[33] : Dystopia

4. Sera

"Skenario terburuk?" tanyaku sangsi sambil menyetir. Gadis pirang inilah yang satu-satunya masih bangun, sementara dua orang di kursi belakang sudah tidur dengan kepala dan lengan saling bersilang.

"Just saying, Kak," ucapnya ragu, sementara matanya masih menatap nyalang jalanan yang sepi. "Apa yang bakal kakak persiapkan kalau harus menghadapi yang terburuk?"

Aku memperlambat laju mobil, membiarkan waktu merenggang di antara kami. Jarak lokasi dengan rumah sebenarnya tak terlalu jauh, aku tahu. Dengan lelah aku bersandar di jok mobil yang keras, dan ikut menatap jauh-jauh ke luar jendela.

"Pasrah, mungkin?"

"Kiera kabur, iya kan?" ulangnya pelan-pelan. "Dan bagaimana selanjutnya?"

Aku menatapnya tak mengerti. "Selanjutnya bagaimana?"

"Gue yakin kalau Kiera adalah tipe orang yang benar-benar pegang kata-katanya." Clay memuntir ujung kaus longgarnya. "Dia bakal tinggal di mana nanti? Gimana hidupnya nanti?"

Mataku menatap gadis ini lekat-lekat, merasa agak aneh mendengar perhatiannya pada Kiera. "Udah berapa lama lo kenal Kiera, Clay? Kenapa bahkan lo lebih perhatian dengan dia dibandingkan gue?"

Bibir tipis itu melengkung membentuk senyum, "Waktu nggak berpengaruh pada perasaan, Kak."

Ujung jemariku mengetuk-ngetuk roda kemudi sambil berpikir. "Bijak sekali."

Gadis itu menggosok-gosok hidungnya yang memerah, sebelum dengan jemarinya yang lentik, dia mematikan pendingin yang mengarah padanya. Tanoa kentara gadis bermata badai itu menggosok-gosokan tangannya dan menarik ujung kaosnya sampai melapisi telapak tangan. Aku mengerling sedikit saat dia melakukan itu, namun segera menggeleng kecil untuk mengusir pikiran itu.

"Kalau gue minta tolong boleh?"

Gadis itu melemparkan tatapan bertanya padaku, dan aku menganggap itu sebagai persetujuannya padaku untuk melanjutkan. "Jaga Kiera waktu gue nggak bisa."

Senyumannya tetap menetap di sana, membuat wajah cantik itu semakin indah. "Selalu, Kak."

"Makasih." Aku mengenggam kedua roda kemudi erat-erat. "Lo anak baik."

Lagi-lagi gadis itu menggosok-gosokan tangannya, dan melipat lengannya erat-erat. Pelahan, aku memberhentikan mobil di pinggir jalan yang sepi, sebelum meraih benda yang tersimpan di kantong belakang mobil. Bahan wolnya yang halus terasa amat familier, dan diam-diam, aku merasa aromanya masih mirip dengan gadis itu.

Mata yang sewarna awan hujan itu menatapku bingung saat benda itu ada di lengannya, namun aku hanya diam dan kembali menjalankan mobil.

"Kak--"

"Pakai aja," potongku tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Gue nggak mau lo sakit."

Sebelah alisnya terangkat saat menatapku, namun dia menurut dan meloloskan sweater kelabu itu pada tubuh kecilnya. "Makasih."

Aku terpana sebentar menatap senyumannya itu, sebelum menatap lurus ke depan. "Sama-sama."

"Kak," panggilnya pelahan, sembari menarik-narik lengan pakaianku. "Kalau ... Kiera tinggal sama gue gimana?"

"Serius?" Aku mengerutkan kening.

"Kayaknya ... bakal menyenangkan punya temen di rumah yang kosong," desahnya panjang. "Dan itu bakal lebih mudah, baik buat aku dan kakak, untuk mengawasinya."

Lenganku dengan mulus membelokkan mobil ke arah taman gelap itu, di mana motor milik Jev tampak tak terlalu jauh dari sana. "Apa lo serius, Clay?"

"Dua rius malah," ucapnya tanpa ekspresi. "Eh, nggak lucu ya." Sebuah tawa kering meluncur dari bibirnya.

Aku tak tertawa, dan menatapnya lekat-lekat saat mobil sudah berhenti.

Gadis itu tampak mengerti, karena sesaat kemudian, dia melanjutkan lagi. "Gue serius, Kak. Gue udah memikirkan kemungkinan ini sejak denger kabar itu, sejujurnya. Dan gue rasa, itu bakal menjadi solusi yang lebih baik daripada yang lain."

"Apa nggak bakal ngerepotin, Clay?"

"Nggak, Kak." Senyumannya yang sebening kristal nyaris membutakan. "Apa orang yang sudah nyaris dianggap saudara bakal jadi beban?"

Aku menatapnya kagum, terutama karena pemikirannya yang lebih dalam dari yang kukira. "Oke. Dan gue sekali lagi bakal minta lo, Clay. Tolong jaga Kiera, selama gue nggak bisa jaga dia."

"Tentu."

Aku menatapnya puas, sebelum keluar dari mobil dan memutarinya untuk membuka pintu mobil untuknya.

"Kadang gue berharap gue punya orang yang bakal mencintai gue seperti Kakak pada Kiera. Atau pada Oliver pada Kiera. Atau seperti Jev pada Kiera," ucapnya sedih. "Tapi kenapa dia yang sudah punya itu semua malah melepaskan semuanya?"

Pandangannya beralih ke luar, di mana siluet permainan anak-anak terlihat di sana. Siluet dua orang dengan tangan yang saling mengait terlihat dari kejauhan, dan aku tahu itu siapa.

"Karena Clay, manusia nggak tahu apa benda berharga yang dimilikinya, sampai dia kehilangan," jawabku pasti. "Lo pasti punya orang yang kayak gitu, cuma lo belum menyadarinya aja."

"Mungkin." jawabnya ragu. "Siapa yang tahu?"

***

1. Kiera

"Kasih kita--kasih gue, kesempatan sekali lagi, Kir," ucapnya lembut, dengan kedua belah tangannya yang masih menggenggam tanganku. "Kita sama-sama berusaha memperbaiki apa yang salah, dan.berusaha menjaga apa yang benar."

Rasa hangat yang menjalar dari genggamannya, membuat tanganku yang dingin mulai menyesuaikan suhunya. Hangat, dan aku bisa langsung mendefinisikannya sebagai ... sebagai Jevon.

Teman, katanya?

Gambaran sempurna mulai terbentuk dalam kepalaku. Teman, saudara, sahabat. Semuanya. Tampak sempurna, tampaknya amat mudah.

Aku mengalihkan pandanganku ke tangan kami yang masih terhubung, dan mulai mengira-ngira apakah akan seperti ini rasanya punya teman?

Seseorang yang bisa menjadi tempat berbagi beban?

Seseorang yang menjadi tumpuan.

Yang menjadi sandaran.

Apa seperti ini rasanya punya kakak nanti?

Seperti dulu Sera yang dengan penuh senyum menjadi seseorang yang amat bisa kuandalkan?

Menjadi seseorang yang bisa sepenuhnya kupercaya?

Kembali seperti dulu lagi, dimana rasanya semua begitu bahagia.

Begitukah?

"Dan lo nggak akan sendiri lagi, Kiera," ucapnya lembut. "Lo punya gue, punya Angie, punya Oliver. Lo punya Sera, Zula, Sofia, bahkan Clay."

Aku menatapnya lekat-lekat. "Semuanya?"

Anggukan kepalanya pasti, seakan memang semua itu akan terjadi tanpa halangan sedikitpun. "Ya, semuanya. Dan yang perlu lo lakukan cuma memaafkan, dan kita mulai lagi semuanya dari awal."

Pelahan aku mengeratkan genggaman pada jemarinya, dan menatapnya lekat.

"Gue--"

Namun satu hal kembali melintas di kepalaku, membuat gelombang ragu menerpa dan menenggelamkanku. Seketika aku melepaskan tangannya.

"Nggak." Aku menggelengkan kepalaku dan melepaskan genggaman tangannya. "Untuk saat ini, kita selesai sampai di sini."

Tanpa sedikitpun keraguan, aku meninggalkannya, dan tak menoleh lagi.

Walau ragu yang membuat kami buyar, namun setidaknya karena ragulah satu kepingan dalam diriku masih bertahan.

Jika ini akhir dari kami, biarkanlah.

Memang tak bisa memiliki kalau bukan takdirnya, walaupun kedua hati ini menginginkan satu sama lain. Dan kami--kami semua, memang akan kembali lagi ke siklus awal di mana semua akan tersakiti.

Jika berpisah merupakan jalan yang terbaik, biarkanlah.

Jika bintang terlalu sulit untuk digapai, lepaskanlah. Biarkanlah saja aku hanya bisa menatap dari jauh, bila itu menjadikan semua lebih baik.

***


-Ree
(02-02-2016, 09:24)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top