Antara Lily dan Om Bull
Setidaknya ada sekitar 19 toko bunga yang harus aku datangi untuk mengetahui jati diri si pengirim bunga. Aku dan Erli sejenak saling pandang. Seakan mengukur haruskah kami berdua mendatangi seluruh toko bunga itu.
Selepas dari toko bunga Lembayung kami sepakat langsung pulang, melanjutkan pembahasan tentang toko bunga lain yang belum ketemu di rumah. Cuaca yang panas membahana membuat kami tidak betah berlama-lama terpanggang sinar matahari yang terik. Rasanya ingin segera rebahan di lantai sambil menyeruput es sirup.
"Kalau kamu enggak sanggup nggak pa-pa. Aku akan menelusur sendiri." ucapku pada Erli yang terlihat enggan meski dia yang terlebih dahulu mengusulkan.
"Mm, bukan gitu." Erli mengubah posisi yang semula duduk di sebelahku menjadi rebahan dengan kepala menghadap ke arahku. "Tapi ini nggak mendesak, kan? Maksudku tidak harus sehari selesai?" balas Erli mengangkat kepalanya dengan satu tangan menyiku. Tatapannya sangat menanti jawaban yang sesuai harapannya.
"Enggak mendesak juga sih, tapi semakin lama dirundung penasaran, makin hatiku tidak tenang. Paling enggak memang harus menyediakan satu hari kosong buat keliling. Ya deh, nggak pa-pa aku muter sendiri." putusku yang tidak ingin merepotkan Erli. Anggap saja mengisi liburan dengan touring.
"Kapan kamu mau muter?" tanya Erli.
"Minggu besok mungkin," sahutku yang telah memindai aktivitas di hari libur sedunia itu. Dan Minggu besok aku harus mengosongkan kegiatan. Fokus melakukan pencarian." lanjutku lebih pada berkata pada diri sendiri.
"Semoga belum sampai mengelilingi semua toko bunga langsung ketemu yang dicari." Erli kali ini hanya bisa mendoakan aku.
"Ya, semoga." balasku membayangkan bila perjalananku berakhir sampai di penghujung toko bunga.
"Ngomong-ngomong, Om Bul itu siapa?" tanya Erli tiba-tiba sambil duduk kembali tepat menghadap aku.
"Mana aku tahu?"
"Wajahmu itu ternyata seleranya om-om." kata Erli memandangi wajahku dengan saksama. Beberapa detik kemudian Erli sudah tertawa dengan menutup mulutnya.
"Masa sih?" aku mencoba mengingat orang-orang yang pernah bertemu denganku akhir-akhir ini. "Trus om-om yang mana? Perasaan nggak pernah kenalan sama om-om."
"Makin berasa ngeri-ngeri sedap ya. Kalau ternyata om-om itu suami orang, bisa tiba-tiba dilabrak kamu, kalau ketahuan membuat suaminya serong." ledek Erli tertawa lagi.
"Lah, memangnya aku ngapain coba? Tahu orangnya aja enggak? Boro-boro kenal, mau menggoda gimana?" sergahku.
"Mau coba telepon nomor WA-nya?" Alis Erli bergerak-gerak seolah memprovokasi.
Aku terdiam menimbang ide Erli. Kira-kira, ini akan berbahaya tidak ya? Seperti orang yang pernah menelepon dan kemudian menculikku. Apa iya, aku bakal diculik lagi?
Duh!
Aku memilin kening memakai jari telunjuk dan ibu jari. Lalu pikiran lain menimpali. Tetapi selagi menunggu waktu yang tepat untuk berkeliling mendatangi toko bunga, bukankah lebih baik kalau mencari tahu dulu siapa Om Bull ini. Katanya enggak mau terpejara penasaran yang tidak berkesudahan?
"Oke," aku sontak bangkit berdiri. Bermaksud mengambil ponsel yang kutaruh di meja kamar.
Kebetulan tempatku duduk menempel tembok pembatas antara kamar Erli dan kamarku. Tinggal melangkah satu tapak sampailah tanganku menjangkau ponsel yang tergeletak di pinggir meja dekat vas bunga lily yang sudah mulai layu.
Erli sudah duduk tegak dengan kaki bersila menanti aksiku. Setelah aku kembali pada posisi semula merapat tembok dan duduk bersila. Jari tanganku mulai mencari nomor yang kusimpan sesuai namanya.
Saat jari telunjuk siap menyentuh sorot nama yang muncul, mataku memandang pada Erli. Seperti sedang meminta doa restu, memohon limpahan kebulatan tekad serta keberanian yang utuh.
Selepas Erli menganggukkan kepala dengan mantap, aku pun segera menekan gambar telepon tanpa ragu. Tak lupa tombol loudspeaker kusentuh agar Erli juga bisa ikut mendengarkan percakapan yang akan terurai dengan orang yang mengaku sebagai Om Bull.
Sebuah suara segera terdengar dari arah ponsel. Suara laki-laki yang kutaksir umurnya tidak terlalu tua atau terlalu muda. Laki-laki itu menyambut teleponku dengan salam yang ramah.
"Apa ini benar dengan Om Bull?" tanyaku segera setelah membalas salamnya.
"Bukan, ini dengan Pras."
"Dengan Pak Pras? Bukan Om Bull yang kirim bunga?" tanyaku lagi memastikan.
"Oh, kalau yang memesan bunga memang saya."
"Om Bull?"
"Iya, Om Bull."
Aku memandang Erli bingung.
"Jadi Bapak atau Mas ini yang benar namanya siapa?" Erli ambil suara karena merasa gemas dengan ucapan orang yang mengaku bernama Pras lalu kemudian berubah jadi Om Bull.
"Om Bull itu hanya nama panggilan." sahut suara di seberang dengan ringan malah terkesan riang.
"Bisa kita ketemu sekarang?" pinta Erli seperti emak-emak tanpa menyalakan lampu sein langsung belok ke kanan. Membuat pengendara di belakangnya kelabakan. Tak beda denganku yang langsung melakukan pengereman mendadak. Yang semula santai duduk bersila serta merta bertransformasi dalam posisi jongkok siaga bahaya.
"Hah?" Mataku melotot ke arah Erli yang bersikap seolah tidak merasa bisa mencelakakan orang lain.
"Tentu, kebetulan hari ini saya sedang off." sahut laki-laki bernama Pras.
"Tunggu dulu," cegahku. Aku tidak mau gegabah seperti sebelumnya.
"Gimana Mbak?"
Namun Erli, sudah merebut ponselku dan sekali lagi melakukan gerakan tidak terduga dengan berkelit lari ke kamarnya serta langsung menutup pintu. Akibatnya keningku menjadi sasaran hantaman pintu yang menghempas tanpa permisi.
"Erli!" lengkingku sambil memegang kening yang berdenyut panas. "Balikin HP-ku!"
Erli sama sekali tidak menggubris teriakan dan gedoran yang merajam pintunya. Dia masih terdengar asyik berbincang dengan Pras. Mungkin sedang melakukan tawar menawar tempat pertemuan.
"Jangan seenaknya bikin janji ketemuan sama orang!" aku masih berteriak-teriak mengingatkan. "Li...!"
Setelah tenggorokanku serak pintu kamar Erli baru terbuka meski sedikit. Sangat bertolak belakang dengan senyum lebarnya yang menyapa. Bersamaan dengan itu tangan Erli menjulur keluar mengulurkan ponselku.
"Bersiaplah, kita akan menemui orang itu." ucap Erli sebelum menutup pintu lagi. Hampir saja tanganku terjepit saat ingin merangsek masuk.
"Jangan main-main Li! Jangan main api!" seruku di depan pintu Erli.
"Siapa yang main api. Kita cuma mau ketemu sama orang." balas Erli dari dalam kamar. "Kamu enggak usah khawatir. Aku baru aja WA teman buat mengawal kita."
"Siapa? Teman rasa pacar kamu?" tanyaku penasaran.
"Ya, siapa lagi." sahut Erli.
Tak lama kemudian Erli sudah membuka pintu kamarnya. Penampilannya sudah rapi seperti mau berkencan.
"Kamu—."
"Apa?" Tatapan mata Erli seperi mau menanduk prasangkaku. "Buruan ganti baju!" Erli lalu mendorongku masuk ke kamar sendiri. "Lima menit." ultimatumnya.
Aku menghela napas menatap pintu yang telah ditutup oleh Erli. Menimbang sejenak mengenai kenekatan Erli mengajak ketemuan orang yang terindikasi mengirim bunga padaku.
Kalau dipikir-pikir setelah masalah ini jelas terkait maksud orang itu, bukankah aku bisa fokus kembali pada usaha menjual tas dari barang bekas? Siapa tahu, pengirim mawar yang datang setiap tanggal satu juga merupakan orang yang sama cuma membeli di toko bunga yang berbeda. Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampui.
Baiklah. Aku segera menganti baju yang pantas untuk pergi.
Lima belas menit kemudian aku, Erli dan Fahad teman Erli sudah berkonvoi menyusuri jalan menuju tempat pertemuan yang kata Erli di rumah Om Bull. Arah perjalanan kami menuju utara. Setelah melewati empat perempatan lampu merah, kami membelok ke arah kiri masuk ke sebuah gang sesuai dengan lokasi yang dibagikan oleh Pras atau Om Bull itu.
Dadaku menjadi menghentak-hentak manakala Erli menghentikan sepeda motor yang kami tunggangi. Aku menoleh pada Fahad yang masih setia mengikuti.
"Sekitar sini." ucap Erli sambil kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.
Aku ikut memutar mataku ke sekeliling. Saat itulah mataku melihat seorang laki-laki melongokkan kepala dari arah pagar setinggi perut kurang lebih satu rumah lagi di depan. Laki-laki itu menyerukan namaku.
"Mbak Shaula!"
"Ya," sahutku serta merta turun dari boncengan motor Erli. Aku melangkah ke arahnya.
Laki-laki berumur kurang lebih dua puluhan akhir tersenyum lebar segera menyambutku yang berjalan menghampirinya. Sementara itu, Erli dan Fahad melajukan motornya perlahan mengikuti langkahku di belakang.
"Dengan Mas Pras?" tanyaku memastikan setelah dekat dengannya, berjarak kurang lebih satu setengah meter.
"Benar. Mari masuk! Silakan, silakan." ujarnya yang sudah pasti telah menunggu kedatangan kami.
Aku menoleh pada Erli dengan tatapan tidak mengerti. Laki-laki itu sangat di luar ekspektasi. Padahal dibayanganku, yang namanya Om Bull; pria paruh baya dengan perut buncit, penampilan rapi wangi, rambut klimis atau sering disebut sebagai pria flamboyan. Seirama dengan buket bunga yang dia kirimkan.
Tetapi laki-laki yang menyambutku ini; tubuhnya kerempeng, kaos ala kadarnya dan mempunyai kumis tipis yang menantang di atas bibirnya. Tidak ada kesan mewah atau pura-pura berkelas baik dari segi rumah maupun penampilan.
"Helmnya," Erli meminta helm yang masih kupakai ketika aku hendak memasuki halaman rumah yang tidak terlalu luas.
Lebar teras rumah yang akan kami masuki sekitar satu meter dari pagar. Kecuali area depan pintu masuk rumah terdapat ruang dua meteran sebagai tempat parkir motor.
Ketika bertiga telah duduk di ruang tamu yang cukup sempit, hanya terdapat seperangkat meja kursi tamu. Saat itulah aku teringat pada wajah yang kini terpampang tepat di depan mata.
"Mas ini, kalau tidak salah...." aku menajamkan ingatan lagi agar tidak salah tebak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top