Tertangkap Mencuri Ide

Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan kelihatan. Kalau boleh aku mengandaikan demikian, meski arti pepatah itu merujuk pada kesalahan sendiri yang terlupakan justru membesarkan kesalahan orang lain. Pada kasusku saat memakai pepatah itu karena aku benar-benar melupakan Bu Talim yang pernah menganyam bungkus bekas minuman dalam rangka pemberdayaan ibu-ibu di lingkungan RT kami.

Kenapa aku bisa melewatkan hal tersebut. Padahal Bu Talim yang merupakan ketua Dawis PKK. Yang sudah pasti bisa mengajak ibu-ibu Dawis lain membuat kerajinan dari bekas bungkus minuman atau bungkus makanan lain.

"Iya, memang pernah ada pemberdayaan pembuatan tas, dompet dengan bungkus minuman itu. Tetapi setelah semua membuat itu, hasilnya bingung mau didistribusikan kemana? Tas dari bekas plastik itu kurang menjual." kata Bu Talim ketika aku mengutarakan niatku ingin mengembangkan lagi kerajinan dari barang bekas.

"Begitukah?" komentarku seketika merasa pupus.

"Kecuali kalau ada yang mau bantu pasarkan," ucap Bu Talim. "Tapi kalau hanya sebatas model dan bentuknya seperti itu, jarang yang mau beli. Masih kalah dengan tas-tas buatan pabrik."

Aku manggut-manggut sambil memperhatikan tas buatan tangan Bu Talim yang bentuknya sangat sederhana. Juga mengamati tas belanja yang bisa digunakan untuk ke pasar. Sekilas memang kurang menjual. Pangsa pasarnya paling hanya untuk ibu-ibu sekitar.

Mau bagaimana lagi. Aku seperti sedang bertemu dengan jalan yang buntu. Mau nekat meloncati tembok, rasanya tidak mungkin tanpa alat yang bisa membantu. Akhirnya aku balik kanan dan pulang.

Berkali-kali aku menghela napas. Mataku menatap lurus ke depan menyaksikan isi meja satu-satunya yang ada di kamar. Foto kebanggaan saat aku mendapat medali emas dalam ajang Pekan Olahraga Provinsi Jawa Tengah, Porprov Jateng bersama Senpai Ian terpaksa aku turunkan dari meja. Menyisakan tumpukan buku diktat kuliah baru serta tas mika dari mama Alde serta dompet yang Erli buat dari bungkus kopi yang berwarna biru muda.

Dompet buatan Erli terlihat jelas meski berada di balik tas mika yang kubiarkan tanpa kantungnya. Lama-lama, makin aku memperhatikan tas dan dompet itu, makin jelas bagiku bahwa keduanya bisa menjadi jodoh yang serasi.

Aku segera bangkit dari ranjang lalu meraih dua benda itu. Dompet Erli ternyata bisa langsung masuk ke dalam tas mika tanpa kendala. Sejenak aku menimangnya. Keduanya membentuk satu paduan yang menurutku cukup cantik. Tidak ada salahnya kalau menjodohkan mereka.

Aku pun mematutnya di depan cermin yang menempel pada lemari pakaian di sisi kiri meja.

"Bagus," bisikku. "Tidak terlihat murahan."

Lalu hari berikutnya aku memakainya untuk kuliah. Di luar dugaan banyak mata yang memperhatikan tas hasil rekayasa asal. Malahan teman kuliahku ada yang merespon tas yang memang baru kupakai sekarang.

"Ih, tasnya lucu." kata Farna yang melewatiku saat hendak masuk ke ruang kelas. Dia lalu membolak-balik tas transparan yang menampakkan jalinan bungkus salah satu merek kopi yang punya warna biru terang. "Kamu beli di mana? Eh, tunggu. Ini tas Pasha?" Farna menatapku seakan tidak percaya. Farna ini sebenarnya bukan teman dekatku.

Bahkan dia pernah berceloteh mengenai kebiasaanku yang memungut botol bekas minuman di tong sampah. Dan menyatakan; apakah aku enggak jijik?

"Eh?" aku sendiri kaget karena Farna tahu merek tas yang kupakai.

Farna menunjukkan gantungan asesoris yang ada di tali selempang. Aku baru teringat kalau semua tas Pasha memang terdapat gantungan yang terbuat dari besi berbentuk bunga dan bertuliskan Pasha di tengahnya.

"Ya, seperti itulah." aku meringis.

"Berapa harganya?" tanya Zaskia yang merupakan teman dekat Farna.

"Duh, lupa." sahutku malas menanggapi soal harganya.

"Di sana masih ada enggak ya?" tanya Farna.

Aku mengangkat bahu.

"Nanti kita coba ke sana." kata Zaskia menggamit Farna mengajaknya masuk ke kelas.

Bersamaan dengan itu Oliv teman dekatku datang. Dia memang selalu berpesan agar aku menunggunya sebelum masuk ke kelas. Katanya tidak pe-de kalau masuk kelas sendirian.

"Mereka tadi ngapain? Mengolok-olok kamu lagi?" tanya Oliv dengan wajah berkerut-kerut tidak senang.

"Enggak," sahutku singkat. "Yuk, masuk. Keburu dosennya datang." ajakku menarik tangan Oliv menuju pintu.

"Ngomong-ngomong, tasmu baru?" tanya Oliv yang menyadari tas yang kupakai hari ini bukan tas butut yang biasanya.

"Yoih," balasku sembari menaikkan alis. "Lucu, kan?"

"Bagus, beli di mana?" bisik Oliv memburuku, mengikuti masuk pada deretan bangku nomor dua dari depan.

Sebenarnya aku ingin duduk di tengah atau belakang. Tapi kalau sudah mendekati jam dosen datang, pasti bangku-bangku tersebut sudah penuh. Tersisa bangku deretan terdepan. Mau bagaimana lagi, Oliv seperti sudah tersetel tidak bisa datang awal.

"Sebaiknya kamu jangan tahu, nanti bisa pingsan." ujarku sambil mengerling pada Oliv.

Wajah Oliv sudah cemberut. Dia lalu menarik paksa tasku.

"Ini Pasha KW berapa?" tanyanya setelah melihat gantungan tas yang tersemat.

"Kalau aku bilang asli, kamu pasti nggak percaya."

Oliv menggeleng. "Memangnya kamu punya duit?"

"Kalau aku bilang ada yang kasih?"

"Siapa yang ngasih tas itu? Pacar? Calon pacar?" berondong Oliv.

"Nggak dua-duanya," sahutku sambil menempelkan jari telunjuk ke mulut karena dosen yang mengajar Ilmu Manajemen sudah nongol di ambang pintu.

Oliv menatapku dengan mata yang menjengit curiga. Aku pun membalasnya dengan mulut menjepit lebar ke samping kanan-kiri. Tak lupa ibu jari menunjuk dosen yang telah memberi salam.

Hari berikutnya giliran Erli yang menganggap tasku cukup unik. Dia bilang jadi ingin punya tas yang sama sepertiku. Menimbang ada beberapa orang yang tertarik dengan padu padan tas tersebut, membuatku ingin mencari tas mika yang murah lalu mengkaryakan Erli untuk membuat bagian dalam sebagai kantungnya.

Namun, sebelum itu aku ingin menghimpun berbagai macam bentuk tas yang bertebaran di mal. Barangkali ada tas lain yang bisa menjadi inspirasi pembuatan tas dari bahan bekas tetapi menghasilkan barang yang berkelas.

Kalau tas mika transparan yang harganya miring, dan bisa dijual kembali dengan tambahan kantung dari plastik bekas minuman, aku sudah mencari secara daring. Agak susah mencari tas mika model selempang. Model tersebut termasuk tas yang sudah pantas masuk museum. Kebanyakan tas mika sekarang digunakan untuk mewadahi hantaran, dengan model jinjing.

Aku memulai ekspedisi pencarian berbagai model tas dari toko tas di lantai terbawah. Selama perjalanan tidak ada yang istimewa. Maksudnya terlalu biasa tidak memberikan ide untuk memadu padankan dengan material daur ulang.

Pokoknya semua toko tas aku jelajahi. Sampai akhirnya di lantai tiga aku menemukan tas dari kain tenun yang dilekatkan pada kulit sintetis. Melihat itu aku menepuk kepala dekat kening dua kali. Menyadari kapasitas otak yang minim, kenapa dari tadi tidak terpikirkan untuk menggabungkan plastik bekas bungkus minuman dengan material kulit atau kain.

Diam-diam aku memfotonya. Tentu setelah tengok kanan-kiri memastikan tidak ada pramuniaga yang memergokiku mengambil gambar tas tenun warna merah berbalut kulit warna hitam. Entah mengapa dadaku berdebar kencang. Aku seperti sedang melakukan satu kejahatan besar, padahal hanya memfoto. Tahu sendiri kan, seringnya ada toko yang melarang pelanggan mengambil foto barang dagangannya.

Perjalananku berlanjut hingga ke lantai teratas. Pada sudut yang sepi aku menemukan toko tas yang menampilkan berbagai macam tas unik. Salah satunya tas yang bagian luarnya terselubung jaring.

Senyum nakal tertampil kembali. Aku mencari kesempatan saat pramuniaga lengah lalu mengambil foto tas jaring tersebut. Kondisi dadaku telah terkondisikan. Mungkin karena kesempatan pertama mencuri gambar berhasil, kali ini aku sedikit banyak bisa menguasai keadaan.

Akan tetapi pada jepretan kedua, sebuah dehaman terdengar mengancam. Jantungku langsung terasa meloncat keluar. Aku tolehkan kepala ke sumber suara, dengan mulut yang berusaha tersenyum, meski lebih menyerupai seringai malu dan mencelos.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top