Menganyam Pilihan
"Begini, Mbak. Langsung saja, saya Reno. Kemarin saya menemukan dompet di sekitar Kebumen Baturaden. Ada identitas Mbak Shaula di dalamnya. Saya juga menemukan wadah simcard yang nomornya saya telepon ini. Syukurlah ternyata benar nomor telepon Mbak Shaula."
"Oh ya Pak, di mana saya bisa mengambil dompet saya?" tanyaku tidak mau berlama-lama mendengar ceritanya. Kupikir nanti saja kalau ketemu langsung baru jelaskan kronologinya.
"Mbak Shaula tahu Rumah Limasan?"
"Ya," sahutku yang langsung memindai salah satu tempat makan yang berada di kawasan Baturaden.
"Nah, kita bertemu di sana. Mbak Shaula ada waktu kapan? Apa sore ini bisa?"
Aku memandang Bu Talim yang sedang memilah bungkus bekas minuman. "Waduh kalau sore ini saya nggak bisa." jawabku ingin menghargai istri Pak Talim yang telah menyisihkan waktu demi mengajariku. "Besok sore, gimana?"
"Memangnya nggak pa-pa kartu identitasnya masih saya simpan?"
"Eh," aku terhenyak dan seketika teringat berita tentang seseorang yang tiba-tiba mendapat tagihan pajak yang membengkak. Usut punya usut, ternyata hal tersebut karena ada orang yang menyalahgunakan KTP-nya untuk mengisi formulir wajib pajak.
Jelas aku tidak mau hal itu terjadi padaku. Atau malah KTP-ku itu untuk berhutang pinjaman online. Jangan sampai itu terjadi.
"Maaf, apa Mas Reno bisa mengantarkan ke tempat tinggal saya. Bukan alamat yang di KTP. Tapi alamat yang di Purwokerto?" aku mencoba mengajukan penawaran.
"Waduh..." Terdengar desah keluhan.
"Nggak jauh kok. Nanti saya beri imbalan yang pantas." sumbarku meski aslinya aku tidak punya banyak uang. Itu soal nanti. Kalau perlu seluruh isi dompet aku berikan. Kehidupan selanjutnya aku bisa meminjam uang pada Erli.
"Ada apa Mbak?" Bu Talim bertanya padaku lirih.
Aku menanggapinya dengan tersenyum sambil menunggu jawaban dari orang di suatu tempat yang sedang meneleponku.
"Atau dikirimkan saja, nanti saya transfer ongkos kirimnya?" aku memberikan satu solusi yang sebenarnya sedikit riskan.
Banyak kejadian penipuan dengan dalih penemuan barang yang hilang. Si penelepon biasanya berjanji akan mengirimkan dompet dengan sejumlah uang tebusan yang katanya untuk ongkos kirim. Kenyataannya setelah uang berpindah rekening ke penelepon, barang kita yang katanya dia temukan sama sekali tidak datang.
Tetapi pada kasusku kali ini berbeda. Orang yang meneleponku tidak menanyakan alamat pengiriman serta meminta ganti ongkos kirim malah mengajak ketemuan langsung. Maka dari itu aku mempercayai penemu KTP-ku ini.
"Kartu-kartu berharga Mbak Shaula itu sangat penting. Kalau saya kirimkan lalu kurirnya lalai, bisa gawat. Sebaiknya kita bertemu langsung biar jelas sampai pada orangnya."
"Iya sih," sahutku. "Tapi... gini aja, nanti saya telepon lagi untuk kepastiannya." lanjutku ingin meminta pendapat Bu Talim.
"Baik, saya tunggu secepatnya ya, Mbak." sahut Mas Reno.
Selepas salam terlantun dari mulutku. Bu Talim bertanya kembali mengenai isi pembicaraanku lewat telepon tadi.
"Dompet saya ketemu Bu, tapi saya harus mengambil ke Rumah Limasan. Orangnya minta imbalan makan-makan kali." ujarku meringis. "Tapi saya udah ada telanjur booking Ibu, kayaknya besok saja saya ambil. Lagian, saya udah punya kartu identitas baru."
"Oh gitu, apa mending nggak usah diambil saja?" ujar Bu Talim serupa selorohan karena ulasannya disertai tawa kecil.
"Mau saya ambil aja bu, khawatir ada yang menyalahgunakan." sahutku.
"Benar juga ya." Bu Talim mengangguk-angguk lalu matanya menumbuk pada tumpukan bekas bungkus minuman yang sudah terkumpul satu merk. "Bisa kita mulai sekarang menganyamnya?"
"Siap!" deruku bersemangat.
Selanjutnya Bu Talim dengan sabar membimbingku mulai dari melipat satu persatu bekas bungkus minuman. Ketika melipat Bu Talim bilang harus mengusahakan ada satu bagian gambar terekspos tepat di tengah. Itu akan menjadi titik menariknya nanti. Agar terbentuk pola gambar yang cantik saat telah terangkai menjadi satu lembaran.
Harus telaten memang. Kalau bukan karena ingin mendapatkan sekeping uang, mustahil aku masih betah melakukan kegiatan melipat yang lama-lama terasa membosankan. Meski demikian, sekonyong-konyong diriku teringat pada dompet beserta kartu identitasku yang hilang dan sekarang telah berada dipelukan orang.
Ada satu hal yang menggangguku. Mengenai dompet yang justru terdampar di wilayah Purwokerto saja. Iseng sekali si penculik mobil Alde yang hanya membuang dompetku tidak langsung bersama tas yang mewadahinya. Kenapa bisa begitu?
Tanpa sadar aku terbengong lama rupanya, sehingga Bu Talim menegurku.
"Mbak Shaula?"
"Ya Bu," balasku tergeragap. "Gimana?"
"Kayaknya sudah cukup melipatnya." ucap Bu Talim sambil tersenyum. "Sedang memikirkan apa?"
"Soal dompet saya yang hilang dan sekarang ketemu, Bu." terangku tidak menutup-nutupi aksi termanguku tadi. Tetapi aku tidak menceritakan mengenai kejanggalan yang terjadi.
"Kalau Mbak Shaula khawatir, mending ambil sekarang." saran Bu Talim yang sepertinya tahu gundah gulanaku. "Atau nanti mau minta temani Mbak Erli."
Aku menggeleng. "Saya berangkat sendiri aja." ucapku seraya melihat ke arah jam dinding yang menempel searah dengan pandangan mataku.
Pukul setengah lima lebih lima menit. Pada detik berikutnya aku langsung memutuskan sesuatu.
"Maaf Bu Talim, kursusnya bersambung besok bisa?" tanyaku ragu-ragu.
"Kalau saya sih, tidak ke mana-mana Mbak. Kapan pun bisa. Saya menyesuaikan waktunya Mbak Shaula saja." tanggap Bu Talim terdengar melegakan. Meski aku sedikit menyangsikan.
"Tapi Bu Talim, kan, juga harus mengerjakan pekerjaan rumah dan ikut memilah sampah?"
"Saya kalau sore longgar. Kecuali kalau ada arisan RT dan perkumpulan Dawis." kata perempuan yang telah beranak tiga tetapi tubuhnya masih terlihat ramping, tidak menggelembung di sana sini.
"Ya Bu, kalau longgar nanti saya booking lagi." ujarku lalu membereskan lipatan bungkus bekas minuman hasil pekerjaanku.
Setelah memastikan semua rapi pada tempatnya. Tidak tercampur-campur dengan yang sudah terlipat, aku berpamitan.
Aku hanya menyambar tas transparan pemberian Soraya Pasha. Tanpa berganti pakaian, karena kaos dengan kulot kuanggap masih pantas untuk keluar. Motor segera kupacu dengan kecepatan sedang. Tak lupa mengabari Erli tentang dompetku yang sudah ketemu.
Jalanan sore ini lumayan ramai. Sebagian besar terlihat seperti para pekerja yang pulang dari tempat mencari nafkah. Beberapa muda-mudi yang berboncengan mesra. Segelintir anak sekolah juga terlihat. Mungkin selesai melaksanakan ekstrakurikuler.
Makin ke atas, ke kawasan Baturaden yang berada di kaki Gunung Slamet jalanan menjadi agak lengang. Kendaraan tetap berurutan tetapi tidak sampai berduyun-duyun.
Tulisan Rumah Limasan dari balok kayu melambai-lambai. Lampu sein aku nyalakan ke kanan. Begitu mendapat kesempatan menyeberang, motor kulajukan ke arah pintu masuk yang di tengahnya terdapat tulisan Rumah Limasan.
Satu hal yang membuatku bertanya-tanya saat roda motorku menggelinding di pelataran berpaving. Tempat makan bernama Rumah Limasan ini terlihat sepi. Hanya ada satu buah mobil yang terparkir berseberangan dengan tempat parkir motorku.
Di dalam juga tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Masa iya, jam lima sudah tutup. Begitu laris maniskah? Ya, barangkali memang seperti itu.
Dalam ragu aku melangkah menuju satu bangunan khas Banyumasan. Mirip dengan joglo. Bedanya limasan memiliki bubungan atap atau sayap yang lebih panjang dibandingkan joglo. Kerucut atapnya lebih melandai tidak securam rumah joglo.
Ketika kaki menapak anak tangga pertama dari dua undakan yang ada, sekilas lalu terpikirkan, apakah yang menemukan dompetku pemilik Rumah Limasan ini?
Wah, betapa beruntungnya aku. Angan liarku berloncatan, dengan mengharap si empunya tempat ini atau orang yang bernama Reno ini tampan rupawan. Dan kemudian jatuh hati padaku. Mungkin, tidak sih?
Mataku serta merta menangkap satu sosok yang berdiri pada sudut ruang terdalam. Orang itu sedang duduk dan sibuk dengan ponselnya. Entah mengapa jantungku terdengar berdebar.
Tetapi itu tidak lama. Setelahnya mataku membeliak, napas tercekat sebelum akhirnya terjatuh dan melayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top