Pengembaraan Seorang Diploma

Enam bulan sebelum Triple Konjungsi Bulan, Mars, Aldebaran.

Hari ini aku sangat bersemangat. Mentari pun menebarkan hangat seiring kobar membara itu. Mau tahu ada apa, atau mengapa aku begitu bergairah dan senang gembira?

Baik, sebelum itu aku mau minta ucapan selamat dari kalian. Bagaimana akan kuceritakan? Agak malu. Pasalnya hari ini adalah hari ke-100 ajang pencarian jodohku. Kalau hitungan tahun sudah satu abad itu. Eeit, tapi jodoh ini bukan jodoh untuk dijadikan suami. Belum terpikirkan, kawan. Konsetrasiku full ke pencarian pekerjaan yang akan berjodoh denganku.

Mengenaskan sekali nasibku. Sudah mengirim beramplop-amplop surat lamaran pekerjaan. Tak satu pun yang tertarik denganku.

Pernah sekali sampai tahap wawancara saat mendaftar di LSM penyalur dana bagi orang miskin, setelah itu berhenti. Ponselku sepi lagi. Tak ada dering riang membawa berita suara pemanggilan kerja.

Apa saat wawancara aku mengatakan sesuatu yang tidak berkenan di hati pewawancara? Apa dari jawabanku, terlihat kalau aku tipe orang yang mudah tergiur uang lalu mengorupsinya? Ah, yang bener saja. Aku ini tipe orang yang baik hati dan tidak sombong, jujur, cerdas, takwa serta terampil. Silakan yang mau muntah.

Sebenarnya di mana letak kekuranganku? Dari sisi nilai, aku tidak buruk-buruk amat. IPK 3,00 dengan kelulusan tiga tahun lebih empat bulan. Mepet, sih, Masa disingkirkan begitu saja. Padahal pada syarat lowongan kerja tercantum IPK minimal 3,00.

Paling tidak lihat sisi lain dariku. Misal pengalaman organisasi atau prestasi di luar akademik. Jangan salah, meski dari segi penampilan dan otak pas-pasan, aku pernah menjabat sebagai sekretaris dan bendahara dojo tempatku latihan. Selain itu aku juga pernah jadi ketua Panitia Kejuaraan Antar Dojo Tingkat SLTA se-Karesidenan Banyumas (Catat!).

Dan satu lagi, aduh berapa kali ya, aku menang kejuaraan Kempo. Lumayan punya banyak medali. Sejelek-jelek dan sebodoh-bodohnya aku, Shaula ini atlet. Keren, kan? Sayang, keahlian itu tak bisa untuk mencari pekerjaan yang layak. Mungkin kalau aku daftar jadi satpam bisa diterima kali ya? Tetapi katanya harus sekolah satpam lagi. Padahal diriku ini sudah kebelet kerja. Kasihan orangtua di tepian Sungai Serayu sana.

Ini surat lamaran yang ke-100, menurut catatan agenda surat keluar. Pengalaman sebagai sekretaris membuatku gemar mengagendakan surat. Lalu surat masuk, kalau tidak salah cuma ada lima. Empat diantaranya jelas surat penolakan. Yang satu surat panggilan dari LSM yang kuceritakan tadi.

"Oke, ayo semangat!" teriakku memotivasi diri.

"Ada apa, La!" tanya Rili teman kosku, yang masih berstatus mahasiswa. Kami masuk kuliah bersamaan, karena Rili mengambil S1 makanya dia masih bertahan dengan statusnya sebagai mahasiswa.

Sejak tiga bulan lalu aku memang belum beranjak dari tempat kos. Masih betah. Selain masa kontrak masih tiga bulan lagi, kosku ini tergolong murah. Aku masih diberlakukan tarif lama, meski sudah naik juga, sih. Tetapi tetap di bawah tarif mahasiswa baru. Lumayan, waktu sisa kontrak kumanfaatkan buat mencari kerja.

Aku termasuk dituakan di kos ini bersama Rili. Sudah tiga generasi berganti, aku dan Rili masih saja bertahan. Dan meskipun aku sesepuh kos Pinkville, nama kosku yang bercat merah jambu__pink, statusku masih jomblo sendiri. Gea yang baru masuk kemarin sudah mengakhiri masa lajangnya. Jangan tanya soal aku.

Oke, untuk sementara kesampingkan masalah laki-laki. Mencari pekerjaan adalah prioritas utama saat ini.

Oh ya, aku alumni UNSOED diploma tiga akutansi. Orangtuaku petani di Kalisube Banyumas. Punya beberapa lahan sawah dan kebun yang ditanami salak. Dari hasil bumi itulah bapak membiayai kuliahku.

Syukur alhamdulillah aku dapat beasiswa karena punya prestasi di luar akademik yang selalu kubangga-banggakan. Atlet, atlet! Pernah ikut seleksi PON, kalah tangguh.

"Kok senyum-senyum sendiri?" Rili menghampiri lalu memeriksa keningku menyamakan dengan suhu pantatnya.

"Hush!" hardikku. "Apaan sih!"

"Habis dari tadi ngomong sendiri, terus senyum-senyum sendiri?" tuturnya lalu seenak hati duduk di jok motor, di mana aku telah siap melaju.

"Aku mau coba peruntungan lagi, siapa tahu diterima." kataku sambil menoleh ke samping kiri. Meski tidak menatap langsung Rili setidaknya samping mukaku ada interaksi sedikit dengannya.

"Cari kerja lagi?" Rili membungkukkan badan sehingga mukanya lebih banyak terpindai olehku.

"Yap! Doain kali ini berhasil ya?" pintaku.

"Melamar di mana?"

"Dealer Motor Sanjaya."

"Di mana tuh?"

"Mau tahu aja!" sergahku sambil mengusirnya dengan cara menepuk punggungnya agar turun dari motorku. "Minggir aku mau berangkat!"

Rili melompat turun. Aku sudah bersiap menarik gas, ketika dia memanggilku.

"Eh, La!" seru Rili.

"Ya?" aku menoleh sempurna ke arah Rili.

"Jangan sampai kena tilang lagi!" desisnya tapi terdengar jelas.

Weiik! Tahu saja, nih anak. Memang sudah dua kali aku kena tilang. Yang pertama karena lupa tidak bawa STNK, kedua SIM-ku kadaluarsa. Sialnya saat itu tiba-tiba di jalan ada pemeriksaan. Sebel banget, kan? Sepertinya Pak Polisi tahu sikonku. Situasi dan kondisi saat aku tak lengkap dalam berkendara sepeda motor.

"Tenang, lengkap!" sahutku sembari menarik gas lagi.

Tapi belum sukses kabur, Rili memanggil lagi. "La, tunggu!"

"Apa lagi?" tolehku yang segera mengerem mendadak.

"Bensin sudah cek? Dompet, dompet. Jangan sampai pulang kos jalan kaki."

Aku tersenyum geli. Nih, anak perhatian amat, apa sengaja mau menggugah kenangan pahit kemarin. Dasar!

"Aman!" laporku setelah terhiptotis mengikuti sarannya mengecek isi bensin dan dompet.

"Bye!" Rili meringis malah terkesan mengusirku sekarang. "Hati-hati!" serunya kemudian.

Lepas dari Pinkville aku sudah berlomba dengan kendaraan lain. Meskipun baru pukul delapan, panas sang surya mulai menyergap di antara kepul asap dan debu yang menari bebas di udara. Terasa sekali menyengat kulit muka yang menantang langsung pancarannya.

Tujuanku adalah sebuah dealer motor. Siapa tahu kali ini lolos seleksi. Kalau diterima, aku akan berseru mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa menganggur. Kata-kata itu selalu kudengungkan untuk mengusir bosan dan penghiburan diri, mungkin juga kecewa jika ditolak nanti.

Aku memarkir motor bersebelahan dengan dua sepeda motor lain pada sebuah pelataran parkir yang luas. Bangunan megah menatap dengan angkuh. Di atasnya bertahta tulisan 'SANJAYA MOTOR'. Kalau malam sepertinya tulisan itu bisa menyala. Ini dia tempat yang mau aku masuki surat lamaran pada kolom akuntan.

"Selamat pagi, Pak!" sapaku pada Bapak Satpam di pos jaga dengan ayunan tangan memberi hormat. Harusnya tidak perlu berlebihan seperti itu pakai hormat segala, tapi tanganku refleks terangkat sendiri tanpa komando.

"Pagi!" balasnya ramah tersenyum heran.

"Kalau mau memasukan surat lamaran kerja ke mana ya, Pak?" tanyaku sopan pada satpam yang duduk di luar posnya dengan menghadap meja. Di samping kanannya terlihat dua gadis yang duduk seperti selirnya.

"Oh, kalau itu nanti langsung menghadap pimpinan. Silakan tunggu dulu!" Pak Satpam yang bernama Benowo, mencuri baca dari papan nama di dadanya, menyuruhku duduk di antara dua gadis yang melamar kerja.

"Makasih!" sahutku. Sambil menghampiri kursi yang masih tersedia, aku menganggukkan kepala kepada kedua gadis lalu duduk di sebelah salah seorang yang mengenakan setelan blazer warna biru cerah. Kulitnya putih, tidak seperti kulitku yang sawo matang. Bahkan matangnya kebangetan, tetapi hitamnya manis kok. Sungguh.

Gara-gara warna kulit yang gelap, aku pernah termakan iklan mencoba berbagai macam produk pemutih. Tipu! Gerutuku kesal. Pasalnya apa yang digembor-gemborkan tidak mempan di kulitku. Tetap saja hitam pakai manis.

"Mau melamar juga?" tanyaku basa-basi untuk beramah tamah.

"Iya." balas gadis yang juga memiliki rambut panjang seperti gadis sampo.

"Daftar apa, Mbak?" tanyaku sembari memindai kebutuhan calon tenaga kerja yang tercantum di iklan lowongan. Nantinya yang dibutuhkan; bagian administrasi satu orang, akuntan satu orang, dua sales counter dan lima sales operasional.

"Bagian akutansi, kalau Mbake?" si gadis sampo menyahut dan ganti bertanya.

"Bagian administrasi." jawabku dengan perasaan lega, dia bukan sainganku. "Eh, Shaula!" aku mengulurkan tangan.

"Ria!" sambut gadis sampo.

"Mbak yang satunya?" tanyaku pada cewek yang dari tadi diam. Kepalaku sampai merunduk tiga puluh lima derajad demi bisa melihat ke wajahnya.

"Ceci." jawab gadis yang penampilannya lumayan seksi. Tinggi roknya berada di atas lutut. Dadanya terasa berdesak-desakan dibalik bajunya.

"Mendaftar bagian apa?" interogasiku.

"Sales counter."

Dalam hati aku tersenyum senang. Kedua gadis menawan ini bukan sainganku. "Ngomong-ngomong antrian nomor berapa?" tanyaku pada Ria dan Ceci.

"Tuh, lihat aja buku daftar tamu aja!" tunjuk Ria ke meja Pak Benowo.

"Mana orangnya?" aku mencari keberadaan pak satpam yang tiba-tiba menghilang dari kursinya.

"Lagi di pos." Ria menunjuk ke arah pos satpam yang memperlihatkan keberadaan Pak Benowo dari kaca bening yang menghadap kemari.

Aku bangkit dari duduk setelah terpana kilau rambutnya yang hitam legam, bersamaan dengan itu Pak Benowo keluar dari posnya.

"Mbak, isi buku tamu dulu!" ujarnya terarah padaku.

"Oh, iya Pak. Ini juga mau mengisi." kataku. Padahal niatnya mau lihat jumlah pendaftar yang sudah masuk.

Mataku kontan membelalak ketika melihat nomor urut kehadiranku. Kok pas sekali dengan kolom pencarian kerjaku yang ke seratus. Pertanda apa nih? Apa ini petunjuk bahwa aku bakal diterima kerja?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top