[4] : Little, Lonely Girl

1. Kiera

"Pagi, Kak."

Aku menguap, sebelum menjatuhkan diri di salah satu bangku di meja makan. Punggung Sera tampak dari sini, mengenakan apron putih dan sedang membalik pancake dengan ahli. Aromanya menguar ke seluruh ruangan, dan itu membuatku makin lapar saja.

"Kiera?" suara Sera menunjukan keterkejutan. "Tumben udah bangun?"

"Loh, bukannya aku emang selalu bangun jam segini?" tanyaku tak mengerti.

"Ah iya," Sera menganggukan kepalanya tanpa menengok dari penggorengannya. "Maksud gue, bangun jam segini di hari libur."

Sera membagi pancake-pancake itu ke tiga piring sama rata, lalu dengan ahli, dia membawanya dan mengangsurkannya di hadapanku. "Makan, Kir. Papa turun bentar lagi."

Dia kembali ke dapur, lalu mengambil sebotol sirup maple--kesukaannya, mentega---kesukaan Papa, dan krim serta selai strawberry kesukaanku. Dengan cekatan, kakakku itu memotong sepotong kecil mentega dan menjatuhkannya ke piring Papa, sementara di saat yang sama, ia menyemprotkan krim dan menuangkan selai ke piringku.

Baru kali ini aku benar-benar melihat kakakku itu mengurus keluarga kecil kami ini. Apa ini yang setiap hari Sera lakukan? Seketika, aku merasa sebagai adik paling kurang ajar di dunia.

"Kenapa kamu liatnya gitu banget, Kir?" tanyanya ringan sambil menuangkan sirup ke piringnya.

"Nggak apa-apa," Aku hanya menggeleng sambil meraih garpu, lalu memotong-motong makananku menjadi kecil-kecil. "Kak, nanti malem masak bareng yuk."

"Kiera, Sera," suara Papa memecah percakapan kecil kami. Sera mengedip sedikit, sebelum meletakan piring di depan Papa. "Tumben kamu sarapan bareng, Kir."

Aku meringis sedikit. "Iya, Pa. Kangen aja sarapan sama kalian."

"Mau kemana kalian hari ini?" Papa hanya mengangguk kecil, sambil memasukan sepotong besar pancake kedalam mulut. "Sekali-sekali temenin kakak kamu, Kiera."

Aku hanya tersenyum kaku saat tak bisa menjawab apapun. Apa boleh aku bilang kalau selama ini Papa tak tahu hobiku? Jelas sih, orang tua manapun bisa-bisa serangan jantung kalau tahu anak perempuan bungsunya suka dugem.

"Kita mau belanja kok Pa, hari ini." Sera menyela sebelum aku sempat bicara. Aku melemparkan pandangan terima kasih kearahnya, sementara dia mengisyaratkan aku agar melanjutkan makanku. "Kiera janji mau bantuin masak hari ini."

"Oooh, oke." Papa mengangguk lagi; sama sekali tak mencurigai apapun. "Ngomong-ngomong, kalian siap-siap ya mulai sekarang."

Tanpa banyak kata, Papa menyilangkan pisau dan garpu-nya di atas piring, lalu meraih jasnya yang tersampir di sandaran bangku. "Papa kerja dulu. Jangan bandel ya, kalian berdua."

Aku berhenti menyuapkan makanan dalam mulut sesaat setelah Papa keluar, lalu melemparkan pandangan menginterogasi ke arah Sera. "Siap-siap apa, Kak?"

Kakakku itu tampak salah tingkah. "Ah itu..."

***

"Gue masih nggak percaya lo nggak ngasih tau kabar sepenting ini ke gue," omelku panjang-lebar sementara Sera meringis di balik setir. "Walaupun, ya, ini salah gue juga, sih."

"Gue kira lo bakalan--" Sera memotong kata-katanya sendiri. "Wait, what?"

"Apa perlu gue ulangi lagi?"

"Apa gue nggak salah denger?"

"Kak," aku mencubit pinggang Sera keras, membuatnya mengaduh kesakitan. "Gue bilang, walaupun itu salah gue juga."

"Kiera, lo kesambet apa sih semalem?" Kakakku itu menggeleng tak habis pikir, sementara mata hitam pekatnya masih terfokus ke jalan raya. "Secara mengejutkan, dari kemaren lo selalu minta maaf sama gue, AW!"

Aku mengeraskan cubitanku di pinggangnya. "Gue lagi pengen aja, oke?"

"Oke, oke, oke," sahutnya seraya berusaha melepaskan jariku yang masih ada di pinggangnya. "Bisa tolong dilepas cubitannya?"

"Ngomong-ngomong, Kak," aku melepaskan cubitanku dan memandang ke luar jendela. "Setelah lama gue pikir-pikir, kayaknya kejadian yang dulu itu bukan salah lo."

"Kiera kalau kamu--" mulai Sera pelahan.

"Nggak, Kak," potongku saat tahu apa yang ingin dikatakan kakakku. "Kita perlu bicara juga,"

Sera membuka mulutnya, sebelum menutupnya lagi, lalu menghela napas pelahan-lahan. "Gue ngerti banget kok kenapa lo marah sama gue." ungkapnya pelahan.

"Ya," aku mengangguk. "Sakit rasanya dulu, Kak, saat aku tau ternyata kita sama sekali nggak ada hubungan darah."

"Kiera," Sera meraih sebelah tanganku dengan tangannya yang bebas. "Walau kita nggak sedarah pun, gue tetep sayang sama lo."

"Ya, gue tahu, Kak Ser." ucapku dengan tersenyum tipis. "Tapi bukan cuma itu yang bikin aku sakit."

"Ya, gue tahu apa yang lo maksud," Sera menghela napas pelahan. "It hurts when you realizes that no one you really know waiting for you."

***

"Siapa namamu?"

Gadis kecil itu mengerjap berkali-kali. Mata hitamnya yang dalam menatap kosong ke dinding putih rumah sakit, sementara beberapa orang mengerubunginya.

Siapa mereka? Entahlah, bahkan ingatannya sama sekali tak bisa mengidentifikasi salah satu diantara mereka. Ada empat orang di sana--satu pria berpakaian serba putih, satu pria bersetelan lengkap, satu wanita berwajah baik dengan pakaian elegan, dan satu anak seumurannya dengan mata besar yang menatapnya lekat-lekat.

Anak kecil itu menarik-narik lengan dokter berjas putih yang lebih tua itu. "Namanya Kiera, Dokter."

Kiera?

Namanya Kiera?

Kemungkinan besar, gadis itu mengucapkan itu keras-keras. Terutama karena tiga orang dewasa yang mengelilinginya langsung bertukar pandang satu sama lain. Di matanya, orang-orang dewasa itu tampak seperti berkomunikasi dalam diam, seakan ada hal yang tidak perlu ia ketahui.

Akhirnya, dokter setengah baya itu memecah keheningan. "Bapak dan Ibu, bisa saya bicara di luar sebentar?"

Kedua pasangan itu mengangguk, lalu wanita itu berbisik sebentar di telinga anak seumurannya itu. Anak itu mengangguk, lalu naik ke tempat duduk di samping tempat tidurnya.

"Pagi Kiera," anak itu menyapanya dengan senyuman lebar saat kedua orang tuanya keluar. "Senang sekali bisa melihatmu benar-benar sadar begini."

Kiera--kalau itu benar namanya, sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan anak ini. Ia tak merasa kenal dengan anak ini. Kiera membuka mulutnya, lalu menutup lagi saat ia merasakan tenggorokannya kering sekali.

"Oh! Sebentar." Anak itu melompat dari kursinya; dan dengan cekatan menuang air ke dalam gelas. "Minumlah."

Kiera menatap gelas di tangannya. Seberapa dekat ia mengenal anak ini? Kenapa ia tahu kalau tadi Kiera perlu minum?

Ia menatap Sera lekat-lekat. Rambut hitam yang dipotong rapi, dan mata hitam yang berainar lembut itu masih tampak asing, sekeras apapun Kiera mencoba untuk mengingat. Namun gadis itu memutuskan kalau anak yang ada di hadapannya ini baik, dan mungkin, tak ada salahnya ia mengenal lagi Sera.

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu meneguk airnya.

"Kamu tahu, kamu tidur lamaaa sekali," kata anak itu dengan merentangkan tangannya lebar-lebar. "Bahkan rambutmu saja sudah tumbuh sepanjang ini."

"Siapa kamu?" tanya Kiera serak.

Anak itu tersenyum lembut. "Aku Sera."

"Sera." ulang Kiera sekali lagi. "Apa kau--"

"Nak Kiera," tiba-tiba dokter tadi masuk lagi, sementara pasangan yang ada di belakangnya memberi isyarat untuk Sera agar menghampiri mereka. "Coba saya periksa dulu kondisi Anda."

Selanjutnya Kiera tak lagi memperhatikan Sera dan pasangan itu. Namun dari ujung matanya, ia bisa melihat kalau mereka sedang mendiskusikan sesuatu.

Tapi Kiera tahu, tampaknya, dirinyalah topik pembicaraan mereka.

***

A/N : Are some of u know what is weird from the first chapter until now? :)

No? Well, okay.

Coba cari dimana anehnya.

-Ree

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top