[6] : Those Crazy Psycho Biatch
P.S : Check out Jevon on media ^^
3. Jev
"Hei bangun," Aku mengguncang-guncang bahu Oliver yang terbenam di balik selimut. "Oi!"
"Hafaa?" gumamnya tak jelas. Bukannya bangun, Oliver malah membenamkan dirinya makin dalam. Astaga.
"Oliver," nada suaraku naik, sambil menarik selimutnya. Benda itu tersibak, menampakan Oliver yang makin mengerut, dan... "Ya ampun, tidur aja masih bawa kertas."
Aku berusaha menarik benda itu dari cengkraman Oliver, namun cowok itu malah tersentak bangun, dan refleks menarik benda itu kembali. Matanya melebar, sebelum ia buru-buru menyembunyikannya dalam laci yang paling bawah.
Itu selembar....kertas?
"Jevon, lo pasti tahu apa artinya privasi." desisnya dingin, masih dengan suara habis bangun tidurnya. "Apa? Buruan, sebelum gue memutuskan untuk mendepak lo keluar."
Lidahku rasanya gatal untuk menanyakan perihal kertas itu. Nggak mungkin 'kan itu kertas ulangan kalau dia buru-buru menyembunyikannya dari pandanganku?
"Lo tau ini hari apa?"
Mata cokelat gelap Oliver mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya menatapku dari atas sampai bawah. Aku berani bertaruh, butuh tiga detik sampai ia bisa mencerna apa yang kumaksudkan.
Satu.
Dua.
Tig--
"Shoot!" umpatnya sambil melompat dari tempat tidurnya. "Gue lupa ini hari Senin!"
Aku hanya meringis sedikit saat melihatnya langsung melesat masuk ke kamar mandi. Oh oke. Aku mendesah pasrah. Memang, ini hari Senin. Tapi 'kan bukan itu maksudku.
Aku menghela napas pelahan-lahan, lalu memutuskan untuk kembali ke ruang makan. Angie duduk di tempatnya yang biasa, mengunyah sepotong roti polos. Rambut lurus-panjang gadis itu diikat membentuk ekor kuda, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam yang hampir serupa denganku.
"Oli ketiduran ya?" tanyanya sambil bersusah payah menelan rotinya.
Ia memang tak pernah suka roti.
"Begitulah." aku mengendikkan bahu sambil menarik kursi di sebelahnya. "Kenapa nggak bikin sereal aja, Ang?"
Angie mengernyit saat berusaha menelan lagi. "Oliver nggak beli sereal kemaren." ucapnya lempeng, namun ujung bibirnya turun sedikit. "Susah ya kalau nggak ada Oliver."
"Mm-hm," ucapku sambil menuangkan segelas susu dingin dari kulkas.
"Aku jadi penasaran," akhirnya gadis berambut hitam itu meletakan sisa rotinya di atas piring. "Apa nggak repot banget ya kalau ada dua orang lagi?"
"Pagi."
Sapaan serak Oliver menyelaku sebelum sempat menjawab. Cowok itu menarik bangkunya dengan berisik, sementara masih menggerutu panjang-pendek tentang ia tak suka bangun terlambat. Rambut ikalnya jatuh hampir menutupi mata, sementara dasinya belum diikat dengan benar.
Dan inilah keadaan-- yang menurut Oliver, 'berantakan'.
Dan harap dicatat, sebenarnya ia sama sekali tak tampak seperti itu.
"Hari ini ya?" tanya Oliver sambil mengunyah pinggiran rotinya. "Hari ini kan pindahan itu datang?"
Ah, ternyata dia ingat juga.
"Ya." jawabku singkat. "Lo udah beresin atas?"
Aku melihat bagaimana bahu Oliver tiba-tiba menengang, sebelum ia menjawab singkat. Yang hebatnya, masih dalam nada yang terkontrol. "Udah."
Dia langsung diam, dan sibuk mengunyah rotinya lagi. Namun diam tiba-tiba itu, malah membuatku curiga. Pasti ada yang disembunyikan oleh Oliver kalau begini. "Lo--"
"Diam," ucapnya tanpa mengangkat kepala sama sekali. "Gue nggak menerima pertanyaan apapun."
Aku menutup mulutku lagi mendengar nada bicara Oliver. Itu adalah nada kalau ia tak ingin diganggu, dan biasanya, kalau begini tak ada gunanya aku memaksa.
Tapi aku tahu--walau aku menolak untuk mengatakannya, kalau keadaan diam itu adalah karena dia.
Dia lagi. Astaga.
Sekarang aku mulai lelah. Terutama apabila semua kecanggungan, semua perasaan yang berputar di antara kami semuanya cuma gara-gara dia.
Ia pun tak pernah muncul, tak pernah ada, dan bahkan dia tak melakukan apa-apa. Namun kenapa malah kami yang terus terjebak di masa lalu dan kembali membuka luka lama?
Aku menghela napas berat, saat suasana di ruang makan secara drastis berubah menjadi dingin. Ada suatu kecanggungan yang menggantung berat di antara kami. Terlalu berat, bahkan rasanya membuat ruangan ini jadi sulit untuk bernapas.
"Udah ah, kok jadi baper gini?" Angie tertawa tak nyaman sambil meraih tasnya yang tersampir di bangku ruang makan. "Ayo, kapan kita berangkat?"
***
"V.S! WE WILL FIGHT, WE WILL WIN, NOBODY CAN STOP US! VICTORY!"
Jargon singkat itu terdengar tak lama setelah kami melewati pintu gerbang sekolah. Beberapa murid sontak menoleh dan menonton, dan ini membuatku ingin memutar mata saja. Sudah setahun, dan para pencari perhatian itu rupanya sama sekali tak pernah kehabisan penonton.
Aku merasakan Angie spontan mengerut di belakangku. Tangannya mencengkram bagian belakang ranselku, terutama saat trio gadis itu melewati kami.
Perkenalkan, The Mean Girls-nya SMA kami. V.S Angel.
Pikiranku spontan menyerigai, saat memikirkan nama ironis itu.
Sesuai namanya, mereka cantik, ya. Mereka semua jangkung, dengan wajah cantik dan aura intimidasi yang menguar dari mereka. Geng yang paling disegani di seantero SMA.
Lazuli Arnava, Clementine Aviantara, dan Sofia Adiwijaya.
Singkatnya, jangan berani cari masalah dengan mereka, atau kemungkinan besar, sepanjang tahun SMA-mu tak akan selamat. Sudah banyak saksi hidup mengenai kasus itu.
"Lo tau, Jev," Oliver mengerling singkat ke arah mereka. "Mungkin lo harus berhenti berpikir yang aneh-aneh sebelum mereka--"
Oops, terlambat.
"Pagi Jevon,"
"Pagi Oliver,"
"Pagi, Angela."
Yang terakhir itu diucapkan dengan kadar kemanisan yang bisa membuat orang seketika diabetes. Tapi semua orang tahu, makin manis ketiga orang itu bersikap, makin banyak pula kadar racun yang tersembunyi di baliknya.
Angie, sepertinya ia merasakan itu, hanya bisa mengulaskan senyuman terpaksanya. Ketiga gadis itu spontan--secara bersamaan, mengangkat sebelah alisnya. Banyak orang yang berhenti, hanya untuk melihat drama rutin di pagi hari.
Karena bukan rahasia lagi di SMA kami, siapa yang tak tahu peristiwa Angela Wang didepak dari V.S? Skandal terbesar abad ini, bahkan menjadi topik pembicaraan mulai dari angkatan kami, bahkan sampai kakak kelas dan alumni.
Dan jangan harap akan ada sehari saja tanpa ucapan sinis dari tiga orang ini. Aku jadi kasihan pada Angie.
"Udahlah, Zul." seorang gadis berambut ikal yang dicat cokelat kemerahan--Sofia, mengibaskan tangannya. "Nggak ada gunanya nyapa lintah-lintah ini."
"Mereka kan nggak bisa ngomong."
"Bisanya nempel, jadi parasit, terus kalau udah puas nyedot darah, langsung pergi deh."
Kali ini bukan Angie saja yang bereaksi. Aku ikut mengatupkan rahang kuat-kuat, saat mendengar kesinisan ketiganya. "Lo bertiga--"
"Udah Jev," Oliver spontan menyeretku--beserta Angie, saat melihat aku hampir memuntahkan semua kata-kata yang lebih baik tak didengar itu. "Nggak ada gunanya lo marah sama mereka."
"Cih," Clay, gadis berwajah imut itu mendecih saat mendengarnya. Gadis itu hanya melakukannya dengan volume pelahan, namun cukup keras untuk bisa kudengar. "Nggak jelas."
Aku memelototinya.
Tegangan di antara kami rasanya begitu kuat. Bahkan rasanya, orang pun bisa tersetrum kalau sampai lewat di antara kani sekarang.
"Udah yuk, guys." Zula menguap bosan, tampak sama sekali tak tertarik. "Udah mau masuk."
Mendengar perintah ketua mereka, kedua gadis itu menurut. Melihat mereka mengekor Zula, membuatku jadi teringat akan anak anjing.
"Bye, Lintah!"
"Hush, Clay," tegur Zula dan Sofia secara bersamaan saat Clay masih sempat-sempatnya melemparkan hinaan terakhir itu. "Nggak boleh gitu."
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, namun tak ayal juga ia menggumamkan sesuatu di bawah napasnya sambil berlalu. Aku yakin, apa yang diucapkan gadis itu sama sekali bukan hal yang pantas didengar.
"Gue masih nggak ngerti." Oliver akhirnya menghela napas panjang setelah mereka berlalu. "Gue tahu mereka bitch to the max, tapi kayaknya, itu bukan sepenuhnya salah mereka deh."
Mata cokelat Oliver mengerling ke arah Angie.
"Lo sebenernya berpihak pada siapa sih?" tanyaku keki.
"Just saying, Jev." ia mengangkat bahunya. "Gimanapun juga, gue cuma berusaha lihat masalah ini dari dua sisi."
***
Yow man! Gue terharu bisa update CMIYC dan Pervigilo sekaligus :')
Baca juga ya Pervigilo! Gue rencananya mau edit Pervigilo nanti, ditunggu aja ya!
Hug
-Ree
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top