Bertemu Seseorang

Mumpung hari Minggu aku sengaja mendatangi tempat kerja Erli. Pas sekali hari ini dia masuk shift pagi. Tetapi aku datang ke sana tidak bilang sama orangnya. Aku ingin memberi kejutan dengan menjadi salah satu pelanggan yang membayar di bilik kasanya.

Memasuki tempat parkir baru terlihat beberapa motor yang berderet di dalamnya. Hari memang masih pagi, dan supermarket ini baru saja buka. Namun demikian, aku pikir penambahan sepeda motor di area parkir tidak terlalu signifikan. Sangat berbeda saat dulu di mana supermarket ini menjadi satu-satunya yang terbesar. Sehingga kami sering menyebutnya sebagai mal.

Dengan adanya mal baru yang berdiri di depan Alun-alun Purwokerto menjadikan pusat perbelanjaan ini mengalami penurunan pelanggan. Ibaratnya, pusat perbelanjaan ini dulu merupakan langit yang menelan toko-toko kecil di sekitarnya, sekarang supermarket ini gantian tertelan oleh langit yang lebih tinggi lagi.

Erli bilang dia berada di kasa delapan, tepat di bagian kebutuhan sehari-hari. Kalau dia berada di kasa pejualan baju, mungkin aku hanya akan menyapanya saja. Perlu diketahui, aku membeli baju baru hanya saat lebaran. Mungkin karena kebiasaan sejak kecil yang mana saat lebaran, ibu pasti membelikanku baju baru, sehingga seolah terpatri dalam benak bahwa beli baju itu seharusnya kalau mau lebaran.

Aku masuk ke area barang kelontong. Memindai deretan kasa dan menandai di mana Erli seharusnya berada. Dia berada di ujung paling jauh dari pintu masuk di depan. Senyum kutebar karena perasaan berdebar. Bagaimana reaksi Erli nanti saat melihatku membayar belanjaan. Apakah dia akan menggratiskan semua barang yang kubeli? Itu sungguh suatu yang mustahil.

Seperti biasa aku langsung menuju pada deretan rak yang memuat barang-barang yang ada dalam daftar pembelian. Ternyata dari terakhir aku kemari, sebelum aku mengenal Erli ada beberapa bagian rak yang isinya berubah. Daripada pusing berputar-putar, aku bertanya pada salah satu pramuniaga yang sedang menata deodoran.

"Maaf Mbak, bagian sabun cuci di mana ya?" tanyaku seraya membungkuk.

Pramuniaga itu mendongak, "Sebelah sana!" tunjuknya ke arah setelah lorong ini ke depan.

"Makasih, Mbak." ucapku menguntai senyum penuh rasa terima kasih.

Sebuah balasan senyuman kudapatkan. Kaki kemudian melangkah ke arah yang ditunjukkan. Benar saja aneka sabun cuci dari yang cair, bubuk hingga padat ada di lorong itu.

Keperluan persabunan kelar. Selanjutnya aku ingin melihat area sayur-mayur yang sebenarnya bisa kubeli di pasar. Tetapi karena telanjur ada di sini, kupikir sekalian beli tidak ada salahnya. Aku mengambil sayur pakis dengan daun melingkarnya yang lucu. Tak lupa mengambil bunga berwarna pink yang terkenal sebagai kecombrang. Perlu kalian ketahui kombinasi tumisan daun pakis dan bunga kecombrang nikmatnya luar biasa.

Aku mengangguk-angguk puas, lalu meneliti adakah barang yang belum kubeli. Setelah merasa semua yang kubutuhkan sudah ada di keranjang, segera aku melangkah menuju kasir. Kasa delapan targetku.

Ada dua pelanggan di depan. Aku harus bersabar menunggu, meski kasa lain ada yang kosong. Juga kasa yang kudatangi sebenarnya merupakan kasa troli, bukan kasa keranjang. Tidak peduli tatapan heran ibu di depanku, yang mungkin berpikir kenapa tidak mengantri di kasa keranjang saja.

Kini giliran si ibu yang tadi melirikku dengan sedikit heran juga mengandung kata-kata, silakan kalau mau menunggu lama. Tidak masalah bagiku. Yang penting posisi berdiriku berada di belakangnya. Sama sekali tidak ada pengaruh untuknya.

"Saya bayar pakai kartu ya, Mbak." ujar ibu itu.

"Baik, Bu." tanggap Erli lalu menerima kartu debit dari si ibu. "Mari ikut saya." kata Erli lalu berjalan ke arah kasa lain yang menyediakan mesin transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu.

Aku mengintip dari sisi dua kasa, melihat Erli tampak menggesek kartu si ibu. Berkali-kali dia mencoba tetapi sepertinya upayanya tidak berhasil. Pada gesekan ketiga barulah si ibu mengetikkan nomor PIN-nya.

Transaksi selesai keduanya kembali ke kasa semula. Saat itulah si ibu secara tidak terduga berbicara kepadaku.

"Kasirnya masih amatiran," bisiknya. "Sebaiknya cari kasa yang lain."

Aku hanya mengangguk, namun tubuhku sama sekali tidak bergerak meninggalkan kasa yang dihuni oleh Erli.

"Kalau sampai saldo saya terpotong dua kali. Mbaknya harus bertanggung jawab." sembur si ibu seraya menerima belanjaannya yang segunung saat berada di atas keranjang.

"Baik Bu, terima kasih atas kunjungannya." ucap Erli berusaha tersenyum wajar saat dikatai kasir amatiran. "Selamat siang," sapa Erli pada pelanggan berikutnya. "Heh, kamu ngapain?" tanya Erli setelah menyadari keberadaanku.

"Belanja, Bu." tanggapku.

"Ada kartu membernya?" tanyanya sangat prosedural.

Aku menggeleng. "Tidak ada, Mbak." aku menggodanya. "Pakai tanya segala."

"Ada supervisorku," bisik Erli sambil pura-pura melongok pada keranjang yang sudah kosong seolah mengecek adakah belanjaan yang tertinggal.

"Oh," tanggapku lalu menoleh pada seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari pilar di sebelah kanan belakangku.

Erli lalu dengan sigap memindai barcode barang-barang yang kubeli. Gerakannya terlihat gesit. Sudah mencerminkan seorang yang profesional meski baru bekerja beberapa bulan.

"Nanti pulang jam berapa?" tanyaku memastikan. "Atau kamu istirahat jam berapa?"

"Pulang jam dua, istirahat jam dua belas." sahut Erli tetap fokus dengan belanjaanku.

"Mau makan bareng?" tanyaku. "Di foodcourt?"

"Waktu istirahatku terbatas." ucapnya. "Kalau menunggu antrian makan di sana, bisa habis jatah istirahatku sebelum makanan datang."

Aku mengangguk tanda mengerti. Kemudian Erli telah menyebutkan satu nominal yang harus kubayar.

"Kembaliannya, terima kasih." Erli menangkupkan tangan di depan dada.

Setelah berbelanja dan bertemu Erli, aku mengarahkan kaki ke kanan. Masih belum tahu mau makan di foodcourt yang berada di lantai atas atau makan di luar.

Akan tetapi secara tiba-tiba kakiku membelok ke kanan, yang artinya aku menuju ke area tangga menuju ke atas atau pintu keluar pelanggan yang membawa mobil.

Mataku yang berkeliaran akhirnya menumbuk pada kedai ramen yang terpampang di sebelah kanan, hampir berhadap-hadapan dengan gerai roti yang aromanya selalu menggugah selera. Dua buah lift transparan yang menjadi sarana bagi pengunjung yang malas menaiki tangga kini telah berhadap-hadapan denganku.

Namun, tarikan sensasi pedas yang berada di samping kiri kini terlalu berat untuk diabaikan. Akhirnya aku mengambil satu tempat duduk menghadap meja pemesanan, meletakkan belanjaan lalu memesan makanan.

"Ramen level 3." kataku sambil menyebutkan minuman jus buah mangga.

Struk pembayaran kudapat. Tinggal menunggu pesanan makanan datang. Soal kenapa aku suka ramen, itu karena dulu sewaktu kecil aku gemar menonton film anime Naruto. Aku yang saat itu sedang getol belajar silat, sangat suka menonton film yang ada unsur perkelahian. Dan tahu sendirilah, si Naruto itu sangat suka memakan ramen.

Penasaran dong, dengan ramen itu seperti apa di dunia nyata. Setelah mengenalnya, ternyata lidahku juga menjadi menyukai ramen itu. Sama seperti Naruto, yang kupikir memakan ramen bisa membuat tubuh menjadi panas bergairah menimbulkan semangat karena efek cabai yang pedas.

Selagi menunggu ramen datang, aku membuka ponselku. Memeriksa pesan Whatsapp, dan sosmed yang aku punyai yaitu Instagram.

Melihat beberapa postingan teman-teman di Instagram terkadang membuatku ingin menjalani hidup seperti mereka. Bisa sering tamasya ke sana kemari, seolah hidup itu hanya tentang travelling.

Tiba-tiba tanganku berhenti mengulir layar enam inci. Sebuah foto yang menampilkan orang-orangnya memakai dogi, seragam kempo mengingatkan aku pada satu orang yang juga berada di sana. Dia itu pasangan embu-ku. Salah satu cabang pertandingan kempo yang menampilkan seni gerak. Kami pernah berjaya bersama waktu itu.

"Senpai Ian," desahku.

"Shaula?" Sebuah suara menolehkan kepalaku ke arah suara. Aku sungguh terkejut melihatnya.

"Senpai..." Aku mendadak gagu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top