Seperti Tertangkap di Tengah
"Sudah bangun?" Sebuah suara yang halus terdengar ketika mataku mulai terbuka. Aku segera menoleh ke arah sumber suara.
Apakah aku sedang ada di surga? Satu wajah yang menyilaukan membuatku ternganga. Apakah dia ini bidadara?
"Syukurlah, kamu baik-baik saja." Suara lain yang lembut membuatku menjadi tersadar bahwa aku masih di bumi.
Ah, benar saja. Mana mungkin Shaula yang penuh lumpur dosa bisa langsung masuk surga. Diriku ini pastinya dicuci dulu sampai bersih baru bisa menghirup bau surga. Kecuali aku punya tiket masuk khusus melalui suatu amalan maha tinggi yang bisa menghapus semua dosa.
"Mama, eh, Mamanya Alde?" aku mengucek mata. Di samping Soraya Pasha, duduk seorang yang bukan Alde. "Edo? Kok kamu bisa?" Jari tanganku sudah bergerak dari Soraya Pasha ke Edo.
Dan, wajah berkilau yang tadi kusangka bidadara itu Edo. Duh, ada apa sih, denganku? Kenapa bisa berhalusinasi tidak jelas semacam itu.
"Dia yang menolongmu lho. Dia juga yang membawa kamu ke sini." kata Soraya Pasha menjelaskan sesuatu yang sedikit banyak sudah bisa kuduga.
Akan tetapi itu sama sekali tidak menjawab benang merah yang menghubungkan antara Edo dan Alde, serta alasan mereka membawaku ke rumah Soraya Pasha, bukannya mengantar pulang.
"Kamu berat, tahu." cetus Edo ketika mataku menatapnya yang pada detik itu terlihat sedikit memerah.
"Memangnya kamu bisa menggendongku sendiri?" ujarku justru menyangsikan keperkasaan Edo.
Mengingat ini bukan film atau drama pasti keduanya bergotong-royong mengangkatku hingga kemari. Sesuai pengamatan dalam real life, kalau ada orang pingsan biasanya tidak ada yang akan mengangkat sendirian. Selalu ramai-ramai, seperti sedang menjunjung tinggi semangat gotong-royong yang merupakan jiwa, karakter bangsa Indonesia.
"Berat badanku lima puluh kilo gram." aku menambahkan informasi.
"Pantesan berat banget." cetus Edo serupa salakan. "Harusnya kamu berterima kasih sama aku. Kalau tidak ada aku kamu pasti sudah...."
"Sst," Soraya Pasha menghentikan ucapan Edo. "Yang penting semua selamat. Saya juga lega akhirnya Alde mau membuka mata tidak lagi ngotot meminta haknya."
"Maksudnya?" tanyaku tidak mengerti.
"Jadi—" Mata Soraya Pasha menatap Edo, lalu kembali padaku. "Orang-orang yang kemarin menculik kamu, mereka suruhan saudara tiri Alde."
"Ah, masih berseteru rupanya." desisku. "Apa mereka masih menginginkan mobil Alde?" lanjutku ingin memastikan.
"Termasuk sertifikat tanah dan bangunan tempat kamu disekap." imbuh Mama Alde. "Padahal Alde berencana akan membangun peternakan di sana. Ya, mau gimana lagi." Soraya Pasha menghela napas. "Belum rezeki Alde. Lagipula setelah semuanya diserahkan, saya pikir tidak akan ada yang terluka lagi."
"Kepala Alde benar-benar seperti kepala banteng, keras dan selalu ingin menanduk tidak peduli dirinya akan hancur." Edo memberi keterangan seolah dia tahu benar tentang Alde.
"Kamu sama Alde berteman?" Aku langsung bertanya ketika ada momen yang tepat untuk mengetahui hubungan keduanya.
"Mereka berdua saudara sepupu." Soraya Pasha yang menanggapi.
Usai mendengar pernyataan dari Mamanya Alde, mulutku terasa menguarkan senyum ganjil. Perpaduan antara terkejut, takjub juga mencelos.
"Dia ini ponakan kesayangan saya." imbuh Soraya Pasha.
"Kalau Fibby dengar dia bisa ngamuk, lho Tante." tanggap Edo membicarakan tentang adiknya. Aku tahu Fibby karena saat kami dulu kelas tiga SMA, adik semata wayangnya itu menyusul menjadi siswi SMA yang sama dengan kami.
Waktu itu, kami masih jadian. Lalu tiga bulan kemudian kami putus. Fibby sempat mempertanyakan kenapa kami sampai berpisah. Aku hanya bilang ingin fokus pada ujian sekolah. Aku sama sekali tidak menyinggung perihal Edo yang mendua dengan sahabatku.
Jadi kalau kalian bertanya bagaimana perasaanku pada Edo sekarang, apakah tidak merasa sakit hati? Hmm, kalau soal sakit, sudah tidak terasa. Tetapi, sebagaimana sel darah putih yang melindungi tubuh dari kuman penyakit. Perasaan juga punya metode perlindungan dari sakit melalui bayang trauma guna melindungi diri. Tak heran bila aku pada akhirnya bersikap apatis terhadap sesuatu yang berbau cinta romansa, sehingga tanpa sadar menyakiti hati yang lain.
Meski tak kusangkal ada kalanya aku menginginkan cinta yang membara. Tetapi ketika cinta yang sebenarnya datang, aku justru melangkah mundur berusaha menghindar. Seperti sedang melindungi hati yang pernah terluka.
"Eh, jangan salah. Justru Fibby keponakan Tante yang ter—sayang." Soraya Pasha menekankan kata terakhir.
"Iya, deh. Mentang-mentang dia ponakan perempuan satu-satunya." Edo terlihat merajuk. Ekspresi itu sangat aku kenal saat kami masih pacaran. Wajah itu, membuatku harus melakukan apa saja yang dia maui.
Ya, seperti yang pernah kubilang. Terkadang aku sering berpikir, dulu itu aku berstatus pacarnya atau asisten pribadinya.
"Oh ya, gimana kamu dan Alde tahu aku sedang diculik?" Sebuah pertanyaan yang sedari semalam menggelitik terurai juga.
"Kebetulan aku melihatmu saat masuk ke rumah makan yang sudah tutup lama. Yah, aku jadi ingin tahu apa yang akan kamu lakukan di tempat kosong tersebut. Jangan salah paham, itu semacam firasat. Aku merasa ada yang aneh dengan gerak-gerikmu. Aku sama sekali tidak bermaksud menguntitmu begitu melihatmu saat itu."
Aku mengernyitkan kedua ujung alis bagian dalam. Ada bagian pernyataan Edo yang terkesan janggal. Seharusnya dia tidak perlu menambahkan keterangan tentang penguntitan. Justru itu memberi kesan kalau dia memang sedang menguntitku. Apapun alasannya.
Meski tetap saja aku merasa bersyukur, keisengan Edo yang ingin tahu apa yang kulakukan di tempat tersebut justru membawa berkah keselamatan bagi semua.
"Terus?" tanggapku ingin tahu kelanjutan cerita Edo.
"Tak lama setelah itu, mobil hitam keluar. Tapi kamu dan motormu sama sekali tidak terlihat segera keluar, karena penasaran aku masuk ke area rumah makan yang sudah bangkrut itu, menemukan motormu terparkir sendiri dan tidak ada tanda-tanda keberadaanmu."
"Jadi kamu langsung menduga aku diculik?" aku cukup kagum dengan intuisi Edo yang sama sekali tidak terduga.
Edo menggeleng. "Aku sempat berpikir buruk tentangmu. Maaf, kupikir kamu pergi sama cowok untuk berkencan ke suatu tempat. Yah, mobil yang keluar sebelumnya kan mengarah ke Baturaden."
Sudut bibirku terangkat sebelah. Tega sekali Edo menduga yang bukan-bukan. Dia sangka aku wanita murahan? Terlalu! Kalau tidak ada Soraya Pasha, pasti aku sudah mendampratnya.
Dan lagi, cerita Edo belum selesai. Aku mendiamkannya memberi kesempatan agar dia memberi keterangan lebih lanjut.
"Aku melanjutkan perjalanan ke tujuan semula." Edo meneruskan rentetan peristiwa yang melatarbelakangi musabab dia tahu ada yang menculikku. Setelah menunggu tidak ada komentar yang keluar dari mulutku.
"Pulangnya aku lewat Rumah Limasan lagi. Ehm," Edo mengalihkan pandangan matanya sejenak seperti salah tingkah. "Aku mengecek motormu lagi. Ternyata motormu masih ada di sana. Lalu aku pulang."
Aku menelengkan kepala ingin menangkap wajah Edo yang menunduk dengan saksama. "Kamu pasti berpikir yang aneh-aneh lagi." tebakku.
Edo menghela napas. "Begitu aku sampai rumah, Alde meneleponku." ucap Edo tidak menanggapi terjangan sangkaanku. "Dia meminta bantuan karena temannya yang bernama Kalajengking katanya sedang diculik."
"Kalajengking," decitku dengan air muka yang berkerut-kerut.
"Lalu kami bertemu untuk membahas temannya itu, kemudian Alde menyebut nama lain tentang temannya yang diculik itu. Aku menginterogasi Alde terkait orang yang bernama Shaula yang sempat dia sebutkan. Ciri-cirinya cocok mengarah ke kamu."
"Terus, dari mana kalian tahu keberadaanku?"
"Zaman sekarang, bukan hal susah mencari lokasi orang, asal dia bawa HP, semua menjadi mudah. Melacak HP yang hilang dicuri orang aja sekarang gampang." sahut Edo. "HP-ku ini udah dua kali hilang. Tetapi berhasil kutemukan bersama orang yang mencurinya." Senyum Edo mengembang.
Aku manggut-manggut. Kejadian selanjutnya sedikit banyak aku bisa membayangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top