Khayalan Tingkat Nirwana

Aktivitas harianku selagi menunggu perkuliahan, pagi berliaran mencari sampah lalu sore harinya memilah-milah. Untuk sementara ini aku masih fokus ke sampah plastik yang tinggal memungut. Niatnya nanti kalau aku sudah dikirimi jatah bulanan, aku akan keliling ke rumah-rumah buat cari rongsokan berbayar. Maksudnya aku membeli rongsokan pada orang-orang yang mau membuang sampahnya terkhusus sampah kertas atau buku-buku yang tidak terpakai.

Menurut Pak Talim harga kertas putih lebih mahal dari kertas buram. Sementara kardus, juga terbagi menjadi dua. Kardus karton dan duplex. Dari dua jenis kardus itu yang murah kertas duplex yang menjadi kotak pembungkus sabun, pasta gigi, kotak makanan dan lainnya yang sejenis dengan itu.

Sore hari yang cerah. Aku sedang memilah sampah. Erli masuk shift siang hingga malam. Dan aku sore ini mendapat tugas tambahan menjaga lapak Pak Talim, barangkali ada yang menjual barang rongsokan padanya. Tetapi Pak Talim dan istri sedang pergi kondangan ke tempat saudara yang ada di Patikraja. Kemungkinan Magrib baru pulang.

"Mari Pak, silakan!" sambutku seramah mungkin ketika melihat seorang pria seumuran bapakku masuk ke area lapak Pak Talim.

Tetapi orang itu malah kaget sampai hampir menjatuhkan karung yang dipanggulnya. Aku menjadi merasa bersalah, dan juga bersyukur karena pria itu tidak punya penyakit jantung yang bisa langsung membuatnya pingsan. Aku yang duduk di tepian pagar yang kubuat, memang tiba-tiba berdiri dan menyambutnya. Kaos putih yang kupakai juga kerudung putih agar serasi dengannya mungkin mengesankan ada sesuatu yang sedang meloncat.

"Maaf, Pak. Kaget ya." ucapku segera. "Bawa apa, Pak?" kataku lalu melangkah keluar area pertahananku membimbingnya ke tempat penimbangan barang milik Pak Talim yang berada di bawah pohon kersen. Satu pohon yang buahnya kecil merah dan aku seringkali meminta atau berebut dengan cucu Pak Talim kalau datang. Aku menyebutnya dengan cery Jawa meski bentuknya sangat berbeda.

"Kaleng, Mbak?" Bapak itu mulai mengeluarkan isi karung untuk memperlihatkannya padaku. Ada dua karung yang dia bawa.

"Kaleng semua?" tanggapku melihat pada karung yang satunya.

"Ada botol bekas sirup." katanya membuka karung yang satunya.

"Tolong dipisahin Pak, antara kaleng sama besi, nanti tinggal saya timbang." kataku setelah mengintip karung kaleng yang terselip beberapa besi. Kemudian melihat pada karung yang katanya berisi botol. "Ini bening semua?"

Bapak pemulung diam saja, dia sibuk memilah-milah isi karung yang campur. Aku lalu mengangkatnya dan menimbang karung botol bekas yang sudah seragam warnanya. Timbangan yang tergantung di dahan pohon kersen menunjuk angka tujuh kilo gram. Setelah mencatat beratnya pada buku yang ada di meja tak jauh dari pohon dan timbangan, aku mengeluarkan botol-botol itu.

Selanjutnya ganti menimbang besi yang sudah terpilah, memasukkan pada karung yang sudah kosong. Bapak itu lalu memasukkan bermacam kaleng-kalengan pada karung semula.

"Besi cuma segini?" tanyaku memastikan setengah melongok pada karung yang satunya.

"Iya, Mbak." sahutnya lalu memperhatikan aku yang sudah mulai menimbangnya, tak lupa mencatatnya. Selanjutnya karung terakhir.

Yap, tugas penimbangan selesai. Tinggal menghitung total uang yang akan diterima Bapak itu. Aku melihat pada daftar beli barang rongsokan yang terselip dibuku. Menghitung jumlah penerimaan menggunakan kalkulator ponselku.

Bapak itu mengeluarkan isi karung lalu melipat karungnya sebelum menerima uang dariku.

"Makasih, Mbak." ucapnya dengan senyum terkembang.

"Sama-sama." balasku sembari mengunci laci uang Pak Talim yang sengaja disisakan sebagai modal pembelian rongsokan sore ini.

Bapak pemulung mengangguk kecil lalu melangkah pergi. Melihat sampah kaleng dan botol mengingatkanku pada suatu hari ketika Pak Talim mengajakku ke Bandar Alun. Kami berkonvoi pakai sepeda motor menuju bandar beling dan logam-logaman itu. Pak Talim membawa motor bak roda tiganya yang berisi penuh jenis rongsokan itu. Aku sangat senang Pak Talim mengenalkanku pada dunia bisnis persampahan ini.

Aku masuk ke sebuah bangunan besar yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan sekaligus kantor. Terus terang aku sangat terkagum-kagum dengan kondisi penampungan bandar beling dan logam ini. Banyak sekali aneka barang rongsokan yang tersusun rapi pada pos-posnya. Beberapa orang tampak sibuk mengepak barang-barang, ada juga yang terlihat sedang mengangkut besi-besi, logam ke dalam truk.

Di sisi terdalam gudang terdapat sekat dari tembok, berpintu dan berjendela, sepertinya sebuah kantor. Dari dalam muncul seorang pria berusia 40-an. Dia menyambut kedatangan kami dengan ramah.

Dan ruangan itu beneran sebuah kantor. Kantor yang sederhana. Cuma ada dua buah meja. Satu meja merupakan meja pimpinan dan satu lagi meja dengan seperangkat komputer yang ditempati oleh seorang wanita. Mungkin sekretaris atau bagian administrasi.

Setelah Pak Talim dan aku mengutarakan maksud kedatangan kami yang tanpa undangan, Pak Alun, nama bandar tersebut keluar memanggil seseorang. Mengajak dia masuk lalu,

"To, tolong beling dan kaleng yang mereka bawa ditimbang." kata Pak Alun.

"Baik, Pak!" sekilas dia tampak bingung, "Barangnya mana?"

"Masih di luar," sahutku.

"Silakan, ikuti Pak Yato ini."

Aku dan Pak Talim menurut saja. Barang rongsokan yang kami bawa diproses oleh Pak Yato.

Kami kembali lagi ke kantor guna mengambil uang dengan mendasarkan pada nota yang Pak Yato berikan. Pak Alun melihat nota itu sebentar.

"Silakan ambil uangnya di Mbak Wenti, itu!" tunjuknya pada wanita yang sedang sibuk mencatat, tapi ketika namanya disebut Pak Alun, dia mengangguk dan tersenyum ke arah kami.

Aku beranjak mendekati meja Wenti menyerahkan kertas kecil berisi catatan total berat timbangan barang-barang rongsokan kami. Wenti menerima kertas itu lalu menghitungnya pakai kalkulator, kemudian membuka laci dan memberikan sejumlah uang padaku.

"Makasih." kataku.

Dia mengangguk, "Sama-sama." balasnya tersenyum manis.

Pak Alun mengantar kami hingga ambang pintu gudang. Selama perjalanan menuju pintu gudang kami banyak bercakap-cakap.

"Ya, setiap minggunya kami harus siap dengan barang rongsokan puluhan ton untuk disetor ke pemasok. Kalau beling bisa langsung kami setor ke pabrik." katanya menerangkan.

Aku manggut-manggut takjub. Puluhan ton? Lapak Pak Talim masih menghasilkan beberapa kilo saja. Wow, itu akan menjadi pe-er bagiku untuk melampui target itu kalau ingin tembus ke pabrik atau pamasok. Bila ingin serius membangun bisnis sampah. Berarti target masih jauh.

"Pokoknya kalau sudah ada cukup banyak setor saja." katanya lagi.

"Baik, Pak. Dan terima kasih." ucap kami sebelum undur diri.

Kami berkonvoi lagi dengan motor balik ke rumah. Tiba di pelataran yang masih tampak tumpukan rongsokan yang belum memenuhi target jual aku menatapnya sambil manggut-manggut. Berdiri tepat di tengah-tengah antara tumpukan sampahku dengan sampah Pak Talim yang tentunya lebih banyak.

"Ada apa, Mbak?" tanya Pak Talim.

"Kalau dipikir ternyata pekerjaan kita ini sungguh mulia ya, Pak?" Aku tertawa dalam kenarsisan tingkat tinggi. "Mengais sampah untuk didaur ulang." aku menatap Pak Talim yang tersenyum, lalu memandang ke gundukan sampah lagi. "Berarti kita ikut membantu mengurangi jumlah polusi akibat sampah. Rasanya tidak terbayang deh, kalau tidak ada profesi pemulung dan pelapak seperti kita."

Pak Talim tertawa kecil mendengar celotehanku, "Saya sama sekali tidak pernah berpikir ke arah itu. Saya hanya berpikir bagaimana bisa dapat duit buat anak istri. Alhamdulillah, saya bisa hidup dari barang yang kotor ini." tersenyum. "Bukan sebaliknya bekerja di tempat bersih tapi justru kotor, dalam tanda kutip." katanya tertawa lagi.

"Ah, benar-benar." tanggapku manggut-manggut.

"Saya sebenarnya masih belum mengerti, kenapa lulusan ahli madya macam Mbak Shaula bisa memilih usaha macam ini?" Pak Talim menatapku dengan mimik penasaran. "Bahkan rela memulung."

"Usaha apapun atau pekerjaan apapun yang penting halal kan, Pak. Siapa tahu suatu saat nanti ini bisa menciptakan lapangan kerja." Bagiku ini menjadi satu impian besar kemudian. Apalagi setelah melihat tempat Bandar Alun tadi. Sungguh aku ingin menjadi seorang bandar setelah ini atau kalau perlu menjadi pemasok ke pabrik-pabrik.

"Benar. Tapi pekerjaan ini berat dan butuh ketelatenan. Apa ada alasan khusus?" ucap Pak Talim yang sudah duduk di sebelah meja transaksinya.

"Ada pasti, tapi alasan klise, saya rasa duit. Itu alasan saya."

Hening sejenak. Kami memandangi hamparan rongsokan. Seperti sedang menatapi keindahan taman bunga.

Tiba-tiba Pak Talim tertawa, "Iya, kok bisa-bisanya Mbak Shaula kepikiran ingin jadi pengusaha lapak yang kotor dan tidak elit?"

"Kalau itu, sebenarnya ini gara-gara teman saya, Pak. Waktu itu kami mengobrol banyak tentang sampah. Tepatnya, sih, saya dikuliahi tentang sampah dan pengelolaannya. Jadi ketularan latah ingin semua tempat bebas sampah." diam sembari menerawang. "Apalagi setelah melihat aktivitas para pemulung yang tiap hari berkeliaran memungut sampah, jadi terinspirasi. Jadi kepikiran, kenapa tidak coba bisnis sampah?"

Pak Talim tersenyum, "Begitu?"

"Bukan itu saja, setelah itu saya tidak sengaja membaca satu berita yang mengatakan bahwa di samudera pasifik telah muncul pulau sampah. Saya, sih, mikirnya dari pada sampah plastik itu jadi pulau sampah yang enggak ada manfaatnya kenapa tidak mengatasinya dengan mengupayakan mendaur ulang. Kalau bisa menghasilkan duit, kenapa mesti dibuang?

Kali ini Pak Talim geleng-geleng kepala. Mungkin dia berpikir aku ini mata duitan atau terlalu berkhayal. Melihat sampah yang dilihat malah uang. Tetapi biarlah. Sesekali berpikir idealis tidak ada salahnya.

Mungkin setelah ini aku benar-benar bisa jadi pengepul__pengumpul sampah sebelum masuk pabrik daur ulang. Atau mungkin kelak aku bisa membangun pabrik daur ulang sekalian. Biar bisa menyaingi Zabbaleen di Kairo. Kalau Zabbaleen berhasil membuat sistem pengumpulan sampah dan daur ulang sampah sampai dengan 85%, aku akan mengubah dan memanfaatkan sampah sampai 100%. Bagaimana? Kalau Zabbaleen sanggup mempekerjakan 40.000 orang, aku akan pasti mampu menjaring 100.000 orang pekerja, mungkin malah lebih.

Dengan begitu bukankah aku membantu pemerintah dalam penanganan sampah dan membantu mengurangi pengangguran?

Rasanya aku telah berdiri di atas singgasana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top