Menemukan Manusia Yang Terbuang

"Ada apa, Pak?" tanyaku alih-alih melarikan diri. Antara takut juga penasaran.

Pak Talim waktu itu sudah berjongkok hampir menenggelamkan tubuhnya ke hamparan rumput semak.

"Ada orang Mbak," kata Pak Talim menunjukkan wajahnya sekilas padaku.

"Orang atau mayat?" bisikku memastikan sambil berjalan perlahan membawa perasaan ingin tahu tapi juga ngeri kalau yang ditemukan Pak Talim ternyata mayat.

"Mas," Pak Talim terdengar memanggil orang itu. "Mas," panggilnya sekali lagi. "Sepertinya dia pingsan."

Aku termangu. Jangan-jangan aku ikut andil dalam membuatnya pingsan. Tadi memang kakiku terasa menjejak sesuatu, sih. Mungkinkah tadi yang kena tendang kakiku kepalanya?

Duh! Aku tepuk jidat masih berdiri di tempat. Tiba-tiba merasa bersalah.

"Mbak Shaula bisa minta tolong ambilkan motor saya kemari?" pinta Pak Talim sembari berderap ke arahku dan mengulurkan kunci motornya.

"Siap!" balasku setelah menerima kunci motor Pak Talim.

Dengan langkah panjang aku bergegas naik menuju jalan raya. Bahkan ketika menaiki tangga, dua anak tangga langsung kupijak sekaligus. Sepeda motor Pak Talim terparkir bersisian dengan motorku. Dua motor tua yang mungkin tidak menarik minat para penculik sepeda motor.

Pintu gerbang susah payah kudorong agar membuka lebih lebar. Supaya muat untuk lewat kendaraan roda dua. Aku menepuki tanganku yang kena karat dari pintu gerbang. Selanjutnya aku telah melajukan motor Pak Talim melewati samping tangga turun yang sengaja dibuat untuk jalan kendaraan beroda.

Mendekati pertigaan yang mengarah ke kiri, Pak Talim terlihat sedang menggendong seseorang. Langkahnya tertatih, menahan berat orang yang tinggi dan berat badannya kutaksir melebihi Pak Talim. Terus terang aku bingung mau membantu bagaimana. Akhirnya aku hanya memposisikan motor melesak masuk sedikit, dengan maksud agar Pak Talim tidak terlalu jauh menggotong tubuh yang melunglai dipunggungnya.

Begitu mencapai sepeda motor, Pak Talim segera meletakkan tubuh orang yang pingsan itu di jok motor.

"Mbak Shaula, tolong bantu pegangi dia. Saya mau memposisikan diri." pinta Pak Talim yang sudah mengangkat salah satu kaki pemuda itu, hingga melangkahi jok motor seperti akan membonceng.

Tanpa banyak kata, dengan mengerahkan kekuatan lebih aku berusaha menjaga tubuh pemuda itu tetap tegak sampai Pak Talim siap mengendarai sepeda motornya. Aku Lalu menempatkan tubuh tidak berdaya itu ke punggung Pak Talim.

"Tolong ikat tubuhnya dengan tubuh saya." instruksi Pak Talim lagi, sambil menyodorkan tali dari karet warna hitam, itu tampak seperti bekas ban dalam. Aku pernah melihat Pak Talim mengikat barang rongsokannya dengan menggunakan karet itu.

"Begini, Pak?" tanyaku meminta pertimbangan, apakah itu cukup aman.

"Menyilang saja," saran Pak Talim ketika aku akan mengikatnya melingkari tubuh pemuda itu dengan tubuh Pak Talim. "Dari bahu kanan ke bawah lengan sebelah kiri."

"Baik," Aku langsung mengerti.

Setelah menyilangkan tali karet seperti membentuk gendongan. Giliran Pak Talim yang mengikat tali itu di depan dadanya.

"Kita bawa ke puskesmas terdekat." kata Pak Talim sembari menyalakan motor. "Bismilah," ucap Pak Talim sebelum menarik gas mendaki ke jalan raya.

Aku sendiri memperhatikan laju motor Pak Talim dengan was-was, khawatir pemuda itu terjatuh lepas dari tali pengikatnya. Dengan berlari kecil aku mengikuti laju motor Pak Talim yang agak tersendat. Sedikit khawatir motor Pak Talim menggelinding mundur dan celaka.

Sebentar lagi! Bisikku memberi semangat pada Pak Talim, dan satu tarikan gas lagi akhirnya mereka berdua telah berhasil melewati tanjakan yang lumayan curam. Aku menghembus napas lega segera berlari kecil melewati pintu gerbang dan menutupnya.

"Kalau Mbak Shaula mau pulang enggak pa-pa. Biar saya yang bawa dia ke puskesmas." kata Pak Talim yang ternyata berhenti menantikan diriku hingga keluar dari gerbang.

"Saya ikut saja, Pak. Barangkali Pak Talim masih butuh bantuan saya." sahutku mantap.

"Baik," ucapnya lalu mulai melajukan kendaraan ke arah kanan.

Aku mengikuti dari belakang. Lagi-lagi dengan perasaan cemas. Hanya berharap ikatan yang dibuat Pak Talim kuat, sehingga pemuda itu tidak terjatuh dari punggungnya.

Kurang lebih tujuh menit kemudian kami telah tiba di puskesmas terdekat. Aku bergegas masuk dulu ke bagian IGD minta bantuan petugas di sana. Seorang petugas yang berkumis lalu menyiapkan ranjang dorong setelah aku mengatakan kondisi pasien yang tidak sadarkan diri.

Petugas itu lalu membantu Pak Talim menurunkan pemuda yang pingsan dari punggungnya lalu membaringkan ke ranjang. Gerak selanjutnya aku dan Pak Talim telah mengikuti petugas tadi mendorong ranjang menuju ruang gawat darurat.

"Pak, administrasinya sambil diurus di sana." kata petugas berkumis itu.

"Biar, saya yang urus." ucapku menawarkan diri. "Pak Talim memantau orang itu saja."

"Saya pasrahkan ke Mbak Shaula, ya." kata Pak Talim merasa tertolong.

"Beres, Pak." jawabku lalu menuju meja lobi dengan seorang petugas perempuan yang berjaga.

"KTP-nya?" tanya petugas tersebut.

"KTP saya atau KTP pasien?" tanyaku yang memang belum pernah masuk IGD atau mengantar orang ke instalasi darurat.

"Pasien." sahutnya dengan ekspresi; kok pakai tanya segala?

"Harus KTP pasien?" tanyaku memastikan.

"Iya, Mbak."

"Duh," Aku celingukan. "Tapi orang yang celaka itu saya tidak kenal. Memangnya pantas ya, menggeledah dompetnya."

"Kalau gitu, KTP Mbaknya saja." ucap petugas pendaftaran di IGD masih dengan muka datar.

"Baik," sahutku lalu mengeluarkan KTP dari dompet yang sudah aku siapkan.

Selanjutnya dia sudah mengetikkan sesuatu pada komputer yang berada di depannya. Selanjutnya petugas perempuan tanpa senyum itu menyerahkan KTP-ku.

"Makasih, Mbak." ucapku tersenyum lebar dengan harapan dia akan membalas senyumku itu. Tetapi wajah datarnya itu cuma mengangguk dengan menarik mulutnya ke samping satu milimeter saja.

Kembali ke ruang perawatan, orang yang kami temukan di taman terbengkelai, telah mendapat perawatan. Dan orang itu sudah tampak siuman terlihat dari ekspresi wajahnya yang menahan ngilu.

Seorang perawat mendatangi aku dan Pak Talim yang sedang merasa iba menyaksikan orang yang terbaring di ranjang dengan wajah yang bengkak.

"Silakan, tebus obatnya dulu." kata perawat yang tadi menangani pasien yang kami bawa. Dia menyodorkan itu padaku, tapi karena aksi bengongku, Pak Talim mengambil alih kertas yang mestinya berisi resep.

"Di mana harus menebusnya, Mbak?" tanya Pak Talim.

"Bapak nanti keluar, lalu masuk ke Gedung Utama." tunjuk perawat yang mempunyai tahi lalat di atas bibirnya. Nanti di sana ada loket kasir, Bapak bayar dulu baru mengambil obat di apoteknya."

Pak Talim mengangguk tanda mengerti. "Ya Mbak, makasih." sahut Pak Talim.

Perawat itu tersenyum manis lalu kembali ke meja yang berada di belakangku. Berdekatan dengan lobi pendaftaran tersekat partisi akrilik bening.

"Mbak Shaula tunggu di sini, biar saya yang mengurus biayanya." kata Pak Talim yang tentu saja tidak bisa aku bantah. Bagaimanapun, aku tidak membawa uang banyak. Kalau aku yang memaksa ingin membayar, bisa puasa tujuh hari tujuh malam diriku ini. Sebelum pulang lagi minta uang.

Selepas Pak Talim pergi aku memandang sekilas ruangan IGD puskesmas yang cukup mini. Hanya memuat dua ranjang yang satunya kosong. Sementara bagian lain, yang berhadap-hadapan dengan dua ranjang yang tersekat gorden. Meja lobi setinggi batas perut atas orang dewasa melintang di tengah ruangan, dan pada sisi-sisinya terdapat pintu yang menggantung. Satu sisi untuk masuk ke ruang pendaftaran. Pintu satunya tempat perawat mangkal.

Aku sih, sedikit maklum dengan ruang IGD minimalis ini, karena bagaimanapun keberadaan puskesmas hanya untuk melayani warga sekitar, atau yang berada pada wilayah kerjanya.

"Kamu itu kalajengking?" tiba-tiba orang yang terluka berbicara sambil memandang ke arahku, kepalanya sedikit terangkat.

Aku yang terkejut melongo bingung.

Kalajengking? Siapa itu? Aku celingukan dengan berpikir; jangan-jangan orang itu sedang halusinasi dan melihat penampakan.

Tengkukku meremang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top