[5] : Truce, Evil Plan and Brokenheart
1. Kiera
"Kiera," ujung bibir Sera berkedut sedikit sambil menatap bolak-balik ke berbagai arah. "Pokoknya kalau lo sampe bikin gue dikeluarin dari sekolah atau gue masuk penjara, besok lo tinggal nama, Kir."
"Kita nggak bakal kenapa-kenapa, Kak." kataku dengan yakin. "Oke, kecuali kalau kita ketahuan."
Aku masih tak menatap ke arah kakakku itu, namun masih sibuk mengutak-atik ponsel di tanganku. Sera sudah tampak seperti akan kena serangan epilepsi sebentar lagi, dan aku sekarang agak gatal untuk menyikut kakakku itu supaya diam.
Sudah kubilang kan, Sera sama sekali tak pernah melakukan tindakan 'kriminal'.
"Kiera, lo tau kan kalau yang lo lakuin sekarang itu namanya hacking?" ucap Sera lagi, yang langsung kuhadiahi dengan tendangan di kakinya. "Ow! Gua cuma coba bilang, kalau sampai ketahuan, lo bisa dituntut karena melanggar privasi orang lain."
"Shh, can you just shut up for a minute?" desisku sambil memelototinya. "You already agreed as our truce. Now, deal with it!"
"Fine then," Sera melipat tangannya di dada. "Asal jangan bikin kita ada dalam masalah aja, Kir."
"Nggak bakal, Kak." Aku meletakan ponsel itu di tempatnya semula. Benar-benar di tempatnya, saat orang itu tampak kembali di daerah pandang. "Please act normally, Kak. Kalau perlu, keluarin semua pesona intimidasi lo itu."
Sera hanya mengangguk, lalu memasang wajahnya yang paling datar dan paling dingin yang ia punya. Kali ini, bukan buat mengintimidasi. Tapi agar ia tak tampak panik saja. Astaga, salah memang aku mengajak Sera dalam rencana jahat ini.
Ya, oke. Darimana aku harus mulai menjelaskan?
Mungkin ini terdengar gila, tapi aku benar-benar disini, dengan kakakku Sera yang mulai panik. Sehabis belanja, aku ternyata berhasil untuk menghasut Sera untuk melancarkan aksi balas dendam pada (sebentar lagi akan menjadi mantan) pacarku. Isaiah tak akan berani macam-macam, terutama karena Sera--yang notabene adalah seniornya--ada di sini.
Ya, Isaiah Newton mungkin tahu kalau aku cerdas. Tapi dia tak akan menyangka kalau aku cukup cerdas untuk meretas ponselnya.
"Sorry you have to waited," Isaiah meletakkan nampan di hadapan kami sambil mengulaskan senyum cemerlangnya.
"No problem," aku menjawabnya, masih dengan senyuman polos. "How's your head?" tanyaku dengan basa-basi.
"I don't even drink, Kee-ai-ra." pemuda itu menatapku lekat-lekat dengan mata hijaunya. "I know you will drink until dawn, so I decided to not drink coz I need drop you off to your house." cowok itu tersenyum lembut. "But then, you disappear into nowhere."
Fokus, aku memerintahkan diri sendiri. Sekarang bukan saatnya untuk bingung dengan implikasi di balik kata-kata orang ini. Tapi ternyata; antara bibir dan otakku sudah tak sinkron lagi.
"Why do yo even care?"
Dia hanya tersenyum, sementara Sera tetap berusaha menjaga ekspresinya. "Kau tahu Kiera? Tak selamanya aku menjadi seorang brengsek."
"Kau--" aku lalu menggeleng, berusaha memusnahkan pikiran aneh itu di kepalaku. "Nggak usah bercanda, Isaiah. Aku tahu kau cukup cerdas untuk tahu kenapa aku tiba-tiba meneleponmu."
"Siapa yang tahu?" tanyanya dengan senyuman lembut. "Nggak semua julukan yang beredar benar-benar sesuai dengan orangnya."
Ia terdengar tulus.
Tidak, tidak. Bahkan ekspresinya pun terlihat tulus.
Ayolah Kiera, logikaku berteriak dari dalam kepala. Dia Isaiah, si heartbreaker yang sudah menyakiti lebih dari selusin cewek. Jangan sampai kau jadi korban ke entah-berapanya.
"Nggak semua julukan benar-benar sesuai dengan orangnya." kata-kata itu kembali terulang di kepalaku.
"Kau--" perkataanku terputus lagi, kemudian aku menjatuhkan diri dengan pasrah ke senderan kursi. "Aku tak mengerti," akhirnya aku mengakui itu.
"Tak perlu mengerti." Isaiah mendorong sepiring donat ke arahku dan Sera. "Hanya saja, yang perlu kau tahu, Kiera, aku cukup senang bisa bersamamu selama dua bulan sepuluh hari."
Dua bulan, sepuluh hari? Detil sekali.
"Dan satu lagi," ucapnya lembut, memecahkan pikiranku yang sudah agak salah fokus tadi. "Aku cukup senang, ternyata kita bisa berpisah secara baik-baik. Itu kan alasan kau memanggilku ke sini? Untuk putus?"
"Berikan ponselmu." ucapku serak, tak tahu harus bereaksi apa lagi. Tak ada gunanya mengelak 'kan?
"Tidak usah." Isaiah menghabiskan kopinya, lalu meletakannya, masih dengan senyuman di wajahnya. "Aku bisa memperbaikinya sendiri kok. Oh, ya."
Cowok itu merogoh sakunya, lalu saat menariknya kembali, sesuatu terlihat menguntai di tangannya. Tanpa banyak bicara, ia meraih tanganku lembut, dan mengaitkan gelang itu di pergelanganku.
Dan dengan senyuman terakhir, dia bangkit dan meninggalkan kami.
Aku masih membeku setelah pernyataan panjang dan hadiah kecil itu. Tanganku masih menggenggam untaian gelang berbatu hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Setiap butirnya terlihat berkilau di mataku, seperti bintang-bintang di galaksi yang gelap. Aku terlalu terkejut, sampai aku tak menyadari kalau cowok itu berbisik di telinga Sera sebelum berlalu.
Yang selanjutnya kutahu hanya, ternyata itu senyuman terakhir yang kulihat dari seorang Isaiah Newton selagi masih hidup.
Dan berita kematiannya, membuat hatiku retak sedikit.
Retak, karena aku tahu aku tak sempat minta maaf padanya.
***
2. Oliver
"Oliver,"
Aku menoleh, menatap datar gadis yang menyembulkan kepala dari balik pintu itu. Angie berdiri disana dengan senyumannya, sementara di tangannya tergenggam sebuah kantong sampah yang besar. "Sini aku bantuin,"
Aku hanya diam, tapi tak melarangnya saat ia masuk dan mulai memilah-milah barang untuk dibuang. Kertas-kertas lama, bunga yang sudah mengering, bahkan manik-manik gelang yang sudah putus. Angie memasukan semuanya dalam kantong sampah, dan aku sama sekali tak melarangnya.
Berharap dengan begini, semua tentangnya bisa kulupakan.
Aku baru tahu, sebuah benda--atau tempat yang memiliki sejarah, bisa membawa emosi sekuat ini. Semua kenangan seakan bergulung-gulung menghantamku saat aku membuka pintu tadi, benar-benar kuat, seperti berusaha menggagalkan tekadku ini.
Tapi kurang lebih dua jam kemudian--sekarang tepatnya, hampir seluruh tekad yang kumiliki sudah tinggal setipis rambut.
Ruangan ini tak tampak lebih bersih daripada sebelumnya. Bukannya membereskannya, aku malah membaca-baca tulisan cakar ayam gadis itu, lagi dan lagi. Merasakan kehadirannya, bahkan bisa merasakan bagaimana ia menulis kalimat-kalimat itu dari bekas tekanan pena-nya di atas kertas.
Aduh. Aku sama sekali tak bergerak maju, malah bisa dibilang, aku hanya kembali terus ke masa lalu.
Aku tak ingin mengatakannya, tapi ya, mungkin aku terlalu naif. Setelah kupikir-pikir, mungkin sudah saatnya membuang semua masa lalu itu. Aku duduk di kursi kecil yang ada di ujung ruangan, lalu mulai menutup mata dan menarik napas pelahan.
Kecelakaan Tragis Merengut Nyawa Sebuah Keluarga.
Liburan Berujung Maut.
Sebuah Truk Menabrak Mobil Keluarga Kecil di Jalan Tol.
Aku menggertakan gigiku, berusaha agar semua ingatan itu tak kembali lagi. Percuma, astaga. Semua headline berita itu terus melintas di kepalaku, berputar-putar dan menarikku lebih dalam. Menenggelamkanku, kemudian meninggalkanku dalam lubang gelap tak berujung.
Dia. Aku bahkan tak bisa menyebutkan namanya.
"Oliver, apa semuanya dibuang?" tanya Angie tiba-tiba, membuat mataku terbuka dan langsung menatap ke arahnya. "Kalau kamu masih mau simpan, bisa aku ambilin kotak nanti."
"Nggak usah, Ang." ucapku dari sela-sela gigi yang mengatup rapat. "Gue perlu--perlu buang semua ini."
Angie hanya mengangguk, sepertinya gadis itu mengerti apa yang kumaksudkan. Tanpa banyak bicara, aku mulai bangkit lagi, berusaha membuang semua perih yang terasa saat tanganku memasukkan barang-barang ini ke dalam kantong sampah. Sampai ketika, tanganku berhenti di atas kotak logam yang lumayan besar, baru terlihat saat semua benda di atas meja kayu itu dibersihkan seluruhnya.
Aku mengernyit, sementara jariku mengusap bagian tutupnya pelahan. Kotak yang terbuat dari perunggu itu punya ukiran yang rumit, bahkan punya kunci kombinasi untuk mengamankannya. Aku tahu ini apa. Tapi kenapa ada di sini? Bukannya waktu itu dia sudah...
"Sudah kok," elak suara gadis kecil itu, sementara bibirnya mengerucut kesal. "Pokoknya aku taruh di tempat yang aman, tapi selalu bisa kulihat."
Selalu bisa kulihat.
Astaga.
Gadis itu tak pernah mengubur benda ini.
"Itu..." Angie menghampiriku, dan ikut menatap kotak itu. Aku yakin, Ang juga tahu apa ini.
Aku mengangguk, sebelum menyelesaikan kata-katanya. "Kapsul waktu kita."
***
A/N : Lah, jadi Isaiah baik apa jahat? Terus kok tiba-tiba mati? Sabar ya peeps, bakal dijelaskan seiring berjalannya waktu okeey ;)
-XOXO
Ree
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top