Dia Itu Siapa?
Begitu tiba di ujung tangga terbawah, seseorang telah muncul dari arah pintu gerbang. Dari auranya aku mencium sesuatu yang hampir terbakar.
"Eh lho, udah pulang." sambutku dengan wajah nyengir antara malu dan merasa bersalah. Aku pun menurunkan ponsel dari telinga, karena tidak ada sahutan dari Erli yang telah berada di depan mata. "Aku baru aja meneleponmu."
"Apaan, aku telepon juga enggak aktif." sambar Erli dengan sewot.
"Masa sih?"
Aku segera memeriksa ponsel adakah tanda-tanda peringatan telepon masuk dari Whatsapp. Nyatanya tidak ada. Bahkan yang ramai cuma pesan dari beberapa grup, tidak ada chat pesan pribadi.
"Aku meneloponmu sampai sepuluh kali, tahu!" rutuk Erli dengan sewot melangkah dengan menghentak-hentak di tanah.
"Eh," Ketika aku memeriksa kembali ponsel pintar yang layarnya terdapat gambar petir yang muncul setelah jatuh, ternyata pada bagian sinyal tidak ada tanda kehidupan jaringan data. "Sori, data tadi kumatikan." ujarku meringis lagi.
"Kamu sengaja?" sembur Erli sebelum aku sempat mengucapkan permintaan maaf.
"Anu, itu..." Aku bingung mau menjawab dengan alasan apa. Tidak mungkin aku bilang kelupaan karena Alde.
"Oh, lagi asyik pacaran, ternyata." cetus Erli dengan mata yang memicing curiga.
Melihat arah tatapan matanya membuatku serta merta menoleh ke belakang. Alde terlihat sedang menuruni tangga terakhir.
"Bukan!" seruku cepat. "Ceritanya panjang." lanjutku menghampiri Erli lalu mendorongnya halus agar segera masuk ke rumah.
"Kamu enggak mau ngenalin ke aku?" Erli memberontak. Setelah lolos dari cekalanku, Erli justru melangkah mendekati Alde. "Hai, aku Erli teman kos Shaula." Erli mengacungkan tangannya.
"Alde," sahut Alde singkat menyambut tangan Erli seperti asal kena.
Sekilas aku langsung bisa menandai kalau Alde itu bukan orang yang mudah mengakrabkan diri dengan orang. Beda dengan Erli yang selalu menjabat tangan dengan erat. Orang seperti Erli memang tipe orang yang mudah akrab pada siapa pun, bisa langsung bicara apa saja meski baru kenal. Sok kenal sok dekat, jatuhnya. Tetapi memang seperti itu wataknya.
"Nah, berhubung sudah malam. Sebaiknya kamu pulang." Aku segera menyela keduanya sekaligus sebagai kata pengusiran secara halus kepada Alde. "Nggak enak sama Pak Talim." imbuhku sebelum Erli atau Alde berdalih.
Sungguh bukan berarti tidak ingin mengenalkan Erli dengan Alde. Akan tetapi seperti yang kusebutkan tadi, malam sudah makin tua. Tak elok rasanya kalau menerima tamu laki-laki, tanpa sepengetahuan pemilik rumah.
Terus terang aku tadi terlena di atas, hingga lupa waktu. Termasuk sampai lupa menjemput Erli. Tapi semua itu bukan mutlak karena Alde. Hal tersebut terjadi karena hatiku sedang berantakan, meski kemudian berhasil berkumpul dalam suatu oase berjudul magnum.
Lagi pula aku juga sudah terlalu lelah. Aku ingin segera bergelung di atas kasur melupakan sesuatu yang seperti mimpi buruk. Esok pagi aku ingin bangun dengan pikiran segar. Melupakan kericuhan hati.
"Oke, aku pulang dulu." kata Alde tahu diri.
"Mau pulang pakai apa?" tanya Erli yang celingukan tidak melihat kendaraan yang kiranya membawa Alde kemari.
"Ojol," kata Alde sambil mengangkat ponselnya.
Erli mengangguk-angguk. "Kalau gitu, silakan tunggu di teras dulu." ucap Erli mempersilakan Alde masuk ke kawasan rumah kontrakan kami. "Aku mau masuk, kamu temani dia. Maaf ya, udah mengganggu." Air muka Erli yang beberapa menit lalu bersungut-sungut marah karena aku lupa jemput, sekarang sudah berubah seperti senyum ibu peri nan baik hati.
Aku mengerutkan kening dan mulutku memandang pada Erli. Gadis itu menggerakkan kepalanya ke kiri sebagai isyarat bahwa aku harus membawa Alde masuk ke teras.
"Boleh?" Alde meminta persetujuan dariku.
"Ya, tentu." sahutku mendahului langkah, mengikuti Erli yang sudah membuka pintu rumah.
Alde kemudian duduk di pembatas teras, sementara aku memilih berdiri dekat pintu. Berharap ojol pesanan Alde segera datang.
"Masuk aja, aku nggak pa-pa nunggu di sini sendiri." kata Alde seolah tahu kegelisahanku.
"Beneran?"
"Ya, lagi pula ini sudah malam."
"Oke," Tanpa sungkan sama sekali aku balik badan membuka pintu dengan perasaan lega. Sebelum menutup pintu aku melongokkan kepala keluar. "Nanti tolong kait kunci gerbangnya di pasang ya." pintaku berusaha tersenyum manis karena baru saja menyuruh orang lain untuk mengunci pintu gerbang.
"Siap!" Alde mengacungkan ibu jarinya.
"Hati-hati," balasku kemudian.
Gerak selanjutnya aku sudah melangkah gontai menuju kamar. Erli terdengar masih berada di kamar mandi. Sedang cuci muka dan lain sebagainya seperti kebiasaannya sebelum beranjak tidur.
Begitu melihat ranjang yang kupasangi dengan seprei warna langit malam yang penuh bintang, aku segera menjatuhkan tubuh menelungkup. Membenamkan wajah ke bantal menghirup udara yang terasa sesak. Aku memiringkan kepala, mencari oksigen sebanyak-banyaknya.
Saat bersamaan Erli sudah muncul di ambang pintu.
"Alde udah dijemput ojol?" tanya Erli.
"Iya kali,"
"Loh?" Erli memaling sekilas ke arah pintu depan. "Gimana sih?" Erli sudah pergi, mungkin mengecek ke depan.
Tak lama kemudian dia sudah muncul lagi di pintu kamarku yang masih setengah terbuka.
"Orangnya udah nggak ada." lapor Erli. "Ngomong-ngomong dia itu siapa? Pacar bukan? Atau calon pacar?" tebak Erli ingin tahu.
"Dia itu orang yang dulu kutemukan babak belur di tempat pembuangan sampah." kataku menjelaskan. Tidak mau membuat Erli berpikir yang macam-macam.
"Terus?"
"Ceritanya panjang." ucapku sambil mengangkat tubuh hingga pada posisi duduk dengan menekuk lutut menghadap Erli yang masih betah berdiri menggelayut di pintu.
Dengan mengatakan itu, aku berharap Erli akan menguap beralasan mengantuk lalu pergi ke kamarnya sendiri. Tetapi yang terjadi Erli justru masuk dan ikut duduk di ranjang. Seolah siap mendengarkan cerita panjangku.
"Ceritanya panjang lho, bisa semalam suntuk kuceritakan." Aku menekankan lagi kata cerita yang panjang.
"Apa perlu aku buat kopi untuk kita berdua?"
Aku mendecak. Rasa ingin tahu Erli sudah pasti tidak bisa dicegah. Mau tidak mau aku pun mulai menceritakan tentang perjalananku yang jungkir balik beberapa waktu yang lalu setelah mengantarkan Erli.
Wajah gadis di sampingku ini kadang mengerut, kadang cemberut, lalu bisa berubah melengkungkan senyum, bahkan ada saat membelalakkan mata. Di akhir kisahku Erli ikut mendesah.
"Sebenarnya kalian itu saling mencintai, tetapi kenapa saling memeluk ego sendiri. Terutama kamu." komentar Erli menganalisis bagian aku dengan Senpai Ian.
"Entahlah," sahutku. "Mungkin belum jodoh. Mau gimanapun ya, bakal susah."
Erli manggut-manggut. "Berarti kamu harus bisa mengikhlaskan." tandasnya sambil merengkuh bahuku.
"Iya, memang harus begitu." balasku kelu.
"Terus soal Alde, apa cowok itu nggak terlalu baik ya, sampai mau mengantarmu pulang juga motormu, juga membelikanmu es krim, juga..."
"Itu hanya balas budi, Li." potongku segera. Saat ini aku sama sekali tidak ingin memikirkan segala hal yang bisa menambah rumit kehidupanku.
"Barangkali aja dia jatuh hati sama kamu," tanggap Erli. "Orangnya lumayan, sih. Meski agak gemuk."
"Ngaco. Gimana kalau dia itu suami orang? Ngeri nggak tuh, kejatuhan cinta orang yang sudah beristri." elakku segera.
"Tadi kamu bilang, dia datang ke nikahan Senpai Ian bareng mamanya. Masa istrinya nggak diajak kalau memang sudah menikah."
Aku mengangkat bahu. Lagi pula itu bukan urusanku.
"Kamu nggak ngantuk?" tanyaku pada Erli mengalihkan pembicaraan. Tepatnya ingin mengusir teman kosku itu.
"Enggak," jawab Erli tegas.
"Tapi aku udah ngantuk, nih." ujarku mengganti cara untuk mengusir Erli.
"Ngomong-ngomong bintang Alde apa?" Erli masih ingin menyelidik tentang Alde.
"Aldebaran." cetusku.
"Bintang apa itu?" Erli merengut mendengar jawabanku yang bagi dia mungkin terdengar asal.
"Aldebaran itu bintang di Taurus, tahu!" terangku.
"Zodiaknya maksudku." ralat Erli.
"Tahu ah, sana pergi ke kamarmu!" usirku secara langsung pada Erli sambil menarik tangannya agar turun dari ranjang lalu melempar keluar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top