Bermain Kucing-Kucingan Bersama Alde

"Eh, ketemu Kalajengking lagi. Hayo ketahuan foto-foto barang orang. Mau plagiat?" sembur Alde yang sungguh tadi membuatku sangat kaget.

Spontan jari telunjukku berdiri di depan bibir. Lalu kepala aku miringkan ke arah pramuniaga yang matanya pada saat itu juga memandang balik padaku.

Mau tak mau senyum langsung aku layangkan padanya. Dan, itu menjadi satu kesalahan yang aku sesali. Keramahan yang menjadi bumerang. Pramuniaga itu melangkah menghampiriku.

Rasanya saat itu aku ingin langsung berubah jadi patung manekin. Bingung mau beralasan apa jika pramuniaga perempuan yang mengenakan kaus warna biru berpadu dengan celana jeans itu menanyakan:

"Ada yang bisa saya bantu?"

Nah, kan?

Aku melirik Alde yang menjulang di sampingku. Cowok yang tidak biasanya memakai kemeja itu memandang balik dengan cengiran lalu memandang ke pramuniaga yang tersenyum manis padanya.

Dengan cepat aku menoleh ke arah tas jaring yang baru saja aku potret.

"Anu, tas yang ini apa cuma ada warna itu?" tanyaku menemukan alasan kenapa tadi mengintip ke arahnya seolah ingin meminta bantuan darinya. Di rak pajang hanya ada tiga warna pilihan, merah, kuning, hijau mirip lampu lalu lintas.

"Ada. Mbaknya mau warna apa?" tanya Pramuniaga mengutas senyum ramah.

"Toska." sahutku segera dengan keyakinan tinggi, pasti warna itu tidak ada. Mengingat warna yang tertampil di depan hanya ada tiga warna dasar. Sepertinya pilihan warnanya juga terbatas.

"Ah, maaf," sahut Mbak Pramuniaga terdengar mengambang.

Senyumku hampir saja terkembang bukannya manyun kecewa, karena barang incaran tidak ada. Kemudian aku pun berusaha bersikap sewajarnya.

"Kami belum sempat memajangnya lagi. Warna toska, kemarin baru datang. Mohon tunggu sebentar." lanjut Mbak Pramuniaga setelah memberi jeda yang sempat membuatku senang sesaat sebelum menghantamkan diriku ke dasar lantai.

Kali ini aku pasti sudah berekspresi seperti orang bego.

"Seleramu benar-benar unik, ya." kata Alde memecah perasaan tertipu oleh pramuniaga itu.

"Bukan gitu," desahku.

Tak lama Si Mbak Pramuniaga sudah muncul dari balik rak dorong. Dia benar-benar menenteng tas jaring warna toska.

Otakku sudah berputar mencari alasan menolak tas itu. Melihat dari harga tas jaring tadi, jelas membuatku tidak bernafsu membeli. Tahulah, alasan keuangan yang tidak memungkinkan. Lagipula buat apa punya banyak tas. Bagiku sangat merepotkan kalau harus berkali-kali memindahkan isi tas.

"Oh, ini biru toska ya?" ujarku meraih tas jaring yang diulurkan padaku. "Saya maunya hijau toska." aku meringis.

"Sama aja, kan?" cetus Alde ambil suara.

"Ini warna hijau toska."

"Masa sih?" Mata siapa coba yang salah.

"Ini," Mbak Pramuniaga memperlihatkan label tas tersebut.

"Salah label nih," aku tidak mau menyerah. "Maaf ya, Mbak. Saya carinya hijau toska. Lebih mengarah ke hijau." aku meringis lagi. "Yuk, De." ajakku pada Alde seolah kami ini teman dekat.

Aku melangkah cepat menuju pintu. Aku bahkan tidak peduli Alde mengikuti langkahku atau tidak. Yang penting segera kabur dari toko tas tersebut.

Napas segera kuhembus keras. Saat bersamaan Alde telah menyamai langkahku.

"Kenapa tadi enggak bilang aja cuma mau lihat-lihat? Malah terjebak sendiri, kan?" ucap Alde tersenyum geli.

"Ah, iya." aku kontan menepuk kening sendiri. "Bodoh!" desisku. "Ngomong-ngomong, kamu lagi ngapain kemari?"

"Ada perlu,"

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Survei tempat." jawab Alde lalu menoleh cepat ke belakang.

"Buat apa?"

"Bukan apa-apa." sahutnya menoleh lagi ke belakang. "Sial!" desisnya kemudian.

"Apa?" tanyaku memastikan bahwa pendengaranku tidak salah. Benarkah Alde sedang mengumpat?

"Ah, enggak. Yuk, percepat jalan kita." kata Alde makin membuatku bingung.

"Kalau mau duluan silakan," Telapak tanganku sudah membuka ke atas menjulur ke depan.

Namun gerakan tidak terduga telah menarik tanganku hingga tubuh membelok cepat ke sebelah kanan, bahkan menyeretku masuk ke sebuah toko buku satu-satunya yang masih eksis.

"Heh, mau ngapain?" aku memberontak menghempaskan pegangan tangannya.

"Ada yang mengikuti kita," bisik Alde memberi kode agar aku tetap melangkah mengikutinya menuju anak tangga lalu menuruninya.

Anehnya, aku sangat patuh pada instruksinya. Padahal bisa jadi orang yang menguntit Alde sama sekali tidak mempedulikanku.

Sembari menuruni tangga, Alde melepas kemeja cokelat muda bergaris tegak lurus. Kaos warna hitam polos kini yang terlihat. "Titip di tasmu." Alde menyodorkan kemejanya.

Aku menerimanya masih dengan bingung. Tetapi tanganku bergerak memasukan kemejanya di tas lamaku yang ukurannya lebih besar ketimbang tas pemberian Mama Alde.

Tiba di lantai bawah, aku memutar pandangan mata. Ternyata toko buku yang aku masuki mempunyai ruang dua lantai berbeda yang terhubung dengan anak tangga biasa. Bagian bawah toko buku terdapat banyak pernak-pernik selain buku teks dan buku bacaan.

"Semoga mereka masih sibuk mencari di lantai atas." ucap Alde sembari melangkah menuju asesoris penutup kepala yang berada tak jauh dari tangga.

Dia menyambar bunny hat new jeans—topi kelinci model terbaru warna abu-abu dua buah. Juga mengambil satu tas rangsel ukuran sedang warna hitam. Tanpa berlama-lama Alde segera menuju kasir. Berkali-kali kepala Alde terlihat memandang ke arah pintu keluar.

Setelah topi kelinci terpindai alat barcode, Alde langsung meminta topi itu lalu memakainya. Dia juga memakaikan topi kelinci padaku, yang tentu saja aku tolak.

"Buat penyamaran," ucapnya melesakkan kembali topi yang sudah kulepas. "Tidak usah pakai kantung plastik, Mas." kata Alde begitu melihat petugas kasir akan memasukkan tas rangsel yang dibelinya ke kantung plastik besar.

"Baik," sahut Mas Kasir lalu menyebutkan nominal yang harus Alde bayar.

"Yuk!" ajak Alde setelah urusan dengan kasir selesai. "Eh, tunggu! Mana tasmu." Tangan Alde menengadah meminta tas selempangku yang telah menjadi gendut oleh kemeja Alde, dan mengganduli pundakku.

"Buat apa?"

"Ambil aja dompet dan ponselmu."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku kembali menuruti perkataan Alde. Cowok itu kemudian memasukkan tas selempangku ke dalam tas rangselnya.

Kembali aku dibuat melongo oleh ulah Alde. Tetapi tidak lama, Alde sudah menjentikkan jarinya di depan mukaku agar aku terbangun dari aksi bengong.

"Kita langsung ke tempat parkir." kata Alde setelah memastikan keadaan aman dengan mengintip di ambang pintu kaca.

Tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, kami berjalan cepat menuju lift yang letaknya tidak terlalu jauh dari toko yang kami masuki dari lantai atas. Alde juga sempat bilang kalau lift bisa menyembunyikan keberadaan kami barang sebentar.

Alde menghempas napas begitu pintu lift terbuka. Akan tetapi tangannya tiba-tiba kembali menarik tanganku agar cepat masuk ke dalam lift.

"Jangan sembarangan menarik orang dong!" protesku akhirnya.

"Sori, mereka tadi sudah melihat kita." balas Alde dengan raut wajah gelisah.

"Mereka itu siapa?" tanyaku sungguh ingin tahu.

Alde hanya memandangku. Dia sama sekali tidak berniat membuka mulutnya.

"Lagipula aku enggak ada hubungannya sama kamu, kan?" imbuhku sebagai penekanan seharusnya aku tidak ikut main kucing-kucingan dengannya.

"Mereka bisa menyangka yang berbeda." Secara tidak terduga Alde bersuara.

"Maksudnya?"

"Kamu bisa ikut celaka." sahut Alde tanpa memaling padaku.

"Kok bisa?" aku menuntut penjelasan dengan memiringkan kepala penuh ke arahnya.

Hanya desahan Alde yang terdengar. Belum lagi aku tahu alasannya, pintu lift telah terbuka. Alde mengintip keluar. Setelah memastikan aman, kami melangkah cepat menuju area parkir.

"Aku langsung ke motorku, ya." tunjukku ke pintu keluar parkir motor yang berada di ujung kiri, berseberangan dengan pintu keluar parkir mobil.

"Tunggu!" cegah Alde yang matanya sekilas lalu melihat ke arah tangga berjalan di sisi kiri, bersebelahan dengan pintu keluar parkir motor. "Itu mereka!" deru Alde kembali menarik tanganku agar ikut lari bersamanya.

"Duh!" keluhku yang merasa; kenapa aku harus ikut lari juga?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top