[7] : Come Back (But Not Here)
1. Kiera
"Oh," aku menguap sekali lagi. "Jadi ini rumahnya?"
"Bukan," Sera menjawabku dengan pandangan datar yang mengisyaratkan betapa retorisnya pertanyaanku tadi. "Gue nyasar ini. Ya iyalah, Kir. Masih perlu tanya?"
"Just to make sure," gerutuku tak jelas. Sera sedang dalam mood yang jelek hari ini--terutama mungkin, ini gara-gara jetlag-nya.
Iyalah, perbedaan dua-belas jam antara Jakarta-New York pasti membuat siang dan malamnya jadi jungkir balik.
Aku menatap rumah bergaya minimalis itu dengan wajah tak yakin. Sebenarnya aku agak bertanya-tanya juga kenapa kami tidak tinggal saja di rumah lama kami, tapi entahlah. Mungkin Papa punya rencana lain.
Dinding-dindingnya bercat putih bersih, dengan jendela-jendela tinggi yang dipagari oleh teralis--yang lagi-lagi, putih. Aku bahkan perlu mengerjap beberapa kali, terutama karena warna putih ini membuatku...ah, aneh.
Kenapa harus putih sih?
Rasanya aku bisa membayangkan rumah ini lebih bagus kalau berwarna abu-abu dan hitam.
Sera menyeret kopernya tanpa menungguku. Tangannya menekan tombol bel yang ada di celah kecil, membuat suara lonceng terdengar samar dari luar.
Aku mengikuti jejak Sera dalam diam--menyeret koperku dan menjatuhkannya asal di tempat yang teduh. Sambil menunggu pintu terbuka, aku duduk di atasnya--menatap dengan penuh harap pintu putih itu akan segera terbuka.
Semenit.
Dua menit.
Tiga menit.
"Kak, nggak ada orang kali," aku akhirnya berbicara saat tak ada juga seorang pun yang membuka pintu.
"Ah, nggak mungkin." Sera masih berdiri di depan bel sambil menekan-nekan layar ponselnya. Ponselnya tergenggam di sebelah tangan, dengan ahli menggunakan hanya tangan kanannya untuk mengetik pesan. "Tadi sebelum boarding sama waktu baru landing gue udah SMS salah satu orang rumah ini."
Aku melemparkan pandangan kotor padanya. "Ya, terus?"
"Ya ampun," Sera dengan keki menjentik dahiku. "Maksud gue, tadi mereka bilang balik sekolah jam 3." Kakakku itu melirik jam tangannya. "Dan sekarang jam 3.16."
"Ya iyalah," aku mengatakannya dengan nada yang serupa dengan yang kakakku katakan tadi. "Did you really expect they would came in sixteen fucking minute from school to home? OW!"
"Language, Kiera." tegur Sera saat satu kata sumpah serapah itu terselip dalam kata-kataku.
Aku merengut kesal, lalu sambil merajuk, aku kembali duduk di atas koper.
"Jih, ngambek." Sera akhirnya menyerah dan duduk di sebelahku. "Lagi PMS lo?"
"Kakak kali yang PMS." balasku ketus, padahal jelas, seorang Sera mana mungkin PMS. "Ngomel mulu bawaannya."
Sera menghela napas pelahan, lalu beranjak dan berlutut di hadapanku. "Sorry, Sis."
Aku tak menjawab.
"Pizza sounds good for tonight, hmm?" Kakakku itu mengetukan jarinya ke dagu. Sebelah alisnya terangkat, "Margerita, mungkin?"
Sial. Ujung bibirku jadi gatal ingin membentuk serigaian saat mendengarnya. Margerita adalah topping pizza favoritku. Dan ini adalah kesempatan langka, mengingat biasanya Sera bakal menolak mentah-mentah roti yang hanya bertoping keju dan saus tomat itu.
"Nggak?" Sera merengut. "No offense ya, Kir. Tapi biasanya lo paling bisa disogok pake makanan."
What?
"None taken," aku masih menjawab Sera dengan nada ketus, walau bibirku sudah berubah membentuk senyuman. "Lo utang traktir gue pizza berarti."
"You say--what?" Sera melotot tak percaya padaku. "Licik dasar."
Aku tertawa puas, namun tawa itu segera berhenti saat aku melihat kilatan jahil di mata Sera. Sebelum aku sempat mengelak, kakakku itu sudah menggelitikiku, bahkan cukup berani untuk mengunciku agar aku tak lolos.
"KAAAK!" aku berusaha melepaskan tangan Sera. "Curang ih!"
"Heh, yang curang siapa?" tanyanya balik dengan nada menang. "Ayo, yang curang siapa?"
"Ka--KAAK!" aku mulai menendangi Sera tanpa hasil, karena dengan menyebalkan, dia rupanya bisa mengelak. "Fine, fine. Aku yang curang, Kak."
"Siapa yang curang?"
"Aku."
"Siapa? Nggak kedengeran, Kir."
"Aku!"
"Hmm?" gumamnya samvil terus menggelitikiku. Sialan. Aku jadi susah bernapas saking hebohnya tertawa sekarang.
"Aku, Kak! Kiera Putri Perdana!"
Sera tertawa lepas, namun segera berhenti saat sebuah mobil berhenti tepat di hadapan kami.
Dan aku, tidak bisa tidak tertawa saat melihat ekspresi manusia-manusia itu saat melihat kami.
***
2. Oliver
"Parah, sekarang udah hampir jam empat." gerutu Jev sambil terus menyetir. Angie duduk di sebelahnya, tampak sama sekali tak terpengaruh dengan mood Jev yang buruk. "Lo udah kayak mak-mak rempong deh, beli ginian doang lama."
"Berisik," jawabku sambil mengetukan kaki tak sabar. "Heran, Angie yang cewek aja nggak cerewet. Jangan-jangan lo yang cewek, Jev."
"Si Ang sebenernya mau protes, tapi sayang dia terlalu baik untuk bilang." ucapnya, masih kesal. "Lo tau, sekarang udah jam berapa?"
"Ha, you need a mirror," balasku tak kalah kesal. "Siapa yang tadi rempong mau beli notebook baru? Padahal lo bisa beli waktu gue lagi belanja."
"Haha, siapa tau lo butuh bantuan buat angkat-angkat belanjaan?" cibir Jev asal.
"Puh-lease, Jev." aku akhirnya hanya bisa menghela napas pelahan. "Mood lo jelek parah sejak lo tau bakal jadi panitia bareng Clay."
Aku jadi ingin tertawa, tapi sayang, suasana konflik ini terlalu serius untuk bisa tertawa. Jev harus bekerja sama dengan seorang Clementine Aviantara, si anggota V.S yang berwajah paling polos, tapi sayang, juga yang punya kata-kata paling pedas di antara ketiganya.
Satukan Jev dan Clay di satu tempat, dan Perang Dunia Ketiga akan terjadi. Percayalah.
Jenius sekali siapapun yang menyatukan mereka berdua.
Note my sarcasm.
"Jih, ngapain juga gue badmood gara-gara dia?"
"Ini buktinya." aku menggesturkan ke arahnya. "You sissy."
Mata Jev menyipit tajam ke arahku dari kaca spion depan. "Coba diulang lagi?" desisnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Udah ah, pada berisik." Angie menengahi kami. Mungkin ia lelah juga dengan kami. "Mau pada nyalahin siapa juga, kita emang udah telat, dan Jev, kamu mau badmood kayak gimana juga,bakal tetep satu kelompok sama Clemens."
Rahang Angie menegang sedikit, terutama saat ia menyebutkan nama (mantan) temannya itu.
Tapi sudah pasti, kami akan tetap diam, walau diam-diam mengetahui sesuatu. Seperti perjanjian yang tak tertulis.
Yang ada agar kami tetap seimbang. Tetap stabil.
Tetap seperti dulu.
Aku menggeleng, berusaha menghilangkan pikiran aneh-aneh dari kepalaku.
"Paling juga mereka pada belum dateng." gerutu Jev lagi tiba-tiba. "Makan dulu mungkin?"
Dan aku, gatal sekali untuk berkomentar.
"Duh, emangnya semua orang kayak lo?" balasku keki, sementara Angie hanya bisa menghela napas saat pertengkaran kami mulai lagi. "Nggak semua orang bakal telat cuma karena mereka mau makan dulu. Kayak lo." cibirku di bagian akhir.
"Apa lo bilang?"
"Please, Jev." Angie akhirnya mendorong kami berdua, membuatku kembali ke bangku penumpang di belakang. "Bisa nggak kamu fokus aja ke jalan? Dan Oliver, bisa diem dikit nggak? Aku nggak mau nabrak cuma karena kalian bertengkar nggak jelas kayak gini."
Aku akhirnya bersandar di kursi belakang, tanpa kata-kata lebih lanjut. Jev sendiri berkali-kali menghela napas pelahan, berusaha menenangkan diri, sepertinya.
Sisa perjalanan ditempuh dalam diam. Sampai akhirnya, Jev membelokan mobil menuju ke jalan rumah kami. Dari kejauhan, aku bisa melihat rumah kami yang bercat putih.
"KAAAK!" pekikan itu terdengar saat aku membuka sedikit jendela mobil. Gadis berambut hitam itu meringkuk, sementara remaja laki-laki yang lebih tua itu...menggelitikinya?
Gadis itu menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar, dan cowok itu hanya tersenyum lembut sambil mengecup puncak kepalanya sayang.
Keduanya segera menoleh, mungkin karena mendengar suara mesin mobil kami. Dua pasang mata, satu bermanik cokelat terang--nyaris hazel, dan satu lagi sepasang bola mata gelap. Bola mata, yang seketika membuat Jev menginjak pedal remnya tiba-tiba.
Dan tampaknya, bukan hanya aku saja yang menyadarinya.
"Kiera?"
***
A/N :
Seriously masih nggak ada yang tahu apa yang aneh? Apa masih kurang jelas?
Virtual kiss,
-Ree
(03-11-2015)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top