Menimbang antara Rasa dan Akal

"Serius ini buat aku?" ulang kata Erli setelah aku menyatakan dia boleh memiliki tas Pasha yang mama Alde berikan. Bukan tas yang kata Alde seperti diriku.

Semula kupikir Alde menganggapku murahan sebagaimana harga tas itu. Alde cepat mengklarifikasi ketika keningku berkerut-kerut.

Tas transparan dari bahan mika tebal yang kupilih menurut Alde mencerminkan Shaula yang sukar ditebak. Selalu berubah-ubah dalam mengambil keputusan ataupun saat menyangkut ekspresi wajah. Kadang kekanak-kanakan, kadang penuh kebijaksanaan, kadang mirip pelawak, bahkan mendadak bisa terlihat seperti sedang berkabung.

Mendengar itu, spontan membuatku tergelak. Benar juga. Tas transparan yang kupilih bisa dipakai dengan memperlihatkan isinya, namun lain kali isinya bisa tertutupi dengan pouch bag atau kantong yang berbeda-beda.

Dan tanpa ragu aku mengajukan tas itu pada mama Alde sebagai pilihanku. Sama sekali tidak tergoyahkan mana kala mama Alde terus menawariku tas lain dengan alasan tas pilihanku itu tas model lama yang sudah tidak nge-tren.

Atas keteguhan hatiku yang tidak kusangka. Mengingat aku tipe orang yang gampang terpengaruh suasana. Mama Alde memberikan tas lain yang katanya tas keluaran terbaru. Sebuah tas berwarna kuning kunyit dengan rantai besi besar-besar sebagai tali selempang pendek, sementara tali panjangnya terbuat dari bahan kulit sesuai badannya. Jadi kalau kita ingin memakai selempang yang panjang, tali pendeknya bisa menjadi asesoris yang melengkung seiring tutup tas yang menjuntai ke depan.

"Ya, buat kamu. Tas itu terlalu cantik untukku." ujarku sambil memandang Erli yang mematut tas dengan kegirangan. "Kalau dipakai kamu bisa serasi sama cantiknya."

"Yakin kamu enggak sayang? Ini tas mahal lho? Harganya tujuh ratus ribu?" Erli memelototkan matanya pada banderol harga yang masih tertera.

"Aku sudah punya tas lucu." ujarku mengangkat tas transparan dengan kantong kulit warna peach.

Erli memandang tas yang kutunjukkan padanya. Mulutnya mengerucut. Tetapi kemudian tangannya sudah mengacungkan ibu jari.

"Berarti deal, ya? Tidak pakai berubah pikiran batal memberikan ini padaku." Erli rupanya sungguh khawatir aku bakal ingkar janji.

"Deal." kataku mengajaknya bersalaman. Jabat tangan erat terjadi. Erli lalu mengagumi tas tersebut membelainya seperti sedang bercumbu dengan kekasih hatinya.

Tadi begitu aku sampai rumah, Erli yang masuk pagi langsung menyambutku yang datang dengan menjinjing kantung kertas warna ungu muda dua buah.

Tuduhan bahwa aku lagi banyak duit sampai memborong tas mahal langsung menyerangku. Ketika aku menjelaskan perihal ihwal tas tersebut, Erli memberondongku dengan praduga Alde benar-benar suka padaku dan mamanya pasti sudah memberikan restu.

Haduh, masih saja keracunan drakor si Erli itu. Makanya demi membungkam mulutnya yang terus berujar betapa beruntungnya aku yang habis patah hati menemukan cinta lain yang memakmurkan jiwa raga, tas pemberian mama Alde langsung kusodorkan padanya.

Meski terus menyangsikan keputusanku, Erli langsung melupakan tentang muasal tas tersebut. Dia sudah berjalan mondar-mandir mengepas tas itu di tubuhnya seperti peragawati. Bergaya dengan menyelempangkan ke bahu, lalu ganti berganti menentengnya dengan langkah yang angkuh.

Berkali-kali aku harus tepok jidat dan menggelengkan kepala melihat ulah teman kontrakanku itu. Berusaha memakluminya, mengingat situasi dan kondisi keuangan kami berdua yang jauh dari menjangkau tas seharga jatah makan selama dua minggu.

Malam harinya aku tidak bisa tidur. Bukan karena perkara kejatuhan tas mahal, atau terganggu dengan ucapan Erli mengenai Alde dan mamanya yang seolah mengistimewakan diriku. Aku, sekali lagi, aku tidak mau berkhayal menjadi Cinderella.

Kupikir menjadi Shaula yang menjadi pejuang recehan tidak terlalu buruk. Aku meyakini dari beberapa keping recehan, bila tekun menjalani bisa menjadi segunung recehan. Intinya aku tidak mau hidup bergantung pada orang lain. Kalau memang aku harus kaya, aku harus kaya karena usaha sendiri, bukan karena mendapat limpahan harta dari suami, orang tua atau siapapun.

Yang pasti, yang mengganggu pikiranku adalah; terus terang aku iri dengan mama Alde yang bisa menjadi pebisnis sukses. Memiliki brand merk tas sendiri yang terkenal dan cukup laris, bagiku sesuatu yang hebat. Sungguh aku ingin seperti itu.

Kalau ada kesempatan bertemu lagi dengannya aku ingin tahu bagaimana dia bisa membangun usaha seperti sekarang. Apakah dia mendapatkan dukungan dari suami? Maksudnya mendapat bantuan modal dari suami? Dari keluarga? Ataukah memulai semuanya dari nol.

Ketika membandingkan dengan usahaku sekarang. Aku sangat merasa belum melakukan apa-apa. Tampaknya aku hanya menunggu keajaiban akan datang sebagaimana datangnya bintang jatuh. Dengan memulung ke sana ke mari, bukankah seperti menunggu orang lain membuang sampahnya lalu kupungut satu persatu.

Aku mendesah lalu membuka peramban dari ponselku. Mencoba mencari inspirasi dari mengetikkan; bisnis sampah.

Banyak sekali berita termuat di sana. Hingga pada akhirnya ada satu tulisan yang menggelitik mengenai bank sampah. Jariku kemudian telah menyentuh agar bisa masuk lebih dalam mengenai ulasan artikel. Setelah membaca dengan saksama, model bank sampah ternyata membutuhkan modal.

Kuubah kalimat pada mesin pencarian dengan kata-kata sampah di Purwokerto. Mengulir satu persatu setiap berita yang salah satunya mengungkap bahwa sampah menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan. Dinas lingkungan hidup bahkan kebingungan ke mana mau membuang sampah dari warga kota.

Gunung Tugel yang merupakan TPA andalan wilayah Purwokerto dan sekitarnya sudah tidak sanggup menampung sampah warga. Malahan ada berita yang mengabarkan sebagian warga yang kerepotan membuang sampah justru melemparkan limbah mereka ke sungai sebagai solusinya.

Aku berdecak. Kenapa banyak orang menyukai jalan pintas yang salah?

Tunggu!

Posisi tubuhku yang semula tiduran dengan segera terduduk seperti matahari yang terbit terlalu cepat. Benar aku memang tidak punya modal untuk mencari sampah lebih banyak. Akan tetapi aku mungkin bisa mendapatkan uang dari sampah itu dengan mudah.

Kenapa tidak?

Aku telah melompat dari ranjang ingin segera menemui Pak Talim. Namun, begitu mendapati ruangan tengah rumah gelap, aku mengurungkan keluar kamar. Ini masih tengah malam, woi!

Sejenak aku mondar-mandir di kamar. Mungkin aku perlu membuat proposal terlebih dahulu. Proposal yang isinya kerja sama dalam hal pembuangan sampah. Aku nanti bisa menebar proposal itu ke kantor kepala desa atau kelurahan, ke instansi yang memiliki banyak warga seperti sekolahan atau rumah sakit dan perusahaan yang ada di Purwokerto.

Tentu saja. Aku pun mulai mencoretkan kata-kata pada selembar kertas, sambil sesekali mencontek bentuk dan isi proposal yang ada dalam rengkuhan Mbah Google.

Jadi, nanti aku rencananya mengajukan sebuah penawaran jasa pengambilan sampah. Ada tarif yang kutawarkan sebagai jasa itu. Dan untuk melakukan itu, aku sangat butuh bantuan Pak Talim.

Hosh! Aku mengepalkan dua tangan di atas meja sejajar dengan kertas yang telah penuh dengan tulisan seperti tugas akhir yang pernah kubuat.

Besok pagi aku tinggal berkonsultasi dengan Pak Talim. Kalau beliau setuju, aku tinggal mengetik rancangan proposal ini ke rentalan. Semoga Pak Talim bersedia membantu rencanaku ini. Termasuk agenda perekrutan orang untuk menjemput sampah. Bukankah, bila sudah mendapat pelanggan serta pendapatan yang pasti kita bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain?

Entah mengapa, belum apa-apa aku sudah merasa menjadi bos sampah. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top