Mengincar Nasib Orang

Pukul dua aku sampai di rumah kontrakan. Tas selempang langsung kulempar di ranjang. Bersama tubuh yang berbaring di sebelahnya. Ada sedikit lelah bersarang. Masih tidak habis pikir bagaimana bisa ada orang yang mengulangi tragedi yang sama. Apa dia tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Bahkan kali ini bisa saja dia mati.

Ah, sudahlah. Kenapa juga memikirkan orang lain. Masalah sendiri saja banyak. Tentang usaha bisnis sampah, tentang kuliah. Bagian kedua membuatku merasa terbelah menjadi dua.

Bagaimanapun kemarin aku sudah mengangguk mantap ingin pergi melanjutkan kuliah lagi. Itu sebuah janji yang akan terpatri di hati bapak. Beliau pasti tidak suka kalau aku mengingkarinya.

Baiklah, mari kita cari tahu tentang persyaratan alih jenjang dulu. Semalam aku hanya mencari tahu apakah almamaterku menyediakan alih jenjang bagi mahasiswa baru. Dan ternyata tidak. Lalu aku menemukan satu universitas swasta yang terkenal menampung alih jenjang itu.

Aku mencari ponselku di dalam tas. Lalu mencari info mengenai persyaratan alih jenjang dari D3 ke S1 pada universitas yang sudah kutandai. Selain harus mendaftar secara online akan ada tes dan uang pendaftaran sebesar 250 ribu. Belum lagi biaya kuliah semesteran termasuk uang pengembangan.

Duh! Aku meletakkan ponselku di dahi agar suhunya menjadi dingin. Agak bias sih, siapa yang mendinginkan siapa karena ponselku juga terasa hangat.

Gerak selanjutnya aku sudah menelungkupkan badan melesakkan muka ke bantal. Apa iya, aku harus menyatakan mundur untuk kuliah lagi dengan alasan biaya yang mahal. Tapi alasan itu, pasti tidak mempan. Bapak pasti akan bilang, bisa mengusahakan. Apa aku bilang saja aku sudah lelah belajar? Ceramah panjang lebar, betapa aku beruntung memiliki kesempatan bersekolah tinggi tapi menyia-nyiakannya akan melukai hatinya yang dulu hanya lulusan SMP.

Aku mengangkat kepala mengambil napas secara kalap setelah tadi saluran masuk oksigen terbekam buntalan kapuk. Saat itu terdengar suara pintu kamar sebelah terbuka. Aku segera meloncat dari ranjang. Erli pasti sudah pulang dari masuk shift pagi.

Aku menunggunya di sofa ruang tamu. Sofa sudut warna cokelat tua yang beberapa bagian tertutupi lakban. Ah, tapi aku melupakan sesuatu. Segera aku bangkit dari duduk kemudian keluar rumah setelah mengambil kunci motorku.

Tadi aku kelupaan mengeluarkan salak dari bagasi motor. Semoga tidak jadi salak panggang. Satu plastik berisi salak yang kutaksir beratnya dua kilo kutenteng masuk. Setelah mendapat wadah yang tepat, aku menaruhnya di meja depan sofa. Erli belum keluar dari kamar.

Terpaksa aku memanggilnya. "Er, kamu lagi enggak pingsan, kan?" teriakku. Ini di luar kebiasaan dia mendekam di kamar sangat lama. "Aku bawa salak dari rumah, nih!"

Tidak ada sahutan, tapi tak lama kemudian pintu kamar terdengar dibuka. Erli keluar dengan wajah kusut.

"Kenapa?" tanyaku yang sudah mulai mengemil salak hasil kebun bapak. Salak Kalisube ini rasanya tidak kalah dari salak pondoh. Bahkan bila dibandingkan dengan salak Bali, salak Kalisube memiliki rasa yang lebih manis.

Kakakku sedang mengupayakan agar salak Kalisube menjadi lebih terkenal. Selain itu dia juga mengolah salak Kalisube menjadi keripik salak dan juga manisan. Berjiwa wirausaha sejati kakakku itu.

"Aku nombok lagi." ucapnya dengan mulut manyun. Sebagai kasir memang sudah menjadi resiko harus mengganti rugi uang setoran bila kurang.

"Kok bisa?" tanyaku sambil nyengir-nyengir refleks akibat salak yang ada asam-asamnya karena baru saja petik. Biasanya kalau sudah tiga hari lebih akan menjadi manis.

Erli menggeleng. Dia lalu mengambil salak yang telah berada di baskom besar.

"Kamu salah kasih kembalian?" kejarku ingin tahu.

"Bisa jadi, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Kalau memang aku salah kasih kembalian, kok tega ya, orang yang kukasih kembalian lebih nggak bilang." rutuk Erli lalu menggigit salak dengan gigitan besar. Yang mengherankan ekspresi wajah Erli tidak menampakkan kernyitan rasa asam.

"Lain kali lebih hati-hati, Li." aku cuma bisa memberikan saran itu. Apalagi, tidak mungkin, kan aku ikut mengganti uang yang kurang itu.

"Rasanya ingin keluar, tapi kontrakku masih panjang." Erli lalu menggigit buah salak kedua dengan buas. Aku sempat khawatir giginya akan tanggal karena mematuk bijinya.

"Sabar," ucapku berusaha menghiburnya.

"Coba aku bisa kuliah lagi." dengus Erli membuatku tergugu.

"Kenapa ingin kuliah lagi?" tanyaku.

"Biar aku bisa dapat pekerjaan yang lebih tinggi lagi. Setidaknya kalau aku sarjana, aku tidak jadi kasir. Jadi bos kasir." ucapnya sambil memandangku dengan sayu.

"Terus kenapa enggak kuliah lagi?" Rasa penasaranku bergejolak.

"Orangtuaku hanya sanggup menguliahkan aku sampai D3 saja."

"Oh," tanggapku, entah mengapa tetiba merasa bersalah. Aku seperti telah menyia-nyiakan kesempatan yang justru datang dari orangtua sendiri.

Aku jadi membayangkan kalau orangtua Erli menyuruhnya kuliah, pasti dia akan melonjak girang bukannya bimbang seperti diriku sekarang. Dia pasti akan menjalani masa-masa berkuliah kembali dengan penuh suka cita. Seperti sedang memasuki gerbang taman kanak-kanak yang penuh warna. Beda denganku yang seperti akan memasuki gerbang area pekuburan.

Ah, ada apa denganku?

"Coba orangtuaku kaya." ucap Erli sambil kepalanya mendongak ke atas, dengan mulut bergerak-gerak akibat gigi yang sedang bekerja.

"Hoi, jangan mengandaikan yang aneh-aneh." tegurku. "Kamu mau mengingkari keberadaan orangtuamu sekarang? Kupikir kamu juga beruntung kok, masih bisa mengenyam bangku kuliah meski tidak bergelar sarjana. Masih ada banyak yang lulus SMA, bahkan terus langsung kerja. Kamu enggak lihat pramuniaga di tempat kamu bekerja. Kupikir dia pasti menginginkan posisimu yang sekarang."

Sungguh ajaib aku bisa menasehati Erli seperti seorang yang bijak. Padahal aku juga terkadang meratapi nasib, sebagai contoh belum lama ini aku merasa putus asa karena pekerjaan tidak juga memanggilku.

"Demikian pun dengan aku." lanjutku. "Kamu tahu, kan, sebelum aku terdampar di sini aku ke sana kemari mencari pekerjaan, tetapi tidak ada yang menerimaku. Terus terang aku iri padamu, kawan!" tandasku di akhir kata-kata.

"Iya, sih. Aku waktu itu juga sekali daftar langsung ketrima. Tapi enggak nyangka saja, akan mendapat tekanan seperti ini."

"Ini belum seberapa." balasku lagi, yang teringat pada Alde. Entah apa yang menimpa pria itu. Tetapi sepertinya sesuatu yang berat tengah dipikulnya. "Setidaknya tidak ada orang yang mengancam nyawamu."

"Ih, amit-amit jangan!" sembur Erli yang segera mengetuk kepala dua kali lalu mengetuk ke meja dua kali. Kayak sedang melakukan satu gerakan tolak bala saja si Erli itu. "Memangnya ada yang seperti itu? Di dunia nyata maksudku."

"Ada," sahutku.

"Ciyus?"

"Kamu ingat dua bulan lalu ada orang yang terluka di rumah Pak Talim."

Mata Erli menyudut ke atas samping kiri.

"Yang aku cerita nolong orang dikeroyok di tempat pembuangan sampah."

"Oh, yang itu." Erli manggut-manggut. "Memangnya ada orang yang mau membunuhnya, siapa?"

Aku pun membalasnya dengan gelengan dan gerakan bahu yang terangkat. "Tapi tadi pagi aku menemukan dia penuh luka-luka lagi di Taman Gorila. Kali ini lebih parah."

"Terus?" Mata Erli membuka lebar.

"Dia sekarang ada puskesmas ditunggui Pak Talim." kataku menginformasikan.

"Bukan itu, kalian sudah melaporkan itu ke polisi? Biar mereka mengusutnya."

"Alde menolak."

"Aneh, kenapa dia menolak?" Wajah Erli telah berubah penuh kecurigaan.

"Mana aku tahu. Tapi dulu katanya sih, percuma. Cuma jadi BAP saja tidak ada tindak lanjut,"

"Masa?" Erli kini seperti anak kecil yang polos.

"Katanya juga," ucapku yang ternyata tidak paham dunia lapor melapor dan tindak lanjutnya.

"Atau jangan-jangan justru orang itu orang jahat?" ucap Erli mengemukakan satu fakta yang tidak pernah terpikirkan olehku.

"Maksudnya?"

"Kayak di film mafia itu. Dia itu ternyata penjahat yang berkhianat lalu sengaja dibuang oleh bosnya, Tetapi pada kasus pria yang kamu temukan itu, kupikir bosnya masih cukup baik dengan membiarkannya hidup."

"Atau malah sengaja ingin membunuhnya secara perlahan, setelah melukainya sedemikian rupa?" imbuhku langsung menyambung ide Erli mengingat luka yang dialami oleh Alde. "Wah, bahaya." desisku.

Khawatir komplotan yang melukai Alde masih memantau pria itu. Kemudian malah menyakiti Pak Talim yang telah menolong dengan dalih mengganggu proses pelenyapan.

"Nah, kan?" Erli mengacungkan jari telunjuknya membentuk pistol.

"Dan sekarang, Pak Talim sedang menungguinya." ujarku sembari membelalakkan mata tanda adanya sinyal bahaya.

"Ayuk, kita segera ke sana!" Erli sudah berdiri lalu berlari ke sana kemari. "Mana kunci motorku."

Seperti terhipnotis aku malah menyerahkan kunci motorku pada Erli yang segera menerjang pintu depan. Kini kami berdua sudah seperti dua detektif wanita yang akan menyelamatkan korban dari marabahaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top