Lembayung
Kalau si pengirim bunga memberi nama terang tentu aku dan Erli tidak jadi curiga, berprasangka juga penasaran. Selama ini orang yang mengirim bunga hanya menuliskan nama alias yang sangat remang-remang.
Bunga yang datang setiap tanggal satu, setelah rangkaian kata ucapan di bagian bawah kanan tertulis: Pangeran Kesepian. Sedangkan yang datang pada tanggal lima belas sama sekali tidak ada nama pengirim. Seolah nama pengirim menginduk pada kiriman yang pertama meski berbeda bulan.
Mawar pertama yang kuterima, terselip ungkapan permohonan maaf yang tidak aku mengerti. Memangnya orang itu punya salah apa sama aku sampai mengirimkan bunga sebagai permintaan maaf. Lalu bunga berikutnya dengan perlambang lily kembali seakan menegaskan permintaan maaf yang pertama.
Kira-kira begini isi tulisan dalam pesan yang datang bersama bunga-bunga itu,
Ucapan yang tertera pada tanggal satu tertulis di bulan pertama:
"Untuk Shaula. Aku sangat ingin menebus kesalahan masa lalu. Tetapi aku tidak tahu dari mana harus memulai. Mawar mungkin bukan pernyataan yang tepat. Ibarat lontaran hati yang bimbang."
Pangeran Kesepian
Sedangkan yang menyertai bunga lily kata-katanya lebih singkat. Meski masih tidak memberi petunjuk kesalahan apa yang harus kumaafkan:
"Maaf untuk semua yang pernah kamu alami."
Bulan ketiga, coretan yang hadir masih berupa ungkapan penyesalan. Untaian kalimat yang tersemat bersama bunga mawar kurang lebih seperti ini:
'Untuk Shaula. Semoga bunga ini bisa mengobati sakit yang pernah kau rasa.'
Pangeran Kesepian
Lalu yang datang bersama lily di bulan berikutnya pada tanggal lima belas bulan keempat, berisi kata yang lebih lugas lagi.
"Maaf, belum bisa datang menemuimu."
Dan ucapan terakhir yang kuterima makin membuat merinding.
"Untuk Shaula. Seumpama engkau mawar, maka izinkan aku menjadi duri yang akan melindungimu dari segala duka nestapa."
Pangeran Kesepian
Erli saja yang semula antusias menjadi bergidik. Tak heran bila hari ini kami sengaja mendatangi toko bunga yang mengirimkan buket bunga yang datang berikutnya. Tentu setelah menginterogasi ala-ala Pak Polisi yang sedang menanyai saksi pada kurir yang tidak beruntung di hari itu.
Begitu kiriman bunga lily datang, kurir yang mengantar segera kami dudukkan di teras depan. Aku dan Erli langsung menanyakan alamat toko bunga yang menerima pesanan buket bunga tersebut.
Dan,lihat, saat ini kami sudah seperti detektif yang menyelidiki suatu kasus. Nyatanya, Toko Bunga Lembayung yang menjual jasa kirim bunga tidak tahu pasti nama orang yang memesan bunga tersebut. Pasalnya orang itu hanya datang sekali, untuk selanjutnya memesan melalui telepon.
"Beneran nih, Mbaknya enggak ingat ciri orang yang membeli buket bunga lily waktu itu?" tanyaku masih berharap pelayan toko bunga mempunyai kilasan ingatan meskipun samar-samar.
Perempuan muda yang memakai ikat rambut berbentuk bunga itu menggeleng, "Yang datang untuk membeli bunga lily kan, tidak cuma satu orang. Meski tidak banyak tapi saya tidak begitu ingat orang-orangnya."
"Ah ya," gumamku sambil memperhatikan toko yang sedang sibuk. Kalau melihat dari aktivitas yang sedang berlangsung, sepertinya mereka tengah mempersiapkan dekorasi untuk pernikahan.
"Memangnya ada apa ya, Mbak?" tanya Mbak Pelayan yang di dada sebelah kirinya tersemat papan nama bertuliskan; Siska.
"Kalau ada orang kirim bunga tanpa nama pengirim, menurut Mbak Siska meresahkan tidak?" aku meminta pendapat Siska yang bersedia menerimaku meski tidak ada indikasi mau membeli bunga.
"Bukannya malah senang ya? Ada seseorang yang diam-diam suka." Siska setengah menggoda.
"Serem, baru benar." sahutku dengan menarik senyum setengah.
"Kok gitu?" tanggap Siska mengerutkan mulutnya.
"Iyalah, kalau ternyata yang kirim bunga om-om sudah beristri apa enggak gawat?" sahutku yang mendadak tercetus wacana tersebut. Meski dalam hati berujar; Om-om mana yang tertarik sama aku?
"Kalau yang kirim cowok ganteng kaya raya?" sembur Siska.
Kemungkinan itu entah mengapa sama sekali tidak terpikirkan olehku. Tetapi bisa jadi ada. Bibirku segera tertarik ke kiri dan ke kanan.
"Itu lain cerita, eh, tapi tetap serem juga." ulasku yang segera kehilangan senyum karena membayangkan cowok ganteng nan kaya raya itu ternyata psikopat. Tubuhku langsung disko giris.
"Ah, masa." Siska mencibir kegundahanku.
Aku tidak mengacuhkannya. "Oh ya, kalau orang itu selanjutnya memesan lewat telepon, mestinya ada riwayat nomor teleponnya, kan?" cecarku membalik pada percakapan awal. "Apa boleh saya lihat nomor yang memesan bunga lily untuk saya?"
Siska memandangku ragu. Dia lalu menoleh pada seorang wanita yang terlihat sangat dominan mengatur dekorasi dari bunga krisan.
"Sebentar ya, saya tanya bos dulu." ucapnya kemudian berlalu dari hadapanku.
Siska menghampiri seorang wanita berumur tiga puluhan yang memiliki riasan lumayan tebal. Saat Siska mulai bicara dengannya, wanita yang rambutnya berlayer kebiruan memandang kepadaku. Sebagai upaya beramah-tamah aku tersenyum padanya sambil menganggukkan kepala.
Gerak selanjutnya wanita yang Siska bilang sebagai bosnya itu sudah melangkah ke arahku. Tanpa basa-basi perkenalan dia langsung berujar;
"Sebenarnya kami tidak pernah membagikan nomor telepon pelanggan. Takutnya ada yang menyalahgunakan. Tetapi karena Mbaknya tadi bilang kalau kirima bunga dari orang itu justru meresahkan, saya pikir tidak apa-apa kalau itu bisa membantu. Tapi saya juga perlu minta nomor kontak Mbaknya untuk berjaga-jaga bila ternyata terjadi hal yang tidak diinginkan pada pelanggan kami."
"Siap," balasku tanpa ragu dengan hati membuncah akan segera menangkap si pengirim bunga yang kurasa terlalu pengecut. Tidak berani mengirim bunga secara langsung. Hanya memakai jasa kurir dan tanpa nama terang pula.
Bersamaan dengan itu, Siska mendekat sambil membawa satu buku batik yang kemudian dia serahkan pada wanita yang dia sebut bos tadi.
"Dia menyebutkan dirinya sebagai Om Bull." kata Bos Bunga setelah memberikan nomor kontak pelanggannya yang misterius.
"Om Bull," ulangku mengernyitkan kening sambil memandang Erli yang sudah merapat ke arena percakapan. Sebelumnya dia seperti kupu-kupu berkeliaran di antara bunga yang terpajang.
"Pelanggan kami yang satu ini seingat saya juga berpesan agar tidak mencantumkan nama pada kartu ucapan di bunga. Ibarat pelanggan itu raja, kami harus mengikuti arahannya. Saya tidak mau pelanggan saya merasa kecewa karena permintaannya tidak terpenuhi." oceh Bos Bunga menyatakan pendiriannya.
Aku manggut-manggut memahami. Kepercayaan pelanggan terhadap suatu produk atau pelayanan memang sangat penting.
"Oh ya," aku teringat sesuatu lalu mengeluarkan kartu ucapan yang mencantumkan nama; Pangeran Kesepian. "Apa ini juga dari sini?" tanyaku memastikan meski jenis kertas dan bentuk kartu ucapannya berbeda.
Si Bos Bunga menggeleng. "Ini bukan kartu ucapan dari toko bunga kami." lanjutnya sambil meraih kartu yang berwarna merah jambu dari tanganku. "Kertas yang kami gunakan selalu kertas embos. Warna yang kami gunakan juga warna lembayung, sama seperti nama toko."
"Mbak Bos tahu toko bunga yang pakai kertas ucapan ini?" tanyaku selanjutnya lebih pada pertanyaan iseng-iseng berhadiah. Semacam untung-untungan. Berharap bos bunga ini tahu toko bunga lain yang memakai kertas ucapan itu. Kalau tidak tahu, ya sudah, yang penting usaha tanya. Daripada tersesat di jalan.
"Toko bunga di Purwokerto sekarang ini banyak, saya tidak tahu pasti." kata Bos Bunga Lembayung kembali menyerahkan kartu ucapan yang tertera identitas pengirimnya. Ya, walaupun menggunakan nama samaran.
"Nanti kita coba telusur di map." Erli menjawil lenganku mengusulkan sebuah ide yang langsung kusetujui. Mungkin Erli sudah lelah dengan percakapan yang terasa buntu tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih yang tidak berhingga. Kami berdua pun berpamitan. Tetapi berkat Erli, kami keluar dari toko bunga bak pelanggan yang terhormat. Tidak mengesalkan amat hanya tanya-tanya membuang waktu percuma tentunya bagi si pemilik toko.
Untung Erli terpikat pada salah satu bunga yang ada di Toko Lembayung itu. Sekuntum bunga sedap malam yang menurutku baunya agak seram.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top