Secangkir Kenangan Manis Pahit

"Ini ada apa ya?" tanyaku sambil menyembunyikan kedua tanganku ke belakang tubuh. Pokoknya mirip anak kecil yang tidak mau diajak salaman.

"Kamu udah memaafkan aku, kan?" kata pria yang menyerahkan bunga mawar. Dia Edo. Ekspresinya menjadi terkejut atas penolakan yang kulakukan.

"Ya, tentu." sahutku lalu memandang sekilas pada Alde yang duduk tercengang.

"Terus—?" tuntut Edo. Tangannya menyodorkan kembali dengan setengah memaksa bunga mawar yang mungkin kebingungan. Setangkai bunga mawar itu pastilah sudah merasa linglung karena maju mundur tetap cantik.

"Justru aku yang harusnya bertanya, kenapa kamu memberiku bunga mawar?" balasku tidak menguntai alasan menolak mawar itu.

"Kamu menerima buket bunga mawar yang aku kirimkan?" Edo balik bertanya masih pada posisi berlutut.

"Kamu yang kirim? ulasku seperti tuduhan. "Pangeran Kesepian?" Jari telunjuk tanganku teracung pada Edo.

Pria yang memiliki tinggi 180 sentimeter itu kini membuatku mendongak saat menatapnya. Edo telah berdiri dari posisi berlututnya. "Iya, itu aku."

Tiba-tiba wajahku menjadi kebas. Aku tidak tahu apakah mulutku menyungging senyum, keningku berkerut ataukah alisku tertarik ke bawah. Yang pasti sudut bibirku terasa berkedut saat akan membuka ingin berkata-kata.

"Oh, terima kasih ya, Do." tanggapku sebagai penghargaan untuknya.

"Kamu suka mawar yang aku beri?" tanya Edo menurunkan wajahnya padaku, ingin mencari kebenaran dari mataku. Tangan Edo mengulur kembali.

"Ya, mawarnya cantik." sahutku dengan pandangan mata terarah pada sekuntum mawar merah yang menanti sambutan tanganku sedari lima menit mungkin tujuh menit yang lalu.

Kemudian gerakan tangan Edo kembali memaksa agar aku menerimanya. "Kalau kamu benar sudah memaafkan aku, seharusnya kamu mau menerima mawar pemberianku ini. Apa karena hari ini aku tidak membawa sebuket mawar."

Pundakku turun seiring desahan. "Aku udah terlalu banyak menerima mawar darimu, Do." ucapku masih enggan menerima mawar dari Edo. Tangan kananku yang menjuntai ke bawah mengepal.

"Bunga mawar bukan cara untuk meminta maaf, aku rasa. Kalau kamu sungguh merasa bersalah, sebaiknya kamu jangan mengulangi kesalahan yang sama." lanjutku ketika Edo mengernyit tidak mengerti alasan penolakanku.

Lagipula selama ini buket mawar dari Edo berakhir di tangan Erli. Selain itu aku tidak mau terlalu memberi harapan tinggi pada diri sendiri, begitu pun kepada Edo. Bukan bermaksud besar kepala. Hanya ingin menegaskan bahwa aku tidak pantas menerimanya.

Mana mungkin aku menerima mawar dari pacar orang. Meski pacarnya yang juga sahabatku pernah menikungku dengan sangat frontal. Tetapi aku tidak mungkin membalas dengan cara yang sama.

Aku bukan tipe pendendam, meski sangat sulit untuk melupakan kejadian buruk yang pernah menimpa. Aku juga bukan orang yang mudah move on dari kisah cinta yang mendalam. Namun, aku selalu berusaha bergerak maju demi mendapatkan kehidupan yang kuidamkan.

"Kami sudah tidak bersama," kata Edo membuatku membelalakkan mata.

"Kamu udah nggak jalan sama Tiara?" tanyaku memastikan. Ya, barangkali saja setelah dengan Tiara, dia pacaran lagi dengan orang lain.

"Benar," Edo memundurkan tubuhnya lalu duduk di penampang teras. Dia memaling sebentar pada Alde yang menjadi penonton setia drama kami berdua.

"Oh," Aku manggut-manggut dalam tanya kenapa mereka sampai berpisah. "Kenapa kalian pisah?" Ah, nih mulut sungguh sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Tanganku spontan membekap mulut sendiri.

Edo menggeleng lalu memandangku dengan desahan pendek. Dia juga menatapku dengan wajah seperti pencuri pakaian dalam yang ketahuan.

"Lupakan," ucapku cepat begitu menyadari pertanyaanku terdengar sok mau tahu urusan orang.

Dan, aku pikir Alde sekarang pasti sedang menghakimiku. Terkait kekepoanku yang menurutnya akut.

"Ngomong-ngomong, kalian dulu ada masalah apa?" Alde membuka mulutnya. "Tapi kalau kalian tidak ingin cerita nggak pa-pa, sih."

Sepertinya Edo tidak menceritakan tentang diriku yang pernah menjadi pacarnya. Saat pertemuan kami bertiga pasca penculikan, Edo memang mengatakan bahwa aku teman SMA-nya, beda tingkat.

Saat itu Alde sempat terlihat memicing curiga. Pertemanan siswa antar tingkat kelas terdengar agak ganjil, kecuali kami bertetangga, atau ikut kegiatan ekstrakurikuler yang sama. Nyatanya kami tidak memiliki korelasi yang demikian.

Edo ikut ekstrakurikuler basket, sedangkan aku ekstrakurikuler Pencak Silat. Rumah Alde dekat dengan kantor kecamatan, sementara rumahku mblusuk di desa.

Melihat itu aku segera menjelaskan bagaimana kami bisa berteman. Satu cerita klasik yang sungguh-sungguh terjadi. Sebelum aku akhirnya pacaran, aku pernah menolongnya dari kecopetan.

Di suatu pasar malam yang hiruk pikuk, mataku yang suka jelalatan menangkap satu gerakan tangan tidak wajar. Aku yang selalu ingin menjadi pendekar pembela kebenaran, jelas tidak tinggal diam. Apalagi begitu tahu cowok yang menjadi sasaran pencopet seseorang yang sedang kutaksir.

Setelah pencopet itu berhasil melolos dompet Edo, yang waktu itu belum kukenal, hanya jadi pengagum rahasianya, tangan si pencopet langsung aku tarik dan pelintir ke belakang. Si pencopet memberontak, tetapi mulutku dengan segera berseru; copet!

Pengunjung pasar malam yang lain tentu saja tidak tinggal diam. Mereka ikut membantu manakala si pencopet hampir memukulku sebagai upaya untuk melarikan diri. Tetapi setelah itu, sungguh aku menyesal. Orang-orang menjadi kalap menghakimi si pencopet tanpa ampun sebelum mereka menyerahkan ke kantor polisi.

Aku segera mengembalikan dompet ke si pemilik. Dia mengucapkan terima kasih tanpa kesan, malah seperti basa-basi semata. Kecewa pasti. Dalam anganku selain mengucapkan terima kasih, dia akan menanyakan namaku atau nomor ponselku.

Ya, sudahlah. Aku kembali hanya menjadi pengagum rahasia dari seberang lapangan bola basket. Kebetulan jadwal latihan ekstrakurikuler kami bersamaan. Edo bermain di lapangan bersemen, sementara aku berlatih di lapangan rumput.

Lalu suatu ketika secara tidak terduga bola yang sedang anak basket mainkan terlontar hingga ke lapangan berumput. Waktu itu aku yang dekat dengan bola, tentu berinisiatif melemparkan bola kembali pada mereka.

Senyum jahilku mengembang, sekaligus ingin mengetes bisakah aku melempar bola itu hingga ke ring basket yang jaraknya lumayan jauh demi mendapat perhatian seseorang di sana. Setelah menghimpun kekuatan hingga ke tangan, aku melemparkan bola itu dengan kuat melampaui seorang anak yang datang untuk menjemput bola.

Ajaib, bola itu tidak masuk ke ring tetapi malah menghantam wajah Edo hingga pingsan. Mata pelatih segera melotot ke arahku. Teman-teman latihan silat beberapa ada yang tertawa, ada pula yang menganga. Sementara anak basket ada yang tertawa, tetapi ada juga yang menandaiku penuh kejengkelan.

Singkat cerita tiga hari kemudian, Edo tiba-tiba datang ke kelas. Aku sudah khawatir dia akan membalas dendam. Tetapi tak dinyana dia malah mengajakku pacaran. Karena terkejut aku justru menolaknya. Hanya beberapa detik saja, sebelum aku menyadari kebodohanku telah menolak si pria idaman.

Saat Edo masih tercengang. Mungkin dia tidak menyangka ditolak cewek biasa sepertiku. Aku segera meralat kata penolakanku. 

Ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba. Seharusnya aku menerimanya, kan? Sebelum Edo berubah pikiran aku menyatakan bersedia menjadi pacarnya dengan suara yang lantang. Seisi kelas yang semula berbisik-bisik mengutuki, tiba-tiba berganti menyoraki dalam gegap gempita.

Selanjutnya sama seperti kisah drama remaja. Aku merasa bahagia memiliki pacar tanpa tahu maksud tersembunyi Edo. Siapa sih, Shaula bisa memetik bintang lapangan yang rupawan.

Kupikir itu terjadi karena Edo gegar otak akibat terhantam bola. Kenyataannya hanya aku yang mengawang ke angkasa saat bersama dia. Aku sungguh laksana budak cintanya.

Sembilan bulan aku berpacaran dengan Edo, sebelum dia berpindah melabuhkan hati pada Tiara teman sebangkuku yang manis dan imut.

Aku hanya sebagai umpan, bukan tujuan utama. Tiara yang pemalu dan hanya berkawan denganku justru sasaran tembak cinta yang sebenarnya.

Oh ya, setelah lulus SMA, Edo berpindah tempat tinggal di Purwokerto. Yang aku dengar setelah kakek-nenek Edo dari pihak papanya meninggal, keluarga Edo pindah ke kota. Mama-papa Edo berganti menunggui ibu dari mamanya yang semula tinggal bersama tante Edo yang menikah lalu ikut suaminya.

"Kami pernah pacaran." Edo menjawab pertanyaan dari Alde sebelum sempat aku menyahuti.

"Ah," Mata Alde menatap padaku seperti sedang menilai. "Kemudian kalian putus? Dan kamu ingin balikan sama dia?" Saat mengatakan ini mata Alde berpindah-pindah dari Edo ke aku, lalu berakhir dengan menunjukku.

"Enggak seperti itu!" sergahku cepat.

Mana mungkin Edo ingin kembali menjalin hubungan denganku. Kecuali dia orang yang tidak tahu malu.

"Kalau Lala mau memaafkan aku?" sambar Edo.

"Lala?" dengusku hampir bersamaan dengan Alde yang juga menyemburkan nama itu.

Suaraku lebih pada merasa tidak suka dengan panggilan tersebut. Sementara nada suara Alde lebih pada tidak menyangka aku mempunyai nama panggilan yang terkesan manis legit. Tahu sendiri, Alde sering memanggilku dengan kalajengking.

Sewaktu pacaran Edo memang kerap memanggilku Lala. Katanya itu nama panggilan sayang untukku. Mendengar dia melantunkan nama itu lagi, sekarang, membuatku merinding geli.

"Sepertinya kalian putus dengan cara yang buruk." tebak Alde menganalisis tindakan dan kata-kata Edo yang selalu mengucapkan permintaan maaf.

"Aku mengkhianati dia. Tetapi kalau dia menerimaku kembali, aku berjanji akan setia." ucap Edo yang segera mendapat cibiran dari Alde.

"Yakin kamu bisa setia?" sindir Alde telak mengungkap jati diri Edo.

"Jangan gitu, De!" tukas Edo. "Jangan menjatuhkan saudara sendiri."

"Aku nggak mau dia menjadi korban sakit hatimu lagi." Alde terkekeh.

"Kamu sendiri ngapain kemari?" tuding Edo.

"Bukan urusanmu!" sahut Alde ketus.

Pada detik itu juga, sungguh aku ingin kabur dari hadapan mereka berdua. Posisiku kini seperti penonton yang terlibat kekacauan di sebuah arena syuting film.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top