Ketika Cinta Mulai Mengetuk Hati
Sepulang dari rumah Alde, aku terus memikirkan perkataan Bu Soraya Pasha. Sungguh aku merasa bersalah. Gara-gara tasku terbawa penculik mobil Alde, pria itu nekat mendatangi rumah papa dan keluarganya yang sudah berkali-kali mendepaknya dengan sadis.
Meski Bu Soraya Pasha diakhir pertemuan mengungkapkan permintaan maaf, karena gara-gara anaknya tasku beserta kartu-kartu penting ikut hilang. Namun, hatiku tetap terpancang pada perkataan sebelumnya; Alde tidak mengindahkan larangannya berkaitan dengan tasku itu.
Aku hanya berharap Bu Soraya Pasha tidak mengutuk Alde sebagai anak durhaka. Justru mendoakan keselamatan bagi anak semata wayangnya itu. Pulang dan berhasil membawa kembali mobilnya sekaligus tasku yang malang.
Saat aku menceritakan kegalauanku pada Erli keesokan paginya, dia justru menanggapi dengan santai.
"Tenang aja, bukannya bagus ya. Sekali dayung dua tiga pulau terlampui." ucap Erli mendadak berpantun. Dia memandangku dengan wajah penuh keheranan atas sikapku yang terlalu memikirkan orang lain.
"Bukan begitu, ini sudah hari keempat lho. Sejak aku kehilangan tas. Kalau sampai terjadi sesuatu, gimana? Mamanya Alde pasti akan menyalahkanku seumur hidup." tanggapku berpikir terlalu jauh ke depan.
"Hati-hati!" tandas Erli. "Kata-kata untuk masa depan, bisa menjadi doa. Sebaiknya kamu berpikir yang positif aja."
Aku menegakkan tubuh, lalu mengusap wajahku sambil mengucapkan istigfar.
"Katakan, Alde pasti bisa mengambil mobilnya beserta tasku!" Tangan Erli terangkat seperti dirigen yang memberi aba-aba agar grup paduan suara memulai nyanyiannya. "Ayo!"
"Alde pasti bisa mengambil mobil dan mengembalikan tasku." ucapku akhirnya setelah beberapa saat ragu.
"Begitu, lebih baik." Erli manggut-manggut tersenyum penuh optimisme tinggi. "Aku selalu berusaha untuk mengatakan hal yang positif agar tidak terlalu stres kalau sedang menghadapi sesuatu. Cukup berhasil. Aku melakukan latihan berkali-kali hingga bisa pada titik slow motion seperti ini. Awalnya aku juga gampang frustasi kalau menemui masalah. Sekarang lebih santuy."
Aku meringis mendengar penuturan Erli. Bicara memang mudah. Aku jadi teringat pernah menghibur Alde yang dulu katanya lelah selalu tertimpa masalah dan musibah. Akan tetapi, kata-kata Erli barusan terus terang cukup menghiburku.
"Kira-kira berapa lama dia akan menyelesaikan itu?" aku menghempaskan diri ke sofa ruang tamu.
"Sabar. Tunggu aja,"
"Tapi aku nggak bisa menunggu lama, mengingat kartu-kartu pentingku."
"Kalau kamu mau mengurusnya dulu, nggak pa-pa sih."
Aku menggeleng dan mengangguk. Bingung mau melakukan apa. Serba salah. Masih berkutat pada bagaimana kalau nanti setelah mengurus semua kartu aku malah jadi punya kartu ganda. Di lain pihak selama masa tunggu, rasanya tidak tenang ketika aku bepergian tanpa membawa identitas apapun.
Jadi aku harus bagaimana? Akhirnya aku jatuh menggelosor ke samping di atas sofa.
"Oh ya, kalau kamu mau main ke rumah Alde lagi, jangan lupa ajakin aku." ucap Erli keluar jauh dari topik tentang kehilangan yang sungguh menggalaukan hatiku.
"Mau ngapain ke sana?" sahutku sambil menatap langit-langit yang banyak sarang laba-laba.
"Menanyakan apakah Alde berhasil mengambil mobilnya, barangkali."
"Bisa lewat WA, itu."
"Atau kamu mau mengucapkan terima kasih secara langsung kalau Alde berhasil mengembalikan tasmu."
Aku mencubit bibir bagian bawah beberapa kali.
"Nggak ada rencana seperti itu."
"Kalau gitu, adain dong!" Erli memaksa. Kepalanya sudah bertumpu di lututku yang tertekuk tak jauh darinya.
"Apaan sih?" ujarku sembari menggerakkan lutut untuk mengusir kepala Erli.
"Aku pengin ketemu Soraya Pasha lagi." rengek Erli dengan memanyunkan mulutnya.
"Main aja sendiri. Sana-sana." usirku yang merasa risih manakala kepala Erli hendak menopang di lututku lagi. Aku bahkan menendang-nendang pelan tubuh Erli agar menjauh dari kakiku.
"Ih, jangan main KDRT dong!" protesnya sambil menjauh.
Mau tak mau aku tertawa mendengar komentarnya. "Sori,"
"La," suara Erli terdengar serius ketika memanggil namaku. Bukan panggilan yang bernada manja seperti biasanya.
"Ya," balasku mengambil posisi duduk kembali.
Erli memaling padaku lalu terdiam beberapa detik. Aku menggerakkan alis ke atas menandakan adakah sesuatu yang ingin dia tanyakan.
"Kamu suka Alde?"
"Hah?" Mulutku sungguh menganga lebar. Semoga tidak ada nyamuk atau lalat yang iseng masuk ke sana.
"Kalian tidak sedang dalam penjajakan, kan?"
"Penjajakan apa?" tanggapku membego. Tapi kemudian aku sudah tertawa saat air muka Erli terundung kecemasan juga gemas. "Kamu suka Alde?" tembakku langsung setelah menyadari makna dari pertanyaan teman satu kontrakanku ini.
"Bukan, yang aku suka itu mamanya." sahut Erli cepat.
"Sama anaknya juga nggak pa-pa keles." godaku sambil menjawil lengannya. "Jadi kamu mau pacaran sama Alde biar bisa jadi menantu Soraya Pasha?"
Aku mengangguk-angguk dan mengerling ke arah Erli. Gadis yang menurutku bisa jadi wanita idaman pria itu, tidak menjawab pertanyaanku justru memalingkan wajahnya ke arah jam dinding. Satu gerakan yang menurutku ganjil.
"Kamu enggak ikut narik sampah bareng Pak Talim?" Erli malah balik bertanya tentang kebiasaanku saat tidak ada jam kuliah.
Mataku mengikuti arah pandangannya. Waktu itu jam telah menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Ah, benar!" sahutku serta merta berdiri.
Aku menggeliat menarik pinggang ke kiri dan ke kanan. Melirik pada Erli yang wajahnya tampak bersemu kemerahan.
"Mau aku comblangi?" tawarku yang mendapat lirikan malu-malu dari Erli.
***
Sore harinya saat aku memasuki halaman rumah sesosok pria tampak sedang mengobrol dengan Pak Talim. Aku tidak bisa langsung mengidentifikasi pria itu karena posisinya membelakangi pintu gerbang. Baru setelah dia menoleh, mungkin karena mendengar deru sepeda motorku, senyum senang serta merta kutampilkan.
Alde datang. Dadaku rasanya membuncah. Bukan karena perihal cowok itu penyebabnya. Senyumku merekah karena kartu-kartu penting akan kembali kepelukanku. Aku sangat yakin Alde datang untuk mengembalikan tas beserta isinya. Tidak ada alasan lain kehadirannya di sini kecuali itu, kan?
Enyah sudah, bayangan keribetan yang akan kujalani saat harus mengurus semua kartu yang hilang. Dan, satu lagi. Mungkin aku bisa langsung melancarkan serangan mak comblang untuk Erli.
Salam kulepaskan seiring laju kaki yang melangkah ke bawah pohoh kersen yang menaungi Pak Talim dan Alde. Keduanya membalas hampir bersamaan. Alde malah berdiri menyambutku dengan ekspresi tersenyum namun, terkesan satir.
"Kamu baik-baik aja?" tanyaku setelah berdiri sejengkal dari posisi Alde berdiri.
"Ya, seperti yang kamu lihat." sahut Alde dengan tangan kanannya menyentuh bahu sebelah kiri. "Tidak kurang suatu apa."
"Syukurlah," balasku segera. Mengabaikan bahasa tubuhnya yang mungkin sedang mengatakan bahu kirinya mengalami cedera. "Silakan duduk lagi." Tanganku menyorong ke depan mengarah pada bangku yang semula Alde duduki.
"Mbak Shaula habis kuliah?" tanya Pak Talim.
"Iya, Pak."
"Nah, berarti dugaan saya benar." ucap Pak Talim pada Alde.
Alde menanggapi dengan anggukan dan senyum. Matanya kemudian telah menatapku seakan ingin mengatakan sesuatu.
"Apa mobilmu berhasil kamu ambil?" tanyaku karena Alde tidak juga bersuara. Lagipula mobil yang terparkir di luar gerbang bukan mobil Pajero Sport miliknya.
"Ya, aku berhasil mencuri mobilku lagi." kata Alde memunculkan ekspresi heran dari Pak Talim.
"Mencuri? Mencuri mobil sendiri?" ujar Pak Talim.
"Itu ceritanya panjang, Pak. Yang jelas, kalau saya tidak mengambil dengan diam-diam mustahil mereka mau mengembalikan." Pandangan Alde berpindah-pindah dari aku ke Pak Talim.
"Trus yang di luar mobil siapa?" tanyaku yang bersamaan dengan munculnya gambaran mobil mamanya Alde. "Mobil mamamu?"
Alde mengangguk. "Mobilku sedang aku sevice di bengkel." sahut Alde.
"Oh ya, berarti tasku juga aman dong ya?" lontarku yang sudah sangat ingin bertemu dengan harta bendaku yang berharga.
"Soal itu," Alde memandang Pak Talim sekilas.
"Ah, ya. Silakan lanjutkan obrolannya." tanggap Pak Talim mendadak undur diri.
Dia sepertinya merasa tidak seharusnya terus ikut mengobrol tentang sesuatu yang tidak dia ketahui. Apalagi Alde tampak tidak berkenan untuk menceritakan.
"Ada hal yang harus saya lakukan." lanjutnya sebelum melangkah masuk ke rumahnya.
"Ya Pak, silakan." sahutku. Sementara Alde menyahuti dengan mengucapkan terima kasih.
"Berarti tasku..."
Belum lagi Alde menjawab pertanyaanku yang menggantung, Pak Talim keluar rumah dan melewati kami. Rupanya dia tadi masuk ke rumah hanya untuk mengambil kunci motor. Selanjutnya setelah berpamitan lagi pada kami, dia melajukan motornya keluar area timbunan sampah yang merupakan ladang uangnya.
"Maaf," ucap Alde ketika Pak Talim telah menghilang dari pandangan mata kami.
"Apa tasku enggak ada di mobil?" tebakku dengan was-was.
"Tasmu ada," sahut Alde cepat.
"Ya ampun, kamu mau nge-prank rupanya." balasku sambil menyentuh pangkal hidung dan menekannya agar tidak merasa pusing lagi.
"Bukan begitu." Alde menampik pradugaku yang terdengar menyenangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top