Manusia Sampah Itu Bapakku
Angin semilir bukan AC; Angin Cemilir, menerpa mukaku dengan lembut. Segar menyibak kepenatan debu kota yang kemarin mengendal di wajah. Wangi alam benar-benar terasa melapangkan dada yang sesak oleh jenuh berkutat dengan lalu lalang kota yang selalu padat. Lebar sekali rentang tanganku bisa menjangkau pucuk-pucuk tumbuhan yang menghijau.
Eit, nyaris saja tubuhku terhempas jatuh ke rimbun tanaman padi yang nantinya akan berbuah kuning emas. Aku segera mengepakkan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan. Layaknya pesawat terbang atau burung, aku membuka lebar sayap menepis udara agar tetap bertahan di angkasa.
Saat angin meniup sedikit kencang aku merasa sedang beradegan dalam film jadul berjudul "Titanic" dengan Pak Dhe Leonardo Dicaprio memeluk dari belakang.
Ups! Pesawatku oleng lagi. Keseimbangan tubuh mulai kacau, entah sudah berapa tahun aku tak berjalan di pematang sawah begini. Sembilan tahun barangkali, aku nyaris tak pernah menengok sawah. Terakhir SMP kelas satu, sewaktu ibu sedang sakit dan terpaksa aku yang mengantar makan siang bapak di sawah, dan kebetulan sedang libur sekolah. Padahal waktu masih SD, sawah adalah tempat bermain terindah.
Kali ini aku mau sedikit nostalgia masa SD dengan berjalan di pematang sawah. Siang ini aku sengaja menawarkan jasa mengantar makan siang bapak yang dari pagi berpamitan akan menyiangi tanaman padinya yang baru tumbuh. Kalau musim tanam begini bapak setiap hari akan pergi ke sawah. Mulai dari menyemai benih, menanam anak padi, menyiangi, mengatur pengairan, memupuk, membunuh hama dan menghalau burung-burung nakal yang suka mencuri butir padi.
Hei, kalian harus berterima kasih pada Bapakku yang telah menanam padi untuk konsumsi makan kita sehari-hari. Coba bayangkan kalau tidak ada yang bersedia menjadi petani seperti Bapakku ini! Apa yang akan terjadi?
Indonesia akan terus-terusan mengimpor beras demi memenuhi kebutuhan pokok makan rakyatnya. Bisa dibayangkan pula jika harga beras yang sekarang sudah mahal bakal tambah mahal lagi senilai emas. Mungkin pemerintah akan menganjurkan kita mengganti makanan pokok kita dengan roti. Kalian mau?
Namun, akhir-akhir ini aku menjadi prihatin manakala banyak sawah yang telah berganti fungsi menjadi lahan perumahan. Atau bila ada sawah yang letaknya di pinggir jalan kemudian tumbuh menjadi ruko-ruko besar. Ah, entahlah.
Bapakku orang yang cukup beruntung. Dia anak tunggal seorang tuan tanah kaya. Makanya jangan heran kalau Bapak mewarisi semua kekayaan orangtuanya. Tidak hanya sawah dan ladang. Kebun pun menjadi hak Bapak. Untuk kebun tanaman yang mendominasi adalah salak dan durian. Jadi ingin makan durian nih. Tapi sedang tidak musim, kalau iya, aku pasti sudah makan sampai mabuk durian.
Aku rasa kalian pasti menemukan ide cerdas, kenapa aku tidak jadi supplier buah saja. Mengingat Bapak punya kebun buah. Tidak semudah itu, Tuan Tanah Baron! Itu sudah jadi jatah kakak laki-lakiku satu-satunya. Apalagi pendidikannya D3 Agrobisnis sangat menunjang usaha itu.
Kalau aku? Tidak dinikahkan saja sudah untung. Eh, enggak ding! Bapak bukan orang yang tidak peduli dengan pendidikan anaknya.
Rupanya masa lalu Bapak yang pernah menjadi berandal kecil dan manusia yang gagal memicu pemikiran baru. Dia ingin anaknya sekolah yang benar, dan menjadi 'orang'. Tidak menjadi sampah masyarakat seperti masa lalunya.
Menurut cerita Embah, Bapak dulu sungguh bengal. Sekolah sering bolos, nongkrong sana-sini dengan sesaji rokok dan miras. Nilai sekolah otomatis jeblok, sering tidak naik kelas, pindah sekolah, hingga akhirnya sekolah terakhir mengeluarkannya tanpa ampun gegara Bapak menghamili adik kelas.
Mau tak mau Bapak harus bertanggung jawab menikahi gadis itu. Setelah Mas Tiar, kakakku itu lahir, pikiran Bapak yang semula penuh kotoran, mendadak tercuci bersih. Kelahiran Mas Tiar seperti obat pemutih yang ampuh. Beliau berubah total, karena tidak punya keahlian apa pun dengan kesadaran sendiri dia mau turun ke sawah membantu Embah mengurus lahan pertanian.
Melihat keseriusan dan ketekunan Bapak, Embah yang tadinya ingin menyerahkan lahan sawah dan kebun pada keponakan urung memberikannya. Jadilah Bapak pewaris utama. Sementara keponakan yang pernah terjanjikan diberikan bagian seperempatnya.
Mendengar cerita Embah aku menjadi bangga sama Bapak. Dari sampah, Beliau menjadi orang yang berguna. Beliau mau berubah, mau berhijrah demi masa depan anak-anaknya.
"Makan siang datang!" seruku setelah mengucap salam.
"Tumben kamu menyusul kemari?" balas Bapak lalu menyuruhku duduk di sisinya, di sebuah gubuk pemantauan.
"Lah, bukannya Bapak katanya mau ngomong sesuatu sama Shaula?"
"Bapak pikir nanti di rumah saja." kata Bapak yang selalu tidak ingin merepotkan orang lain.
"Shaula mau segera bicara sama Bapak."
"Kenapa tergesa?" tanya Bapak sambil mematikan rokoknya. "Bapak mau makan dulu." ucapnya kemudian membuka rantang satu persatu.
"Shaula ada pekerjaan, Pak." ujarku yang sebelumnya saat mengatakan akan pindah kontrakan ingin bisnis sampah.
"Kamu yakin dengan pekerjaan itu?" tanya Bapak memandangku lama. "Kamu yakin sampah bisa menghidupimu?"
Aku mengangguk pelan. Bukannya tidak yakin, aku cuma merasa sedang mengecewakan keinginan Bapak yang ingin aku bekerja dengan seragam kantoran. Dalam hal ini aku bisa memahami perasaan Bapak, dan maksud dari pertanyaannya itu. Akan tetapi, untuk mewujudkan itu sungguh tidak mudah.
"Kamu mau melanjutkan kuliah lagi?" tanya Bapak setelah diamku. Pertanyaannya itu membuatku tambah bingung ingin menjawab apa. Sanggupkah Bapak membiayai kuliahku nanti, maksudnya harus menambah dua atau tiga tahun lagi.
"Alih jenjang ke S1, maksud Bapak?" kataku pelan.
Bapak tersenyum. "Iya, kamu mau kuliah lagi. Biar kamu bisa mendapat pekerjaan yang bagus?"
Galau melanda. Kalau aku mengiyakan ingin kuliah lagi, apakah ekspektasi mereka menjadi bertambah tinggi. Sementara aku tidak yakin hal itu bisa mengubah keadaan bahwa sekarang, lapangan pekerjaan seolah makin menyempit sama seperti lahan sawah.
"Soal biaya tidak usah khawatir. Kalau kamu ingin kuliah lagi, Bapak akan mengusahakan duitnya. Bagaimanapun caranya, meski harus jual tanah sekalipun."
"Tapi Pak?"
"Lahan tanah memang bisa habis. Kalau ilmu katanya tidak akan pernah habis. Bapak ingin investasi itu padamu."
Aku cukup terharu mendengar ucapan Bapak. Beliau seperti seorang bijak dengan ilmu yang tinggi, tingkat dewa malah. Padahal lulus SMA saja tidak.
"Boleh Shaula pikir dulu?"
"Apa yang mau dipikir, tinggal setuju berangkat kuliah. Seluruh biaya kuliah dan hidup kamu, Bapak yang bayar."
"Kalau setelah lulus nanti ternyata Shaula tetap tidak bisa kerja di kantoran, gimana?" tanyaku untuk mengusir kegundahan pada ending kuliah yang tinggi.
"Kalau memang kamu sudah mengusahakan, tapi Tuhan menginginkan lain. Bapak tidak bisa memaksamu, kan?"
"Sungguh. Bapak tidak akan menyesalinya nanti?" aku memastikan.
Bapak menggeleng sembari menyuap nasi dan lauk dengan menggunakan tangannya. "Buat apa menyesali yang sudah terjadi. Lebih baik memperbaiki." katanya setelah menelan makanan yang ada di mulut.
"Kalau begitu Shaula akan usahakan yang terbaik." ucapku mantap. "Shaula akan coba mendaftar alih jenjang nanti."
Bapak tersenyum sangat puas dengan keputusanku yang masih terdengar mengambang. Tetapi melihatnya bersemangat ingin membiayai kuliahku lagi, itu cukup menjadi cambuk bagiku esok ketika kembali ke kota mencari info tentang kuliah alih jenjang.
"Pengin salak?" tanya Bapak. "Atau kamu mau bawain buat pemilik kontrakan dan temanmu."
"Ada yang tua?"
"Setelah ini kita ke sana!" ajak Bapak ke kebun salak yang jaraknya kurang lebih lima ratus meter dari areal sawah dengan melewati sungai kecil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top