Senpai Ian

Mata Senpai Ian terus menatapku. Tiba-tiba aku merasa aneh dengan tatapannya itu. Sorotnya seperti ingin menelanku hidup-hidup. Adakah sisi psikopat yang tersembunyi di dalam diri Senpai Ian. Sisi mengerikan yang tidak aku ketahui.

Hari ini dia menjamuku makan malam. Berdalih ingin merayakan kemenangan atas kejuaraan embu atau performansi teknik di tingkat provinsi. Tetapi sejatinya setelah ini dia akan mengg***k leherku kemudian membersihkan isi perutku untuk dijadikan barbekyu.

Duh, kenapa pikiranku seram sekali. Jangan-jangan aku yang psikopat.

"Ada apa, Pey?" tanyaku sebelum otakku tambah travelling ke dunia durjana.

"Sha..." Senpai Ian menghela napas. Dia menundukkan mata sementara tangannya bertaut erat. Seperti menggenggam sesuatu. Apa yang salah dengan dirinya? Apa justru aku yang ada salah sama dia?

Aku masih menunggu meski rasanya sudah hampir meledak. Mana makanannya tidak kunjung datang pula. Aku menoleh ke arah konter makanan. Tidak ada pergerakan kemari. Aku pasrah memandang pada Senpai Ian yang malam ini mendadak tidak biasa.

"Sha, apa kita bisa menjadi pasangan yang sebenarnya di luar embu?" kata-kata tak terduga akhirnya muncul dari mulut Senpai Ian.

Ah, akhirnya bisul itu pecah juga. Batinku, saking lamanya menunggu dalam perasaan tidak nyaman. Akan tetapi aku tidak mengerti maksud dari pertanyaannya itu. Tidak mau berspekulasi mengenai tujuan dari kata-katanya itu. Aku tidak mau salah sangka dan berujung malu.

"Maksudnya apa?" tanyaku kemudian.

Wajah Senpai Ian sudah seperti terbakar. Untung minuman segera datang dan aku menyuruhnya untuk minum.

"A-ayo, kita jadian." Dengan sedikit tergagap Senpai Ian melontarkan tiga kata yang membuatku loading sejenak. Sebelum tertawa terbahak.

"Itu bukan sesuatu yang lucu, kan?" kata Senpai Ian yang kini wajahnya berubah memucat.

"Ehem, maaf. Tapi candaan Senpai tadi sangat lucu." ucapku sangat berusaha menahan tawa. "Mana kamera?" aku tengak-tengok mencari anak kempo yang lain.

"Aku serius." Kali ini muka Senpai Ian malah berubah seperti manekin.

Glek! Tawa bahkan senyumku pudar. Sangat terlihat Senpai Ian tidak sedang bercanda, atau nge-prank. Aku berdeham mencoba menghadapinya dengan serius.

"Sejak kita sering berpasangan dalam kejuaraan embu, rasa itu muncul begitu saja." kata Senpai Ian dengan kepala menunduk. Tidak biasanya pria ini begitu tampak pemalu dan mendayu-dayu. Setahuku Senpai Ian itu orangnya selalu bersemangat, bahkan dia selalu menyemangatiku kalau jurus yang kuperagakan kurang gesit tertinggal beberapa detik dari gerakannya. Dia lalu akan mengajari dengan sabar agar performansi teknik jurus Kempoku menjadi mendekati sempurna.

"Aduh, kenapa jadi cinlok gini ya?" gumamku tak menjawab ajakannya. Terus terang aku bingung. Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa menerimanya. Tetapi juga sayang kalau menolaknya.

Bukan juga karena Senpai Ian tidak tampan. Menurutku selain memiliki tubuh yang bagus, liat dengan proporsisi yang sempurna. Tampang Senpai Ian juga lumayan, memiliki alis yang tegas namun berpadu dengan mata yang lembut. Dan senyumnya itu, kupikir sanggup melelehkan jajaran es di kutub utara.

"Apa kamu mau jadi pacarku?" ulangnya dengan pertanyaan beda. Kali ini kata-katanya lebih terdengar mantap tanpa keraguan.

Kini giliranku yang berada dipersimpangan jalan dan aku tidak tahu ke mana kaki akan melangkah. Sama sekali tidak ada petunjuk arah.

Aku berkali-kali mencecap jus apel pesananku hingga setengah. Padahal belum ada makanan yang masuk ke kerongkongan. Mungkin nanti aku akan menambah pesan minuman.

"Ah maaf, seharusnya aku bertanya dulu apakah kamu sudah punya kekasih atau seseorang yang kamu suka?"

Aku menggeleng.

"Jadi?" Senpai Ian menunggu jawabanku. Dalam harap-harap cemas barangkali.

"Maaf, Pei." kataku melunglai sendiri.

Senpai Ian lalu tertawa kering. Kata-kataku tadi sudah bisa membuatnya paham bahwa aku telah menolaknya. "Nggak pa-pa, Sha."

"Sebenarnya... anu...." aku urung mengatakan.

Perlukah? Sejenak aku menimbang. Tadi sempat terbersit ingin mengatakan sesuatu yang mungin bisa sedikit menghiburnya. Mengharap sedikit pengertian darinya yang mungkin bisa membesarkan hatinya.

"Kenapa?" Saat menatapnya aku sedikit melihat cahaya di sana.

"Luka itu sampai saat ini masih terasa. Takut terbuka lagi." ucapku dengan kata-kata tersirat. Entah mengapa aku merasa tiba-tiba menjadi pujangga tanpa pena.

"Luka apa?" tanyanya yang kupikir seperti pertanyaanku tadi saat dia mengungkapkan isi hatinya. "Patah hati?" tebaknya hati-hati. "Pernah sakit hati?"

Aku mengangguk pelan. Senyum kulontarkan.

"Kamu sangsi pada ketulusan hatiku?" tanya Senpai Ian.

"Entahlah," sahutku seraya menggeleng.

"Aku pastikan tidak akan menyakiti atau membuatmu patah hati." kata Senpai Ian meyakinkan.

"Maaf Pei, untuk saat ini saya ingin sendiri dan menata hati." ucapku cepat sebelum dia kembali berharap terlalu jauh.

"Kenapa minta maaf. Kamu tidak salah." Hening "Aku akan menunggumu." lanjutnya membuatku tercengang.

Sejak saat itu, Senpai Ian sepertinya tidak menyerah. Dia lebih banyak memberiku perhatian dari sebelumnya tetapi tidak bersifat memaksa. Seperti menyuruh kenshi lain mengawalku pulang hingga rumah. Tentu tidak sembarang menyuruh, menyesuaikan dengan kenshi yang rumah kosnya searah denganku. Bagaimanapun jadwal latihan kami memang di malam hari, dari pukul tujuh hingga setengah sepuluh kadang lebih.

Lalu kenapa bukan dia sendiri yang mengantar. Kupikir itu karena memang dia tidak mau memaksaku menerima kehadirannya secara canggung. Aku sangat menghargai sikapnya itu.

Atau suatu ketika, saat aku sakit. Dia pagi-pagi sudah mengirimiku bubur ayam yang dititipkan ke teman kosku. Tak lupa pesan singkat yang berisi doa agar aku segera sembuh.

Hal lain yang kupikir juga hasil perbuatannya adalah saat aku kebanan di jalan. Tiba-tiba ada orang yang mengaku pemilik tambal ban dan membantu menyeret motorku untuk diperbaiki. Awalnya sempat curiga orang itu punya modus pencurian motor. Tetapi prasangkaku menguap ketika kami sampai di lapak tambal bannya. Saat aku tanya dari mana dia tahu ban motorku bocor, dia bilang ada orang yang memberitahunya dan memberi foto sebagai bukti kata-katanya benar.

Lama-lama timbul rasa simpati pada kesetiaannya itu. Dan ketika dia menanyakan lagi tentang perasaanku, aku mengatakan sepakat! Waktu itu Senpai Ian tersenyum cerah. Wajahnya bersinar mengalahkan si bintang bumi di angkasa.

Senpai Ian orang yang sangat baik. Perhatiannya, selalu mampu membawaku tersanjung hingga ke lain galaksi. Namun, kebaikan itu justru membuatku terus merasa bersalah. Aku tidak bisa mengimbangi. Dan aku tidak mau hanya bisa terus menerima tanpa memberi.

Jika kalian protes kenapa tidak berusaha memberi? Tentu saja aku mencoba, tapi kenyataannya hatiku masih terbelenggu sembilu oleh laki-laki yang pernah mengkhianati aku, menusukku dari belakang.

Terkadang aku juga tidak paham dengan perasaanku. Apakah ini menjadi ciri seorang gemini yang susah move on dari kisah cinta masa lalu? Entahlah, aku masih kurang percaya pada perwatakan yang berkaitan dengan zodiak. Akan tetapi, entah mengapa hal itu mendekati benar, apalagi menyangkut perasaan yang bagiku sangat susah untuk menerima cinta yang baru.

Hingga suatu waktu di bulan yang katanya penuh cinta, aku memutuskan sesuatu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top