Maju Kena Mundur Juga Kena
Zaman dahulu kala bintang jatuh atau lintang kemukus sering diartikan sebagai datangnya pertanda buruk atau pertanda akan munculnya marabahaya.
Dan kupikir, jatuhnya bintang Aldebaran di sebelah rumah kontrakanku waktu itu menjadi awal berbagai kejadian tidak menyenangkan yang datang. Mulai dari perkelahian nyata di luar latihan kempo, berhoror ria dengan penemuan tubuh manusia yang kupikir penampakan atau mayat, hingga menjadi pelarian macam buron curanmor.
Namun, yang terparah adalah aku harus kehilangan dompet dan semua kartu penting; seperti ATM yang hampir tidak ada saldonya, KTP, SIM, Kartu BPJS, Kartu Mahasiswa juga Kartu Perpustakaan Utama, Kartu Anggota Kempo, bahkan STNK motor.
Cukup menyesal tidak meletakkan STNK di bawah jok motor saja. Seperti kebiasaan orang-orang pada umumnya. Meskipun ada resiko kalau sedang apes sepeda motor dicuri orang, STNK bakal menjadi bonus si pencuri. Akan tetapi, pada kasusku, setelah dipikir-pikir berdasarkan situasi dan kondisi, siapa sih, yang mau mencuri motor butut nan jadul miliku itu.
Aku mendesah keras. Mulutku bahkan terbuka lebar kala menghembus napas lewat mulut tersebut. Pusing mau mulai dari mana mengurus semua kartu yang hilang kemarin. Kalau soal uang, tidak terlalu aku ambil pusing. Bukan berarti aku tidak butuh uang. Tetapi, saat itu di dompetku memang cuma ada uang utuh lima puluh ribuan satu, dan beberapa lembar uang pecahan yang aku tidak tahu jumlahnya.
Ada untungnya tidak membawa uang yang banyak dalam dompet. Alasan pertama, sebagai upaya pencegahan belanja barang yang tidak dibutuhkan. Kalau uangnya mepet, pasti tidak jadi beli. Alasan kedua, yah, karena memang aku tidak punya uang banyak. Sedang dalam keadaan limited edition duitnya.
Alde sebenarnya berjanji akan mengambilkan tas beserta dompet dan isinya. Malahan sebelum kami berpisah pulang ke rumah masing-masing dalam kondisi kotor dan bau, dia menanyakan jumlah uang yang ada di dompetku kala itu. Mau mengganti uang di dompet yang hilang, katanya.
Akhirnya aku cuma minta Alde membayari ongkos abang ojol. Sebagai antisipasi kalau ternyata di rumah tidak ada orang, dan aku harus membayar ojol yang telah rela mengantarku dengan menahan napas sepanjang jalan. Kasihan, kan, setelah sampai rumah ternyata tidak ada orang. Sementara aku tidak bisa masuk rumah karena kunci kontrakan juga berada dalam tas yang hilang.
"Katanya mau pulang urus KTP dan lain-lain, kok malah bengong?" Erli tiba-tiba muncul di ambang pintu yang sedikit terbuka.
Aku menelengkan kepala ke arahnya dengan tetap mempertahankan kepala menumpu di meja.
"Kayaknya aku mau menunggu Alde mengembalikan KTP dan teman-temannya, deh." ujarku yang mendadak enggan bergerak ke mana-mana. Entah mengapa bepergian tanpa membawa identitas apapun terasa seperti orang hilang.
Yang paling gawat kalau ada operasi polisi. SIM tak ada, STNK ikutan pergi bersamanya. Mau beralasan hilang, tidak mungkin mereka langsung percaya.
"Sebaiknya kamu bikin surat kehilangan dulu ke polisi. Lagipula setahuku kalau mengurus KTP hilang syaratnya juga harus ada surat kehilangan dari polisi." saran Erli terdengar masuk akal. "Daripada cuma menunggu sambil bengong begitu."
"Tapi," sanggahku meski pikiranku menyetujui perkataan Erli.
"Mau aku temani?" Erli menawarkan diri. "Mumpung aku libur."
"Terus kalau ternyata Alde bisa mengambil tasku? Aku punya kartu dobel, dong?"
"Coba kamu tanyakan kesanggupannya?" usul Erli.
"HP-nya juga hilang, kan?"
"Benar juga," Erli lalu masuk ke kamarku yang semula hanya berdiri sambil mengganduli pintu. "Tapi masa dia tidak menghubungimu pakai nomor WA mamanya?"
Aku mengangkat bahu. "Lagian buat apa menghubungiku?"
"Menanyakan apa kamu pulang dengan selamat. Terus menegaskan kalau dia akan segera berangkat untuk mendapatkan kembali mobil, ponselnya juga tasmu."
"Kamu pikir Alde cuma mau mengambil barang titipan?" cibirku. "Tinggal bilang, sini kembalikan mobil beserta isinya. Itu nggak mungkin, Li. Sepertinya butuh proses." desahku diakhir kalimat.
"Makanya langsung diurus aja surat kehilangannya. Kalau nanti jadi dobel, bisa buat cadangan." ucap Erli tersenyum lebar mengandung bibit kenakalan.
"Terus nanti kalau ditanya Pak Polisi kronologi hilangnya tasku gimana?" Meski aku tidak yakin kartu-kartuku kembali, tetapi saat akan mengurus surat kehilangan demi keamanan langkah ke depan tetap saja enggan.
Coba Alde tidak berjanji akan mengambil tasku yang tertinggal di mobilnya yang raib ketika kami kembali. Jadinya, aku tidak terlalu berharap dan segera mengurus semua.
"Bilang aja kecurian pas kamu naik kendaraan. Gitu aja, kok repot. Kamu itu kebanyakan alasan. Jangan-jangan kamu takut sama polisi." tuduh Erli semena-mena meremehkan keberanianku.
"Enak aja." protesku. "Kenapa aku mesti takut sama polisi. Toh aku nggak ada salah sama mereka."
"Terus mau alasan apa lagi?" tantang Erli.
"Kalau harus bayar gimana? Aku nggak ada cadangan uang banyak lho."
"Erli siap meminjami." Tangan kanan Erli menepuk dada kirinya.
"Kalau ketemu polisi sebelum sampai ke kantornya, terus ditanya SIM dan STNK?" aku masih berusaha mengelak.
"Erli siap jadi ojek gratisan. Kalau perlu antar sampai ke rumahmu sekalian, sampai memproses KTP baru."
"Beneran?" sangsiku.
"Tawaran Erli hanya berlaku dalam lima detik, kalau kamu masih bingung menentukan pilihan. Maaf aja, penawaran langsung ditutup tidak bisa dibuka lagi. Oke, hitungan lima detik dimulai dari sekarang." Erli memandang jam dinding mungil yang tertempel di atas mejaku. "Satu... " Erli mulai berhitung menyesuaikan laju detik jam.
Aku ikut memandang jam dinding yang dasarnya ada siluet orang sedang memperagakan jurus kempo. Jam dinding yang merupakan souvenir saat Dojo Kempo tempatku berlatih merayakan hari jadinya.
Tanpa aku sadari detik jarum jam terus berjalan seperti tanpa kompromi. Tepat pada detik kelima aku langsung berdiri dan mengajak Erli berangkat ke kantor polisi.
Erli tersenyum geli melihatku terengah-engah sebelum mengambil keputusan. Seperti habis balapan dengan larinya jarum jam yang ternyata putarannya lumayan cepat bila diperhatikan.
Lima belas menit kemudian kami berdua telah siap melaju ke polsek terdekat. Begitu sudah tiba di gerbang masuk polsek yang tidak terlalu ramai, mendadak aku berubah pikiran.
Hei, hei, bukan berarti aku takut sama polisi ya. Tetapi, lebih pada merasa sia-sia kalau ternyata Alde sedang berusaha sekuat tenaga mendapatkan semua barang berharga milikku. Ternyata aku sudah punya kartu yang baru.
Namun, Erli tidak tinggal diam. Dia menarikku paksa hingga duduk tepat di hadapan salah satu petugas polisi yang langsung menanyakan keperluan kami berdua.
Lalu, berceritalah aku dengan sejujur-jujurnya. Tidak peduli Erli berkali-kali menyenggol lenganku yang kutafsirkan; kenapa mesti cerita panjang lebar sesuai keadaan di lapangan? Kamu pikir mereka percaya. Nah, lihat si petugas polisi senyum-senyum geli menganggap ceritamu mengandung hoaks stadium akhir.
"Baik, silakan menunggu suratnya yang akan segera kami buatkan." ucap petugas polisi yang berkumis tebal pada ujung sudut bibirnya. Tak lupa sunggingan senyum yang berarti: ada-ada saja. Tentu berkenaan dengan kisah hilangnya tas dan semua kartu penting milikku.
Kira-kira lima belas menit kemudian. Surat kehilangan dari kepolisian telah ada di tangan. Erli tersenyum puas. Dan entah mengapa aku menjadi sedikit lega.
Selanjutnya tinggal pulang rumah dan mengurus KTP yang sedang berkelana. Anggaplah demikian. Saat aku sedang memasukkan surat kehilangan dari kepolisian ke dalam tas pemberian mama Alde, ponselku berbunyi.
Satu nomor tanpa nama memanggil-manggil dengan deras. Lama aku menimbang perlukah mengangkatnya.
"Siapa?" tanya Erli melirik ponselku.
"Entahlah," sahutku lalu mengusap layar ponsel dengan ibu jari sambil menebak-nebak siapakah gerangan pemilik nomor tidak dikenal itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top