Tersebab Diri Ini

"Ibu, Soraya Pasha, kan?" ulang Erli kali ini matanya bercahaya seperti sedang menunggu bintang jatuh.

Giliran aku yang menunggu dengan cemas. Khawatir Erli salah mengenali orang dan mamanya Alde tidak berkenan. Satu hal yang pasti, terus terang aku juga tidak tahu nama dari mamanya Alde ini.

"Eh?" Mama Alde tidak bergerak kurang lebih sedetik. Layaknya komputer yang sedang nge-hang. Detik berikutnya senyum simpul melambai ke arah Erli. "Kamu tahu Soraya Pasha?" Keningnya berkerut sekarang.

"Iya, saya dulu suka banget sama Soraya Pasha. Cantik banget. Suaranya juga bagus." Erli mengatakan itu dengan tersipu-sipu.

"Umur berapa kamu waktu itu?" tanya Mama Alde.

"Tujuh tahun kalau tidak salah." kata Erli. "Saya malah hafal lagu Cinta Tak Biasa."

"Oh ya? Itu hampir seumuran dengan umur anak saya." Mama Alde memajukan tubuhnya ke depan mengarah pada Erli. Lengan sikunya menumpu di paha sementara telapak tangan menyangga dagu.

Lalu lirih dari mulutnya berhembus satu nada yang sama sekali asing di telingaku. Akan tetapi Erli bisa mengikuti lirik nyanyian itu.

Aku tengak-tengok memperhatikan keduanya yang sudah duet menyanyikan satu lagu yang isinya tentang mencintai seseorang yang tidak biasa. Termasuk di dalamnya, ada satu syair yang berbunyi; tidak ada yang salah dengan cinta, hanya waktu yang kurang tepat saat menghadirkan rasa.

Sepertinya mama Alde dan Erli hanya menyanyikan bagian reffrain-nya. Karena mereka berdua menyanyikannya tidak terlalu panjang. Keduanya lalu tertawa.

Selanjutnya mamanya Alde menghela napas. Erli sendiri menutup mulutnya terlihat sangat antusias juga mengandung rasa tidak percaya.

"Sungguh, Ibu ini Soraya Pasha?" Erli ingin meyakinkan kembali bahwa dugaan tidak salah.

Saat aku menoleh pada mamanya Alde, sebuah anggukan kecil beserta senyuman lebar terbentang hingga menjangkau hati Erli.

"Ah!" pekik Erli tertahan yang sempat membuatku terlonjak. Belum lagi aku sadar atas keterkejutanku, Erli sudah melompat menghampiri mama Alde. Lututnya beradu keras dengan lantai saat dia meraih tangan wanita yang mengakui sebagai Soraya Pasha, untuk minta salim kembali.

Mama Alde tergelak gembira. Dia menggenggam tangan Erli erat. Aku sendiri bengong melihat adegan itu.

"Saya sama sekali enggak menyangka kalau dulu punya fans anak kecil. Terima kasih ya," ucap Mama Alde memandang Erli dengan takjub. "Nah, ayo, duduklah kembali."

"Boleh saya minta tanda tangan Ibu Soraya Pasha?" Erli masih belum beranjak.

"Boleh, di mana saya harus tanda tangan?"

"Duh, saya nggak bawa foto Soraya Pasha. Saya ada foto Ibu di buku agenda saya sewaktu sekolah." Wajah Erli terlihat murung.

"Li, tasmu ini, tas Soraya Pasha." tunjukku pada Erli. Aku memberi ide tidak langsung yang maksudnya, kenapa tidak minta tanda tangan di tas merek Pasha yang saat ini sedang dipakainya.

"Wah, benar." Erli melonjak girang, mengambil tasnya yang tergeletak di kursi di sampingku.

"Ini nggak pa-pa kalau dicorat-coret?" Mamanya Alde atau Soraya Pasha memastikan pada Erli yang mengangguk seperti anak anjing yang manis.

"Sebentar saya ambil pena dulu." Bu Soraya bangkit bersamaan dengan Erli yang melangkah menghampiri tasnya.

Tak lama kemudian wanita yang rambutnya berwarna kemerahan itu telah duduk di tempatnya kembali sembari memegang tas yang merupakan produknya. Soraya Pasha mendadak ragu. Dia membolak-balik tas milik Erli dari sisi ke sisi. Tampak sekali tidak rela tas buatannya terdapat noda atau coretan meski itu tanda tangannya.

"Bagian belakang tas, nggak apa-apa Bu." kata Erli meyakinkan Bu Soraya yang segera mengerutkan mulutnya.

"Baiklah," putus Mamanya Alde kemudian. "Duh, jadi grogi saya." ucapnya sambil mendekapkan tangan kanannya yang memegang pena ke dada. "Bismilah,"

Bersamaan dengan ucapan basmalah, torehan huruf S yang tidak terlalu besar dan tercoret dua garis tegak lurus, mirip lambang uang dolar. Kemudian pada garis tegak lurus kedua, berakhir menjadi kaki yang membentuk huruf P.

Bu Soraya menghembuskan napas lega sekaligus puas. "Tidak terlalu buruk." ujarnya menimang tas yang memuat tanda tangannya pada bagian tengah tas.

"Makasih, Bu." Erli menerima tasnya, lalu memeluknya erat. Setelah mengucapkan terima kasih berulang-ulang, dia berjalan dengan berjingkat riang kembali ke tempat duduknya.

"Oh ya," Mamanya Alde memaling padaku. Tampaknya dia teringat maksud dan tujuan memanggilku kemari. Euforia bertemu dengan fansnya seolah punah seketika. Wajahnya kali ini berubah serius. "Ini tentang Alde," Mata Bu Soraya menatapku tajam.

"Iya, bagaimana?" tanggapku penasaran. Meski demikian aku merasa sedikit tegang, sehingga kepala kutolehkan cepat ke arah Erli yang masih mengagumi tanda tangan Soraya Pasha.

Wanita yang menurutku terlihat masih berumur tiga puluhan itu menghela napas. "Dia sungguh anak yang keras kepala." keluhnya. "Meski dia tidak pernah bilang musabab luka-lukanya kala itu, tetapi saya dapat menduga semua itu ulah dari saudara tirinya."

Aku mengangguk-angguk. Memahamkan kata-katanya.

"Nak Shaula tahu tentang itu?" tanya mamanya Alde setelah melihat reaksiku.

"Alde pernah cerita sama saya." ungkapku.

"Begitu?" Bu Soraya Pasha mengganti posisi tubuhnya yang semula menyilangkan kaki, kini kedua lututnya bertemu dengan rapi. "Tetapi saya tidak menyesal telah menikah dengan papanya Alde. Biar orang mau bilang apa, saya tulus cinta sama pria itu. Dan, saya juga tidak bermaksud merusak rumah tangga orang. Yang jelas saya juga sudah baik-baik minta restu sama istri pertamanya."

Aku menanggapi cerita mamanya Alde dengan meringis serba salah. Hatiku segera membentuk percabangan yang membingungkan.

Haruskah aku membenarkan perkataan wanita yang bila sekarang ini sudah pasti akan terlabeli pelakor. Membenarkan kalau cinta itu bisa datang tanpa disangka, tanpa bisa kita mencegahnya seperti lagu yang baru saja Erli dan Soraya Pasha nyanyikan. Dan, seharusnya si istri pertama bersikap bijaksana. Mengingat ada itikad baik dari calon istri kedua meminta restunya.

Akan tetapi, sisi hatiku yang lain berujar; itu hanya teori yang indah. Bahkan wanita solehah pun dalam hati kecilnya pasti tidak mau membagi suaminya. Tidak usah jauh-jauh. Kalau sampai bapakku menikah lagi, belum tentu aku mau menerima keputusan itu. Mungkin aku juga akan meneror perempuan yang kuanggap telah merebut salah satu orang tuaku.

Berbeda denganku yang kini tengah berada di persimpangan jalan. Erli justru berapi-api mendukung Soraya Pasha, bahwa menjadi istri kedua itu bukan dosa. What? Aku sungguh terperangah mendengar penuturan Erli. Apa karena yang sedang berkisah idolanya hingga dia mengamini begitu saja?

"Kami sudah banyak mengalah. Kami tidak meminta harta berlebih. Bahkan usaha toko tas saya itu dimulai dari toko kecil biasa. Waktu itu saya hanya meminta modal yang kecil. Karena saya pikir, setelah saya punya penghasilan dari berjualan tas, setelah saya keluar dari dunia hiburan, saya tidak perlu terus merongrong minta uang pada suami. Alhamdulillah toko tas saya bisa berkembang dengan sangat baik sampai bisa menghidupi kami berdua. Papa Alde tidak pernah mengirim uang sejak Alde masuk SMA."

Bagian ini aku baru bisa mengangguk-anggukan kepala lagi mengagumi daya upaya wanita bernama Soraya Pasha. Dia bahkan berhasil membuat brand tas sendiri. Aku suka pada tipe wanita mandiri yang tidak manja terus merengek minta uang pada suami.

Tidak perlu berkarier hebat pada suatu perusahaan atau instansi. Cukup mengelola usaha sendiri saja, sembari mengurus rumah tangga, kupikir akan memberi kehidupan yang lebih bermakna.

Bukankah kodrat perempuan itu sejatinya terumuskan melekat pada tubuhnya. Merujuk pada keniscayaan reproduksi biologisnya. Yang mana dia akan mengandung anak, melahirkan hingga menyusui. Semua itu memberikan ruang gerak yang terbatas tidak sebebas kaum adam. Sehingga ranah yang tepat adalah tidak boleh terlalu jauh dari rumah.

Bagaimanapun perempuan itu dapat dikatakan pilar dari sebuah rumah tangga. Kokoh tidaknya sebuah rumah tergantung pada peran wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.

Walaupun, tidak kupungkiri. Aku tetap merasa kagum dengan wanita yang memiliki karier tinggi di suatu perusahaan atau instansi dan kehidupan rumah tangganya aman Sejahtera.

"Yah, tapi mau gimana lagi. Istri kedua itu selalu dianggap pengganggu." desahan berat terdengar dari mulut mamanya Alde. "Oh ya, sama seperti sebelumnya. Kali ini saya sama sekali tidak bisa mencegah saat Alde nekat mendatangi keluarga suami demi mengambil mobil dan juga katanya tas kamu ya?"

"Ee—iya." sahutku sedikit tergeragap.

"Sebenarnya kalau cuma mau ambil mobil hadiah dari papanya itu, saya pasti akan melarangnya dengan keras. Berhubung ada hal lain yang juga harus diselamatkan, yah, mau gimana lagi." lanjut mamanya Alde dengan pandangan mengambang ke arah pintu keluar.

Aku menahan napas merasa bersalah.

"Semoga kali ini dia kembali dalam keadaan baik-baik saja, tidak babak belur atau hampir mati seperti sebelummya." Seutas senyum mengarah padaku dengan isyarat yang mengatakan bahwa kepergian Alde kali ini tersebab diriku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top