya di supermarket ini. Rasanya jadi sedikit malu. Sudah beberapa bulan ini aku absen latihan. Senpai Grisel ini berada pada tingkatan Dan 4, pernah menjadi pelatihku. Sebentar lagi dia akan menyandang gelar sensei, ketika lulus ujian kenaikan tingkat ke yudansha 5.

Sejak awal masuk kempo aku sudah sangat kagum padanya. Matanya yang bulat dengan hiasan bulu mata yang panjang, sungguh membuatnya mirip boneka. Belum lagi hidungnya yang mungil, siapa saja pasti ingin menjawilnya. Tetapi jangan salah, tangan yang berani menyentuhnya kupastikan akan patah berkeping-keping oleh chuki-nya.

Bukan itu saja, satu hal yang membuatku iri berat padanya adalah kulit putihnya yang berkilauan. Semua laki-laki yang memandang padanya pasti akan merasa silau akan pesonanya. Sangat berbeda dengan kulitku yang sangat khas kulit orang Jawa. Yah, mau bagaimana lagi. Kuhanya bisa berkata; mari berdamai dengan takdir.

"Sendirian?" tanyanya lalu mengambil tempat duduk di depanku.

"Senpai sendiri?" ujarku balik bertanya.

"Ada," balasnya entah kenapa wajahnya terlihat memerah.

"Sama seseorang?" tebakku dengan menekankan pada kata seseorang, yang kumaksud sebagai pacar.

Senpai Grisel mengangguk malu-malu.

"Pacar?" akhirnya aku mengatakan rasa penasaranku.

"Orang mana, Pey?" tanyaku sok ingin tahu.

"Orang sini aja, kamu juga tahu."

"Oh ya?" aku lalu mencoba mencari laki-laki yang aku kenal dan juga Senpai Grisel kenal. "Kenshi atau sensei?" Meluncurlah pilihan dua kata itu dariku. Karena seingatku lingkup pertemanan di antara kami hanya sekitar dojo, tempat latihan kami.

"Kenshi," balasnya masih dengan roman malu-malu gimana, gitu.

"Namanya jodoh memang tidak ada yang tahu, ya Pey." ujarku sambil memindai jari tangannya untuk menentukan seberapa jauh hubungan mereka.

"Benar, saya juga tidak menyangka akan jatuh ke dia." ucap Senpai Grisel mengulum senyum.

"Jadi yang mengejar duluan siapa?" kebiasaan kepoku bertahta.

"Kami dijodohkan," bisiknya.

"Oh," aku manggut-manggut dengan mulut membulat sempurna.

"Papaku tahu-tahu membawa dia ke rumah. Katanya dia karyawan yang paling rajin di tempat kerjanya. Lalu tiba-tiba papaku menyodorkan aku padanya. Malu juga sih, aku seperti barang yang ditawarkan untuknya. Tapi secara tidak terduga dia mau menerimaku."

"Hanya pria bodoh yang menolak Senpai Grisel." ucapku membesarkan hatinya.

"Saya itu, paling nggak bisa ngapa-ngapain di rumah." aku Senpai Grisel. "Masak air saja belum pernah. Tapi saya sedang belajar untuk itu."

Mendengar penuturannya aku menjadi paham siapa sebenarnya Senpai Grisel ini. Dia pasti tuan putri di rumahnya. Pantas telapak tangannya pun sangat halus membelai telapak tanganku yang kasar saat bersalaman.

"Berarti sudah tunangan?" tanyaku lagi berdasarkan cincin yang melingkar di jarinya. Asal tebak saja, sih. Karena sebuah cincin di jari perempuan kadang tidak berarti apa-apa.

Senpai Grisel mengangguk dengan senyum mengembang sangat lebar. Jari tangan kirinya meraba cincin yang melingkar di jari manis kanannya.

"Oh ya, sebentar lagi mau ada ujian kenaikan tingkat ke yudansha 1, sebaiknya sering latihan biar lulus saat ujian." katanya mengalihkan pembicaraan.

"Ya Pey, saya usahakan." jawabku sambil meyakinkan diri untuk konsisten lagi berangkat latihan. Minimal aku harus bisa mencapai Dan 1 tidak perlu terlalu tinggi sampai ke puncak angka sembilan atau sensei.

"Ngomong-ngomong sudah dapat kerja atau lanjut kuliah?" tanyanya kini berganti ingin mengorek tentangku. Pasalnya dulu aku pernah memberikan jawaban mengambang, ketika dia bertanya rencanaku setelah lulus nanti.

Bagaimanapun waktu itu aku tidak bisa langsung menyatakan ingin bekerja sementara orangtua menginginkan aku melanjutkan kuliah. Pokoknya waktu itu aku masih seperti remaja labil yang mencari identitas diri.

"Lanjut kuliah, Pey." sahutku. "Sambil mengusahakan sesuatu."

"Sesuatu apa itu?" tanyanya seperti sedang menggodaku.

"Bisnis kecil-kecilan," tanggapku sebelum timbul prasangka lain.

Pesanan makananku datang. Senpai Grisel terlihat melayangkan pandangan ke arah belakangku.

"Senpai mau pesan juga?" tanyaku mumpung Mas Pelayan masih menyajikan makanan.

"Enggak, La. Silakan menikmati. Aku baru saja makan di atas." kata Senpai Grisel mengacu pada area foodcourt.

"Memang pacarnya lagi ke mana, Pey?" godaku. "Mari makan, Pey."

"Mampir toilet dia," balasnya sambil tersenyum. "Nah, itu dia."

Aku tidak sempat menoleh karena mulutku telah telanjur beradu dengan sendok. Mustahil melepaskannya, karena mi ramen yang masih teruntai panjang. Dan, saat itu seseorang telah berdiri di samping meja. Aku mendongak dengan mi yang masih menggantung di mulut. Sungguh pose yang sangat tidak cantik dihadapan satu orang yang pernah singgah dalam hidupku.

Spontan aku menyedot semua mi hingga terasa ada yang menyangkut di tenggorokan. Aku terbatuk-batuk setelahnya. Lalu secara tidak terduga, seseorang yang berdiri itu menyodoriku botol air mineral yang sudah terbuka tutupnya.

"Minum ini," ucapnya ketika tanganku menyentuh gelas yang berisi jus.

Sambil terbatuk-batuk aku melihat ke arah Senpai Grisel yang justru menatapku khawatir. Dia menganggukkan kepala seolah setuju pria yang menjadi pacarnya itu menyodorkan air minum untukku.

"Cepat minum!" buru Senpai Grisel.

Tanpa ragu lagi, aku segera meraih botol itu. Meneguknya hingga batukku mereda.

"Terima kasih," ucapku dengan suara yang masih serak.

"Pelan-pelan, La. Kalau makan." ucap Senpai Grisel kali ini menahan geli.

"Lain kali juga pesan air putih, selain memesan jus." pria itu ikut bicara.

Aku mengangguk sembari berdeham untuk menghilangkan sisa riak di tenggorokan. Mataku sekilas menatap pada pacar Senpai Grisel yang saat ini sudah bisa kupastikan sebagai Senpai Ian.

"Nah, ini dia tunanganku." kata Senpai Grisel sambil kedua tangannya membuka setengah miring ke atas. Bias memerah bersemu di area pipinya.

"Cocok," komentarku bukannya mengucapkan selamat atau ungkapan ikut berbahagia. Tak lupa senyum mengutas yang tidak dapat kuungkapkan artinya. Entah itu senyum senang, senyum hampa atau justru senyum sesal.

"Ayo, Sey!" ajak Senpai Ian terlihat tidak nyaman berada di sekitarku. Dan caranya memanggil Senpai Grisel, sungguh terasa menampar pipiku.

Senpai Grisel terlihat memanyunkan mulutnya, "Ya, deh." sahutnya seraya berdiri. "Kami pulang dulu, La." pamitnya. "Hati-hati jangan tersedak lagi." derunya sebelum melangkah dengan menggamit Senpai Ian.

Aku menoleh mengikuti langkah keduanya. Secara tidak terduga, Senpai Ian ikut menoleh padaku. Sedetik aku bingung mau bereaksi bagaimana, mengalihkan bola mata seolah tidak melihat, langsung ambil gerakan memalingkan wajah dengan cepat, mencoba tersenyum menggoda atau menganggukkan kepala tanda hormat dan beramah-tamah.

Akhirnya aku memilih satu gerakan yang wajar dengan cara menangkupkan kedua tangan di depan dada, teriring kepala yang menunduk hormat sambil menyerukan; 'hosh!' secara lirih, sebagaimana salam sapa antar sesama kenshi. Senpai Ian membalas dengan anggukan kepala.

Selepas mereka hilang dari pandangan mata menuju tempat parkir mobil, aku menjadi tergugu. Mencoba mencerna pemandangan mesra di depan mata. Melupakan mi ramen yang seharusnya menggoda saluran cerna.

Tiba-tiba tubuhku melunglai. Adakah dia sedang membalas dendam padaku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top