Saat Ingin Memeluk Bintang

"Sabuknya?" Alde mengingatkan aku agar memakai sabuk pengaman.

"Oh iya," aku meringis sambil mengeluh dalam hati kenapa mesti memakai sabuk pengaman.

Dalam hal ini aku menjadi tipikal orang Indonesia yang tidak suka ribet dalam segala hal, meski itu menyangkut keselamatan jiwa. Seperti memakai sabuk pengaman saat berkendara mobil, atau mengenakan helm manakala mengendarai sepeda motor dan sebagainya kecuali perkara persampahan. Soal sampah aku termasuk idealis militan.

"Baik, mari kita lihat hujan meteor geminid." cetus Alde bersiap melajukan mobilnya.

"Tunggu," cegahku cepat sebelum Alde menginjak pedal gas.

Alde memaling padaku dengan bingung. Saat bersamaan, terdengar ketukan samar dari samping kaca Alde. Di sana berdiri Erli yang langsung memberi kode agar Alde membuka kunci pintu mobil.

Dengan pandangan masih bingung, mata Alde mengikuti pergerakan tubuh Erli yang kemudian membuka pintu mobil dan masuk.

"Hai," sapa Erli ketika Alde telah menoleh padanya dari bahu kirinya.

"Sori, aku yang mengajaknya." aku meringis lagi. Merasa bersalah edisi kedua karena tanpa meminta persetujuan Alde, aku membawa teman.

"Oh," Dagu Alde menjengit ke atas. Kebingungannya memuai berganti kerutan di mulutnya.

"Kalau melihat ramai-ramai kan asyik." dalihku atas ajakan Alde menyaksikan hujan meteor Geminid yang menurut berita akan tayang mulai pukul 19.30 WIB.

Padahal aku sudah berencana melihat hujan meteor itu di atap rumah. Camilan berondong jagung yang katanya rendah kalori, telah kusiapkan. Untuk minuman, aku sudah berfantasi akan menyeduh teh bunga telang dengan daun pepermin atau bijanggut pedas.

Sensasi pedas dingin semriwing dari peppermin itulah yang memunculkan ide menamai minuman racikanku dengan blue moon freeze. Terinspirasi fenomena blue moon yang beberapa waktu lalu kulihat.

Akan tetapi, goncangan kedatangan Alde disusul Edo. Kemudian munculnya pesan dari Alde yang katanya ingin menuntaskan percakapan kami yang belum selesai karena Edo tiba-tiba datang seperti jaelangkung. Berlanjut dengan undangan untuk melihat bintang jatuh di tempat yang lebih minim polusi cahaya. Semua hal yang tersemat di angan; ingin berkencan berdua saja bersama bintang musnah.

Aku sungguh ingin menikmati sendiri romansa hujan meteor yang akan tampak meloncat dari rasi bintangku, Gemini. Apalagi curahan hujan yang akan tumpah kali ini, lain daripada yang lain. Kalau biasanya hujan meteor disebabkan oleh komet; terbuat dari partikel debu dan es. Maka hujan meteor Geminid berasal dari asteroid; yang tersusun dari batuan.

Yang pasti setelah aku merasa Erli balas dendam padaku, karena telah mengabaikan keingintahuannya terhadap Alde dan Edo. Tepat pada detik aku menyerah dan meninggalkan pintu kamarnya. Erli justru berganti memburuku kembali.

Dan, di sinilah aku berada sekarang. Duduk manis, atau setidaknya berusaha duduk dengan manis di samping Pak Kusir eh, Pak Sopir Alde yang akan membawaku ke Bukit Bintang Baturaden.

Semula aku berniat menolak ajakan Alde. Bagaimanapun aku sudah punya rencana megah untuk menyaksikan si hujan meteor. Tetapi tidak mungkin dong, aku bilang ingin menonton pertunjukan itu sendiri di atap. Khawatir Alde malah datang tanpa undangan. Percaya diri seluas timbunan sampah yang ada di bumi, pokoknya.

Lama aku mendiamkan pesan Alde karena bingung hendak beralasan apa. Namun, Erli terus mendesakku agar menerima ajakannya tersebut. Embusan kata-kata Erli yang menggoda betapa aku bakal menyesal kalau tidak melihat hujan meteor di sana, sedikit meluluhkan penolakanku yang menurut Erli tidak beralasan.

Saat akan membalas dengan kata persetujuan atas undangan Alde. Aku malah tercetus ingin mengundang balik dia ke atap rumah. Selain berondong, aku berniat membeli martabak sebagai camilan tambahan. Untuk minuman akan kusediakan varian lain dari blue moon, yaitu blue moon snow. Bahan tambahan daun pepermin nantinya kuganti dengan susu segar.

Sudah terbayang-bayang di mata. Sensasinya pasti seperti berada di sebuah kafe. Kafe lesehan nan santai. Bersanding dengan minuman blue moon ala-ala yang dulu biasanya identik sebagai minuman beralkohol.

Mendengar keputusanku tersebut, Erli mencak-mencak tidak karuan Entah berapa kata bodoh beserta padanannya yang dia lontarkan untukku. Tak kuacuhkan dia. Lagipula aku belum memberi kepastian pada Alde. Baru menjawab; nanti saya kabari.

Siang harinya aku mendadak berubah pikiran. Setelah kucerna masak-masak, aku jelas tidak mau terjebak rasa canggung seperti yang terjadi pada sore sebelumnya, saat hanya berduaan dengan Alde. Meski aku punya misi pasti terkait tas dan Soraya Pasha, tetapi setelah percakapan itu berakhir, kami mau mengobrolkan apa? Atap yang kosong pasti akan terasa hampa, bila hujan meteornya tidak kunjung tiba.

Mendekati jam pertemuan yang terjanjikan, aku baru mengirim pesan persetujuan. Itu karena Erli bilang bersedia menemani. Tetapi dia memilih tempat yang dia maui untuk menemani. Erli memillih Bukit Bintang. Katanya di sana dia akan bertransformasi menjadi nyamuk atau apalah, sehingga tidak mengganggu kami.

Yang benar saja! Memangnya kami ke sana untuk pacaran. Bagiku meeting is business.

"Dan yang pasti, dia tidak akan pergi kalau aku tidak ikut menyertai." Erli menambahi keterangan yang menurutku tidak perlu. Hanya mempermalukan diriku.

"Begitukah?" Alde melirik sekilas padaku.

"Bukan, begitu. Sebenarnya aku sudah punya rencana sendiri."

"Bareng Edo?" tanya Alde tanpa menoleh tetap fokus pada jalanan di depan.

"Enggak," sahutku sambil menggelengkan kepala cepat. "Kenapa Edo?" dengusku serupa embusan angin semilir.

"Ya, barangkali kamu mau balikan sama dia." kata Alde menoleh padaku dengan mengutas senyum tipis.

Aku jelas terkejut. Kupikir Alde tidak mendengar kumuran kata-kata yang keluar bersama embusan napasku tadi. Dan lagi, kenapa Alde berpikir aku mau balikan sama Edo?

"Wah, itu terdengar seperti aku mau menelan muntahan sendiri." ujarku menanggapi Alde dengan menggunakan perumpamaan. Aku tidak mau menolak Edo secara brutal. Bukankah hubungan persaudaraan itu lebih kental daripada air. Alde dan Edo itu saudara sepupu.

"Jorok, ih!" Erli menoyor lenganku.

"Ya, makanya itu nggak mungkin, kan?" tolehku pada Erli.

"Perumpamaanmu, enggak banget!" rutuk Erli.

Aku tertawa mendengar keluhan Erli.

"Ngomong-ngomong, malam Minggu gini kalian nggak ada yang ngapeli?" tanya Alde membuat aku dan Erli saling pandang.

"Kalau aku ada yang ngapeli, pasti aku lebih memilih bersama pacarku." tanggap Erli yang teriring desahan berat.

"Ya, seperti itu." sahutku sambil mengacungkan jempol ke arah Erli.

Senyum tipis bernuansa geli terlihat dari mulut Alde. "Untunglah, kalau gitu. Bisa-bisa pulang dari Bukit Bintang aku ada yang melabrak."

"Aman terkendali." sambung Erli mantap.

Percakapan selanjutnya berkisar pada hujan meteor yang akan kami tonton. Termasuk harapan bisa melihat warna-warni hujan meteor Geminid. Tidak ada mendung, atau kabut asap yang menghalangi pemandangan.

Lima belas menit kemudian kami tiba di tempat tujuan. Lengkungan besi seperti keong yang menjadi ciri khas Bukit Bintang melambaikan tangannya. Alde memimpin jalan menuju kafe yang ada. Bangunan mirip topi koki transparan dan bercahaya membawa imajinasiku ke kota yang dihuni oleh para alien.

Sempat bingung kenapa Alde justru mengajak kami ke kafe, bukannya melihat hujan meteor di luar ruangan. Tadi saat masuk ke kafe aku melihat ada banyak kursi yang langsung terpapar udara malam. Aku hanya berharap bisa menempati salah satu kursinya.

Di dalam kafe terdapat meja bar bertuliskan Barista dan Acaraki. Alde tanpa kami minta langsung menerangkan. Meja bar Barista untuk memesan kopi. Sedangkan meja bar Acaraki untuk meramu jamu yang tersaji penuh inovasi. Kita bisa meminta racikan campurannya, nantinya jamu itu akan disajikan dalam teko dan gelas cantik.

Setelah memesan makanan dan minuman, yang pada akhirnya aku memesan jamu kombinasi kunyit, jahe, lemon. Sementara Erli ikutan memesan jamu racikan beras kencur pepermin. Kalau Alde dia lebih terpikat kopi robusta yang dicampur dengan cokelat. Selanjutnya Alde membawa kami keluar dan menaiki tangga yang mengarah pada jembatan yang menggantung dengan ketinggian kurang lebih dua meter.

"Aku sudah reservasi tempat di sana." tunjuk Alde pada kursi yang masih kosong pada sisi kanan penampang jembatan berwarna cokelat kehitaman.

"Kursinya hanya untuk berdua?" ujarku setelah menyadari semua kursi yang terdampar di atas jembatan hanya diperuntukkan untuk dua orang.

Kami bertiga berdiri saling pandang, dekat seperangkat meja kursi dengan warna mencolok yang telah Alde pesan. Beberapa pasang mata kontan memandang kami dengan janggal.

Alde melirik Erli yang sudah cemberut, "Tenang, nanti aku bisa ambil satu kursi lagi. Tambah satu meja lagi kalau perlu." Alde celingukan mencari meja kursi yang masih kosong.

"Itu di sana!" tunjukku pada meja dan kursi yang terletak pada belokan jembatan.

"Kalian duduklah, biar aku ambil kursi tambahannya." kata Alde lalu melesat ke arah yang tadi kutunjuk.

Dengan setengah terhuyung-huyung, Alde datang dengan kursi tambahan. Tetapi masalahnya, meja yang tersedia terlalu kecil untuk kami bertiga. Melihat Alde balik ke tempat kursi yang tadi diambilnya, aku mengikutinya siap membantu.

"Ayo, kita angkat!" ajakku ketika Alde siap mengangkat meja mini yang menurutku akan terasa ringan dan tidak merepotkan bila diangkut berdua.

"Permisi, permisi...." ucapku saat melewati pelanggan lain.

Ruang gerak tempat kami akan duduk-duduk memang tidak luas. Ya, standar luas jembatan pada umumnya.

Aku segera mengambil tempat duduk tepat di depan Erli. Alde menempati kursi yang baru saja dia ambil. Posisinya sedikit menyita arena jalan bagi pelanggan lain.

"Memangnya nggak pa-pa mengambil kursi tambahan?" Erli celingukan memandang ke arah kafe.

"Itu bisa diatur." sahut Alde santai.

"Maksudnya?"

Belum lagi Alde menjawab, pramusaji telah datang menyodorkan minuman.

"Maaf Mas, saya ambil kursi dan meja lagi." ucap Alde ketika laki-laki berkaos merah selesai meletakkan minuman kami. "Nanti bisa dihitung sekalian berapa."

"Nggak pa-pa, Mas." sahutnya. "Silakan menikmati."

"Makasih, ya." balas Alde segera.

Setelah pramusaji pergi, mataku mulai menjelajah angkasa raya. Langit terlihat hitam tanpa bias kebiruan. Beberapa kerlip bintang terlihat samar. Adakah awan mendung tengah mengurung sang cahaya bintang?

"Seharusnya sudah mulai ada yang jatuh, kan." gumamku tak jemu melayangkan pandangan ke atas.

"Sabar, Bu." balas Erli. "Yuk foto dulu." ajak Erli yang sudah berdiri pada sisi kanan penampang jembatan yang menampilkan kerlip dunia peradaban. "Tolong aku fotoin dulu, La."

Aku meraih ponsel Erli lalu mengambil gambar sobatku itu berlatarkan gemerlap cahaya yang lahir dari manusia. Lumayan bagus. Seolah di bawah sana adalah lautan cahaya.

Kami bergantian berfoto. Kadang meminta Alde memfotokan kami berdua. Lalu, saat Erli meminta Alde untuk foto bersamanya, sesuatu yang kukhawatirkan terjadi.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top